Saturday, July 2, 2011

BAB - 01. MASA-MASA AWAL

Abdul Muṭalib, putra Hasyim, cucu Abdul Manaf, cicit Kilab, canggah Murrah, ayah Abdullah dan kakek Nabi Muhammad s.a.w., di zamannya merupakan pemimpin Mekah yang paling terkenal. Pada tahun 570 AD, telah terjadi serangan bersejarah terhadap Mekah oleh Abrahah, raja-muda Yaman bawahan raja Abesinia. Abrahah membangun katedral yang amat megah di Sana’a dalam rangka Kristenisasi orang-orang Arab; dan, setelah gagal dalam upayanya, ia yang kecewa telah berubah menjadi marah sekali dan menyiapkan serbuan ke Mekah dengan maksud untuk menghancurkan Ka’bah.
Abrahah membawa angkatan perang yang besar +/- 20.000 orang pasukan. Kemudian pasukan gajah diangkut dalam kereta-kereta besi, dan keadaan itu menjadi amat khusus bagi orang Arab sehingga panglima, pasukan, serangan dan tahunnya telah disebut dengan Gajah. Setelah tiba di sekitar kota Mekah, Abrahah mengirim pasukan komando untuk menyisir lembah dan merampok ternak-ternak. Mereka berhasil dalam perampokan itu, dan di antaranya telah merampas 200 ekor unta milik Abdul Muṭalib.
Abrahah yang Kristen mengirim dutanya ke Mekah dan membawa pesan bahwa ia tidak bermaksud mencederai mereka. Tujuannya hanya ingin meratakan Ka’bah dengan tanah, dan setelah selesai ia akan mundur tanpa menumpahkan darah satu orang pun. Penduduk Mekah telah memutuskan bahwa tidak mungkin melawan musuh dengan senjata, tapi mereka menolak penghancuran Ka’bah dalam bentuk apa pun juga.
Sang duta, mengundang Abdul Muṭalib untuk datang ke markas raja-muda, dan di sana akan  ditentukan nasib Mekah. Abdul Muṭalib diperlakukan dengan penuh hormat oleh Abrahah, namun ia hanya meminta kembali unta-unta miliknya yang telah dirampas oleh pasukan Kristen tersebut, dan jawabannya kepada sang raja-muda tentang Ka’bah sangat mengecewakan Abrahah. Kemudian Abdul Muṭalib kembali ke Mekah, dan Abrahah pun membuat persiapan untuk menyerang kota.
Abdul Muṭalib menyuruh penduduk Mekah bersembunyi di bukit-bukit dan meninggalkan kota sehari sebelum penyerangan. Ia sendiri masuk ke Ka’bah dan bersandar di tirai pintu Ka’bah serta berdoa dengan suara yang amat nyaring: ”Ya Allah, pertahankanlah Rumah-Mu, dan jangan memberi kemenangan kepada salib atas Ka’bah ini.” Kemudian ia bergabung dengan orang-orang lain di ketinggian yang sama dan melihat bagaimana akhir yang akan terjadi.
Sementara itu, sejenis infeksi telah mewabah di markas besar sang raja muda dengan timbulnya cacar dan bisul-bisul yang mematikan. Dalam keadaan bingung dan ketakutan, pasukan perang itu diperintahkan untuk mundur dari sana. Karena ditinggalkan oleh para pemandunya, orang-orang itu binasa di lembah-lembah kemudian serbuan banjir besar telah menghanyutkan tulang-belulang mereka ke laut. Orang-orang yang dilanda wabah itu -- yang jahat dengan luka nyeri yang membusuk -- hampir tidak ada yang selamat, dan Abrahah sendiri wafat di perjalanan ke Sana’a.
Peristiwa itu diterangkan Alquran, dan dikatakan:
Alam tara kaifa fa’ala rabbuka bi aṣḥā bil fīl. Alam yaj’al kaidahum fî taḍlīl, wa arsala ‘alaihim ṭairan abābīl, tarmīhim bi ḥijāratim min sijjīl. Fa ja’alahum ka’aṣfīm ma’kūl. ”Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu memperlakukan terhadap para pemilik gajah? Apakah Dia tidak menjadikan rencana mereka dalam kegagalan? Dan Dia mengirimkan atas mereka sekawanan burung. Yang memakan bangkai mereka sambil memukul-mukulkan bangkai mereka di atas batu-batu dari tanah keras. Maka Dia menjadikan mereka seperti racikan jerami yang dimakan.” (al-Fīl: 2-6)
Keadaan yang amat-penting dari peristiwa ini adalah bahwa seorang bayi yang akan bertumbuh dewasa di bawah asuhan langsung Allah SWT telah lahir, sehingga jika saatnya tiba maka beliau akan menjadi penerima petunjuk Allah yang menyeluruh dan berlaku umum bagi seluruh ummat manusia. Melalui beliau, Ka’bah akan kembali menjadi tempat penyembahan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, sesuai maksudnya ketika didirikan. Oleh karenanya Allah SWT, tidak akan mengizinkan adanya gangguan pada Ka’bah atau kota Mekah, yang harus dihormati sebagaimana cerita dalam kisah di atas.
Beberapa bulan sebelum peristiwa serangan Abrahah terjadi, Abdul Muṭalib telah mentunangkan putranya Abdullah yang saat itu berumur 24 tahun kepada Siti Aminah keponakan Wahab dari Bani Zuhra yang telah merawatnya sejak ia masih kecil. Kemudian pernikahan dilaksanakan, dan tidak lama setelah istrinya hamil, Abdullah meninggalkan istrinya untuk melakukan perjalanan dagang ke Siria. Di perjalanan pulang, ia menderita sakit di Madinah, dan oleh kelompok kafilahnya ia ditinggal untuk dirawat dan beristirahat di rumah salah-satu kerabat ayahnya.
Ketika Abdul Muṭalib mengetahui bahwa Abdullah sakit, lalu ia mengirim kakaknya Hariṡ untuk merawat adiknya. Ketika Hariṡ tiba di Madinah, ia diberitahu bahwa Abdullah telah wafat kira-kira sebulan setelah kafilahnya berangkat. Aminah menjadi janda hanya beberapa bulan setelah pernikahannya dan hal itu terjadi sebelum anaknya lahir. Sang anak pun telah lahir pada tanggal 20 April, 570 AD atau tanggal 12 Rabi’ul Awal.
Begitu Abdul Muṭalib diberitahu tentang peristiwa kelahiran yang berkat tersebut, lalu ia menemui Aminah dan menggendong sang bayi ke Ka’bah, serta di samping Baitullah ia berdoa dan berterimakasih kepada Allah. Sang bayi diberi nama Muhammad, sebagaimana mimpi yang dialami Aminah. Dan “yang amat Terpuji” adalah arti dari kata “Muhammad.”
Ketika itu perempuan Mekah dari keluarga kaya tidak menyusui anaknya sendiri. Mereka membeli perawat bayi, atau dirawat ibu susu di luar rumah oleh tetangga dari suku-suku yang tinggal di gurun. Jadi sang anak dapat bertumbuh dengan tegap, berbicara dalam bahasa Arab yang murni dan berperilaku bebas persis sebagaimana orang gurun.
Setelah lahir, Muhammad-bayi dirawat oleh Ṭuweiba seorang budak milik paman beliau yaitu Abu Lahab, dan Ṭuweiba juga menyusui bayi lainnya yaitu sang paman Hamzah. Sang-bayi disusui Ṭuweiba hanya beberapa hari saja, namun di kemudian hari selalu teringat.
Secara teratur Nabi Muhammad s.a.w. mengirim baju-baju dan hadiah-hadiah lain kepadanya sampai tahun ke-7 Hijrah, karena di tahun itu Ṭuweiba wafat. Dan beliau pun merawat putranya yang dijadikan saudara angkatnya, namun ia wafat terlebih dahulu, dan Ṭuweiba tidak meninggalkan kerabat dekat. Sesudah Ṭuweiba menyusui sang-bayi untuk beberapa hari, rombongan Bani Sa’d  dari keluarga Hawazin tiba di Mekah dengan 10 orang perempuan yang ingin menjadi pengasuh. Mereka langsung mendapat bayi kecuali Halimah yang entah kenapa setelah terlihat agak segan, kemudian bersedia menyusui Muhammad-bayi yang telah ditolak oleh para perempuan lainnya.
Secara kebetulan kata “Sa’d” berarti “karunia” dan sungguh merupakan karunia bagi Bani Sa’d karena sang-bayi itulah yang dikehendaki Allah SWT untuk dijadikan utusan-Nya yang teragung, telah diasuh oleh mereka. Enam puluh tahun kemudian yaitu setelah perang Hunain, tawanan perang asal Bani Sa’d telah dilepas oleh Nabi Muhammad s.a.w. berkat kenangan beliau tentang hari-hari indah semasa dirawat di kalangan Bani Sa’d dari keluarga Hawazin di masa kecilnya.
Kata “Halimah” artinya ‘ia yang lembut’, dan Halimah telah membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh berhati lembut dan menjadi ibu-angkat yang amat berharga di dalam tugasnya. Pada umur dua tahun Muhammad-kecil telah disapih dan Halimah membawanya kembali ke rumah ibunya. Sang ibu amat gembira dengan penampilan putranya yang sehat dan tegap, tapi ia tetap meminta agar Halimah dapat membawanya kembali ke gurun, karena ia kuatir akan udara yang tidak sehat di Mekah. Halimah dan anak itu kembali ke sukunya. Beliau terlihat seperti anak gurun asli.
Dua tahun kemudian Halimah membawa pulang kembali Muhammad-kecil ke rumah ibunya, dan sekali lagi ia dibujuk agar membawa anak itu kembali ke sukunya di gurun. Halimah sangat mencintai anak-angkatnya itu dan ia merasa begitu gembira karena bisa merawatnya begitu lama. Setelah satu tahun berlalu, Halimah mengembalikan sang anak kepada ibu dan kakeknya. Tidak ragu lagi bahwa kondisi Muhammad-kecil sangat tegap dan wataknya bebas serta mandiri, sebagai hasil didikan Bani Sa’d dari keluarga Hawazin di gurun selama 5 tahun.
Bahasa beliau juga terbentuk dalam salah satu model bahasa Arab yang asli. Beliau selalu memiliki kesan berterimakasih atas kebaikan, sebagaimana pengalaman masa kecilnya di Bani Sa’d. Halimah pernah mengunjunginya di Mekah setelah Muhammad-dewasa menikah dengan Khadijah. Ketika itu sedang musim kemarau dan banyak ternak yang mati. Kemudian Muhammad-dewasa berbicara kepada istrinya Khadijah dan akhirnya memberikan 1 ekor unta yang biasa digunakan untuk mengangkut sampah, dan 40 ekor biri-biri kepada Halimah.
Muhammad-kecil tinggal di Mekah sampai berumur 6 tahun bersama ibunya, dan diasuh oleh kakeknya. Kemudian ibunya yaitu Aminah berencana mengunjungi Madinah dan membawa anaknya agar dapat dikenalkan dengan para kerabat ayahnya. Ia ditemani seorang budak perempuan bernama Umi Aiman yang merawat anaknya. Mereka menunggang dua ekor unta. Setelah tiba di Madinah, Aminah menengok rumah tempat suaminya wafat. Kunjungan berlangsung cukup lama untuk menanamkan pemandangan dan masyarakat di sana ke dalam pikiran Muhammad-kecil yang walau pun umurnya masih sangat muda. Di kemudian hari, beliau terbiasa mengingat kembali masa-masa bahagia itu.
Sesudah 47 tahun berlalu, dan ketika mulai tiba di Madinah sebagai pengungsi, Nabi Muhammad s.a.w. masih mengingat tempat itu dan bersabda: ” Di rumah ini aku suka bersenda gurau dengan Uneisa seorang gadis kecil dari Madinah dan juga dengan para keponakan, aku suka menghalau burung-burung yang bertengger di atap.”
Ketika beliau terkenang lalu dikatakan: ”Di sinilah ibuku menginap denganku, di tempat inilah kuburan ayahku berada, dan di sana, di kolam itu, aku biasa berenang.”
Setelah tinggal di Madinah kira-kira satu bulan Aminah memutuskan untuk kembali ke Mekah, dan menjalani hidup seperti biasa. Ketika tiba di daerah Abwa, kira-kira setengah perjalanan ke Mekah, Aminah jatuh sakit, kemudian wafat dan dikubur di sana. Anak yatim piatu yang masih kecil itu dibawa ke Mekah oleh pelayannya Umi Aiman yang walau masih gadis namun ia adalah perawat anak yang setia, dan terus merawat anak tersebut.
Nampaknya, bahwa dengan begitu cepatnya kehilangan seorang ibu bagi beliau telah memberinya suatu watak yaitu suka termenung dan tafakur, karenanya beliau menjadi terlihat berbeda. Pada umur 7 tahun beliau telah mampu menerima cobaan atas suatu perasaan yang terpencil akibat keadaan beliau yang yatim-piatu.
Setelah berselang lama sekali, di suatu perjalanan dari Madinah ke Hudaibiyah, ketika Nabi Muhammad s.a.w. mengunjungi makam sang-ibunda, beliau berteriak kemudian menangis, para sahabatnya menjadi turut menangis juga. Ketika mereka bertanya, beliau bersabda: ”Ini adalah kuburan ibuku, Allah memberi izin kepadaku untuk mengunjunginya. Aku teringat ibuku dan memanggilnya, kenangan manis tentang beliau telah membuat aku merasa lemah, dan aku menangis.”
Tugas mengasuh anak yatim-piatu itu diambil-alih oleh Abdul Muṭalib yang ketika itu telah berumur 80 tahun. Sang anak yatim-piatu itu telah diasuh oleh beliau dengan penuh kasih-sayang. Selembar permadani, biasa digelar di dalam Ka’bah, dan sang pemimpin berbaring di sana untuk berlindung dari panas matahari.
Di sekeliling karpet, pada jarak yang cukup jauh, duduklah anak-anaknya. Muhammad-kecil berlari-lari mendekati kakeknya dan duduk di permadani itu. Anak-anaknya yang dewasa hendak mengusirnya, namun Abdul Muṭalib memotongnya dan berkata: ”Biarkan si kecil-ku itu, jangan diganggu.” Beliau terbiasa membelai punggungnya dan mendengarkan celotehan kanak-kanaknya. Anak itu masih diasuh oleh pengasuhnya, namun ia sering kabur dan lari menuju ke rumah kakeknya, walau pun sang kakek sedang tidur atau pun sedang sendirian.
Kasih sayang Abdul Muṭalib hanya berlangsung 2 tahun saja, beliau wafat dalam usia 82 tahun. Anak yatim-piatu kehilangan sang kakek yang teramat sabar dan merasa sangat sedih sekali; beliau menangis ketika mengikuti keranda jenazahnya, serta ketika dewasa beliau selalu teringat akan kenangan khusus ketika sang kakek wafat. Hati seorang Muhammad-kecil dalam umur yang masih rapuh itu lagi-lagi terluka dengan sangat dalamnya, kesedihan yang baru saja terjadi terasa lebih menyakitkan karena seseorang yang melindunginya telah tiada.
Kemuliaan sang kakek ternyata menurun, rasa hormat diberikan kepada beliau oleh semua penduduk Mekah karena keramahan dan pelayanan makanan dan minuman yang memuaskan bagi peziarah haji dilakukan oleh seorang anak kecil berumur 9 - 10 tahun yang amat baik hati.
Peristiwa ayahanda Nabi Muhammad s.a.w. wafat sebelum beliau lahir, ibunya wafat saat berumur 7 tahun dan kakeknya wafat 2 tahun kemudian, bukanlah suatu deretan peristiwa yang hanya kebetulan belaka. Peristiwa itu adalah desain Allah SWT, dalam membentuk kualitas kepercayaan diri, pemahaman dan kemandirian beliau. Melalui kesedihan yang terjadi berulang kali ketika kecil, beliau tumbuh dengan baik karena Allah merawatnya secara khusus. 
Kita membaca di dalam Alquran tentang Nabi Musa a.s.:
....... wa al-qaitu ‘alaika maḥabattam minnī, wa li tuṣna’a ‘alā ‘ainī. ........ fa najjaināka minal-gammi wa fatannāka futūnā, ......... ṡumma ji’ta ‘alā qadariy yā Mūsā. Waṣṭana ‘tuka li nafsī. “....... Dan Aku menanamkan kecintaan kepadamu dari-Ku, supaya kamu terpelihara di hadapan penglihatan-Ku. .......... Kami selamatkan kamu dari kedukaan, dan Kami mengujimu dengan berbagai ujian. ......... Kemudian kamu sampai kepada waktu yang ditentukan, wahai Musa. Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku.”(Ṭāhā: 40-42).
Demikianlah Nabi Musa a.s., begitu juga Nabi Muhammad s.a.w.
Beliau diasuh secara langsung oleh Allah SWT bahkan dari sejak sebelum dilahirkan, dan disiapkan selangkah demi selangkah bagi suatu tanggungjawab agung yang dianugerahkan Alllah SWT di pundaknya. Beliau dilindungi dan dipayungi dari segenap gangguan jasmani mau pun akhlak, namun kesemuanya harus dilalui karena diperlukan untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan kepribadian beliau.
Wafatnya Abdul Muṭalib telah membuat Bani Hasyim kehilangan pembimbing yang berkuasa, dan memungkinkan cabang Quraisy lainnya yaitu Bani Umayyah untuk mengambil alih kekuasaan. Kepala sukunya saat itu adalah Harb sang pemimpin perang dan dibantu sejumlah badan-badan yang berkuasa yang terdiri dari kerabat-kerabatnya.
Putra Abdul Muṭalib yang tertua Hariṡ telah wafat dan saat itu kepala sukunya adalah Zubair dan Abu Ṭalib yang keduanya lahir dari ibu yang sama lalu Abdullah, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Tapi Abbas dan Hamzah masih terlalu muda, sehingga Zubair yang tertua mewarisi pekerjaan dan kemuliaan Abdul Muṭalib.
Zubair menyerahkan pekerjaan itu kepada Abu Ṭalib yang lalu merasa tidak mampu melakukan kewajiban melayani peziarah haji yang mahal dan berat itu, serta menolak kehormatan itu dan menyerahkannya kepada Abbas. Namun keluarga Hasyim telah merosot dan Abbas hanya sanggup menyediakan air minum saja, sementara pelayanan makanan telah diambil-alih oleh cabang Quraisy yang lainnya.
Abbas menjadi kaya dan memegang posisi yang berpengaruh termasuk tugas di sumur air Zam-Zam yang terus dipertahankannya sampai keluarganya mendapat keputusan dari Nabi Muhammad s.a.w.  ketika Mekah jatuh, namun Abbas tak pernah memimpin kota Mekah. Sebaliknya Abu Ṭalib, ia memiliki banyak ciri-ciri yang mulia dan sangat dihormati orang-orang, namun ia juga tetap bermain di belakang layar. Jadi, pamor Bani Hasyim mulai terlihat menyusut dan lawannya cabang Bani Umayyah telah menaik begitu penting.
Wafatnya Abdul Muṭalib telah mewariskan pemeliharaan sang cucu yang yatim-piatu ke pundak paman Abu Ṭalib, yang menjalankan kepercayaan dengan amat baik dan jujur. Rasa kasih sayang Abu Ṭalib kepada Muhammad-kecil sama dengan Abdul Muṭalib. Ia mengizinkan Muhammad-kecil tidur di tempat-tidurnya, makan di sampingnya dan pergi bersamanya ke luar negeri. Perlakuan yang lembut itu diteruskan sampai sang keponakan menjadi remaja. Hal itu terjadi juga ketika Abu Ṭalib akan melakukan perjalanan dagang ke Siria. Ia bermaksud untuk meninggalkan sang anak di Mekah, karena ia sudah mencapai umur 12 tahun dan sudah mampu mengurus dirinya sendiri.
Namun ketika kafilah akan berangkat dan Abu Ṭalib hendak menaiki untanya, sang anak memeluknya, dan hati pamannya melemah karena akan berpisah lama sekali. Hati Abu Ṭalib tersentuh, dan mengajak sang anak pergi bersama-sama. Perjalanan diperpanjang sampai ke Basra atau mungkin lebih jauh lagi. Perjalanan ini berlangsung beberapa bulan dan telah memberi pengalaman serta peluang penelitian bagi beliau, yang tentu saja hal itu tidak disia-siakan oleh beliau.
Antara tahun 580 dan 590 AD, lembah Mekah dan desa-desa di sekitarnya dihantui oleh api permusuhan antar suku yang sering disulut oleh kebanggaan-semu dan diminyaki dengan temperamen membalas dendam suku-suku Arab. Dikenal sebagai Perang Suci karena dimulai pada salah satu bulan suci yaitu bulan Żu’l Qa’idah, Żu’l Hijjah, Muharram, Rajjab  dimana sebetulnya saat itu dilarang perang.
Berbagai pertempuran terjadi di antara suku-suku dengan hasil yang beragam, dan kekerasan itu berlangsung sampai 4 tahun, sampai diserukannya gencatan senjata. Jenazah dihitung, dan korban di pihak suku Hawazin lebih banyak 20 orang ketimbang pihak suku Quraisy, dan suku Quraisy setuju membayar uang ganti darah, dan guna memenuhinya mereka menyerahkan sandera. Salah satu sanderanya adalah Abu Sufyan, penentang Nabi Muhammad s.a.w. yang termasyhur.
Di sebagian konflik ini segenap suku Quraisy ditambah sekutunya turut berperang. Keturunan Abdusy Syams yang dipimpin oleh Harb anak Umayyah mengambil bagian khusus  dalam peperangan itu. Anak-anak Hasyim juga ada di sana, di bawah pimpinan Zubair, anak tertua Abdul Muṭalib yang masih hidup.
Di dalam suatu peperangan Muhammad-pemuda menemani paman-pamannya, namun walau pun sudah berumur hampir 20 tahun, beliau tidak ikut memegang senjata. Upayanya adalah mengumpulkan anak-anak panah musuh yang menancap di tanah, lalu mencabut dan membawanya kepada paman-pamannya.
Kemudian, sebuah Konfederasi untuk menghapus kekerasan dan tindakan melawan hukum telah dibentuk di Mekah segera setelah perdamaian, dan timbul semangat pada diri beliau karena penggunaan senjata pada Perang Suci telah gagal dan tidak menghasilkan kedamaian.
Penghormatan atas prakarsa pergerakan ini diberikan kepada Zubair anak Abdul Muṭalib. Segenap keturunan Hasyim dan kerabatnya berkumpul dan bersumpah bahwa mereka akan turut ambil bagian dalam meneruskan tekanan tsb, serta menunggu da’waannya dipenuhi sampai kapan pun juga atau akan memenuhinya dari sumber mereka sendiri.
Liga itu berhasil, baik sebagai penentang bagi tindakan yang melawan hukum dan sebagai alat untuk melaksanakan restitusi. Di suatu hari Muhammad-pemuda berkata: ”Aku tidak mau menukar dengan unta terbaik yang ada di seluruh Arab dengan kesempatan untuk bisa hadir dalam sumpah itu, yang telah kami ambil dan menyebabkan kita tetap kokoh dalam masa penekanan itu.”
Di masa remajanya beliau sebagaimana anak-muda lainnya bekerja sebagai penggembala kambing dan biri-biri Mekah yaitu di bukit-bukit dan di lembah sekitarnya. Pekerjaan itu dapat terlaksana karena dukungan paman Abu Ṭalib, dan pekerjaan itu pun ternyata sangat sesuai dengan pemikiran dan watak beliau yang baik hati dan suka tafakur.
Segenap penguasa Quraisy sepakat bahwa pemuda-Muhammad adalah orang yang rendah hati dan penuh kesucian yang mana hal itu sangat jarang bagi penduduk Mekah. Kelihatannya beliau telah dilindungi oleh berkat Allah SWT secara khusus.
Pada suatu hari ketika sedang bekerja menggembalakan kambing bersama pemuda Quraisy lainnya, beliau meminta agar mereka dapat mengurus ternaknya karena beliau ingin pergi ke Mekah dan merasakan kehidupan malam bersama anak-anak remaja lainnya. Dan begitu tiba di batas kota, beliau tertarik pada suatu pesta pernikahan yang diadakan di sana, tapi dengan tiba-tiba beliau merasa mengantuk yang tidak bisa ditahan lagi serta terus tertidur. Pada kesempatan lainnya, beliau tertidur sampai pagi di tengah perjalanan ke Mekah.
Dengan demikian beliau selalu terhindar dari semua godaan dalam masa remaja tersebut. Hal-hal itu telah menyebabkan watak Muhammad-pemuda menjadi terjaga baik karena terhindar dari praktek-praktek amoral dan tidak sopan di masa mudanya.
Mendapat karunia pikiran yang bersih, perasaan yang lembut, terus terang dan suka tafakur, beliau menjadi senang hidup sendirian dan menahan diri dari kesenangan hidup yang dilakukan oleh teman-temannya dalam olahraga kasar dan hal-hal yang bersifat amoral. Watak yang adil dan terhormat dari anak muda sederhana ini dipuji penduduk Mekah sehingga secara aklamasi beliau disebut  al-Amin, orang yang Dipercaya.
Muhammad-pemuda yang dihormati dan disegani itu tinggal bersama keluarga Abu Ṭalib yang sederhana karena wewenangnya dibatasi, sehingga ia tidak memperoleh jabatan tinggi apa pun dalam masyarakat Mekah. Akhirnya, dengan menimbang bahwa keluarganya tidak mampu, Abu Ṭalib berpikir bahwa keponakan yang umurnya sudah matang itu, harus mencari nafkah bagi dirinya sendiri.
Lalu ia mengunjungi Khadijah putri Khuwailid seorang perempuan kaya dan terbiasa berdagang. Khadijah setuju mempekerjakan keponakan Abu Ṭalib untuk menjaga barang-barangnya dalam kafilah yang akan berangkat ke utara. Muhammad-pemuda pun menyiapkan diri untuk perjalanan itu dan ketika kafilah akan segera berangkat, Abu Ṭalib mengenalkannya pada orang-orang dari perusahaan itu.
Maisarah pelayan Khadijah, turut juga bersama beliau sebagai pengawas atas harta milik Khadijah. Kafilah itu mengambil jalan biasa menuju ke Siria, dan beliau pun pernah melakukan hal itu 13 tahun lalu bersama pamannya. Di dalam perjalanan menuju Damaskus, mereka tiba di Basra tepat waktu, kira-kira 60 mil di sebelah timur Jordania. Dan ukuran 1 mil-darat adalah 1.609 meter, dan 1 mil-nautika untuk laut dan udara adalah 1.852 meter.
Transaksi perdagangan di pasar itu ramai sekali, dan pedagang Siria yang telah berpengalaman berharap bisa menipu orang Arab sederhana, sehingga selera dan kebiasaan beliau diejeknya, namun kebijakan dan kecerdasan yang alamiah telah membuat beliau beruntung. Beliau melakukan barter dan mendapat untung yang lebih besar dari biasanya. Ketika barang-barang dagangannya telah habis dan juga telah membeli barang-barang yang diperlukan oleh Khadijah, beliau bersama kafilahnya menyusuri jalan kembali menuju ke lembah Mekah.
Kelembutan negosiasinya dan perhatiannya yang penuh telah menarik hati Maisarah, dan ketika mereka sudah mendekati kota  Mekah, ia membujuk Muhammad-pemuda untuk terlebih dahulu pergi ke Mekah dan mengabarkan kepada Khadijah bahwa dagang yang pertama itu berhasil. Khadijah sangat terkesan dengan sukses dagang beliau dan juga oleh kepribadian dan perilakunya yang penuh sopan santun.
Khadijah berasal dari suku Quraisy juga namun berbeda jalur keturunan karena kelahiran dan nasibnya. Ayahnya yang bernama Khuwailid adalah putra Asad, dan Asad adalah putra Abdul Uzzah dan Abdul Uzzah adalah putra Quṣai. Khuwailid menjadi panglima perang salah satu bagian suku Quraisy yang tangguh di dalam Perang Suci.
Kekayaan Khadijah yang amat banyak diperoleh dari warisan pernikahan yang terdahulu, dan dengan menyewa agen ia berhasil melipat-gandakan kekayaannya dalam perdagangan. Berkat kekayaannya, ditambah dengan pentingnya kebijaksanaan, kebajikan dan hati yang penuh kasih-sayang, sehingga walau ketika itu usianya sudah lanjut di ukuran zaman itu namun berhasil mempertahankan wajahnya tetap cantik dan menarik hati.
Beberapa orang kepala-suku Quraisy telah melamarnya, namun ia tetap memilih hidup menjanda dengan bebas dan dihormati, serta menolak pinangan mereka. Kesan terhadap Muhammad-pemuda semakin diperdalam oleh pujian dari teman seperjalanannya Maisarah, dan ia memutuskan memberitahu pinangannya kepada beliau secara rahasia dan dengan penuh kehati-hatian. Puncaknya adalah, dengan persetujuan Abu Ṭalib maka sebuah pernikahan telah diatur di antara Muhammad-dewasa dengan Khadijah.
Di luar perbedaan umur di antara mereka (Khadijah 40 tahun dan Muhammad-dewasa berusia 25 tahun) pernikahan itu telah terbukti sebagai sebuah kebahagiaan dan kedamaian yang tidak biasa. Pernikahan itu memberi anugerah kasih-sayang dan kesetiaan kepada beliau, dan Khadijah mampu melahirkan anak-anak. Khadijah sangat menyukai pemikiran beliau yang mulia dan jenius itu, dengan keterus-terangan dan kebiasaan tafakur yang tertutup bagi orang lain namun tidak tersembunyi baginya.
Khadijah meneruskan tugas-tugasnya dan membiarkan beliau menikmati waktu-waktu luangnya tanpa diganggu. Rumah Khadijah jadi rumah beliau dan pelukannya merupakan suatu wadah yang aman baginya yang merindukan cahaya rohani yang mulai mengusik ruh-nya. Selama 10 - 12 tahun Khadijah telah memberikan 2 orang anak laki-laki dan 4 orang anak perempuan. Anak laki-laki yang tertua bernama Qasim, dan sesuai adat-istiadat Arab maka Muhammad-dewasa sering disebut Abul Qasim. Akan tetapi, Qasim pun wafat pada umur 2 tahun. Kemudian Zainab anak perempuan yang tertua lahir, dan dalam jarak 1 - 2 tahun berturut-turut lahir 3 anak perempuan Ruqayyah, Umi Kulṡum dan Fatimah. Yang bungsu adalah seorang anak laki-laki bernama Abdullah namun wafat dalam keadaan masih bayi. Salmah pelayan Ṣafiyah bibi beliau, ditugaskan sebagai bidan, namun Khadijah lebih suka merawat anak-anaknya sendiri.
Di kemudian hari Nabi Muhammad s.a.w. sering mengingat waktu-waktu yang penuh kenangan indah akan kasih-sayang tersebut. Sungguh, begitu dalam cintanya kepada Sayidah Khadijah r.a., sehingga Sayidah Siti Aisyah r.a. pun menyatakan bahwa cemburunya lebih besar kepada Sayidah Khadijah r.a. ketimbang kepada madu-madu lainnya, padahal ia sama-sekali tidak pernah memiliki peluang untuk bertemu.
Ketika Muhammad-dewasa menikahi Khadijah, beliau berada dalam kondisi terbaik. Perawakannya sedikit di atas sedang, walau agak kurus namun tampan dan berwibawa, dadanya bidang dan terbuka, tulang-tulang dan kerangkanya besar, dan sendi-sendinya tersambung dengan sempurna. Lehernya jenjang dan indah dipandang. Dengan ukuran kepala yang besar memberikan suatu ruang untuk alisnya yang bertumbuh menjadi lebih lebat dan lebih agung.
Rambutnya tebal, hitam-pekat dan ada yang sedikit keriting tumbuh di dekat telinga. Alis matanya melengkung dan bersambung. Wajah tampak muda dan segar kemerahan. Mata besar warna hitam dengan sorotan yang tajam, tambah berkilau dengan dilengkapi bulu-mata yang hitam pekat. Hidung berbentuk tinggi dan sedikit bengkok namun indah, dan di ujungnya menipis. Giginya terpasang dengan rapi. Janggut panjang, tebal, berwarna hitam menjurai ke dada, ciri-ciri seorang laki-laki bangsa Arab.
Ekspresinya selalu dalam keadaan seperti termenung dan tafakur. Dari wajahnya terpantul kepintaran. Kulitnya lembut dan berwarna terang, rambutnya yang terlihat bagaikan garis tipis, menjuntai dari leher sampai ke arah pusar. Punggung lebar yang sedikit condong ketika berjalan, dan langkahnya cepat namun pendek-pendek dan teratur, seperti orang yang menuruni lereng dengan tergesa-gesa.
Ada sesuatu yang tidak tenang pada mata beliau, menolak berhenti pada obyeknya. Jika berbalik pada seseorang, tak pernah setengah-setengah, seluruh badannya ikut. Diam dan tak banyak bicara, beliau sangat berbeda berkat tatakramanya. Ucapannya singkat dan padat, namun ketika beliau sedang bergembira maka ucapannya sering bernada jenaka.
Di musim-musim tertentu beliau datang dengan kegairahan yang lain dan tergantung saatnya, dan tertawa dengan senangnya. Pada umumnya beliau senang mendengar percakapan ketimbang ikut bicara. Nabi Muhammad s.a.w. adalah laki-laki dengan emosi yang sangat kuat namun terkendali oleh logika dan kebijaksanaan, sehingga hal itu amat jarang muncul ke permukaan.
Ketika sedang bergembira, pembuluh darah di antara alismata akan menjadi berlapis dan bergerak cepat melewati dahinya, namun beliau tetap waspada dan berhati-hati. Murah hati dan bijaksana pada sahabat, beliau tahu bagaimana meraih mereka yang tidak puas dan memaku pada tugasnya dengan hadiah dan perhatian yang tepat. Beliau tidak pernah memburu musuhnya setelah mereka menyerahkan diri. Sikap dan wibawanya menimbulkan rasa hormat tak terlukiskan bagi orang asing sekali pun, namun ketika telah akrab, pemahaman dan rasa takut berubah jadi keyakinan dan cinta.
Di balik penampilan luarnya yang diam, tersembunyi kejernihan tingkat tinggi, tujuan tunggal, hasrat kuat dan teguh hati, kepastian agung, takdir untuk meraih tugas yang mengagumkan dalam melunakkan hati segenap orang Arab dan menjadikannya milik seorang laki-laki, beliau sendiri. Sayidah Khadijah  r.a. adalah orang pertama yang faham akan kemuliaan dan kualitas wibawanya, dengan keyakinan penuh bak seorang anak, ia menyerahkan diri, ruh, hasrat dan keimanan kepada beliau.
Dapat dinilai dari kutipan di atas, bahwa semua penguasa telah menyetujui bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah diberi karunia dan berkat Allah dengan segenap kualitasnya yang amat diperlukan untuk menyandang tanggungjawab agung dari Allah SWT yang diserahkan kepadanya. Hal itu bukan atas kemauan beliau sendiri atau pun atas perintah orang lain. Bagi mata yang mengenalnya, beliau telah ditandai sebagai orang yang telah ditaqdirkan memegang posisi memimpin dalam melaksanakan tujuan mulia.
Muhammad-dewasa kira-kira sudah berusia 35 tahun ketika suku Quraisy menetapkan untuk membangun kembali Ka’bah. Banjir besar telah menggenangi Baitullah, tembok-temboknya kelihatan terancam retak dan dikhawatirkan akan cepat ambruk. Telah diputuskan bahwa tembok-tembok Ka’bah harus dinaikkan dan atapnya harus diberi penutup. Sementara menimbang-nimbang harus berbuat apa, tiba-tiba sebuah kapal Yunani terdampar di pantai yang tidak terlalu jauh karena dilanda ombak di Laut Merah.
Ketika berita itu tiba ke Mekah, Walid kepala-suku Quraisy ditemani orang-orang Quraisy menuju bangkai kapal, mereka membeli kayu dari kapal yang rusak itu dan membujuk Nakhoda-nya yang juga seorang arsitek untuk membantu mereka membangun kembali Ka’bah. Semua orang Quraisy turut membangun Ka’bah kembali, sampai strukturnya menaik 4 - 5 kaki dari fondasinya. Ukuran 1 kaki adalah 0.3048 meter.
Di tahap itu, penting sekali menempatkan kembali Hazar Aswad pada posisinya. Ke-4 kepala keluarga Quraisy menda’wakan hak khusus mereka masing-masing untuk dapat menempatkannya di tempat yang paling baik. Situasi menjadi panas dan pertumpahan darah pun kelihatannya tidak bisa dihindari. Pembangunan Ka’bah ditangguhkan selama 4 – 5 hari dan suku Quraisy mengadakan perundingan kembali untuk menyelesaikan perbedaan itu dengan sebaik-baiknya.
Telah disetujui bahwa yang kebetulan jadi orang pertama yang memasuki Ka’bah melalui gerbang yang telah ditentukan, harus dipilih untuk menentukan perbedaan, atau untuk menaruh batu di tempatnya. Ternyata Muhammad-dewasa orangnya. Begitu melihatnya, mereka semua berteriak gembira: ”Datanglah ke mari wahai al-Amin, kami akan taat kepada keputusanmu.”
Dengan pembawaan yang kalem dan penuh percaya-diri, beliau menerima pemberian kuasa itu dan sekaligus memutuskan dengan layak dan dapat diterima oleh semua pihak. Dengan menggelar jubah di tanah, beliau menaruh batu-hitam, dan bersabda: ”Silahkan wakil dari ke-4 rumpun untuk segera maju ke depan, dan angkatlah setiap ujung jubah ini.”
Ke-4 kepala-suku melangkah ke depan dan tiap orang memegang ujung jubah sehingga batu itu menjadi terangkat. Ketika mencapai ketinggian yang sempurna, Muhammad-dewasa dengan tangannya sendiri menaruh batu itu di tempatnya. Setiap orang menjadi puas dan senang.
Tembok-tembok Ka’bah dinaikkan cukup tinggi dan diberi atap dengan 15 buah kaso, yang disangga oleh 6 buah tiang utama. Strukturnya dikelilingi oleh pagar-pagar kecil, kira-kira diameternya menjadi 50 yards. Ukuran 1 yard adalah 0.9144 meter.
Pintu masuk Ka’bah dipasang di dekat Hazar Aswad di sisi sebelah timur, beberapa kaki di atas tanah. Bangunan itu menempati ruang yang lebih kecil ketimbang bangunan terdahulu yang hampir roboh dan tidak menggunakan atap tersebut. Area yang tidak terpakai itu mengarah ke barat daya, tanpa tembok suci, dan disebut dengan Tempat Ismail.
Sementara itu, keluarga Muhammad-dewasa telah berkembang. Saudara perempuan Khadijah yang bernama Hallah menikah dengan Rabi’i yang berasal dari keturunan Abdusy Syams dan memiliki putra yang diberi nama Abul Aas bin Rabi’i, ia adalah keponakan Khadijah.  Pada saat itu Abul Aas sudah dewasa dan dihormati karena kejujuran dan sukses dagangnya.
Khadijah sangat suka kepadanya dan dianggap sebagai anaknya sendiri. Kemudian Muhammad-dewasa dan Khadijah setuju untuk menikahkan Zainab anak sulung perempuan kepada Abul Aas karena sudah cukup umur. Pernikahan itu terbukti sebagai suatu kebahagiaan yang sejati.  Kemudian dua saudara perempuannya yaitu Ruqayyah dan Umi Kulṡum dinikahkan kepada Uṭba dan Uṭaiba yaitu putra-putra Abu Lahab, paman beliau. Sedangkan Fatimah putri bungsunya masih kecil.
Tidak lama setelah membangun kembali Ka’bah, beliau ditinggal wafat putra sulungnya Qasim, lalu beliau mengupahi diri dengan memiliki rencana untuk merawat dan membesarkan Ali putra pamannya Abu Ṭalib. Musim kemarau yang sangat gersang tiba, dan Abu Ṭalib terpaksa harus memisahkan sejumlah keluarganya. Faham akan kesulitan sang paman, beliau mendatangi paman lainnya yaitu Abbas, dan memohon agar masing-masing dari mereka dapat merawat seorang anak Abu Ṭalib.
Abbas setuju dan kemudian mereka bedua pergi ke rumah Abu Ṭalib yang langsung memberi dua anaknya untuk dipilih oleh mereka, kecuali Akil dan Ṭalib. Beliau memilih Ali bin Abi Ṭalib dan Abbas mengambil Jafar bin Abi Ṭalib. Dan sejak saat itu Ali yang berumur 5 – 6 tahun telah tinggal bersama Nabi Muhammad s.a.w. selamanya.
Saat itu juga beliau mengambil orang lain yang bukan berasal dari orang yang memiliki hubungan keluarga. Orang itu bernama Zaid, anak Hariṭa. Rumahnya ada di antara suku yang tinggal di selatan Siria. Ia masih kecil ketika melakukan perjalanan bersama ibunya, rombongan itu dihadang oleh perampok Arab yang menangkapnya dan menjualnya sebagai budak. Ketika remaja, ia menjadi budak milik Hakim bin Hizam seorang keponakan Khadijah yang kemudian mengenalkannya kepada bibinya setelah ia menikah dengan Muhammad-dewasa. Zaid kira-kira berumur 20 tahun, pendek, berkulit gelap dengan hidung yang pendek dan pesek. Ia menjadi seorang pelayan yang rajin dan sangat berguna, dan Muhammad-dewasa sangat sayang kepadanya. Melihat hal itu, Khadijah pun menghadiahkan Zaid kepada beliau.
Kemudian, ayah kandungnya telah mencari Zaid lama sekali dan penuh penderitaan, akhirnya ia mendengar bahwa Zaid berada di Mekah. Sang ayah segera berangkat dengan maksud untuk menjemputnya. Setelah tiba di Mekah, ia menawarkan uang banyak sebagai tebusan. Muhammad-dewasa memanggil Zaid dan menyuruhnya memilih pulang atau tinggal, tapi Zaid memilih tinggal. Senang dengan kejujurannya, beliau membawa Zaid ke Ka’bah dan di sana diumumkan bahwa Zaid telah menjadi anak angkat beliau.
Ayah Zaid menjadi tersentuh oleh keadaan itu dan ia kembali pulang dengan gembira. Sekarang Zaid menjadi orang bebas, dan dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad. Sesuai keinginan beliau, Zaid menikah dengan pengasuh beliau yang lama yaitu Umi Aiman. Walau umur Umi Aiman dua kali dari umur Zaid, namun ia telah melahirkan anaknya yang diberi nama Usama.
------------------ *** ------------------

1 comment:

  1. The 23 Best Mobile Casinos in San Diego, CA
    The 안성 출장샵 best mobile casinos in San Diego, CA. 의왕 출장마사지 MobileCasino.com is the go-to 통영 출장샵 for all 인천광역 출장샵 things mobile gaming! 세종특별자치 출장샵

    ReplyDelete