Saturday, July 2, 2011

BAB - 15. CONTOH KETELADANAN YANG SEMPURNA

Nabi Muhammad s.a.w. diperintah Allah SWT untuk mengumumkan:
Mā kuntu bid’am minar-rusuli. “Aku bukan rasul pertama di antara rasul-rasul.” (al-Ahqāf: 10)
Itu berarti bahwa Nabi Muhammad s.a.w. disiapkan Allah SWT sebagai sebuah jalur yang khusus dan sempurna dalam menyampaikan akidah dan petunjuk Ilahi kepada seluruh ummat manusia di dunia, dan dijelaskan bahwa kepribadian beliau telah dibentuk secara sedemikian rupa sehingga beliau digambarkan sesuai dengan akidah dan petunjuk tersebut dan kesemuanya tersirat di dalam perilaku beliau sendiri.
Walau bertempat tinggal di daerah yang sangat terpencil dan hidup di sebuah zaman ketika seni sejarah masih berada di tahapan awal, beliau benar-benar menjadi satu pribadi yang bersejarah. Beliau menjalani kehidupannya dengan cerah bagaikan terangnya sinar matahari di waktu siang. Masa awal hidup beliau telah cukup banyak diketahui sehingga orang lain pun mampu membentuk gambaran tentang ciri-ciri dan watak beliau.
Setelah menerima Wahyu Allah SWT, setiap ucapan, tindakan dan gerakan tubuh beliau telah diamati, dan suatu rekaman yang lengkap pun telah diperoleh. Hal ini penting karena kalau tidak demikian, kita akan kehilangan kepastian dan keyakinan, dan kehidupan beliau pun menjadi tidak dapat memberikan sebuah keteladanan kepada kita tentang apa saja yang telah diajarkan.
Nabi Muhammad s.a.w. adalah seorang manusia – tidak lebih dan tidak kurang – oleh karenanya beliau dapat dijadikan teladan bagi ummat manusia. Beliau tidak memiliki kekuatan supra-natural atau menda’wa pernah memiliki kekuatan tersebut. Beliau berada di dalam keadaan yang serupa dan terbatas sebagaimana Nabi-nabi yang terdahulu. Beliau menerima paling banyak penderitaan akan tetapi mampu mencapai keberhasilan yang amat luar-biasa.
Kehidupan beliau bersifat banyak-wajah dan dijalani dalam banyak tahapan-tahapan. Sebagaimana manusia lainnya, beliau adalah seorang anak, suami dan seorang ayah. Di masa kecilnya beliau hidup di gurun dan menjadi penggembala ternak, dan di masa mudanya beliau menjadi pedagang sekaligus pelayan dari seorang Tuan, dan beliau merupakan seorang penduduk yang tunduk pada penguasa di kotanya. Allah SWT telah menunjuk beliau sebagai seorang guru besar yang juga seorang pembimbing.
Selama 13 tahun masa kenabian di Mekah  beliau dibuat menjadi sasaran hinaan dan ejekan, yang kemudian berubah menjadi tindak aniaya yang amat kejam, tapi beliau adalah seorang gembala yang waspada dan mencintai kumpulan ternaknya. Melalui serangkaian peperangan yang sengit, beliau membuktikan keberanian, daya-tahan dan kegigihan yang paling tinggi.
Selama 10 tahun masa kenabian di Madinah, hidup beliau diabdikan untuk melakukan tugas seorang Pemimpin, yaitu Kepala Pemerintahan sekaligus Ketua Pengadilan dari sebuah masyarakat yang majemuk, yang terbagi ke dalam bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bertikai.
Beliau adalah kepala dari suatu negara yang di dalamnya penuh dengan pertikaian dan sekaligus harus menghadapi beragam bahaya dari luar. Sebagai tambahan pada tugas dan tanggung jawab kenabiannya, beliau harus mampu menyajikan ciri-ciri penguasa dan negarawan yang baik, yang membebani pundak beliau dengan amat berat sekali.
Beliau adalah orang yang cinta damai. Tugas dalam menyampaikan kebenaran dan tanggung jawab yang telah dibebankan Allah di pundak beliau, memerlukan persiapan dan terjaminnya kedamaian. Namun musuh-musuhnya tidak pernah memberi kedamaian kepada beliau. Mereka memaksa beliau mengangkat senjata dalam mempertahankan dasar-dasar hak azasi manusia yang paling utama, yaitu kebebasan dalam menyampaikan pendapat.
Beliau sangat membenci peperangan dan kontak senjata, akan tetapi jika perang dipaksakan kepada beliau, maka beliau pun akan menyelesaikan peperangan itu secara manusiawi. Beliau meniadakan semua praktek-praktek yang kejam dan biadab. Beliau memang memimpin perang namun dengan cara yang santun beliau mampu mencegah pertumpahan darah yang dilakukan atas dasar kepentingan pribadi.
Strateginya tidak pernah salah dan dirancang untuk mengurangi penderitaan dan hilangnya nyawa manusia sampai ke tingkat yang paling minimum. Selama 8 tahun bertempur, selang-seling di antara perang dan ekspedisi patroli yang terdahulu, jumlah kehilangan yang diderita pihak musuh adalah 759 orang, dan 259 orang di pihak beliau sendiri.
Kewajiban-kewajiban yang mengikat, dan penegakkan keadilan telah memaksa beliau untuk menghukum perbuatan yang buruk dan salah secara keras, tapi selalu didasarkan atas rasa belas kasih. Beliau selalu mampu melakukan tindakan tegas ketika keadaan memerlukannya, karena jika tidak demikian, pelaksanaan kewajiban-kewajiban beliau akan gagal. Beliau tidak memberi toleransi pada pengkhianatan, tapi tidak pernah sekali pun menaruh dendam. Beliau adalah orang yang mudah memberi ampunan dalam hal kesalahan pribadi yang menyebabkan penderitaan bagi beliau.
Penjelasan berikut ini adalah tentang pribadi dan watak beliau yang dikutip dari tulisan Sir William Muir (Life of Mahomet, hal 510 – 513)
”Bentuk tubuh beliau sedikit di atas berat rata-rata, namun mulia dan berwibawa. Mata yang hitam menyiratkan perasaan yang dalam, dan pancaran kemenangan yang keluar dari wajah beliau amat menarik hati dan memberi keyakinan serta rasa cinta kepada orang asing sekali pun, yang timbul sejak pandangan pertama. Ciri-khas beliau terpusat pada senyum yang penuh berkat dan amat ramah. Pujian dari para pengikutnya, beliau adalah orang yang paling tampan, berani, murah hati dan berwajah cerah. Sepertinya sinar matahari pun telah memancar dari wajah beliau. Gayanya berjalan seperti orang yang sedang menuruni lereng dengan cepat. Ketika beliau sedang terburu-buru, orang lain pun sulit mengikuti. Beliau tidak pernah menengok, walau pun jubahnya terkait di semak-semak; sehingga para pembantunya bisa berbicara dan tertawa dengan bebas di belakang, karena merasa aman dan merasa tidak terlihat oleh beliau.
Seksama dan tuntas dalam segala perbuatan, dan pekerjaannya selalu dilaksanakan sampai selesai. Kebiasaan yang sama menyebarkan cara-caranya dalam hubungan sosial. Jika beliau bicara pada sahabatnya, maka wajah dan seluruh tubuhnya ikut berbalik, dan tidak hanya sebagian. Dalam berjabat tangan, beliau tidak pernah menarik duluan atau melepas tangannya karena berbicara kepada orang lain atau mendengarkan orang lain. Kesederhanaan seorang bapak sebagai kepala keluarga menyebar dari kehidupan beliau. Mengerjakan sendiri keperluan pribadi sudah menjadi kebiasaan beliau. Jika memberi derma, beliau menyampaikannya dengan tangannya sendiri kepada orang yang meminta derma tersebut. Beliau membantu istri-istrinya dalam mengerjakan pekerjaan rumah-tangga, menisik baju, mengikat kambing dan bahkan memperbaiki sendal. Pakaian sehari-hari beliau adalah bahan katun biasa berwarna putih, seperti tetangganya. Dan beliau tidak pernah menolak makanan.
Sebagaimana yang terlihat, Muhammad dan istri-istrinya tinggal di deretan pondok sederhana yang dibangun dengan bata-mentah, ruangan dipisah dengan tembok yang terbuat dari dahan dan daun kurma yang dibalut lumpur, dan gorden yang dibuat dari kulit atau bulu binatang yang digunakan untuk tirai jendela-jendela dan pintu-pintu. Beliau mudah dihubungi oleh semua orang, bahkan seperti tepi sungai yang airnya mudah diambil. Segenap duta dan perwakilan negara lain diterima dengan penuh keramahan dan pertimbangan. Jika mengeluarkan surat keputusan yang mewakili pribadi beliau, atau di dalam perkara kenegaraan lainnya, Muhammad menampilkan watak seorang penguasa yang mampu dan berpengalaman. Yang menjadi lebih aneh adalah bahwa beliau tidak pernah dikenal sebagai orang yang bisa baca-tulis.
Ciri khas yang menakjubkan adalah pertimbangan dan sopan-santun yang dilakukan oleh Muhammad walau hanya kepada pengikut dari kalangan bawah. Rendah-hati, ramah, sabar, berkorban untuk kepentingan orang lain dan kejujuran menyebar dari perilaku beliau, dan mempengaruhi orang-orangnya. Beliau tidak pernah berkata tidak. Jika tidak bisa menjawab tepat, beliau lebih suka berdiam diri. Belum pernah terdengar beliau menolak undangan ke rumah orang yang paling miskin sekali pun, atau menolak hadiah yang wajar walau pun sangat kecil nilainya. Inderanya sangat istimewa sehingga mampu membuat orang berpikir bahwa beliau-lah tamu yang ditunggu-tunggu. Jika bertemu orang yang sedang bergembira karena keberhasilannya, beliau akan segera mengingatkan dan menepuk tulus dengan tangannya.
Bagi yang berkabung dan menderita, beliau bersimpati dengan amat tulus. Lembut dan ikhlas dalam menghadapi anak-anak, beliau tidak canggung bergabung dan bermain dengan mereka dalam suasana yang penuh kedamaian. Selalu berbagi makanan dengan orang lain walau dalam keadaan sulit sekali pun, selalu rajin dan penuh perhatian dalam menyenangkan pribadi orang-orang lain.
Kecenderungan akan kebaikan dan kemurahan hati menyebarkan semua gambaran watak beliau. Muhammad adalah sahabat yang tulus. Beliau menyayangi Abu Bakar seperti saudara; dan mengasihi Ali dengan kasih bagai seorang ayah. Zaid orang yang dibebaskan, telah begitu melekat karena kebaikan Muhammad sehingga ia lebih suka tinggal di Mekah ketimbang kembali ke rumah bersama ayah kandungnya sendiri. ‘Saya tidak akan meninggalkanmu,’ katanya, sambil melekat pada tuannya: ‘karena engkau adalah ayah dan sekaligus ibu bagiku.’
Persahabatan dengan Muhammad membuat Zaid merasa aman, karena putranya Usama telah dirawat oleh beliau secara khusus akibat kesan yang sangat baik terhadap ayahnya. Usman dan Umar juga diperlakukan secara khusus, dan di Hudaibiyyah, semangat yang telah membuat beliau melakukan Bai’at di Bawah Pohon, dan bersumpah akan mempertahankan menantunya yang terkepung walau sampai akhir hayat, menjadi bukti atas sebuah persahabatan yang tulus.
Sejumlah contoh-contoh lain tentang semangat dan mantapnya Muhammad dapat juga dikemukakan. Pengaruhnya tidak pernah pudar, dan mereka membalas dengan kehangatan cinta dan pengorbanan dirinya sendiri. Dalam melaksanakan suatu kekuasaan yang absolut dan diktator, Muhammad justru bertindak adil dan sabar. Beliau tidak ingin musuh-musuhnya diperlakukan secara melebihi batas ketika mereka menyerah dan menerima da’waan beliau.
Perjuangan sukar dan panjang yang dilakukan penduduk Mekah dalam melawan tuntutan beliau, dikhawatirkan membuat sang penakluk menandai kemarahannya pada jejak-jejak permusuhan dan darah yang tidak bisa dihapus. Tapi, dengan kekecualian untuk beberapa orang penjahat keji, Muhammad telah memberi pengampunan umum, dan beliau melupakan peristiwa masa lalu dengan segala penghinaan, ejekan, fitnah, dan tindak aniaya yang amat kejam. Beliau memperlakukan musuhnya yang paling sengit dengan ramah dan bahkan dengan perlakuan yang bersahabat. 
Tidak kurang pentingnya, adalah kesabaran yang diperlihatkan oleh beliau kepada Abdulah bin Ubayy dan kaum munafik Madinah, yang selama bertahun-tahun selalu merintangi rencana dan melawan kekuasaannya, atau juga kesabaran beliau yang akhirnya membuahkan penyerahan berturut-turut dari suku-suku yang sebelumnya bertindak sangat kejam, bahkan di saat-saat kemenangan sudah dicapai oleh beliau.”
Itu adalah kesaksian dari seorang penulis biografi Nabi Muhammad s.a.w, yang biasanya merujuk beliau secara tidak terlalu menyenangkan.
Kesaksian Sayidah Khadijah r.a. yang merupakan sahabat beliau yang paling dekat selama 15 tahun sebelum Wahyu Allah SWT turun kepada beliau, tentang watak dan ciri-ciri beliau, telah diketahui di belakang hari.
Persahabatan yang setia selama 10 tahun pertama dari masa kenabian sampai waktu wafatnya yang tidak begitu lama setelah masa pengucilan di Lembah Ṣi’b berakhir, merupakan suatu penguatan lanjutan terhadap perkiraan bahwa Sayidah Khadijah r.a. adalah orang yang telah terlebih dahulu ikut membentuk watak beliau. 
Sayidah Siti Aisyah r.a. putri Sayidina Abu Bakar r.a. yang walimahnya dilakukan 2 tahun setelah Hijrah, ketika ditanya tentang watak beliau, telah memberi jawaban sbb: ”Watak beliau adalah Alquran.” Dan sesungguhnya tidak ada lagi yang berada di atas itu.
Selama masa fitnah dan tindak aniaya yang amat keji terjadi di Mekah, Nabi Muhammad s.a.w. melewati semuanya tanpa berkeluh-kesah dan membuktikan bahwa diri beliau adalah penduduk yang baik dan patuh terhadap hukum, namun beliau tidak pernah takut dan tidak pernah mundur dari semua hal yang dianggap menjadi kewajibannya. Ketika bersekutu dengan pihak lain, beliau menjalankan kewajiban menolong setiap orang yang dianggap bersalah dan terus mengupayakan keadilan baginya. Beliau tidak pernah gagal atau bimbang melaksanakan kewajiban, bahkan sampai menjadi sasaran fitnah dan tindak aniaya.
Pada suatu saat, seorang asing mencari bantuan penduduk Mekah untuk menagih sejumlah uangnya yang dipinjam Abu Jahal. Orang-orang yang telah didekatinya dengan sinis menyuruh agar ia datang kepada Nabi Muhammad s.a.w., yang dengan segera menemaninya pergi ke rumah Abu Jahal lalu mengetuk pintunya.
Abu Jahal terkaget-kaget melihat beliau berada di depannya, tapi ia mengakui da’waan orang itu. Lalu beliau meminta agar Abu Jahal menunaikan kewajibannya yang kemudian segera dipenuhi olehnya. Ketika Abu Jahal muncul di depan teman-temannya, mereka mengejeknya dan mencelanya karena ia telah tunduk pada keinginan beliau. Ia berkata bahwa saat itu ia begitu terpesona hingga tidak bisa berbuat apa-apa.
Bahkan selama berada di Mekah, para janda, anak yatim, orang susah, pejalan kaki, budak dan orang gila telah menjadi sasaran fitnah bagi beliau, karena perhatian dan perawatannya yang khusus. Di Madinah, beliau meneruskan cara hidup dan kebiasaannya yang sederhana. Berhari-hari tungkunya tidak menyala.
Beliau hidup dengan makan kurma atau jawawut yang kering sendiri di ladang. Terkadang cukup hanya dengan meminum air saja. Pakaiannya hanya ada satu pasang. Tempat tinggalnya sangat sederhana. Beliau tidur di atas kantung kulit yang diisi ranting-ranting dan cabang-cabang pohon. Beliau tidak pernah tidur di ranjang; tidak pernah makan roti yang terbuat dari tepung gandum, dan tidak pernah makan sampai merasa kenyang. Di malam hari, di antara Ṣalat farḍu, beliau mengisinya dengan berzikir. Beliau berdiri lama sekali dalam Ṣalat, sehingga terkadang kaki beliau menjadi bengkak.
Pada suatu saat, Sayidah Aisyah r.a. tergerak untuk mengajukan protes karena ibadah beliau yang terlalu lama. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: ”Aisyah, Allah SWT telah begitu banyak menganugerahkan pahala-Nya kepadaku, sehingga aku amat berterimakasih telah diangkat menjadi hamba-Nya.”
Watak di dalam kehidupan pribadinya, mungkin dapat diambil dari salah satu sabda beliau yang terkenal: ”Yang terbaik dari antara kamu adalah ia yang merawat anggota keluarganya dengan sebaik-baiknya.”
Secara teratur beliau menasihati orang-orangnya agar selalu bersikap sederhana. Akan tetapi, sesudah memperhatikan sebagian dari mereka yang cenderung hidup sederhana secara berlebihan, berzikir dan berpuasa secara berlebihan, serta mengabaikan kewajiban-kewajiban lainnya yang wajar, maka untuk meningkatkan kesehatan mereka.
Beliau memberi nasihat sbb: “Aku lebih takut kepada Allah SWT ketimbang kepada kalian, aku tetap puasa dan makan, aku ṣalat dan aku lakukan semua kewajiban pada keluargaku dan orang-orangku. Adalah tidak benar, ketika kalian melakukan segalanya secara berlebihan. Allah mencintai mereka yang Ṣalat dan berbuat saleh, sederhana namun dilakukan tanpa menimbulkan beban. Di dalam melaksanakan apa-apa yang telah dijelaskan, berzikir dan berpuasa dan Ṣalat kepada Allah, kalian harus melakukan semuanya dengan rasa gembira; dan berhenti ketika jiwamu atau tubuhmu mulai merasakan ketegangan.”
Beliau tidak merendahkan rasa-humor, di dalam tugas beratnya beliau tidak mengabaikan sisi kehidupan yang lebih ringan. Pada suatu hari, ketika beliau sedang duduk-duduk di rumahnya bersama Sayidah Aisyah r.a., lewatlah seorang perempuan tua. Berpikir bahwa itulah kesempatan terbaik yang ia miliki untuk meminta doa Nabi Muhammad s.a.w., sang tamu memohon untuk mendoakannya agar masuk surga ketika saat wafatnya telah tiba. Lalu beliau bersabda: ”Tapi di surga tidak ada nenek-nenek, ibu.” Merasa terhina, sang perempuan tua itu mulai meratapi takdirnya. Beliau buru-buru menjelaskan, bahwa yang dimaksud adalah bahwa di surga tidak ada masalah umur tua atau muda karena di sana semuanya serupa belaka. Lalu beliau menghiburnya sampai ia kembali bergembira.
Pada suatu hari beliau menantang Sayidah Aisyah r.a. berlomba, dan Sayidah Aisyah r.a. yang menang. Lalu pada 1 atau 2 tahun kemudian beliau menantang berlomba lagi, dan menang.
Beliau tertawa, dan bersabda: “Aisyah, sekarang kita seri.”
Di lain hari Sayidah Aisyah r.a. mengaku kepada beliau bahwa ia pernah mencurigai bahwa beliau telah bertindak tidak adil, namun segera diketahui bahwa hal itu salah.
Beliau bersabda: “Aisyah, selalu ada setan dalam diri setiap orang, karenanya kita harus selalu waspada.” Lalu Sayidah Aisyah r.a. pun bertanya: “Apakah pada diri engkau ada setan juga?” Beliau bersabda: “Ya. Tapi ia sudah berserah diri kepadaku.”
Pada suatu hari beliau melewati kebun kurma, dan beberapa orang sedang melakukan pencangkokan. Beliau bertanya tentang apa yang sedang mereka lakukan, dan ketika diterangkan mengenai prosesnya, beliau bertanya mengapa mereka tidak melakukannya dengan cara lain. Di tahun berikutnya mereka mengeluh bahwa walau pun mereka telah melakukan apa yang diusulkan oleh beliau, namun buah di pohon-pohon itu malahan menjadi lebih jarang dari biasanya.
Beliau bersabda: “Aku hanya meminta kepadamu. Kalian tentu lebih mengetahui hal itu ketimbang aku. Kalian harus mengikuti cara-cara yang diajarkan pengalaman kalian sendiri dan ambil yang terbaik untuk dilakukan.”
Beliau sering diminta untuk menengahi sebuah perselisihan dan memberi penilaian. Namun beliau juga mengingatkan bahwa beliau tidak memiliki sarana untuk menemukan kebenaran kecuali melalui hal-hal yang dikatakan oleh mereka sendiri. Mungkin saja terjadi bahwa salah satu pihak dengan memakai alasan palsu, berhasil meyakinkan beliau bahwa pihaknya yang benar, padahal faktanya justru pihak lain yang benar, dan mungkin saja beliau memberi penilaian yang menguntungkan pihak pertama.
Walau pun demikian, pihak yang diuntungkan harus selalu ingat bahwa perbuatannya akan diminta pertanggungan jawab oleh Allah SWT. Walau ia berhasil memperoleh penilaian beliau, namun hal itu tidak akan membebaskannya jika pada kenyataannya ia tidak benar.
Kesabaran dan belas-kasih Nabi Muhammad s.a.w. telah amat dikenal oleh banyak orang. Lalu seorang yang miskin mengaku kepada beliau bahwa ia telah melakukan kesalahan atas perbuatan tertentu. Beliau mengenakan hukuman denda ringan dan harus dibagikan sebagai derma, tapi orang itu mengaku bahwa ia tidak mampu membayarnya. Pada saat itu juga, datanglah seseorang membawa sekeranjang kurma kepada beliau dengan maksud untuk dibagikan sebagai derma. Lalu beliau meminta agar ia mengambil kurma itu dan dibagikan pada orang miskin.
Orang itu berkata: “Ya Rasulullah, aku tahu bahwa tak seorang pun lebih berhak atas derma ini selain dari aku sendiri.” Beliau tergelak dan bersabda: “Baiklah, sekarang ambillah semua kurma untukmu, dan cukuplah itu sebagai hukumanmu.”
Dalam suatu kesempatan lainnya, seseorang mengaku telah membuat kesalahan, namun Nabi Muhammad s.a.w. tidak memperhatikannya dan karena saat itu telah tiba waktu untuk Ṣalat, beliau langsung berdiri untuk menjadi Imam Ṣalat. Setelah Ṣalat selesai dilaksanakan, lalu orang itu mengakui kembali kesalahannya. Beliau bertanya: ‘Apakah kamu tidak ikut berjemaah di dalam Ṣalat tadi? Ketika orang itu menjawab dengan tegas, beliau bersabda kembali: ‘Baiklah, Ṣalat-mu telah menghapus dosamu.’
Di dalam suatu perjalanan ekspedisi, Nabi Muhammad s.a.w. dan semua anggota kelompok beristirahat di bawah pohon-pohon untuk menghindar dari sengatan panas matahari. Beliau menggantungkan pedangnya di dahan sebuah pohon, lalu berbaring di dalam kemah yng terletak di bawah pohon untuk beristirahat.
Tidak lama kemudian seorang musuh yang mengendap-endap mencari kesempatan untuk membunuh beliau secara diam-diam, telah mampu masuk ke kemah dan menemukan beliau tertidur nyenyak tidak dijaga. Lalu ia mengambil pedang beliau,  mencabutnya dan menduduki dada beliau. Nabi Muhammad s.a.w. terbangun dengan kaget karena orang itu duduk dan menaruh pedang di dada beliau dan berkata: “Siapa yang mampu menyelamatkanmu.” Dengan lembut beliau bergumam dan terdengarlah sebuah kata: ”Allah.”
Lalu dengan tiba-tiba beliau berkelit dan berdiri serta menelikung pembunuhnya, dan merebut kembali pedangnya. Keadaannya sekarang menjadi terbalik: ‘Siapa yang mampu menyelamatkanmu’ tanya beliau: ‘Tak seorang pun!’ kata orang yang ketakutan itu. “Mengapa kamu tidak menyebut Allah?” tanya beliau ketika melepaskan ringkusannya terhadap orang itu.
Kepada para Sahabat yang telah berkumpul di sekelilingnya, beliau menjelaskan apa yang telah terjadi, dan beliau pun bertanya kepada si calon pembunuh itu: ”Apakah kamu bersedia bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Utusan-Nya.” Orang itu berkata bahwa ia tidak bisa melakukannya, namun ia berjanji bahwa ia tidak akan pernah lagi melawan beliau.
Beliau membiarkan orang itu pergi. Peristiwa itu merupakan kesaksian yang melintas di dalam pikiran Nabi Muhammad s.a.w di saat-saat kritis ketika beliau menghadapi bahaya yang luar-biasa, yaitu penyerahan diri yang seutuhnya kepada Allah SWT.
Para pembaca diingatkan kembali akan peristiwa ketika beliau melarikan diri dari Mekah dan peristiwa ketika orang-orang Quraisy berhasil menemukan jejak beliau di depan sebuah gua dimana pada saat itu Nabi Muhammad s.a.w. dan Sayidina Abu Bakar r.a. bersembunyi, lalu Sayidina Abu Bakar r.a. berpikir bahwa jika mereka ditemukan maka beliau akan menghadapi bahaya yang amat serius, namun beliau justru meyakinkan Sayidina Abu Bakar r.a. sbb: “Jangan takut. Kita bukan cuma dua orang, namun bertiga karena Allah SWT ada bersama kita.”
Pada hari-hari awal di Madinah, pada suatu malam terjadi panggilan mendadak, dan semua ummat Muslim berkumpul di Mesjid sebagaimana telah diberitahukan sebelumnya. Ketika mereka masih menunggu Nabi Muhammad s.a.w, lalu terlihatlah beliau mendatangi dari jauh dengan menunggang kuda-pony dan pulang kembali dari sebuah dataran. Beliau meyakinkan mereka bahwa beliau telah pergi keluar untuk memeriksa keadaan di sekeliling kota itu, dan karena tidak ditemukan tanda-tanda adanya musuh maka mereka bisa kembali tidur lagi. Beliau telah membuktikan dirinya sebagai orang yang selalu bersikap paling waspada. 
Di awal perang Hunain ketika pasukan Muslim menjadi kebingungan sendiri dan Nabi Muhammad s.a.w. hanya dijaga oleh selusin atau lebih orang-orangnya, beliau meminta pamannya Sayidina Abbas r.a. untuk memanggil ummat Muslim agar segera memperbaiki formasi tempurnya dan dengan mengabaikan upaya Sayidina Abu Bakar r.a. yang mencoba menahannya, beliau maju dengan menunggang keledainya ke arah musuh dan berseru: “Sesungguhnya aku adalah Nabi Allah, dan aku bukan penipu; aku cucu Abdul Muṭalib.”
Wa mā arsalnāka illā raḥmatal lil ‘ālamīn. ”Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.”  (al-An’biyā: 108)
Belas kasih beliau mencakup semuanya, tanpa batas dan tanpa diskriminasi, binatang dan burung-burung pun tidak dikecualikan
Qul lau antum tamlikūna khazā’ina raḥmati rabbi iżal la’amsaktum khasyyatal-infāq, wa kānal-insānu qatūrā. ”Katakanlah, “Seandainya kamu memiliki khazanah-khazanah rahmat Tuhan-ku, niscaya kamu akan menahan karena takut membelanjakan-nya. Dan manusia itu sangat kikir.” (al-Isrā - Bani Israel: 101)
Beliau harus bersikap tegas ketika menghadapi pelanggaran dan pengkhianatan namun itu juga merupakan perwujudan rasa belas kasih sebagaimana seekor serigala harus dibunuh untuk menyelamatkan domba. Hal utama yang menjadi inspirasi beliau hanyalah kewajibannya kepada Allah SWT. Kemurahan hatinya bagi umat manusia hanyalah satu unsur dari keseluruhan tugas yang telah dibebankan oleh-Nya. Tidak ada pertimbangan apa pun yang dilakukan pada pelaksanaan tugas tersebut.
Ketika orang-orang Mekah mengancam paman beliau Abu Ṭalib untuk memilih antara lekat dengan Nabi Suci Muhammad s.a.w. atau melepas jabatan kepala suku, maka Abu Ṭalib menyerahkan hal itu kepada beliau. Lalu beliau memberi tahu pamannya bahwa ia boleh melepas perlindungannya, dan beliau tetap meneruskan perntah Allah sampai di akhir hayatnya. Beliau tidak akan mundur, walau orang-orang Mekah menaruh matahari di tangan kanannya dan bulan di tangan kirinya.
Pendirian yang dipertahankan oleh beliau tidak akan menyimpang sampai akhir zaman sekali pun. Allah selalu didahulukan oleh beliau. Begitu besar perhatian beliau sehingga musuh-musuhnya di Mekah pun berkata: ”Muhammad telah teracuni dengan kecintaan terhadap Tuhan-nya.”
Atas berkat dan hikmah kebijaksanaan Allah SWT telah memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w. guna menanggung beban tanggung jawab dalam menyampaikan kabar-suka kepada ummat manusia dan memimpin mereka kembali kepada-Nya. Musuh-musuhnya tidak percaya kepada misi atau apa-apa yang diumumkan sebagai wahyu yang telah diterima dari Allah SWT, sehingga Allah pun memberi tantangan kepada mereka, dan mereka tidak berani menjawab tantangan tersebur.
Beliau diperintah untuk mengumumkan:
Qul lau syā ‘allāhu mā talautuhū ‘alaikum wa lā adrākum bih, fa qad labiṡtu fīkum ‘umuram-min qablih, a fa lā ta’qilūn. ”Katakanlah, “Jika Allah menghendaki tentu tidak kubacakan ini kepadamu dan tidak pula Dia memberitahukannya kepadamu tentang itu. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu dalam masa yang panjang sebelum ini; tidakkah kamu menggunakan akal?” (Yūnus: 17)
Allah SWT senantiasa menjaga kesucian dan kesalehan hidup Nabi Muhammad s.a.w., dan mereka yang menentang dengan sengitnya telah memperhatikan dari dekat dan membuktikan sendiri bahwa beliau benar-benar tidak mampu mengucapkan kata-kata bohong terhadap Allah SWT. Menghadapi tantangan yang jujur tersebut, tak satu orang pun dari mereka yang berani menyatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersalah karena mengucapkan kata-kata atau melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak benar, beliau adalah orang yang sepenuhnya muttaqi.
Contoh kehidupan yang beliau jalani dan yang ditunjukkan secara langsung di depan mata mereka sampai tiba saatnya Wahyu Allah turun kepada beliau adalah sebuah jaminan tentang kebenaran da’waan beliau. Namun, untuk selamanya beliau harus menegaskan bahwa beliau juga manusia biasa seperti orang lainnya, kalau tidak, dengan melihat keselamatan yang beliau nikmati di tengah-tengah serangan beragam bahaya, dan melihat keberhasilan yang beliau raih atas segala tindak aniaya dan kekalahan, dan puncak kemenangan perjalanan beliau yang disaksikan oleh seluruh Arabia; maka sebagian orang mungkin ingin belajar dari beliau tentang kemampuan dan kekuatan supra-natural dari seorang manusia-super.    
Beliau diperintah Allah SWT untuk mengumumkan:
... innamā ana basyarum miṡlukum yūḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhuw wāḥid, fa man kāna yarjū liqā’a rabbihī fal ya’mal ‘amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi ‘ibādati rabbihī aḥadā. ”Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, tetapi telah diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan-mu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barangsiapa mengharap akan bertemu dengan Tuhan-nya hendaklah ia beramal saleh dan janganlah ia mempersekutukan siapa pun dalam beribadah kepada Tuhan-nya.” (al-Kahf: 111)
Ketika ditantang oleh orang-orang yang menentangnya agar beliau mendatangkan tanda seperti air yang memancar dari bumi, atau merobohkan langit lalu menjatuhkannya sampai berkeping-keping, dan membawa kitab yang diturunkan dari langit dalam bahasa mereka, maka beliau disuruh menjawab:
Wa qālū lan nu’mina laka ḥattā tafjura lanā minal-arḍi yambū’ā, au takūna laka jannatum min nakhīliw wa ‘inabin fa tufajjiral-anhāra khilālahā tafjīrā, au tusqitas-samā’a kamā za’amta ‘alainā kisafan au ta’tiya billāhi wal-malā’ikati qabilā, au yakūna laka baitum min zukhrufin au tarqā fis-samā’, wa lan nu’mina li ruqiyyika ḥattā tunazzila ‘alainā kitāban naqra’uh, qul subḥāna rabbī hal kuntu illā basyarar rasūlā. ”Dan mereka berkata, “Sekali-kali kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kamu pancarkan untuk kami dari bumi mata air;” “Atau kamu mempunyai kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai yang berlimpah di tengahnya,”  “Atau kamu jatuhkan langit sebagaimana kamu da’wakan atas kami berkeping-keping, atau kamu datangkan Allah dan para malaikat berhadap-hadapan dengan kami,” “Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas atau kamu naik ke langit. Dan sekali-kali kami tidak akan percaya kenaikan kamu ke langit hingga kamu turunkan kepada kami sebuah kitab yang dapat kami membacanya.“ Katakanlah, “Maha Suci Tuhan-ku, aku tidak lain melainkan seorang manusia, sebagai seorang rasul”.” (al-Isrā – Bani Israel: 91-94)
Menjadi penting untuk menegaskan hal ini, baik dalam sudut pandang tentang apa yang terjadi pada kasus nabi-nabi terdahulu yang dimuliakan sebagai tuhan oleh para pengikutnya, dan juga untuk alasan yang amat sederhana bahwa hanya manusia yang dapat menjadi contoh keteladanan bagi umat manusia. Malaikat atau tuhan tidak bisa dijadikan contoh yang bisa diikuti manusia. Dimensinya sangat jauh berbeda.
Adalah suatu pembalikan yang aneh bahwa seorang penentang nabi selalu mencari pembenaran penolakannya atas dasar bahwa nabi hanyalah manusia biasa dan hanya seorang individu dari kalangan mereka.
Fa qālū a basyaram minnā wāḥidan nattabi’uhū innā iżal lafī ḍalāliw wa su’ur. ”Maka mereka berkata, “Apakah seorang manusia dari antara kami, harus kami mengikutinya? Jika demikian, sesungguhnya kami berada dalam kesesatan, dan mengidap penyakit gila.” (al-Qamar: 25)
Namun, sebagaimana Alquran menyatakan, hanya manusia yang dapat menjadi Utusan Allah bagi ummat manusia. Tapi andaikan rakyatnya terdiri dari malaikat-malaikat, maka satu malaikat akan dikirim sebagai nabi di bumi.
Wa mā mana’an-nāsa ay yuminū iż jā’ahumul-hudā illā an qālū a ba’aṡallāhu basyarar rasūlā. Qul lau kāna fil arḍi malā’ikatuy yamsyūna muṭma’innīna lanazzalnā ‘alaihim minas-samā’i malakar rasūlā. ”Dan tiada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman ketika datang kepada mereka petunjuk, kecuali mereka berkata, “Apakah Allah telah mengutus seorang manusia sebagai rasul?” Katakanlah, “Sekiranya di bumi ini ada malaikat yang berjalan-jalan dengan aman tenteram, niscaya Kami turunkan kepada mereka dari langit seorang malaikat sebagai rasul.” (al-Isrā - Bani Israel: 95-96)
Nabi Muhammad s.a.w. menolak setiap kekuatan atau kemampuan supra-natural, sebagaimana telah ditegaskan berkali-kali di dalam Alquran. Contoh, beliau diperintahkan untuk menyatakan tidak memiliki pengetahuan tentang yang-gaib, dan hanya terbatas kepada apa pun yang diturunkan oleh Allah SWT kepada beliau.
..... ya’lamu mā baina aidīhim wa mā khalfahum, wa lā yuḥīṭũna bi syai’im min ‘ilmihī illā bimā syā’. ”Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka; dan mereka tidak meliputi barang sesuatu dari ilmu-Nya kecuali apa yang Dia kehendaki.” (al-Baqarah: 256)
Illā manirtaḍa mir rasūlin fa innahū yasluku mim baini yadaihi wa min khalfihī raṣada, li ya’lama an qad ablagū risālāti rabbihim wa aḥāṭa bimā ladaihim wa aḥṣa kulla syai’in ‘adadā. ”Dia-lah Yang mengetahui yang gaib; maka Dia tidak menzahirkan rahasia gaib-Nya kepada siapa pun, Kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di hadapannya dan di belakangnya.” (al-Jin: 28-29)
.... wa lau kuntu a’lamul-gaiba lastakṡartu minal-khairi wa mā massaniyas-sū. ”Dan sekiranya aku mengetahui hal gaib, niscaya aku telah meraih banyak kebaikan, dan keburukkan tidak akan menjamahku.” (al-A’rāf: 189)
Adalah benar bahwa Nabi Muhammad s.a.w. beriman sepenuhnya terhadap janji Allah yang akan menolong beliau dan mencapai puncak kemenangan di jalan Allah, tapi beliau memberi contoh keteladanan yang jelas bahwa beriman terhadap Allah dan janji-Nya harus diikuti dengan upaya yang amat keras untuk mencapai maksud dan tujuan yang telah ditunjukkan Sendiri oleh Allah SWT. Contohnya, beliau dijamin oleh perlindungan Allah terhadap musuh-musuhnya.
... wallāhu ya’ṣimuka minan-nās, innallāha lā yahdil-qaumal-kāfirīn. ”Dan, Allah akan melindungimu dari manusia.” (al-Mā’idah: 68)
kembalinya beliau ke Mekah dengan kemenangan.
Innal-lażī faraḍa ‘alaikal-Qur’āna larādduka ilā ma’ād. ”Sesungguhnya Dia yang telah mewajibkan Alquran atasmu, pasti akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (al-Qaṣaṣ: 86)
Puncak keberhasilan dan kemenangan di jalan-Nya.
Katabalallāhu la’aglibanna ana wa rusulī, innallāha qawiyyun ‘azīz, ….............. ulā’ika kataba fī qulūbihimul-īmāna wa ayyadahum bi rūḥim minh, wa yudkhiluhum jannātin tajrī min taḥtihal-anhāru khālidīna fīhā, raḍiyallāhu ‘anhum wa raḍū’anh, ulā’ika ḥizbullāh, alā inna ḥizballāhi humul mufliḥūn. ”Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti akan menang.” Sesungguhnya, Allah itu Maha Kuat, Maha Perkasa. ............................. Mereka itulah orang-orang yang di dalam hati mereka Dia telah menanamkan iman dan Dia telah meneguhkan mereka dengan ilham dari Dia sendiri. Dan Dia akan memasukkan mereka ke dalam kebun-kebun yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka akan menetap di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya. Itulah golongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah, mereka itulah orang-orang yang menang.” (al-Mujādalah: 22-23)
Namun kewaspadaan beliau tidak pernah kendur sesaat pun, atau upaya beliau mengendur dalam melaksanakan kewajiban secara tuntas, dan beliau menasihati para pengikutnya untuk melakukan hal yang sama.
Wa lā tahinū wa lā taḥzanū wa antumul a’launa in kuntum mu’minīn.......... Ya ayyuhal-lażina āmanuṣbirũ wa ṣābirũ wa rābiṭũ, wattaqullāha la’allakum tufliḥũn. ”Dan janganlah kamu lesu dan jangan pula bersedih dan kamu pasti unggul, jika kamu orang-orang mu’min. Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan tingkatkanlah kesabaran dan berjaga-jagalah di perbatasan serta bertakwalah kepada Allah supaya kamu memperoleh keberhasilan.” (āli ’Imrān: 140, 201)
Beliau tidak saja bermurah hati dan penuh kasih sayang terhadap mereka yang datang kepadanya, mendoakan mereka dan menasihati mereka secara teratur agar hidup mereka dapat disesuaikan dengan perintah dan petunjuk Allah, namun di samping itu beliau juga berupaya keras mengajar mereka dalam setiap aspek kehidupan, sehingga mampu menyiapkan dan melengkapi mereka atas tanggungjawab yang dibebankan kepada mereka dan menerima yang lebih berat lagi yang segera akan dibebankan di pundak mereka.
Yā ayyuhal-lażīna āmanū in tuṭī’ullażīna kafarū yaruddūkum ‘alā a’qābikum fa tanqalibū khāsirīn. ”Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang ingkar, niscaya mereka akan membalikkan kamu atas tumit-tumitmu, maka kamu akan kembali menjadi orang-orang yang rugi.” (āli ’Imrān: 150)
Beliau telah diperintah agar menasihati para pengikutnya untuk berdoa walau sedang berada dalam penyiksaan oleh mereka yang tidak mengindahkan peringatan Allah SWT, dan melupakan serta memaafkan perbuatan mereka yang melewati batas.
Qul lil-lażīna āmanũ yagfiru lil-lażīna lā yarjūna ayyāmallāhi li yajziya qau mam bimā kānū yaksibūn. ”Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, supaya mereka memaafkan orang-orang yang tidak takut kepada Hari-hari Allah supaya Dia akan membalas suatu kaum menurut apa yang telah mereka usahakan.” (al-Jātsiyah: 15)
Beliau berbelas hati pada ummat manusia. Allah SWT menurunkan wahyu kepadanya, dan beliau benar-benar membuktikan dengan menjalankan sendiri segala perintah dengan sempurna. Sangat memilukan bagi beliau jika melihat orang-orangnya bersusah hati, dan beliau sangat bersemangat dalam keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, tulus dan iba hati selamanya, dan selalu cemas karena ingin mengoleskan balsem pada rohani mereka yang terluka dan begitu kacau.
Laqad jā’akum rasūlum min anfusikum ‘azīzun ‘alaihi mā ‘anittum ḥarīṣun ‘alaikum bil-mu’minīna ra’ūfur raḥīm. ”Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari antaramu; berat terasa olehnya apa yang menyusahkan kamu, ia sangat mengharapkan kesejahteraan bagimu dan terhadap orang-orang mu’min ia sangat berbelas kasih, penyayang.”  (at-Taubah: 128)
Ketika penyiksaan oleh pihak Quraisy sudah tidak tertanggungkan lagi di Mekah, Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan para pengikutnya yang mampu hijrah dan menyeberangi Laut Merah untuk mencari perlindungan dan kedamaian di wilayah Kaisar Abesinia.
Belakangan, ketika kehidupan di Mekah sudah tidak memungkinkan lagi bagi beliau dan pengikutnya, maka Hijrah ke Madinah pun telah diputuskan, namun beliau sendiri tetap tinggal di Mekah sampai semua orang yang mungkin dapat dijadikan sasaran kekesalan penduduk Mekah dan mampu melakukan Hijrah telah pergi meninggalkan kota Mekah.
Dari semua laki-laki dewasa-bebas hanya ada tiga orang yang tertinggal yaitu Sayidina Abu Bakar r.a.,  Sayidina Ali r.a. dan beliau sendiri. Sayidina Abu Bakar r.a. menemani beliau, dan Sayidina Ali r.a. yang ditugaskan untuk mengembalikan uang dan barang-barang berharga kepada beberapa orang penduduk Mekah yang mempercayakan uang mereka kepada beliau, akan menyusul berangkat belakangan.
Nabi Muhammad s.a.w. selalu mudah mendapat kepercayaan dari setiap orang. Semuanya bebas berhubungan dengan beliau. Sekelompok kecil ummat Muslim yang tidak punya rumah atau pun harta, dan menjalani kehidupan sederhana selama siang hari dan meluangkan sebagian besar waktu mereka dengan beliau di mesjid, dan menghabiskan malam harinya di sebuah mimbar di pelataran mesjid.
Mereka dikenal dengan sebutan Sahabat Mimbar. Beliau sangat kasih terhadap mereka, dan pada setiap paginya setelah ṣalat Subuh, beliau duduk-duduk di antara mereka dan menyantap sarapan yang sederhana. Beliau sering mengundang mereka untuk berbagi makanan lainnya.
Seorang miskin yang dibebaskan bernama Zahir, mencari nafkah dengan mengolah sebidang tanah di luar kota Mekah yang dan menjual hasil kebun. Pada dua atau tiga kali seminggu ia membawa hasil kebun yang jumlahnya sedikit ke Madinah dan ia membuka warung di udara terbuka. Ia mengambil sebagian hasil kebunnya dan dihadiahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan beliau pun mengembalikan dengan barang-barang yang bisa dibeli di kota yang mungkin berguna atau diperlukan oleh Zahir. Beliau biasa bersabda: ”Zahir adalah desa kita, dan kita adalah kota baginya.”
Pada suatu kesempatan dan terjadi di siang hari yang panas membakar, Nabi Muhammad s.a.w. lewat di dekat warung Zahir ketika ia sedang menjajakan hasil kebunnya. Ia terpanggang teriknya sinar matahari, dan tubuhnya penuh keringat. Beliau datang dari belakang secara diam-diam, lalu meletakkan tangannya di kedua sisi wajahnya sehingga matanya tertutup tangan, seperti anak-anak ketika bermain.
Zahir meraba matanya, dan dari kelembutan tangan yang sedang menutup matanya ia langsung tahu, bahwa isyarat yang akrab dan penuh kasih itu sudah pasti hanya berasal dari beliau. Mengambil kesempatan dari keadaan itu, ia menjulurkan tangannya kebelakang dan memiting beliau, lalu ia menarik tubuhnya agar menjadi lebih dekat dan mulai menutupkan badannya yang penuh keringat itu kepada beliau. Nabi Muhammad s.a.w. terbahak dan segera melepaskan tangannya dari mata Zahir. Begitulah salah satu cara beliau dalam menyenangkan seseorang yang mungkin menganggap dirinya kesepian, tidak punya teman, dan lelah bekerja.
Adalah karena sifat manusianya yang tidak berubah dan penuh kesederhanaan maka beliau memperoleh karunia Allah dalam memiliki akhlak yang paling agung.
Wa innaka la’alã khuluqin ‘aẓīm. ”Dan sesungguhnya, kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung.” (al-Qalam: 5)
Dan berkat Allah, telah dikaruniakan kepada beliau secara berlimpah-limpah.
Illā rahmatam-mir rabbik, inna faḍlahũ kāna ‘alaika kabīrā. ”Kecuali ada rahmat dari Tuhan-mu. Sesungguhnya karunia-Nya kepadamu sangat besar.” (al-Isrā – Bani Israel: 88)
Kerinduan tertinggi dari ruh manusia adalah memenangkan cinta Allah dengan melalui pengabdian dan kecintaan kepada-Nya. Alquran menunjukkan jalan singkat untuk memuaskan kerinduan itu. Nabi Muhammad s.a.w. diperintah agar menyatakan:
Qul in kuntum tuḥibbūnallāha fattabi-‘ūnī yuḥbibkumullāhu wa yagfir lakum żunū bakum, wallāhu gafūrur rahīm. ”Katakanlah, “Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, kemudian Allah akan mencintaimu dan akan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (āli-’Imrān: 32)
Ketika Sayidah Aisyah r.a. berkata bahwa watak Nabi Muhammad s.a.w. adalah Alquran, yang dimaksud adalah beliau digambarkan dalam derajat pribadi yang paling sempurna yang keagungannya telah diajarkan Alquran. Hal itu disebabkan karena beliau telah menjadi contoh keteladanan sempurna dan gambaran hidup dari suatu keagungan tertinggi yang dapat dicapai manusia, dan Allah bersaksi:
Laqad kāna lakum fī rasūlillāhi uswatun ḥasanatul liman kāna yarjullāha wal yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā. ”Sesungguhnya kamu dapati dalam diri Rasulullah, suri tauladan yang sebaik-baiknya bagi orang yang mengharapkan bertemu dengan Allah dan Hari Kemudian dan yang banyak mengingat Allah.” (al-Aḥzāb: 22)
Ringkasnya, seluruh kehidupan Nabi Muhammadi s.a.w.dalam setiap pemikirannya, dalam setiap geraknya, dalam setiap perbuatannya, dan pribadinya sendiri – telah diabdikan hanya kepada Allah SWT dalam upaya beliau memperoleh perjumpaan yang lebih dekat dengan-Nya. Hal ini juga telah ditetapkan dengan kesaksian Allah SWT. Beliau diperintah Allah untuk bersabda:
Qul inna ṣalāti wa nusukī wa maḥyāya wa mamātī lillāhi rabbil ‘ālamīn, lā syarīkalah, wa bi żālika umirtu wa ana awwalul-muslimīn. ”Katakanlah, “Sesungguhnya ṣalatku dan pengorbananku dan kehidupanku serta kematianku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan untuk itulah aku diperintah dan akulah orang pertama yang menyerahkan diri.” (al-An’ām: 163-164)
Orang-orang Barat terkecuali sedikit orang-orang yang terhormat, selama +/- 14 abad mereka tetap konsisten mengabaikan segenap kebaikan dan kemuliaan yang paten terhadap kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. dan Islam, serta jika dihadapkan dengan contoh keteladanan dan ajaran-ajaran beliau, mereka berlindung di belakang alasan-alasan lemah dan tak bisa dipertahankan. Penentangan yang sangat disukai oleh mereka adalah ejekan bahwa Islam telah disebarkan dengan kekuatan pedang.
Oleh pedang siapa?
Nabi Muhammad s.a.w. hanya sendirian dalam melawan seluruh dunia. Selama 13 tahun masa kenabian di Mekah, beliau menghadapi fitnah dan tindak aniaya yang hebat serta provokasi yang paling menyakitkan, beliau dan sekelompok kecil pengikutnya memberi contoh tentang keteguhan hati (istiqamah), dan tetap patuh terhadap hukum yang berlaku, serta tidak melakukan kekerasan dalam melawan kekerasan.
Akhirnya, sebagian dari mereka hijrah ke Abesinia, dan bagian terbesarnya Hijrah ke Madinah, serta beliau menyusul belakangan. Lalu musuh-musuh di Mekah mengucilkan beliau sendirian, dan mengejek beliaurasain lu’. Dan mereka tidak membiarkan beliau berada dalam keadaan damai. Justru mereka terlebih dahulu menghunus pedang terhadap beliau dan para pengikutnya.
Setelah itu, atas perintah Allah SWT  yang disampaikan dalam istilah yang positif dan tegas melalui Alquran, beliau mulai mempersenjatai diri guna mempertahankan kebebasan berpendapat. Pihak Quraisy dengan gigih terus menerus memakai kekuatan untuk melawan ummat Muslim, dan ketakutan mereka akan jumlah besar tentara dan persenjataan yang berbagai macam milik pihak Quraisy justru membawa kehancuran bagi Quraisy sendiri, dan setelah Mekah jatuh hal yang sama terjadi juga terhadap suku-suku lain. Kenyataan yang ada telah berbicara dengan begitu fasih terhadap hal ini, sebagaimana yang terjadi pada lingkup yang lainnya.
Ketika menjalani masa kenabian di Mekah, selama itu juga Nabi Muhammad s.a.w. tidak pernah memakai pedang walau hanya untuk membela diri. Tidak ada pertanyaan dari siapa pun yang merasa dipaksa atau ditekan dengan berbagai cara untuk menerima ajaran beliau.
Sang istri Sayidah Khadijah r.a., kemenakan beliau Sayidina Ali r.a. yang masih kanak-kanak dan teman dekat beliau Sayidina Abu Bakar r.a. menerima tanpa ragu sedikit pun, dan akhirnya ketika diberitahukan tentang da’waan Kenabian beliau mereka menjawab langsung: ”Mulut beliau tidak mampu menggumamkan dusta.” Perlahan-lahan yang lain pun menyusul. Sayidina Uṡman r.a., Zubair r.a., Talha r.a., Mus’ab bin Umair r.a., Suhaib r.a., Bilal r.a., dan belakangan mengikuti Sayidina Umar r.a. dan Hamzah r.a., dan mereka semua memainkan peran penting masing-masing di awal sejarah Islam.
Apakah ada orang dari antara mereka yang dipaksa atau ditekan agar percaya pada kebenaran Nabi Muhammad s.a.w?
Jumlah orang-orang penting yang bergabung ke dalam pasukan Muslim di Mekah, tanpa memandang tindak aniaya yang begitu dahsyat, telah berkembang dengan mantap. Apakah di sana terdapat kecurigaan bahwa ada salah satu dari mereka yang dipaksa untuk menyatakan keimanannya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dengan tekanan dan paksaan?
Apakah delegasi Madinah yang terdiri dari 70 orang laki-laki dan 2 orang perempuan, yang bersumpah dan mengambil bai’at di tangan Nabi Muhammad s.a.w., dengan mengesampingkan peringatan Abbas paman beliau bahwa jika beliau memutuskan untuk Hijrah ke Madinah maka orang-orang Madinah tersebut wajib melindungi beliau dengan nyawa mereka sendiri, menjadi tergerak hati untuk mengambil alih tanggungjawab yang menakutkan terhadap segala akibat yang akan timbul tersebut, adalah akibat dari ketulusan iman mereka dan betapa dalammya pengabdian mereka?
Dengan bangga kami sampaikan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. tidak pernah menggunakan kekerasan di Mekah karena kekuatan beliau masih sangat kecil. Namun jika agama yang diajarkan beliau dapat menjadi kuat di Mekah di masa yang sedemikian sulit, apakah beliau perlu memakai kekerasan untuk menyebarkan Islam setelah Hijrah ke Madinah?
Bahkan sebelum beliau tiba di sana, Islam telah bertumbuh cepat di antara suku Aus dan Khazraj, dan yang diperlukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan ummat Muslim hanyalah membiarkan mereka melakukan kehidupan pribadi dan masyarakatnya sesuai ajaran agamanya. Namun mereka tidak dibiarkan damai oleh pihak musuh.
Apakah beliau yang memimpin 300 orang pasukan sederhana, setengah kelaparan, dengan senjata dan perlengkapan yang amat lemah, harus melawan 1.000 pasukan terlatih Quraisy, yang cukup makan, cukup persediaan, bersenjata canggih dan memakai alat transportasi yang cukup dan baik di perang Badar, dilakukan hanya untuk keperluan merubah Quraisy menjadi Islam dengan kekuatan pedang? 
Di mata orang duniawi, pekerjaan Nabi Muhammad s.a.w. hanyalah perjalanan bunuh diri. Beliau dipaksa berperang untuk membela diri dalam mempertahankan kebebasan berpendapat, dan beriman sepenuhnya terhadap dukungan Allah.
Dari 70 orang Quraisy tawanan perang Badar, apakah ada satu orang saja yang dipaksa masuk Islam dengan ancaman pedang?
Satu tahun kemudian di Uhud, apakah 750 tentara Muslim yang melawan 3.000 tentara Quraisy, bermaksud memaksa mereka memeluk Islam dengan pedang?
Dua tahun kemudian, apakah 20.000 tentara Konfederasi yang mengepung Madinah, telah dipaksa memeluk Islam oleh beliau dengan ancaman pedang?
Selanjutnya di Hudaibiyyah, apakah beliau yang ingin membuat perjanjian gencatan senjata dengan Quraisy dan mengakhiri pertempuran, atau apakah pihak Quraisy yang ingin mengakhiri pemakaian pedang?
Nabi Muhammad s.a.w. begitu tulusnya mengusahakan perdamaian antara pihak beliau dengan pihak Quraisy dan menjamin pelaksanaannya dengan benar, beliau menerima setiap syarat baik yang wajar atau pun yang tidak wajar yang diusulkan pihak Quraisy yang sifatnya sedemikian rupa sehingga ummat Muslim pun merasa bahwa syarat-syarat perjanjian itu sangat menghina mereka.
Benar atau tidak, bahwa pada kenyataannya ketika peperangan antara pihak Quraisy dan ummat Muslim berakhir, Islam bertumbuh dengan cepatnya ketimbang selama tahun-tahun perang dengan mereka?
Di Hudaibiyyah, beliau didukung oleh 1.500 orang ummat Muslim; dan dalam waktu kurang dari dua tahun ketika perjanjian gencatan senjata telah dilanggar dengan sengaja oleh pihak Quraisy, beliau telah dipaksa untuk berangkat ke Mekah dengan didukung oleh 10.000 orang tentara Muslim yang setia, tapi justru di Mekkah itulah beliau sama-sekali tidak menggunakan senjata.
Lalu apa maksudnya dan atas dasar apa orang-orang Barat selalu menuduh Nabi Muhammad s.a.w. menyebar agama Islam dengan todongan pedang yang terhunus?
Sir Thomas W. Arnold, pakar-kesusasteraan-timur yang terkenal dan amat terhormat, dan pernah menjabat Professor Arab di Universitas London, membuat penelitian seksama terhadap pertanyaan ini, dan hasilnya yang amat luar-biasa ditulis dalam buku Agama Islam, yang terbit pertama kalinya tahun 1896, dan menyampaikan tanpa keraguan bahwa pedang sama-sekali tidak berperan dalam penyebaran agama Islam.
De L. O’Leary telah menulis (Islam at the Crossroads, hal 8):
’Namun sejarah membuktikan, bahwa legenda tentang Muslim fanatik yang menyisir dunia dan memaksa agama Islam dengan ujung pedang untuk menaklukkan bangsa-bangsa, adalah salah satu mitos yang paling palsu tapi selalu diulang-ulang oleh ahli sejarah (Barat).’
Hampir dua abad ummat Muslim menyarungkan pedangnya. Banyak negara-negara Muslim, satu per satu, jatuh ke dalam kekuasaan dominasi Kristen kolonial, tapi mampu mendirikan kembali kemerdekaannya selama 30 tahun terakhir. Di zaman itu kekuatan politik dipegang oleh negara-negara Barat dan para misionaris Kristen menyebar ke seluruh bagian dunia termasuk ke wilayah-wilayah Muslim, dan sumberdaya mereka tidak terbatas dalam mendukung tujuan mereka untuk menyebarkan agama Kristen dan mengungguli dunia.
Lalu, bagaimana hasilnya?
Saat ini Islam dan ummat Muslim telah mencapai posisi yang lebih kuat dibanding 150 tahun yang lalu. Di beberapa negara Afrika pada 50 tahun terakhir Islam telah memperoleh kemenangan terhadap Kristen dengan begitu mantap.
Di manakah pedangnya sehingga saat ini Islam mampu meluluhkan hati orang-orang yang jumlahnya semakin bertambah banyak di mana-mana?
Bahkan di negara-negara Barat sekelompok masyarakat kecil Muslim yang murni telah berhasil didirikan dan mampu memelihara akhlak dan nilai-nilai rohani jika dibandingkan dengan nilai-nilai duniawi yang telah mendominasi Barat. Jumlah mereka selalu bertambah.
Beberapa kritikan Barat begitu bersemangatnya dalam membuat pribadi beliau seolah-olah penuh dengan hal-hal yang tidak wajar. Mereka mengakui bahwa sampai beliau Hijrah dari Mekah ke Madinah, kehidupan beliau merupakan suatu model yang baik, suci, lembut, penuh kasih, penuh simpati pada kemanusiaan dan ringkasnya semuanya baik dan mulia, tapi setelah beliau mendapat kekuatan di Madinah maka semua sifat-sifat yang sempurna tadi mulai dirusak oleh kekejian, dendam, serakah pada hasratnya, dan berubah menjadi bejad. (Naużu billāhi min żalik).
Setiap orang bijak yang melakukan penelitian sifat-sifat manusia walau pun secara kasar, akan marah dan menolak karikatur tersebut sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Apa yang dilupakan oleh kritikan tersebut adalah, sekali Nabi Muhammad s.a.w. diterima di Madinah sebagai Kepala Pemerintahan sekaligus Hakim Ketua Pengadilan, maka lingkup tanggung jawab beliau menjadi luas sekali, dan banyak orang yang mencari keadilan di Madinah telah menyatakan bahwa ciri-ciri pelaksanaannya jauh lebih baik daripada sewaktu beliau masih berada di Mekah. Ciri-ciri beliau yang positif dan murah-hati tersebut, sama-sekali tidak terpengaruh.
Contoh-contoh luar-biasa dari keadaan-keadaan yang baik, terus berdatangan. Watak beliau semasa hidup di Madinah menjadi bertambah cemerlang daripada sewaktu masih berada di Mekah, karena selama beliau hidup di Mekah ciri-ciri beliau tidak diberi kesempatan untuk berperan. 
Contohnya, kasus memberi ampunan. Selama 13 tahun masa kenabian di Mekah, beliau senantiasa difitnah, diperlakukan buruk, dan dianiaya dengan amat kejam, tapi beliau menerima semuanya dengan sabar dan tetap berteguh hati. Namun tidak bisa dikatakan bahwa beliau memberi ampunan lalu akan membalas dendam. Beliau tidak punya peluang untuk memberi ampunan. Karena memberi ampunan berarti bahwa orang yang menderita sebagai akibat dari tindak aniaya pihak lain harus memiliki kekuatan untuk membalas dendam dengan perhitungan yang tepat sekaligus harus memiliki sifat sabar dan sifat pemaaf.
Di Mekah, Nabi Muhammad s.a.w. tidak memiliki kekuatan itu. Oleh karenanya, jika beliau tidak memiliki kekuatan maka hal itu hanya menjadi spekulasi akademis belaka karena orang yang memiliki ciri-ciri kemurahan hati akan diuji, dan akan diuji juga di tingkat yang tertinggi, yaitu ketika beliau sudah mencapai suatu keadaan untuk bisa membalas dendam terhadap tindak aniaya yang dibuat pihak lain kepada beliau.
Namun khusus untuk kasus beliau, terdapat beberapa contoh pelaksanaan atas sifat pemberian ampunan pada tingkat yang paling tinggi, dan pada skala yang lebih luas lagi adalah ketika beliau berada pada puncak kemenangan, dimana hal itu tidak ada bandingannya dalam sejarah ummat manusia.
Pada hari jatuhnya kota Mekah, beliau memberi ampunan kepada semua orang yang di zaman lalu telah menganiaya beliau dengan cara yang begitu buruk, terlebih lagi setelah selesainya perang Hunain, beliau memberi anugerah hadiah dari kemurahan hati beliau terhadap mereka yang pada seminggu yang lalu masih menjadi musuh bebuyutan dan tidak bisa didamaikan.
Di Madinah, beliau bertanggung jawab atas ketertiban umum dan keamanan seluruh penduduk kota, baik yang Muslim mau pun yang non-Muslim. Beliau diharuskan menghukum bagi yang berbuat tindak pidana, namun hukumannya selalu dicampuri rasa belas-kasih beliau. Sayangnya, ketika beliau harus menjamin keamanan kota Madinah, kadang-kadang beliau menghadapi kasus-kasus luar-biasa yaitu kasus pengkhianatan. Beliau diharuskan bertindak tegas dan kadang-kadang keras, namun itu adalah sebuah tugas yang sejujurnya tidak bisa dihindari.
Kritikan telah mengutip tindakan beliau terhadap kaum Yahudi Bani Quraiżah sebagai suatu contoh yang amat kejam. Mungkin bisa kita perhatikan ketika Stanley Lane-Poole mengakhiri kisah tsb:
”Ia berkata bahwa contoh yang amat mengerikan telah dilakukan pada suku itu (Bani Quraiżah, Yahudi), tapi bukan oleh Muhammad sendiri melainkan oleh seorang hakim yang ditunjuk oleh suku itu sendiri. Ketika pihak Quraisy dan para sekutunya mengepung kota Madinah dan pada malam harinya menghujani anak panah kepada pihak yang bertahan, suku Yahudi ini membuat suatu permufakatan dengan musuhnya yang hanya bisa diamankan dengan diplomasi Muhammad. Ketika pengepungan telah berakhir, dengan sendirinya Muhammad ingin mendapat penjelasan dari suku Yahudi tersebut.
Mereka tetap bertahan dengan keras tapi mereka dikepung serta didesak untuk menyerah dan diusir pergi. Namun Muhammad menginginkan penunjukkan seorang kepala suku yang menjadi sekutu kaum Yahudi sebagai hakim, yang akan mengumumkan hukuman kepada mereka. Hukuman (sang hakim) sangat kasar dan berdarah-darah, namun harus diingat bahwa tindakan kriminal yang dilakukan suku itu adalah pengkhianatan tertinggi kepada negara, dan semua orang tidak perlu kaget pada eksekusi terhadap kaum yang telah berkhianat itu.” (Studies in a Mosque, hal. 68).
Dapat ditambahkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah menerima berbagai rekomendasi sehingga menimbulkan rasa belas-kasih pada diri beliau. Ada gugatan bahwa karena beliau terlebih dahulu menyetujui hukuman tsb, maka apa pun yang terjadi, tidak boleh ada rasa iba. Namun beliau menyatakan bahwa belas-kasih adalah hak prerogatif beliau, dan melakukannya tidak boleh ditolak. Contohnya, beliau tidak hanya menerima rekomendasi untuk mengampuni nyawa si terdakwa, namun akibat dari campur tangan yang lebih dalam lagi, beliau memerintahkan untuk membebaskan keluarga dan harta kekayaannya, namun yang bersangkutan justru menolak belas kasih beliau.
Frithjof Schuon menulis (Understanding Islam, hal. 89):
”Pencemaran lain yang sering dituduhkan kepada Muhammad adalah kekejian; namun agak keras untuk diterangkan di sini, dan hal itu hanya ditujukan kepada para pengkhianat dan bukan kepada musuh-musuh beliau, dari mana pun mereka berasal. Jika pun ada tindak kekerasan, maka hal itu merupakan kehendak Allah melalui Keadilan Ilahi yang bisa saja menolak atau pun menerimanya.
Menuduh Muhammad sebagai orang yang pendendam, akan mencakup bukan saja salah-sangka terhadap keadaan rohani beliau dan merusak fakta yang nyata, tapi juga menjadi tanda yang serupa dengan penghinaan bagi kebanyakan Nabi-nabi Yahudi dan kitab Bible sendiri ketika masih berada dalam tahap kekurangan di dalam tugas keduniaannya.
Pada waktu kota Mekah jatuh dan diambil alih, Rasulullah telah memperlihatkan kelembutan manusia-super dalam pertimbangan yang bulat dan tegas, dan justru berlawanan dengan kemenangan perang pasukannya sendiri.”
Professor Laura Veccia Vaglieri, pernah menjabat Professor Kebudayaan Arab dan Islam di Universitas Naples, menulis (An Interprettion of Islam, hal. 28):
”Melawan tuduhan kekejian, jawabannya mudah sekali. Muhammad, Kepala Negara, pelindung kehidupan dan kemerdekaan rakyatnya, di dalam melaksanakan peradilan telah menghukum secara keras pribadi-pribadi yang bersalah karena tindak pidana, dan perilaku mereka telah benar-benar dipertimbangkan sesuai kondisi yang berlaku di zaman itu, dan juga keadaan liar yang biadab dari masyarakatnya. Muhammad, selaku pengkhotbah agama Allah, adalah seorang yang lembut dan penuh belas-kasih walau terhadap musuhnya secara pribadi sekali pun. Di dalam diri beliau, tercampur rasa keadilan dan rasa belas-kasih, dua dari sifat paling mulia yang dapat dicapai oleh pikiran manusia. Tidak sulit untuk mendukung hal ini, dan banyak contoh yang dapat ditemukan di dalam biografi beliau.”
Fitnah lain yang selalu dituduhkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. bahwa dalam menjalani hidup di masa tua beliau berubah menjadi bejat. (Naużu billāhi min żalik)
Ini adalah perbuatan amat keji yang harus segera direnungkan secara mendalam untuk kemudian ditolak sebagai suatu hal yang benar-benar tidak-sesuai dengan watak dan gaya hidup beliau.
Marilah kita membahas pertanyaan tentang poligami secara umum, dan apakah memiliki banyak-istri dapat menghilangkan ketinggian suatu nilai rohani?
Di dalam lingkup ini harus diingat bahwa di dalam sistem keagamaan yang agung tak ada satu pun dari kitab-kitab agama yang melarang poligami. Segenap Nabi-nabi Yahudi, termasuk nabi teragung Nabi Musa a.s., ternyata memiliki istri lebih dari satu orang.
Tak seorang pun dapat memberi alasan tanpa bukti ini, bahwa karena memiliki banyak istri maka mereka tidak dapat dihitung sebagai orang yang menjalankan kehidupan yang saleh. Melalui sejarah ummat manusia telah dikenali bahwa dalam hal tertentu dan dalam keadaan tertentu, poligami bukan hanya dibolehkan namun sepenuhnya dapat dijalankan.
Nampaknya sudah dilupakan orang, bahwa kebejatan moral tidak terletak pada keadaan memiliki banyak istri, namun justru terletak pada watak hubungan di antara laki-laki dan perempuan walau bagi pasangan yang sudah menikah sekali pun, dan kebejatan moral terjadi ketika perzinahan dilakukan oleh pasangan yang berada di luar pernikahan yang sah.
Menurut sudut pandang akhlak dan kerohanian, tujuan pernikahan adalah melindungi kesucian farji. Tujuan pernikahan itulah yang membuat poligami diinginkan dan bahkan menjadi diperlukan di dalam kasus-kasus tertentu. Terdapat kemungkinan lain dari berbagai watak sosial dan terkadang politik, yang dapat membenarkan jalannya izin yang disahkan Islam atas hal itu.
Harus diperhatikan bahwa poligami bukan suatu kewajiban di dalam Islam, bahkan jauh dari itu. Poligami hanya diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, yang utamanya adalah harus dapat bertindak adil bagi semua istri-istrinya, dan dikatakan bahwa:
Fa in khiftum allā ta’dilū fa wāḥidatan au mā malakat aimānukum, żālika adnā allā ta’ūlū. ”Akan tetapi, jika kamu khawatir kamu tak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang perempuan saja.” (an-Nisā: 4)
Izin tersebut dapat saja disalah gunakan oleh orang yang akhlaknya rendah, namun hal itu tidak berarti bahwa izinnya sendiri tidak sah dan tidak bijaksana.
Sekarang, marilah kita membahas kasus tentang Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Sir William Muir menulis (Life of Mahomet, hal. 514):
”Di dalam kehidupan pribadinya, perilaku Muhammad adalah sebuah contoh keteladanan. Sebagai seorang suami maka kasih-sayang dan kesetiaannya adalah mutlak. Sebagai seorang ayah, beliau sangat sayang dan tulus hati. Di masa remajanya, beliau menjalani kehidupan yang saleh; dan pada umur 25 tahun beliau menikah dengan seorang janda berumur 40 tahun, dan selama 25 tahun beliau menjadi suami yang setia kepadanya.”
Professor Vaglieri menulis (An Interpretation of Islam, halaman. 67, 68):
”Musuh-musuh Islam dengan ngototnya menggambarkan Muhammad sebagai pribadi yang memiliki nafsu besar dan seorang laki-laki yang bejat, dan mereka mencoba untuk mencari bukti dalam pernikahannya sebuah watak lemah yang tidak konsisten dengan misinya. Naużu billāhi min żalik. Mereka menolak memasukkan fakta tentang keadaan yang berlaku umum di zaman itu, bahwa secara alamiah keinginan seksual merupakan keinginan yang terkuat, dan beliau hidup di lingkungan masyarakat orang-orang Arab dimana pada saat itu lembaga pernikahan hampir tidak ada, dan poligami menjadi ketentuan yang sudah lazim, dan ketika perceraian benar-benar dapat dilaksanakan dengan amat mudahnya beliau menikah hanya denan seorang perempuan yaitu Khadijah, yang umurnya jauh lebih tua, dan selama 25 tahun beliau menjadi suami tercinta dan setia.
Setelah Khadijah wafat dan ketika umur beliau lebih dari 50 tahun, beliau menikah lagi dengan lebih dari satu istri. Setiap pernikahan memiliki alasan sosial atau politiknya masing-masing, karena melalui istri-istrinya beliau ingin menghormati perempuan yang saleh, atau mendirikan hubungan pernikahan dengan suku-suku lainnya untuk tujuan membuka jalan bagi penyebaran Islam. Terkecuali khusus untuk Aisyah, beliau menikah dengan banyak perempuan-perempuan yang tidak perawan, tidak muda dan tidak cantik. Apakah ini yang disebut memiliki nafsu besar?”
Motif di belakang pernikahan-pernikahan itu telah sesuai dengan pertimbangan Nabi Muhammad s.a.w., dan atas perintah beliau telah digambarkan dengan baik oleh Abdul Rahman bin Auf r.a. yang juga ditunjuk untuk memimpin ekspedisi patroli ke Dumatul Jandal, dimana ia diberi perintah oleh beliau bahwa jika persetujuan dapat dicapai dengan suku itu maka ia harus menikah dengan putri kepala sukunya, dan perintah beliau dilaksanakan olehnya, serta dari pernikahan itu ia mempunyai anak yang kemudian terkenal sebagai ahli hukum Islam sebagaimana telah diterangkan dalam bab yang terdahulu. Beliau sama-sekali tidak memberi perintah kepada Abdul Rahman bin Auf r.a. untuk membawa putri kepala suku itu ke Madinah sehingga beliau dapat menikahinya.
Beliau  menikah dengan Sayidah Aisyah r.a. putri teman dekatnya yaitu Sayidina Abu Bakar r.a; lalu Sayidah Hafsyah r.a. putri Sayidina Umar r.a. yang telah menjadi janda dan ayahnya bersemangat untuk mengatur pernikahannya; lalu Sayidah Umi Salamah r.a. janda salah seorang Sahabat yang disayang oleh beliau dan meninggalkan beberapa orang anak-anak. Lalu Sayidah Umi Habibah r.a. yang menjanda sewaktu tinggal di Abesinia dan merupakan putri musuh beliau yang paling sengit yaitu Abu Sufyan; lalu Sayidah Zainab binti Jahsy r.a. kemenakan beliau yang telah menjanda karena dicerai oleh Zaid r.a. yaitu orang yang dibebaskan oleh beliau;  lalu Sayidah Sofiyah r.a. yang juga janda dan putri musuh yang tidak bisa dihindari yaitu Huyay bin Akhtab yang dieksekusi karena pengkhianatan setelah pengepungan kota Madinah;  lalu Sayidah Jawairiyyah r.a. seorang janda yang juga putri dari kepala suku yang kemudian memeluk Islam bersama semua anggotanya. Beliau juga menikahi seorang wanita keturunan Mesir Coptik bernama Sayidah Maryam r.a. yang dikirim langsung oleh Rajamuda Mesir yang beragama Kristen sebagai hadiah atas jasa baiknya dan beliau sudah masuk Islam.
Motif dari semua pernikahan itu telah jelas. Namun setiap orang tidak perlu menyesali Nabi Muhammad s.a.w. dalam hal memiliki banyak istri, atau dalam kaitannya dengan aspek lain kehidupan beliau. Pertanyaan yang terpenting dan terkait dengan kehidupan beliau adalah bagaimana sesungguhnya watak hubungan beliau dengan istri-istri beliau? 
Frithjof Schuon menulis (Understanding Islam, hal. 88, 89):
“Di dalam kehidupan beliau terdapat kemegahan ruh manusia-super; juga pernikahan-pernikahan beliau yang melalui itu jalan masuk yang mudah ke alam duniawi dan alam sosial menjadi tersedia -- kami tidak menyebutnya alam dunia dan alam kotor-- dan dengan nyata terjadilah suatu integrasi dari hidup manusia yang kolektif menjadi suatu realisme rohani sesuai pandangan sifat Nabi Allah. Di dalam kehidupan yang saleh, kita harus memperhatikan kecintaan pada kemiskinan, berpuasa dan senang berzikir; sebagian orang mungkin langsung menolak pernikahan yang seperti itu, khususnya poligami yang dianggap berlawanan dengan cara hidup orang suci, namun hal itu harus dilupakan, pertama, bahwa kehidupan pernikahan tidak langsung menghapus kemiskinan, zikir dan berpuasa, atau menganggap mudah dan dibolehkan, kedua, bahwa pernikahan Nabi memiliki suatu karakter rohani, karena semua mahluk dalam kehidupan ini benar-benar mengikuti penomena metapisik yang transparan. Ditinjau dari luar, pernikahan para Nabi kebanyakan memiliki aspek politis – yaitu suatu keadaan sakral yang berhubungan dengan mendirikan pantulan Kota Allah di dunia – dan akhirnya, Muhammad telah memberi banyak sekali contoh-contoh keteladanan tentang masa pematangan yang amat panjang, khususnya pada masa remaja ketika hawa nafsu dianggap mulai mencapai puncak kekuatannya, tapi harus dikecualikan dari penilaian palsu terhadap perkara ini.”
Terkecuali pernikahan beliau dengan Sayidah Saodah r.a., perempuan yang saleh, berumur, janda miskin, maka semua pernikahan Nabi Muhammad s.a.w. yang berturut-turut itu telah dilaksanakan setelah Hijrah ke Madinah.
Mengapa beliau tinggal di Madinah, dan bagaimana jenis kehidupan yang dilaksanakan di sana?
Bahkan pembaca yang asal baca, dari keadaan kehidupan beliau di Madinah yang telah diterangkan terlebih dahulu, akan merasa sangat terkesan pada betapa beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh beliau, menyelesaikan misinya secara tuntas, mengajar agama Islam kepada para pengikutnya, memberi contoh kepada mereka sebagai guru rohani, menjadi Imam Ṣalat farḍu, mengatur urusan pemerintahan penduduk dllsbnya.
Kota Madinah yang heterogen, menghabiskan sebagian besar waktu malam untuk Ṣalat Tahajud dan berzikir, dan kita menjadi bingung tentang berapa lama waktu yang dapat dihabiskan oleh beliau bersama para istrinya, dan bagaimana cara mengatur waktu dengan begitu baik. Harus juga diingat bahwa agama yang dikhotbahkan oleh beliau telah melarang alkohol dan segenap minuman yang mengandung alkohol, memandang sebelah mata pada kemewahan dan kenyamanan, dan bahwa hidup Nabi Muhammad s.a.w. sendiri telah menjadi sebuah model dari suatu kehidupan yang bukan saja sederhana namun lebih mengarah kepada cara hidup pertapa yang amat ketat. Beliau tidak mengizinkan pemanjaan terhadap diri sendiri atau juga kepada istri-istrinya. Alquran telah menanamkan semangat yang akan menimbulkan hubungan baik antara suami dan istri. Dikatakan:
Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājal li taskunū ilaihā wa ja’ala bainakum mawadattaw wa rahmah, inna fī żālika la’āyātil li qaumiy yatafakkarūn. ”Dan, dari antara Tanda-tanda-Nya ialah, bahwa Dia telah menciptakan bagimu jodoh-jodoh dari jenismu sendiri, supaya kamu memperoleh ketenteraman padanya, dan Dia telah menjadikan di antara kamu kecintaan dan kasih sayang. Sesungguhnya di dalam yang demikian itu ada Tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rūm: 22)
Lalu terdapat nasihat:
....... wa ‘āsyirū hunna bil-ma’rūf, fa in karihtumūhunna fa’asā an takrahū syai’aw wa yaj’alallāhu fīhi khairan kaṡīrā. ”Dan bergaul-lah dengan mereka secara baik-baik; jika kamu tidak menyukai mereka maka ingatlah bahwa boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan di dalamnya banyak kebaikan.” (an-Nisā: 20)
Nabi Muhammad s.a.w. menutupnya dengan:
‘Yang terbaik dari kalian adalah ia yang berperilaku baik kepada istrinya. ‘Ketika ia berpasangan dengan istrinya ia akan berdoa, ‘Ya Allah, lindungilah kami terhadap gangguan setan, dan jauhkan setan dari segala yang telah Engkau karuniakan kepada kami.’
Sayidah Siti Aisyah r.a. diriwayatkan telah berkata bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bersikap lebih sopan ketimbang seorang perawan. Apakah itu suatu penjelasan atas seseorang yang menghabiskan nafsu badaniah dan mencari peluang untuk memuaskan keinginan seksualnya melalui pernikahan dengan sejumlah banyak perempuan?
Hal itu juga berguna untuk pelajaran dalam memahami standar kehidupan yang telah dijelaskan oleh Alquran bagi istri-istri Nabi Muhammad s.a.w.. Beliau diperintahkan untuk:
Yā ayyuhan nabiyyu qul li azwājika in kuntunna turidnal-ḥayātad- dun-yā wa zīnatahā fa ta’ālaina ummatti’kunna wa usarriḥkunna sarāḥan jamīlā.
Wa in kuntunna turidnallāha wa rasūlahū wad dāral-ākhirata fa innallāha a’adda lil-muḥsināti minkunna ajran ‘aẓīmā.
Yā nisā’an-nabiyyi may ya’ti minkunna bi fāḥisyatim mubayyinatiy yuḍā’af lahal-‘adzābu ḍi’faīn, wa kāna żālika ‘alallāhi yasīrā.
Wa may yaqnut minkunna illāhi wa rasūlihī wa ta’mal ṣāliḥan nu’tihā ajrahā marrataini wa a’tadnā lahā rizqan karīmā.
Yā nisā’an-nabiyyi lastunna ka aḥadim minan-nisā’i inittaqaitunna fa lā takhda’na bil-qauli fa yaṭma’al-lażī fī qalbihī marraḍuw wa qulna qaulam ma’rūfā.
Wa qarna fī buyūtikunna wa lā tabarrajna tabarrujal-Jāhiliyyatil-ūlā wa aqimnaṣ-ṣalāta wa ātinaz-zakāta wa aṭi’nallāha wa rasūlah, innamā yurīdullāhu li yużhiba ‘ankumur-rijsa ahlal-baiti wa yuṭah hirakum taṭ’hīrā. 
Ważkurna mā yutlā fī buyūtikunna min āyātillāhi wal ḥikmah, innallāha kāna laṭīfan khabīrā.
”Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu menghendaki kehidupan di dunia ini dan perhiasannya, maka marilah, aku akan memberikannya kepadamu dan akan menceraikan kamu dengan cara yang baik.
“Tetapi, jika kamu menghendaki Allah dan Rasul-Nya dan rumah di akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi mereka di antaramu yang beramal baik, pahala yang besar.”
Wahai, istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu berbuat kekejian yang nyata, akan dilipatgandakan adzab baginya 2 kali lipat. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah.
Tetapi, barangsiapa dari antara kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta beramal saleh, Kami akan memberi kepadanya ganjarannya dua kali lipat; dan Kami telah menyediakan baginya rezeki yang mulia.
Wahai, istri-istri Nabi! Kamu tidak sama dengan salah seorang dari perempuan-perempuan lain jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu lembut dalam tutur kata, jangan-jangan orang yang dalam hatinya ada penyakit, akan tergiur; ucapkanlah kata yang baik.
Dan tinggal-lah di rumah-rumahmu dan jangan memamerkan kecantikanmu seperti cara pamer kecantikan zaman Jahiliyah, dan dirikanlah ṣalat dan bayarlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah menghendaki agar ia menghilangkan segala kekotoran dari dirimu, hai ahlulbait, dan Dia mensucikan kamu sesuci-sucinya.
Dan, ingatlah akan apa yang dibacakan dalam rumah-rumahmu dari Ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Memaklumi.”    (al-Aḥzāb: 29-35)
Tidak pernah ada indikasi bahwa semua istri-istri beliau tidak menghormati apa-apa yang telah dijelaskan kepada mereka, baik selama Nabi Muhammad s.a.w. hidup atau pun setelah beliau wafat. Masa janda bagi sebagian dari mereka ada yang benar-benar panjang. Mereka menjalaninya dengan kemuliaan yang agung, dalam belas-kasih dan ketakwaan kepada Allah. Itu juga telah menjadi bukti bahwa hubungan mereka dengan beliau berada dalam tingkat akhlak dan rohani yang tertinggi.
Kami menutup kisah watak beliau dalam kata-kata dari dua orang sarjana Barat, yang satu orang Jerman dan satunya lagi orang Inggris.
Tor Andrae menulis (Muhammad: The Man and his Faith, hal. 11, 12): ”Bahwa Muhammad benar-benar hidup tidak perlu dibicarakan lagi. Perkembangan Islam – sedikitnya ketika diperbandingkan dengan agama-agama dunia lainnya – telah terbuka dengan jelas di dalam sejarahnya, dan menyajikan kepada kita bukti-bukti lainnya bahwa pribadi Nabi-nya adalah sumber asli dari pembentukan agama baru.  Benar sekali:
Qul inna ṣalāti wa nusukī wa maḥyāya wa mamātī lillāhi rabbil ‘ālamīn, lā syarīkalah, wa bi żālika umirtu wa ana awwalul-muslimīn. ”Katakanlah, “Sesungguhnya ṣalatku dan pengorbananku dan kehidupanku serta kematianku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan untuk itulah aku diperintah dan akulah orang pertama yang menyerahkan diri.” (al-An’ām: 163-164)
Orang pertama yang Muslim! Muhammad secara mutlak sah, dengan menunjukkan dirinya sendiri. Beliau adalah perwakilan pertama dari sebuah jenis agama yang baru dan independen. Bahkan hari ini, setelah berkembang selama 13 abad, siapa pun dapat dengan mudah mengenali kesalehan Islam yang asli dengan segala keunikannya, yang puncaknya diperoleh dari pengalaman pribadi pendirinya atas berkat Allah.”
W. Montgomery Watt, ahli-sastra-timur yang terkenal, berkata (Muhammad at Medina, hal. 334-335): ”Kita bisa membedakan 3 macam hadiah agung dari Muhammad, yang masing-masingnya harus ada agar mendapatkan pencapaian yang total. Kesatu, hadiahnya mungkin dapat disebut peramal. Melalui beliau – atau dalam pandangan Muslim kuno melalui wahyu yang diturunkan kepadanya – dunia Arab yang diberikan sebagai kerangka ideologi yang di dalamnya terdapat  resolusi tentang ketegangan sosial yang akan terjadi. Syarat-syarat kerangka tersebut termasuk dua hal yaitu kemampuan untuk mendalami penyebab yang mendasar dari munculnya ketidak-puasan sosial pada saat itu, dan dengan jeniusnya kemampuan tersebut dinyatakan dalam suatu bentuk yang mampu mengendalikan pendengarnya menuju kedalaman wujudnya. Para pembaca orang Eropa mungkin menolak Alquran, namun ternyata dengan amat menakjubkan kata-katanya sangat sesuai dengan kebutuhan dan keadaan di zaman ini. Kedua, Muhammad yang bijak adalah seorang negarawan. Struktur konsep yang dikandung Alquran hanyalah sebuah kerangka. Kerangka itu harus mendukung sebuah bangunan beton kebijakan dan beton kelembagaan. Di dalam kitab itu, banyak disebutkan penglihatan-jauh Muhammad dalam strategi politik dan reformasi sistim sosialnya. Kebijakannya ditunjukkan dengan pertumbuhan cepat dari suatu negara kecil menjadi kekaisaran dunia, dan dengan adaptasi lembaga sosialnya di berbagai lingkungan serta mampu berjalan selama 13 abad. Ketiga, keahlian dan taktik beliau sebagai penguasa dan bijak dalam memilih staff yang akan diberi delegasi administrastif yang rinci. Lembaga dan kebijakan yang hebat tidak akan berjalan jika pelaksanaan pemerintahannya rusak dan gagal. Ketika Muhammad wafat, negaranya tetap berjalan, mampu bertahan pada goncangan ketika ditinggal beliau, dan begitu pulih dari goncangan, negara itu berkembang dengan kecepatan yang luar-biasa. Semakin seseorang mengerti akan sejarah Muhammad dan Islam di masa awalnya, ia akan semakin terpesona pada kecepatan pencapaian beliau. Keadaan telah membuat beliau berpeluang dan hanya bisa didapat oleh sedikit orang, tapi beliau benar-benar sesuai dengan zamannya. Jika bukan karena hadiahnya sebagai peramal, negarawan, penguasa dan di belakangnya pasrah dan beriman sepenuhnya ke pada Allah yang mengirimnya, maka bab penting dalam sejarah manusia mungkin tidak pernah tertulis. Harapan saya agar pelajaran tentang hidup beliau dapat memberi sumbangan besar bagi sebuah penilaian yang jujur dan dapat memberi apresiasi pada salah satu anak Adam yang teragung.”
Nabi Muhammad s.a.w. telah meninggalkan sebuah kesan yang abadi terhadap sejumlah besar ummat manusia. Sungguh beliau telah membuktikan sendiri sebagai sebuah contoh yang sempurna sebagaimana Allah SWT telah menerangkan beliau di dalam Alquran.
Laqad kāna lakum fī rasūlillhi uswatun ḥasanatul liman kāna yarjullāha wal yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā. ”Sesungguhnya kamu dapati dalam diri Rasulullah, suri tauladan yang sebaik-baiknya bagi orang yang mengharapkan bertemu dengan Allah dan Hari Kemudian dan yang banyak mengingat Allah.” (al-Aḥzāb:22)
Itulah sebabnya mengapa Allah SWT telah memerintahkan:
Innallāha wa malā’ikatahū yuṣalūna ‘alān-nabiyy, yā ayyuhal-lażĩna āmanū ṣallū ‘alaihi wa sallimū taslīmā. Sesungguhnya Allah dan para malaika-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang mu’min, ucapkanlah shalawat untuknya, dan mintalah selalu doa keselamatan baginya.” [al-Aḥzāb:57]
Dengan mematuhi perintah Ilahi ini, di segenap abad ummat Muslim senantiasa memanjatkan doa dan memohon agar rahmat Allah SWT dianugerahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Pada saat ini sudah lebih dari 1.5 milyar ummat Muslim yang tersebar di bagian-bagian dunia yang berlainan, dan jumlahnya pun selalu bertambah. Rata-rata, ummat Muslim memohon agar rahmat Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. paling sedikitnya 40 kali dalam setiap harinya, dan banyak dari antara mereka yang melakukannya lebih sering lagi. Pada setiap saatnya, nama atau pangkat Kenabian Nabi Muhammad s.a.w. senantiasa dirujuk di dalam percakapan, dan rahmat Allah dimohonkan bagi beliau dan keselamatan dari Allah dimohonkan supaya dianugerahkan kepada beliau.
Jadi pada setiap saatnya baik siang atau pun malam, jutaan kalbu-kalbu yang mengabdi telah memohon kepada Allah SWT agar menurunkan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Apakah di dalam sepanjang sejarah manusia pernah terdapat seseorang yang telah menerima berkat dengan sedemikian kayanya, dan sungguh benar bahwa hal itu harus dilakukan demikian?
Orang yang telah mengabdikan hidupnya dengan begitu sungguh-sungguh di dalam melayani Allah dan makhluk-makhluk-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w., adalah layak untuk menerima penghormatan yang paling dalam dari seluruh ummat manusia. Dan dengan memohonkan rahmat Allah bagi beliau secara teratur, maka bagi mereka yang melakukannya telah berupaya untuk dapat membalas sebagian kecil dari hutang ummat manusia terhadap beliau.
Akhirul kalam dari kami tiada lain, melainkan:
Alḥamdu lillāhi Rabbil ‘Ālamīn.
”Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

----------------- *** ------------------

No comments:

Post a Comment