Saturday, July 2, 2011

BAB - 06. PERATURAN PERANG ISLAM

Di Madinah ummat Muslim merasa diri mereka berada dalam keadaan bahaya dan lemah. Keamanan mereka terancam tidak hanya oleh suku Quraisy yang telah menetapkan harga bagi kepala Nabi Muhammad s.a.w., yang diikuti dengan ancaman melalui Abdullah bin Ubayy dimana jika beliau tidak diusir dari Madinah maka mereka akan menyerbu Madinah dengan kekuatan penuh dan membantai laki-lakinya serta memperbudak perempuannya; dan juga tidak aman terhadap rencana-rencana kaum-munafik di Madinah, serta khawatir terhadap orang-orang Yahudi.
Pihak Quraisy telah mengumumkan perang terhadap beliau dan ummat Muslim serta segenap orang-orang yang mendukungnya. Keadaan perang itu terus berlangsung selama 6 tahun dan terhenti oleh Gencatan Senjata Hudaibiyah di tahun ke-6. Kurang dari 2 tahun setelahnya, Quraisy  melanggar Gencatan Senjata secara terang-terangan dan kekerasan timbul lagi yang hanya bisa dihentikan setelah bagian terbesar semenanjung mengakui supremasi negara Islam dan menyerah kepadanya.
Untuk menghadapi ultimatum Quraisy, ummat Muslim menyelaraskan diri dengan izin Allah untuk mengangkat senjata dalam rangka mempertahankan nyawa dan keimanan mereka.
Użina lil-lażīna yuqātalūna bi annahum ẓulimū, wa innallāha ‘alā naṣrihim la qadīr, allaẓīna ukhrijū min diyārihim bi gairi haqqin illā ay yaqūlū rabbunallāh, wa lau lā daf’ullãhin-nāsa ba’ḍahum bi ba’ḍil lahuddimat ṣawāmi’u wa biya’uw wa ṣalawātuw wa masājidu yużkaru fīhasmullāhi kaṡīrā, wa layanṣurannallāhu may yanṣuruh, innallāha la qawiyyun ‘azīz, allażīna im makkannāhum fil-arḍi aqāmuṣ-ṣalāta wa ātawuz-zakāta wa amarū bil-ma’rūfi wa nahau ‘anil-munkar, wa lillāhi ‘āqibatul-umūr. “Telah diizinkan bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka. Orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah. Dan sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan pasti Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Perkasa. Orang-orang yang, jika Kami teguhkan mereka di bumi, mereka mendirikan Ṣalat dan membayar zakat dan menyuruh berbuat kebaikan dan melarang dari keburukkan. Dan kepada Allah kembali segala urusan.“  (al-Hajj: 40 – 42).
... wa lau lā daf’ulāãhin-āãsa ba’ahum bi ba’il lafasadatil-aru wa lākinnallāha żu falin ‘alal-‘ālamīn. “Dan sekiranya Allah tidak menyingkirkan kejahatan sebagian manusia oleh sebagian lainnya, niscaya bumi akan penuh dengan kerusuhan, tetapi Allah mempunyai limpahan karunia atas sekalian alam.” (al-Baqarah: 252)
Harus dihargai bahwa Islam memperlakukan perang sebagai kegiatan yang tidak-normal dan merusak, serta seluruh perbaikannya harus disusun kembali sejak dari awal. Alquran menerangkan perang sebagai suatu kebakaran-besar, dan menyatakan bahwa kebakaran-besar itu dipadamkan atas kehendak Allah, artinya ketika perang tidak bisa dihindarkan lagi maka akan diupayakan dengan akibat yang paling minim terhadap jiwa dan harta-benda, dan kekerasan itu harus dapat diakhiri dengan sesegera mungkin, sebagaimana difirmankan:
... kullamā auqadū nāral lil-ḥarbi aṭfa’ahallāhu wa yas’auna fil-arḍi fasādā, wallāhu lā yuḥibbul-mufsidīn. “Setiap kali mereka menyalakan api untuk perang, Allah memadamkannya. Dan, mereka berusaha membuat kerusuhan di muka bumi, dan Allah tidak menyukai perusuh-perusuh.” (al-Mā’idah: 65)
Perang hanya diizinkan untuk mengusir atau menghentikan tindakan agresi. Bahkan dalam keadaan perang, ummat Muslim tidak diizinkan melakukan tindakan melawan hukum, sebagaimana telah difirmankan:
Wa qātilu fī sabīlillāhil-lażīna yuqātilūnakum wa lā ta’tadu, innallāha lā yuḥibbul-mu’tadīn. ”Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangimu, namun jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas.” (al-Baqarah: 191)
Berkali-kali ditekankan tujuan peperangan yang ditetapkan pada ummat Muslim adalah untuk meredam aniaya dan fitnah karena fitnah lebih buruk dari pembunuhan. Selama perang, segenap pembatasan dan larangan umum harus tetap diperhatikan terkecuali pihak musuh melanggarnya; dalam hal itu ummat Muslim boleh membalas mereka, namun hanya sebatas tindakan yang dilakukan musuh pada mereka.
Waqtulūhum ḥaiṡu ṡaqiftumūhum wa akhrijūhum min ḥaiṡu akhrajūkum wal fitnatu asyaddu minal qatli, wa lā tuqātilūhum ‘indal Masjidil-Ḥarāmi hattā yuqātilūkum fīh, fa in qātalūkum faqtulūhum każālika jazā’ul-kāfirīn. ”Dan bunuhlah mereka di mana pun mereka kamu dapati, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusirmu, dan fitnah itu lebih buruk daripada pembunuhan. Dan, janganlah kamu memerangi mereka di dekat Masjidil Haram sebelum mereka memerangimu di sana. Tetapi, jika mereka memerangimu, maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.” (al-Baqarah:192)
Fa inintahau fa innallāha gafūrur raḥīm. ”Tetapi jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 192)
Ketika perbuatan fitnah telah dihapuskan dengan tuntas, maka perang harus diakhiri sebagaimana difirmankan:
Wa qātilūhum ḥattā lā takūna fitnatuw wa yakūnad-dīnu lillāh. ”Dan perangilah mereka sehingga tak ada fitnah lagi, dan agama itu hanya untuk Allah.” (al-Baqarah: 194 awal)
Namun hal ini tergantung pada apakah musuh meneruskan perangnya,
...... fa inintahau fa lā ‘udwāna illā ‘alaẓ-ẓālimīn. ”Tetapi, jika mereka berhenti, maka tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang aniaya.” (al-Baqarah: 194 akhir)
Jika perang tidak bisa dihindarkan lagi, maka harus diusahakan segala daya dan upaya untuk mengurangi kekacauan dan ketakutan, dan membatasi kekerasan seminim mungkin. Praktek-praktek primitif seperti merusak wajah dan memutilasi mayat musuh dan menyiksa tahanan perang, yang lazim terjadi di Arab zaman pra-Islam, semuanya telah dilarang oleh Islam.
Sehubungan dengan adat-istiadat dan kebiasaan yang tidak dengan sendirinya biadab atau menjijikkan, prinsip-prinsip yang diajarkan adalah bahwa Muslim dapat memberi perlakuan timbal-balik terhadap musuh, dan boleh bertindak untuk membalas luka-luka atau kesalahan yang dialami oleh mereka, namun yang paling baik adalah bersabar dan memaafkannya.
Wa in ‘āqabtum fa ‘āqibū bi miṡli mā ‘ũqibtum bih, wa la’in ṣabartum lahuwa khairul liṣ-ṣābirīn. ”Dan, jika kamu memutuskan akan menghukum, maka hukumlah mereka setimpal dengan kesalahan yang dilakukan terhadap kamu. Tetapi jika kamu bersabar maka sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (an-Nahl: 127)
Mempersenjati diri dalam perang diizinkan, namun karena sumberdaya pasukan dan peralatannya terbatas, ummat Muslim takut berhadapan melawan suku Quraisy karena mereka berjumlah banyak dan mengambil keuntungan selaku penjaga Ka’bah, lalu dari pengaruh yang timbul akibat perdagangan mereka antara timur, utara dan barat-daya, secara teratur mereka dapat menghasut suku-suku lainnya untuk melawan Islam. Ummat Muslim hanya satu masyarakat kecil di Madinah yang tidak lebih dari beberapa ratus orang saja dan mereka tidak memiliki sumber daya. Mereka tidak berada dalam posisi untuk menghadapi musuh yang sekuat suku Quraisy. Mereka tidak memiliki peluang, sebagaimana difirmankan dalam Alquran:
Kutiba ‘alaikumul-qitālu wa huwa kurhul lakum, wa ‘asā an takhrahū syai’aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbū syai’aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamūn. ”Diwajibkan atasmu berperang, dan itu sesuatu yang kamu tidak sukai; dan boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal hal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal hal itu buruk bagimu. Dan Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 217)
Dan ada lagi pada firman:
..... fa lammā kutiba ‘alaihumul-qitālu iżā farīqum minhum yakhsyaunan-nāsa ka khasyyatillāhi au asyadda khasyyah, wa qālu rabbanā lima katabta ‘alainal-qitāl, lau lā akhkhartanā ilā ajalin qarīb, qul matā’ud-dun-yā qalīl, wal ākhiratu khairul li manittaqā, wa lā tuẓlamūna fatīlā. ”Akan tetapi, ketika perang diwajibkan atas mereka, tiba-tiba segolongan dari mereka takut kepada manusia seperti takut kepada Allah atau lebih takut lagi; dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami mengapa Engkau mewajibkan atas diri kami berperang? Mengapa tidak Engkau beri kami tenggang waktu sedikit lagi?” Katakanlah, “Keuntungan di dunia ini hanya sedikit dan kehidupan di akhirat itu lebih baik bagi orang yang bewtaqwa; dan kamu tidak akan dianiaya sebesar alur biji korma.” (an-Nisā’: 78)
Sekarang peperangan telah ditentukan bagi mereka, tiba-tiba sebagian mereka mulai takut pada manusia sebagaimana takut kepada Allah atau lebih dari itu, dan mereka berkata;
”Ya Allah, mengapa Engkau menetapkan peperangan bagi kami? Mengapa Engkau tidak memberikan kepada kami tenggang waktu walau hanya sebentar?”
Perang, di bawah syarat-syarat yang telah disebutkan di atas telah diizinkan kepada ummat Muslim, dan Nabi Muhammad s.a.w.  telah melakukan tindakan-tindakan tertentu yang dirancang untuk mendukung dan menunjang keselamatsn ummat Muslim:
1.      Beliau mengunjungi suku-suku tetangganya untuk mendirikan perjanjian keamanan, sehingga Madinah menjadi aman dari serangan mereka. Beliau menaruh perhatian khusus pada suku-suku itu, terutama yang berada di dekat rute perjalanan kafilah ke arah utara. Suku-suku itu tadinya membantu Quraisy dan penentangannya pada ummat Muslim amat membahayakan mereka.
2.      Beliau mengirim unit kecil pengintai di berbagai arah yang menuju Madinah sehingga gerakan-gerakan dan rancangan-rancangan pihak Quraisy dan sekutunya segera diketahui, dan ummat Muslim mampu menahan serangan dadakan dari mereka. Maksud lain dari unit kecil ini karena di dalam dan di sekitar Mekah terdapat beberapa orang yang percaya kepada Islam namun tidak dapat melaksanakan dengan terbuka, karena mereka takut pada Quraisy atau tidak mampu Hijrah ke Madinah disebabkan oleh kemiskinannya atau sengaja dihalangi oleh pihak Quraisy. Untuk orang-orang seperti itulah, Alquran telah berfirman:
Wa mā lakum lā tuqātilūna fī sabīlillāhi wal mustaḍ’afīna minar rijāli wan nisā’i wal wildānil lażīna yaqūlūna rabbanā akhrijnā min hāżīhil qaryatizh-zhalimi ahluhā, waj’al lanā mil ladunka waliyyā, waj’al lanā mil ladunka nashirā. ”Dan, mengapakah kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan demi membela orang-orang lemah, laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak, yang berkata, “Hai Tuhan kami keluarkanlah kami dari kota yang penduduknya kejam ini dan jadikanlah bagi kami seorang sahabat dari sisi Engkau, dan jadikanlah bagi kami seorang penolong dari sisi Engkau.” (an-Nisā: 76)
Apa yang menyebabkan kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan orang-orang lemah di antara laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata: ”Ya Allah, keluarkanlah kami dari kota yang penduduknya kejam ini dan jadikanlah bagi kami seorang sahabat dari sisi Engkau, dan jadikanlah bagi kami seorang penolong dari sisi Engkau.Orang-orang itu dapat bergerak di wilayahnya untuk menjadi unit pengintai dan menyelinap keluar Mekah serta bergabung dengan unit pengintai lain, dan membebaskan diri dari fitnah. Mereka juga bisa bergerak di antara kaum Quraisy ke utara dan mencari peluang untuk dapat bergabung dengan unit pengintai Muslim. Misalnya, unit pertama yang dibentuk oleh Nabi Muhammad s.a.w. dipimpin Ubaidah bin Hariṭ r.a., yang kemudian berhadapan dengan pihak Quraisy yang dipimpin Ikramah bin Abu Jahal, di antara mereka terdapat Miqdad bin Amr r.a. dan Utba bin Gazwan r.a. keduanya Muslim dan bergabung ke dalam unit pengintai Muslim tapi berhasil menyusup ke dalam pasukan Ikramah.
3.      Salah satu sarana utama yang digunakan pihak Quraisy untuk merangsang suku-suku agar melawan ummat Muslim datang dari kafilah-kafilahnya yang menuju utara dan kembali ke Mekah, di perjalanan pulang pergi itu mereka menggalang suku-suku yang berdekatan dengan Madinah untuk melawan Muslim. Hal itu dapat menjadi bahaya yang amat besar bagi ummat Muslim karena kafilah-kafilah ini dikawal oleh pasukan bersenjata dan lewatnya mereka di dekat Madinah saja sudah menjadi ancaman bagi keamanan Madinah. Disamping itu dagang adalah sumber kehidupan utama suku Quraisy, dan cara yang efektif untuk membujuk Quraisy agar menghentikan kekejamannya terhadap Islam dan ummat Muslim adalah mengganggu perdagangan mereka, supaya ekonomi mereka mundur. Hal ini selalu dikenal sebagai tindakan yang sah dalam keadaan perang. Setiap orang sangat faham dengan penyitaan dan perusakan kapal-kapal musuh, dan kapal-kapal yang disita serta muatannya dianggap sebagai hadiah. Suku Quraisy sangat faham bahwa di dalam keadaan perang yang diciptakan olehnya sendiri, penghancuran kafilah-kafilah dan penyitaan barang-barang mereka oleh ummat Muslim adalah sah dan dapat diperkirakan sehingga tidak ada keberatan yang dapat disampaikan. Mereka tidak membiarkan sebuah peluang lewat begitu saja tanpa melakukan protes jika mereka memiliki kesempatan itu. Dengan tidak adanya protes apa pun atas penghancuran usaha dagangnya maka kegiatan ummat Muslim dapat dipastikan telah dianggap sah oleh mereka. Tapi beliau memerintahkan bahwa satu-satunya motif bagi yang bergabung dalam gerakan itu adalah segalanya harus dilakukan berdasarkan Firman Allah dan segala hal yang sifatnya hanya sebagai tambahan, tidak boleh mempengaruhi siapa pun yang turut dalam gerakan itu. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmiḍi dan Nasai telah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w.  mendapat pertanyaan sbb: ”Ada orang berperang karena ingin disebut berani, yang lainnya berperang karena gengsi suku dan keluarga, dan yang ketiga berperang untuk pamer saja, yang manakah yang masuk berperang di jalan Allah?”
Beliau bersabda: ”Tidak ada satu pun. Hanya satu yang dapat dianggap berperang di jalan Allah yaitu yang digerakkan oleh motif untuk mengakhiri segala upaya orang-kafir yang mereka lakukan untuk menghancurkan Islam, oleh karenanya Islam harus mengalahkan upaya-upaya musuhnya itu.”
Bukhari, Muslim and Abu Dawud telah meriwayatkan sabda beliau: ”Jangan menyerang musuhmu hanya untuk mencari kedamaian dan keamanan dari Allah. Namun jika kamu diserang musuh, maka teguhkanlah hatimu.”
4.      Ketika Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui bahwa jika ada suku dan keluarga yang bersiap-siap menyerang Madinah, maka beliau  segera memimpin pasukan untuk melawannya dan mengirim pasukan yang dipimpin orang lain guna mengakhiri agresi yang telah direncanakan oleh mereka.
Muslim, Abu Dawud dan Tirmiḍi meriwayatkan atas sanad dari Baridah: ”Perintah Nabi Muhammad s.a.w. kepada pemimpin kelompok biasanya adalah: Jika kamu berperang dengan musuh, tawarkanlah pilihan 3 perkara kepadanya. Jika diterima, janganlah kamu menyerang mereka. Pertama, serulah mereka untuk memeluk Islam. Jika mereka setuju, terimalah dan jabat tangan mereka. Kedua, undang mereka Hijrah ke Madinah dan katakan jika mereka setuju maka mereka akan menerima hak dan kewajiban yang sama dengan para Muhajirin. Jika mereka tidak mau Hijrah, katakan bahwa mereka akan diperlakukan sebagai Muslim tapi tidak punya hak seperti Muhajirin karena perkara itu hanya bisa diperoleh dengan berjuang di jalan Allah. Jika mereka menolak memeluk Islam, serulah mereka untuk menyerah pada pemerintahan Islam dan membayar pajak. Jika mereka menerimanya, jabatlah tangan mereka dan jangan diperangi. Jika mereka menolak semuanya, perangilah mereka atas nama Allah.”
Abu Dawud meriwayatkan atas sanad dari ayah Hariṭ bin Muslim: ”Nabi Muhammad s.a.w., mengirim kami dalam sebuah kelompok dan ketika tiba di dekat tujuan, saya memacu kuda dengan kencang dan mendahului sahabat-sahabat. Saya menemui beberapa orang dari suku yang menjadi tujuan kami, dan mereka memperlihatkan perilaku kasar, namun saya undang mereka untuk menerima Islam dan mereka jadi Muslim. Sebagian sahabat yang lemah marah-marah dan menuduh menghalanginya mendapat harta rampasan (ganimah). Ketika kami kembali ke Mekah, peristiwa tersebut dilaporkan kepada beliau, dan beliau menerima saya serta telah menyetujui tindakan yang saya lakukan serta bersabda: ”Kamu telah berbuat sangat baik. Allah telah menunjukkannya dan dengan begitu maka kamu telah berjasa pada semua orang dari suku itu. Aku akan membuat keterangan yang menyatakan rasa senangku atas tindakanmu.” Kemudian beliau membuat keterangan dan membubuhkan cap di atasnya.”
Abu Dawud dan Tirmiḍi meriwayatkan atas sanad dari Aasim bin Kalib, ia mendengar ayahnya berkata, bahwa Anshar berkata: ”Kami sedang dalam perjalanan bersama Rasulullah s.a.w. ketika melakukan sebuah ekspedisi militer, dan di dalam perjalanan itu kami menderita kelaparan yang sangat hebat dan sangat merasa tertekan karena kami tidak punya persediaan makanan. Kami menangkap beberapa ekor dari sekawanan kambing yang lewat, dan menyembelihnya terus memasaknya. Panci kami telah bergolak ketika beliau tiba, dan ketika beliau tahu tentang apa yang telah kami buat, panci kami dijungkirkan dengan busurnya, dan dengan marahnya beliau injak-injak daging itu sampai lumat, dan bersabda: ”Merampok sama dengan memakan bangkai”.”
Dawud and Nasai telah meriwayatkan atas sanad dari Abu Hurairah r.a. bahwa seseorang telah mengajukan pertanyaan kepada Nabi Suci Muhammad s.a.w.: ‘’Bagaimanakah jika yang berperang di jalan Allah, juga mengharapkan mendapat manfaat duniawi?”Beliau bersabda: ”Orang itu tidak memiliki nilai.” dan diulangi 3 kali.
Muslim, Abu Dawud dan Nasai telah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: ”Bagi mereka yang berperang di jalan Allah dan oleh karenanya memperoleh bagian harta rampasan, ketahuilah bahwa dari 2/3 bagian hadiah tersebut yang akan diperolehnya di alam-sana, maka hanya tinggal 1/3 bagian untuknya yang diperoleh di alam-sana. Jika tidak dapat, mereka memperoleh pahala di alam sana seluruhnya.”
Abu Dawud meriwayatkan: ”Suatu waktu Nabi Muhammad s.a.w.  melakukan ekspedisi militer, seorang Ansari tua Ka’ab bin Ujra, memberikan senjata kepada Sahabat yang miskin, Wasilah bin Asq’a. Setelah perang, Wasilah bin Asq’a menemui Ka’ab bin Ujra dan berkata: ”Allah Ta’ala telah menganugerahkan unta-unta ini padaku sebagai bagian dari harta rampasan. Ambillah bagianmu.” Ka’ab menjawab: ”Semoga Allah memberkati rampasan untukmu. Saya tidak memberi kamu senjata untuk mendapat harta rampasan. Motif saya hanyalah memperoleh nilai rohani.” Dan ia menolak serta tidak menerima bagian itu, yang jika dihitung akan berjumlah 2/3 bagian.
Nasai meriwayatkan, seorang penghuni gurun Arab yang memeluk Islam menemani beliau dalam sebuah ekspedisi militer. Ketika sejumlah harta rampasan diperoleh, beliau memberinya juga bagian harta. Ketika diberitahu, ia menemui beliau dan berkata: ”Ya Rasulullah, engkau menyisihkan bagian harta rampasan untuk saya. Dan saya bersaksi demi Allah, saya menjadi Muslim bukan untuk harta rampasan. Di dalam perang di jalan Allah ini saya ingin agar sebatang panah menembus tenggorokan sehingga saya masuk ke surga.” Dan hal itu diperhatikan oleh beliau: ”Jika hal itu yang ia inginkan sebagai akhirnya, Allah akan menganugerahkan apa yang ia cari.” Kemudian terjadi peperangan dan ia gugur sebagaimana yang ia harapkan. Beliau bersabda: ”Allah telah mengabulkan doanya.” Dan beliau menganugerahkan baju luarnya untuk digunakan khusus sebagai kain-kafannya.”
Peristiwa-peristiwa itu membuat kecurigaan bahwa Sahabat-Sahabat beliau turut berperang hanya karena mencari harta rampasan, menjadi tidak beralasan. Harus diingat bahwa pada zaman itu belum ada tentara reguler dan bala-tentara tidak memperoleh gaji. Kesemuanya bersifat suka-rela dan mereka mempersenjatai dirinya sendiri, serta meninggalkan pekerjaan dan kegiatannya selama masa ekspedisi militer. Satu-satunya cara ganti-rugi bagi mereka adalah dengan memberi bagian dari harta rampasan, dan bagian tebusan dari tawanan perang bagi setiap orang, itu pun jika ada.
Harus dihargai bahwa dengan kedatangan beliau di Madinah, dan sebagai akibat dari perjanjian yang dibuat antara beliau dengan penduduk Arab dan kaum Yahudi di Madinah, maka tanggungjawabnya menjadi bertambah besar, dan tidak sedikit pun mengabaikan kewajiban utamanya sebagai Nabi yang menyebarkan Islam dengan memimpin dan mengajar ummat Muslim tentang nilai-nilai Islam, dimana bagian terbesar dari waktu dan perhatian beliau dihabiskan oleh aneka-ragam masalah yang berkaitan dengan keamanan Madinah.
Sesungguhnya, keamanan Madinah sendiri menjadi sangat penting untuk tujuan penyebaran Islam dan memimpin seta mengajar ummat Muslim dengan sempurna. Di dalam waktu yang singkat setelah tibanya beliau di Madinah, pihak Quraisy telah memulai kegiatan-kegiatannya yang kejam terhadap ummat Muslim. Seorang pemimpin Mekah Kharz bin Jabir Fahri, memimpin kelompok Quraisy sampai 3 mil di luar Madinah, dan merampok sejumlah unta-unta milik ummat Muslim yang sedang digembalakan di padang-rumput. Ketika Nabi Muhammad s.a.w.  mengetahui serangan yang tiba-tiba itu, beliau memerintahkan kelompok Muhajirin untuk mengejar mereka, namun gagal dan musuh melarikan diri.
Begitu izin mempersenjatai diri untuk melawan agresi pihak Quraisy telah diterima, beliau berangkat dari Madinah bersama kelompok Muhajirin menuju ke arah Mekah, dan kemudian tiba di Waddan yaitu tempat tinggal Bani Ḍamarah, keluarga dari Bani Kananah. Orang-orang ini dikenal sebagai keturunan Quraisy. Lalu beliau berunding dengan pemimpin Bani Ḍamarah dan membuat perjanjian dengan mereka. Perjanjian itu berisi ketentuan bahwa Bani Ḍamarah akan memelihara hubungan yang bersahabat dengan ummat Muslim, dan tidak menolong atau menghasut musuh-musuhnya atau membantu ketika mereka menyerunya. Beliau mengambil seluruh tanggungjawab atas kewajiban yang terkait di pihak Muslim terhadap Bani Ḍamarah.
Syarat-syarat perjanjian itu telah dituliskan dan didukung oleh kedua belah pihak. Setelah menginap semalam di benteng itu, beliau kembali ke Madinah. Tidak lama setelahnya, beliau mengirim kelompok pengintai Muhajirin yang naik 60 ekor unta dan dipimpin oleh Ubaidah bin Hariṭ Maṭabi r.a. Ketika kelompok ini tiba di dekat Ṭaniyyatal Marrah, tiba-tiba mereka telah dikepung oleh 200 pemuda Quraisy bersenjata lengkap yang di pimpin oleh Ikramah bin Abu Jahal. Beberapa anak-panah telah dilepaskan oleh kedua belah pihak, lalu kelompok Quraisy mundur dan ummat Muslim pun tidak mengejar mereka. Di situlah Miqdad bin Amr r.a. dan Uṭba bin Gazwan r.a., dua orang Muslim, keluar dari kelompok Ikramah dan bergabung ummat Muslim.
Pada bulan yang sama, Nabi Suci Muhammad s.a.w. mengirim kelompok Muhajirin dengan 30 ekor unta di bawah pimpinan pamannya, Hamzah bin Abdul Muṭalib, menuju daerah pantai di arah timur Madinah. Hamzah dan kelompoknya bergerak cepat dan tiba di wilayah yang disebut Iṣ, di sana telah menunggu Abu Jahal dengan 300 pasukan bersenjata siap menyerangnya. Kedua belah pihak segera mengatur diri dalam formasi tempur dan perang hampir terjadi ketika Majdi bin Amr Juhni sang pemimpin di wilayah itu, yang juga memiliki hubungan baik dengan kedua pihak, melakukan intervensi dan mencegah perang.
Beberapa hari kemudian beliau menerima isyarat adanya gerakan Quraisy, beliau segera berangkat dari Madinah dan memimpin sekelompok Muhajirin. Beliau menunggu di Buaṭ, namun tidak ada kelompok Quraisy menuju Madinah. Beberapa saat kemudian, diterima lagi isyarat tentang adanya gerakan Quraisy, dan beliau dengan sekelompok Muhajirin telah berpatroli dengan berputar-putar, sehingga sampailah ke tepi pantai, di daerah tetangganya yaitu Yanbu. Kembali lagi dialami bahwa tidak ada pertempuran dengan Quraisy, tapi beliau membuat perjanjian dengan Bani Madlaj sama sebagaimana yang dilakukan dengan Bani Ḍamarah, lalu beliau pulang kembali ke Madinah.
Dalam perjalanan pulang itu, beliau bertemu dengan S’ad bin Abi Waqqas r.a. pemimpin kelompok 8 suku Muhajirin yang sedang menuju Khara untuk pengintaian. Lalu, beliau mendirikan kelompok pengintai 8 suku Muhajirin yang anggotanya diambil dari berbagai suku Quraisy dan menunjuk Abdullah bin Jashsy r.a. sebagai pemimpinnya. Agar tujuan kelompok itu tetap rahasia dan tidak bisa diketahui oleh pihak Quraisy, beliau tidak menyebutkan tujuannya walau pada pemimpinnya sekali pun, namun dengan perintah tertulis yang disegel, dan Abdullah r.a. harus membuka dan membacanya setelah berjalan dua hari di arah ke Mekah. Ketika Abdullah r.a. membuka segel itu untuk mengetahui apa isinya, ternyata beliau telah memerintahkan sbb: “Teruskan perjalananmu ke Nakhlah yang berada di antara Mekah dan Taif, di sana segera cari jejak gerakan Quraisy dan laporkan kepadaku.”
Abdullah r.a juga diberitahu bahwa jika ada sahabatnya yang menjadi segan pergi setelah mengetahui tujuannya ini, maka ia diperbolehkan kembali ke Madinah. Lalu Abdullah r.a mengumumkan perintah itu kepada para sahabatnya, namun dengan gembira semuanya menyatakan siap sedia menjalankan perintah itu. Kelompok itu lalu berangkat ke Nakhlah. Di arah perjalanan itu unta yang dipakai oleh  S’ad bin Abi Waqqaṣ r.a. dan Uṭba bin Gazwan r.a. ada yang tersesat, lalu mereka mencarinya dan terpisah dari para sahabatnya yang lain, sehingga tidak bisa bergabung dengan mereka. Kelompok itu tiba di Nakhlah dan mereka sibuk dengan tugas yang telah diperintahkan. Beberapa hari kemudian mereka melihat suatu kafilah kecil Quraisy dalam perjalanan dari arah Taif ke Mekah.
Anggota kelompok itu berunding tentang tindakan apa yang harus diambil. Salah satu unsur penting bahwa saat itu adalah akhir dari salah satu bulan suci, namun mereka tidak yakin apakah bulan itu telah berakhir atau masih merupakan hari terakhir dari bulan suci itu. Jika mereka membiarkan kafilah itu lewat, maka mereka akan segera mencapai batas wilayah perlindungan Mekah, dan tidak boleh diserang. Dalam keadaan itulah mereka menyerang empat orang pengawal kafilah, salah satunya Amr bin Haḍrami terbunuh, dua orang ditawan dan orang yang ke-4 melarikan diri. Kelompok pengintai itu lalu merampas barang-barang kafilah dan segera kembali ke Madinah. Ketika beliau diberitahukan tentang peristiwa tersebut, beliau amat sangat kecewa dan bersabda: “Aku tidak memerintahkan kalian untuk berperang di bulan suci.” Dan beliau menolak menerima bagian harta rampasan itu. Abdullah dan para sahabatnya merasa sangat malu dan pengalaman itu menjadikan mereka merasa bersalah atas perbuatannya. Di lain pihak, suku Quraisy telah mengumumkan dengan lantangnya bahwa ummat Muslim telah menodai bulan suci.
Orang yang terbunuh itu dilindungi oleh Uṭba bin Rabi’a, salah satu pemimpin Mekah, dan kematiannya berdampak besar sekali bagi Quraisy dan mereka membuat rancangan yang amat kejam terhadap Muslim. Mereka mengirim dua orang agennya ke Madinah guna melepaskan dua orang yang ditahan, namun karena S’ad bin Abi Waqqas r.a. dan Uṭba bin Gazwan r.a. belum kembali ke Madinah, dan beliau menimbang bahwa jika mereka ditangkap oleh Quraisy tidak akan diampuni, maka beliau menolak melepaskan tahanan sebelum S’ad r.a. dan Uṭba r.a. kembali ke Madinah. Pada beberapa hari kemudian S’ad r.a. dan Uṭba r.a. tiba di Madinah dan kedua orang tahanan itu dilepaskan setelah tebusannya dibayarkan. Namun salah satu tahanan yang bernama Hakam bin Kayan telah memeluk Islam dan terus tinggal di Madinah. Yang satunya ikut kembali ke Mekah.
Setelah peristiwa itu, lalu Nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu sbb:.
Yas’alūnaka ‘anisy-syahril-ḥarāmi qitālin fīh, qul qitūlun fīhi kabīr, wa ṣaddun ‘an sabīlillāhi wa kufrum bihī wal-Masjidil-Ḥarāmi wa ikhrāju ahlihī minhu akbaru ‘indallāh, wal-fitnatu akbaru minal-qatli, wa lā yazālūna yuqātilūnakum ḥattā yaruddūkum ‘an dīnikum initaṭa’ū. ”Mereka bertanya kepadamu tentang berperang di dalam Bulan Suci. Katakanlah, ”Berperang di dalam bulan ini adalah dosa besar; tetapi menghalangi orang dari jalan Allah dan ingkar kepada-Nya dan kepada Masjidil-Haram dan mengusir penghuninya dari tempat itu adalah dosa yang lebih besar lagi di sisi Allah; dan fitnah itu lebih besar dosanya dari pembunuhan.” Dan, mereka tidak akan berhenti memerangi kamu hingga mereka memalingkan kamu dari agamamu jika mereka sanggup.” (al-Baqarah:218)
Sekarang kita memasuki zaman dimana perang pertama antara ummat Muslim dan  suku Quraisy terjadi di Badar. Sebelum menerangkan kisah perang yang terkenal itu, mungkin akan membantu jika diterangkan tentang kebijakan, prinsip-prinsip dan taktik yang digunakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. dalam kegiatan militer dan para-militer yang diberikan kepada ummat Muslim.
1.      Jika boleh memilih, beliau lebih suka bergerak pada hari Kamis dan di waktu pagi hari.
2.      Sebelum mulai bergerak, biasanya beliau berdoa terlebih dahulu kepada Allah SWT, yang diikuti oleh seluruh pasukannya.
3.      Beliau berhasil mendirikan sistem yang efektif dalam pengintaian gerakan-gerakan musuh. Bagi yang dipercaya untuk mengintai, telah diperintahkan agar mereka tidak melapor langsung kepada beliau jika sedang berada dalam kelompok. Jika menerima laporan intelijen yang terkadang mengkhawatirkan, beliau tidak mengumumkannya, yang diberitahu hanya pribadi-pribadi terpilih saja.
4.      Ketika mengirim ekspedisi militer, biasanya tujuan yang benar tidak diberitahukan. Kadang-kadang beliau berjalan terlebih dahulu beberapa mil di arah yang berbeda dari arah tujuan sebenarnya, lalu berputar menuju arah sasarannya.
5.      Pada jarak yang tidak jauh dari Madinah, beliau berhenti dan memeriksa seluruh pasukan. Lalu berangkat jika merasa puas bahwa semuanya telah berjalan dengan lancar.
6.      Ketika akan melakukan ekspedisi militer yang penting, beliau menyeru para sukarelawan, dan bagi mereka yang bersedia harus menyiapkan peralatan dan senjatanya sendiri. Dan orang-orang yang berkecukupan boleh membantu mereka yang masih berkekurangan. Beliau mendorong bantuan itu dan juga melakukannya sendiri jika beliau sedang berkelapangan.
7.      Anak laki-laki di bawah umur 15 tahun dilarang ikut berperang. Kadang-kadang karena begitu bersemangatnya, ada juga yang terselip dalam sukarelawan, namun jika terdeteksi pada saat pemeriksaan, maka mereka akan dikirim pulang kembali.
8.      Sejumlah perempuan pada umumnya ikut bersama para sukarelawan untuk membantu mereka di Langgar-Kana (Dapur Umum) dan juga merawat pasukan. Mereka juga membagikan air kepada pasukan yang sedang bertempur. Dan para perempuan juga kadang-kadang turut berperang di waktu-waktu tertentu.
9.      Nabi Muhammad s.a.w. selalu membawa satu atau dua orang istrinya dalam perjalanan. Mereka dipilih dengan cara diundi.
10.    Ketika beliau menerima isyarat bahwa terdapat suku yang memusuhinya sedang menyiapkan serangan pada ummat Muslim, beliau mencegah rancangan mereka supaya mereka kecewa. Pada suatu saat dengan begitu rumitnya beliau mampu merancang pasukan Muslim menyerang secara tiba-tiba ke kemah atau markas musuh. Metode itu telah banyak menyelamatkan ummat Muslim, dan hal itu mampu mencegah pertempuran yang tidak perlu sehingga menyelamatkan musuh juga.
11.    Kapan pun ekspedisi militer dikirimkan, beliau selalu memberi perintah pada panglimanya bahwa jika bertemu musuh, mereka harus diundang masuk Islam, dan jika setuju mereka harus segera Hijrah ke Madinah. Jika mereka menjadi Muslim namun tidak mau Hijrah, mereka boleh tinggal di desanya dengan damai. Jika sang musuh menolak undangan untuk masuk Islam, maka mereka harus diminta untuk tidak melawan Muslim dan menyerah pada pemerintahan Islam. Jika mereka menolak tawaran itu, maka mereka boleh diperangi.
12.    Ketika mengirim pasukan untuk ekspedisi militer, beliau memberi nasihat: ”Hai ummat Muslim, pergilah atas nama Allah, dan berperanglah karena Allah. Jangan mencuri harta-rampasan, dan jangan menipu musuhmu. Jangan memutilasi musuh yang mati atau membunuh perempuan atau anak-anak atau rahib atau pendeta atau mereka yang sudah berumur lanjut. Selalu mencoba untuk memperbaiki kesejahteraan orang-orang dan bermurah hatilah kepada mereka. Allah mencintai kemurahan hati.Sayidina Abu Bakar r.a. biasa berkata: ”Jangan ganggu mereka yang menyembah Tuhan, dan juga mereka yang berbakti; jangan memotong pohon yang berbuah atau merusak tempat yang padat penduduknya.” Kesemuanya telah dirancang untuk lebih manusiawi dan untuk mengakhiri praktek keji yang telah lazim di Arabia sebelum kedatangan Islam.
13.    Kapan saja beliau mengirim kelompok atau pasukan, selalu ditunjuk Amir (komandan atau pemimpin). Beliau menjelaskan bahwa walau hanya tiga orang pasti terjadi keributan, karenanya harus ditunjuk satu orang sebagai pemimpin. Beliau menekankan agar mereka selalu mematuhi Amir mereka. Beliau bersabda: ”Walau hanya seorang budak Negro yang bodoh, tapi jika ia ditunjuk sebagai Amir, maka taatilah ia.” Walau demikian beliau menambahkan bahwa  jika Amir memerintahkan sesuatu yang jelas-jelas berlawanan dengan perintah Allah atau berbuat dengan semaunya sendiri, maka dalam hal itu sang Amir tidak perlu ditaati, namun otoritasnya harus ditegakkan selamanya.
14.    Di dalam perjalanan ketika beliau dan para Sahabatnya sedang mendaki suatu ketinggian, mereka memuji Allah dengan kata-kata: ”Allah Maha Besar” dan ketika menuruni jalan yang curam dari suatu ketinggian mereka sebut: ”Allah Maha Suci.”
15.    Ummat Muslim diperintahkan bahwa jika pasukan bergerak, mereka tidak boleh mendirikan kemah dengan cara yang dapat menganggu orang lain, atau jika mereka sedang berbaris tidak boleh menutupi jalan. Beliau bersabda di dalam perjalanan. “Ia yang tidak menjaga kenyamanan orang lain ketika sedang berbaris atau mendirikan kemah akan dicabut haknya jika ia berjihad”.
16.    Ketika beliau melawan musuh di medan perang, beliau selalu berdoa kepada Allah SWT sebelum memulai pertempuran.
17.    Beliau suka bertempur di waktu siang, berhenti perang di tengah hari yang panas, dan segera beristirahat di waktu sore hari sebelum malam tiba.
18.    Sebelum berperang, beliau mengatur formasi perang dan tidak menyukai akan ketidak-tertiban atau pun kebingungan.
19.    Pada umumnya pasukan Islam melakukan dua cara, yang kesatu adalah pasukan putih untuk tenaga bantuan yang disebut Liwa, yang kedua adalah pasukan hitam yang terpisah dari tenaga bantuan dan disebut Raya. Di dalam pertempuran kedua cara itu dipercayakan kepada orang-orang yang terpilih.
20.    Beliau menetapkan kode-kata-kunci bagi pasukannya sebelum perang, dan hal itu amat membantu untuk membedakan antara kawan dan lawan.
21.    Beliau tidak menyukai keributan atau perdebatan pangkat, dan menyuruh diam serta menjalankan tugas dengan baik.
22.    Sebelum perang beliau menunjuk Amir bagi pasukannya yang berlainan kelompok dengan perintah yang jelas untuk masing-masing tugasnya. Dalam memilih komandan pasukannya beliau selalu memilih orang dengan pertimbangan bahwa orang itu merupakan yang paling dihormati pada kelompoknya.
23.    Dalam keadaan tertentu, beliau mengundang para Sahabat untuk mengambil Bai’at khusus dan sumpah kesetiaan, sebagaimana terjadi di Hudaibiyah, dan dijelaskan dalam Alquran.
Laqad raḍiyallāhu ‘anil-mu’minīna iż yubāyi’ūnaka taḥtasy-syajarati fa’alima mā fī qulūbihim fa anzalas-sakīnata ‘alaihim wa aṡābahum fatḥan qarībā. ”Sesungguhnya, Allah telah riḍa terhadap orang-orang mukmin ketika mereka Baiat kepadamu di bawah pohon itu, dan Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, dan Dia menurunkan ketenteraman kepada mereka, dan Dia mengganjar mereka dengan kemenangan yang dekat.” (al-Fath:19)
24.    Ketika beliau sendiri hadir, maka pertempuran tidak akan dimulai sebelum diperintahkan oleh beliau.
25.    Selama pertempuran berlangsung, beliau sendiri terus menerus memberi perintah tertentu atau memerintahkan seseorang yang suaranya keras untuk meneriakkan aba-aba.
26.    Ummat Muslim dilarang melarikan diri dari medan pertempuran, atau bertekuk lutut pada musuh. Mereka diperintahkan untuk bisa unggul atau mati syahid. Namun, mereka diizinkan mundur sebagai taktik manuver:
Yā ayyuhal-lażīna āmanũ iżā laqītumul lażīna kafarũ zaḥfan fa lā tuwallūhumul adbār. Wa may yuwallihim yauma’iżin duburahū illā mutaḥarrifal li qitālin au mutaḥayyizan ilā fi’atin fa qad bā’a bi gaḍabim minallāhi wa ma’wāhu Jahannnam, wa bi’sal-maṣīr. ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang ingkar yang sedang bergerak dalam pasukan, maka janganlah kamu membalikkan punggung kepada mereka. Dan barangsiapa membalikkan punggungnya kepada mereka pada hari semacam itu, kecuali beralih tempat untuk perang atau hendak bergabung kepada pasukan lain, maka sesungguhnya ia kembali dengan kemurkaan dari Allah, dan tempat tinggalnya Jahannam. Dan, alangkah buruknya tempat kembali.” (al-Anfāh: 16-17)
Jika pasukan dan senjatanya lebih lemah dan ada yang memutuskan untuk tidak mengikuti hukum itu, Nabi Muhammad s.a.w. tidak langsung marah namun memberikan manfaat dalam keraguan tersebut dengan cara mundur sebagai taktik manuver dan kemudian membesarkan hati mereka agar ke depannya menjadi lebih berteguh hati lagi.
27.    Ummat Muslim dilarang menimbulkan luka-luka pada wajah siapa pun. Beliau mengawasi bahwa seorang Muslim harus bertindak hati-hati agar tidak menyebabkan luka-luka pada wajah siapa pun.
28.    Ummat Muslim benar-benar dilarang menawan orang lain kecuali dalam masa peperangan.
Yā ayyuhal-lażina āmanū lā takhūnul lāha war-rasūla wa takhūnū amānātikum wa antum ta’lamūn. ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu berkhianat kepada Allah dan Rasul dan jangan berkhianat terhadap amanat-amanatmu padahal kamu mengetahui.” (al-Anfāl: 28)
29.    Tawanan perang boleh dilepas setelah perang sebagai tindakan kemurahan hati atau dengan tebusan.
Fa iżā laqītumul-lażīna kafarū fa ḍar-bar-riqāb, hattā iżā aṡkhantumūhum fa syuddul waṡāq, fa immā mannam ba’du wa immā fidā’an ḥattā taḍa’al-ḥarbu auzārahā. ”Dan apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir maka pukul-lah leher-leher mereka, hingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka perkuatlah belenggu mereka, kemudian sesudah itu lepaskanlah mereka sebagai suatu kemurahan hati atau dengan menerima tebusan hingga perang meletakkan senjatanya.” (Muhammad: 5)
Atau, mereka boleh minta ditebus dengan harga yang ditetapkan bersama dan dibayar dari pendapatannya, dalam hal ini mereka harus dibebaskan agar dapat mencari nafkah secara bebas. Sungguh, bagi mereka yang memberi kebebasan, mereka mendorong hasrat untuk membayar tebusan, itu kemurahan hati, sebagaimana disebutkan:
... wal-lażīna yabtagūnal-kitāba mimmā malakat aimānukum fa kātibūhum in ‘alimtum fīhim khairāw wa ātūhum mim mālillāhil lażī ātākum. ”Dan orang-orang yang menghendaki surat pembebasan budak dari apa yang dimiliki oleh tangan kananmu, maka tuliskanlah bagi mereka, jika kamu mengetahui suatu kebaikan dalam diri mereka, dan berikanlah kepada mereka dari harta Allah yang telah Dia berikan kepadamu.” (an-Nūr: 34)
30.    Tawanan perang harus diperlakukan dengan iba-hati. Dan mereka yang ditawan dalam perang Badar telah bersaksi bahwa mereka diperlakukan dengan amat baik oleh penangkapnya.
31.    Tebusan tidak dipaksakan harus dibayar dengan uang tunai. Misalnya, bagi tawanan perang Badar yang pandai baca tulis telah diminta untuk menebus dirinya dengan mengajarkan baca-tulis pada sejumlah anak-anak Muslim.
32.    Ummat Muslim dilarang mencuri atau pun merampok.
33.    Jika ada musuh yang menyatakan masuk Islam walau pun dalam keadaan perang, maka ia harus diselamatkan karena tidak ada lagi bahaya yang timbul darinya. Di dalam suatu pertempuran ada satu prajurit musuh yang siap bertempur, tapi ketika berhadapan dengan Usama bin Zaid r.a. yang akan membunuhnya, ia menyatakan bahwa ia memeluk Islam, namun Usama r.a. tetap saja membunuhnya. Ketika peristiwa ini dilaporkan ternyata beliau merasa sangat kecewa dan bersabda kepada Usama r.a.: ”Mengapa engkau membunuhnya setelah ia menyatakan masuk Islam?” Usama r.a. menjawab: ”Ya Utusan Allah, ia berkata demikian karena takutnya, ia tidak jujur.” Nabi Muhammad s.a.w.  membalasnya: ”Sudahkah kamu belah hatinya agar kamu yakin ia jujur atau tidak?” Beliau juga mengulanginya: ”Bagaimana engkau menghadapi Allah di Hari Pembalasan nanti?”Usama r.a. sangat sedih atas kekecewaan beliau, dan berkenaan dengan peristiwa itu ia telah berkata: ”Aku ingin sekali bahwa ketika hal itu terjadi aku masih belum menjadi Muslim dan baru masuk Islam setelah peristiwa tersebut, agar aku tidak menjadi penyebab kekecewaan yang amat besar bagi beliau.”
Sebaliknya, ada juga contoh dimana beliau sendiri tidak menerima seseorang masuk Islam karena beliau mengetahui bahwa orang itu berbuat demikian saking takutnya atau hanya berpura-pura saja. Kisah itu diceritakan oleh Muslim bahwa dalam suatu pertempuran telah ditangkap seorang tawanan perang yang berasal dari suku sekutu Bani Taqif. Ketika beliau berjalan melewatinya, ia memohon dibebaskan dengan berkata sebagai berikut: ”Ya Muhammad s.a.w., mengapa aku ditawan? Aku telah menerima Islam.” Beliau menjawabnya: ”Andaikan kamu memeluk Islam sebelum tertangkap, Allah akan menerima kamu dan kamu akan selamat, namun tidak sekarang.” Pada akhirnya ia ditukar dengan dua orang Muslim yang menjadi tawanan perang Bani Taqif. Jadi jelaslah bahwa tidak ada satu pun contoh dari orang yang masuk Islam karena ia merasa terpaksa, atau ia takut mati.
34.    Ummat Muslim diperintahkan untuk selalu memenuhi perjanjian dan sumpahnya. Beliau sendiri sangat mentaati hal-hal yang seperti itu. Di masa perang Badar, Hużaifah bin Yaman, telah hijrah dari Mekah dan bergabung bersama beliau beserta ummat Muslim tepat pada saat pertempuran akan segara dimulai. Ia melapor kepada beliau bahwa ketika ia akan berangkat dari Mekah, suku Quraisy telah membuatnya bersumpah bahwa ia tidak akan turut bertempur untuk melawan mereka. Setelah mengetahuinya, beliau memerintahkannya untuk memenuhi janjinya dan tidak turut berperang. Peristiwa itu menggambarkan suatu contoh ekstrim tentang betapa ketatnya beliau dalam menepati janji, padahal janji itu dibuat dalam kedaan terpaksa, dan tidak mengikat secara sah. Sayidina Umar r.a. juga sama ketatnya dalam hal itu ketika di zamannya beliau mengumumkan bahwa seorang Muslim yang terbukti bersalah menipu musuh, atau menciderai janji yang diucapkan pada musuhnya, ia akan dihukum.
35.    Jasad orang Muslim yang syahid di dalam pertempuran tidak dimandikan atau dikafani. Mereka dikuburkan dalam keadaan ketika mereka gugur.
36.    Dalam keadaan darurat, jenazah orang-orang yang syahid dikuburkan secara bersama dalam satu liang lahad. Dalam kasus tertentu, jenazah-jenazah mereka diturunkan ke liang lahad sesuai urutan derajat pengetahuan mereka terhadap Alquran. Orang-orang yang syahid dikubur di medan perang.
37.    Ṣalat jenazah bagi orang-orang yang syahid dilakukan segera setelah pertempuran, atau jika keadaan tidak mengizinkan, penguburan dilakukan kemudian.
38.    Beliau biasanya menyuruh ummat Muslim untuk menguburkan musuhnya yang mati, dengan cara-cara yang baik.
39.    Di zaman beliau, para prajurit Muslim tidak diberikan gaji.
40.    Ketika harta rampasan akan dibagikan, komandannya diberikan kesempatan pertama untuk memilih barang-barang baginya sebagai tanda-mata, 1/5 nya disisihkan sebagai hak Allah dan Utusan-Nya. Sisanya dibagi rata bagi para prajurit, dan mereka yang memiliki tunggangan menerima bagian 3x lebih besar dari yang berjalan kaki. Barang-barang pribadi milik musuh yang terbunuh, menjadi hak milik orang Muslim yang membunuhnya.
41.    1/5 bagian yang disisihkan sebagai hak Allah dan Utusan-Nya, diatur sesuai perintah beliau. Sebagian dari harta itu dibagikan kepada keluarga dan para kerabatnya, namun bagian terbesarnya diberikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Beliau bersabda: ”Aku pribadi dilarang mengambil bagian dari yang 1/5 itu, walau hanya sejumlah yang sama dengan seutas rambut unta, bagian terbesarnya dari yang 1/5 itu dikembalikan kepadamu.”
42.    Di medan perang, pengaturan Ṣalat diperbaharui dengan cara bahwa Imam memimpin Ṣalat yang diikuti oleh barisan dari sebagian kecil pasukan, lalu barisan ini mundur dan diganti oleh barisan yang baru. Dengan cara ini, bagian terbesar pasukan dapat terus bertempur untuk melawan musuhnya selama waktu Ṣalat.
Wa iża kunta fīhim fa aqamta lahumuṣ-ṣalata fal taqum ṭā’ifatum minhum ma’aka wal ya’khużū asliḥatahum, fa iża sajadū fal yakūnū miw warā’ikum, wal ta’ti ṭā’ifatun ukhrā lam yuṣallū fal yuṣallū ma’aka wal ya’khużū ḥiżrahum wa asliḥatahum, waddāl lażīna kafarū lau tagfulūna ‘an aslihatikum wa amti’atikum fa yamīlūna ‘alaikum, mailataw wāḥidah. ”Dan, apabila kamu berada di antara mereka lalu kamu mengimami shalat bagi mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri bersama kamu, dan hendaklah mereka memegang senjata mereka. Dan apabila mereka telah selesai sujud, maka hendaklah mereka pergi ke belakangmu, dan hendaklah maju pula ke muka golongan lain yang belum ṣalat, dan hendaklah mereka shalat bersama kamu, dan hendaklah mereka terus memegang peralatan-peralatan dan senjata mereka.” (an-Nisā’: 103)
43.    Setelah diperintahkan untuk berpuasa, sebagian Muslim melakukan puasa di dalam perjalanan dan sebagian lainnya tidak berpuasa. Ketika itu, beliau melarang ibadah puasa dilaksanakan ketika berada di dalam perjalanan.
44.    Adat istiadat Arab sejak zaman kuno, boleh membunuh seorang mata-mata. Namun beliau hanya mengenakan denda saja.        
45.    Beliau, melarang keras setiap campur tangan pada utusan musuh, atau mencelakakannya, atau melakukan perbuatan yang menimbulkan luka baginya. Dalam suatu kesempatan, beberapa utusan kaum kafir menemui beliau dan berbicara dengan amat kasarnya. Beliau terpengaruh, namun bersabda: ”Kamu ini cuma utusan, dan oleh karenanya aku tidak mengizinkan pembalasan yang kasar kepada kamu sekalian.” Dalam kesempatan lainnya, seorang utusan datang menemuinya dan setelah berbicara dengan beliau, ia memeluk Islam dan berkata bahwa ia tidak ingin kembali. Beliau bersabda: ”Kamu adalah seorang utusan dan harus kembali kepada rakyatmu. Aku tidak akan berkhianat. Setelah kamu kembali ke tempatmu, maka kamu boleh datang kapan saja.” Akhirnya ia pulang dan setelah beberapa lama ia telah datang kembali.
46.    Setelah Hejaz dibersihkan dari seluruh ummat penyembah-berhala, beliau mengumumkan bahwa jika penyembah-berhala ingin pergi ke Madinah sebagai seorang pencari kebenaran, beliau menjamin keselamatan mereka dan juga waktu pulangnya.
Wa in aḥadum minal-musyrikīnastajāraka  fa ajirhu ḥattā yasma’a kalāmallāhi ṡumma ablighu ma’manah. “Dan, jika salah seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, berilah ia perlindungan sehingga ia dapat mendengar firman Allah, kemudian sampaikanlah ia ke tempatnya yang aman.” (at-Taubah: 6)
47.    Beliau adalah orang yang amat memperhatikan keamanan dan hak-hak para penyembah berhala yang telah mendirikan perjanjian dengan ummat Muslim. Dan beliau bersabda: “Orang Muslim yang membunuh penyembah-berhala yang dilindungi perjanjian tidak berhak atas surga.” Beliau juga menghukum ummat Muslim yang keliru membunuh penyembah berhala yang dilindungi perjanjian, dengan membayar uang darah pada ahli-warisnya dan harus membebaskan seorang budak.
48.    Beliau juga bersabda: “Di Hari Pembalasan, aku akan mencari keadilan bagi penyembah-berhala yang dilindungi perjanjian, yang diperlakukan buruk, diganggu, dibebani di luar kemampuannya, atau dihalang-halangi dari keinginannya.”
49.    Ketika beliau maju berperang, beliau tidak pernah tinggal lebih dari tig hari di medan pertempuran setelah mencapai kemenangan, sehingga kehadiran pasukan Muslim tidak menjadi sumber gangguan atau menjadi beban bagi penduduk setempat.
50.    Setiap maksud yang berada di luar penegakkan keimanan dan peredaman kekejian, dianggap bertentangan dengan ketentuan Jihad, beliau telah mengumumkan bahwa siapa pun yang maju berperang hanya untuk mencari harta rampasan, atau memamerkan keberaniannya, atau maksud duniawi yang lainnya, telah membuat dirinya lepas dari pahala kerohanian.
Di zaman Nabi Muhammad s.a.w., cara orang Arab melakukan pertempuran adalah, bahwa ketika tentara lawannya telah berdiri dalam formasi tempur, maka salah seorang dari jago-jagonya akan menantang lawannya untuk melakukan duel satu lawan satu. Setelah duel itu, peperangan akan terjadi dalam skala besar. Pertempuran dilakukan dengan berjalan kaki atau menunggang kuda, namun kuda lebih disukai karena bisa bergerak lebih cepat. Unta-unta digunakan sebagai alat angkut dalam perjalanan untuk membawa peralatan dan persediaan makanan. Pada umumnya senjata yang digunakan adalah pedang, tombak dan anak-panah. Tameng, baju-zirah dan tutup-kepala-besi digunakan sebagai alat pelindung. Sebagian suku-suku juga memakai ketapel untuk melempar batu ke arah musuh. Beliau juga menggunakan ketapel selama mengepung kota Taif.
Di tengah gangguan-gangguan itu, maksud utama diturunkannya Nabi Muhammad s.a.w. tetap dilaksanakan dan tidak dilupakan. Ummat Muslim diperintah dan diajarkan semua nilai-nilai Islami secara berkesinambungan. Ṣalat farḍu mulai dilembagakan di kota Mekah. Di dalam Ṣalat itu, beliau dan ummat Muslim menghadap ke Qiblat di Yerusalem. Praktek seperti itu dilanjutkan kira-kira selama 18 bulan sejak beliau Hijrah ke Madinah. Sejak awalnya beliau telah mengharapkan bahwa Ka’bah ditunjuk sebagai Qiblat (ke arah mana kita menghadap selama Ṣalat), karena Ka’bah adalah Rumah pertama yang dibangun untuk Menyembah Allah, dan ingatan akan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. juga amat melekat dengan Ka’bah. Mekah juga merupakan tempat-lahir dan rumah bagi Nabi Muhammad s.a.w.  dan tempat Islam dilahirkan.
Kira-kira 1 ½ tahun setelah Hijrah ke Madinah, beliau menerima wahyu Alquran sbb:
Sayaqūlus-sufahā’u minan-nāsi mā wal-lāhum ’an qiblatihimul-latī kānū ‘alaihā, qul lillāhil-masyriqu wal-magrib, yahdī may yasyā’u ilā ṣiraṭim mustaqīm. .......... wa mā ja’alnal-qiblatal-latī kunta ‘alaihā illā li na’lama may yattabi ‘ur-rasūla mim-may yanqalibu ‘alā ‘aqibaīh, wa in kānat lakabiratan illā ‘alal-lażina hadallāh .......... Qad nara taqalluba wajhika fis-sama’, fa la nuwalliyannaka qiblatan tarḍaha fa walli wajhaka syaṭral-Masjidil-Ḥaram, wa ḥaiṡu ma kuntum fa wallu wujuhakum syaṭrah. ”Orang-orang bodoh di antara manusia akan berkata, “Apakah yang menyebabkan mereka berpaling dari Qiblat mereka, yang mereka telah berada di atasnya?” Katakanlah: Timur dan Barat kepunyaan Allah; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. .............. dan, tidak Kami jadikan Qiblat yang kepadanya dahulu kamu ber-Qiblat melainkan supaya Kami mengetahui orang yang mengikuti Rasul dari orang yang berpaling di atas kedua tumitnya, dan sesungguhnya hal ini berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah.......  Sesungguhnya, Kami sering melihat wajah kamu menengadah ke langit; maka niscaya akan Kami palingkan kamu ke arah Qiblat yang kamu menyukainya. Maka palingkan wajah kamu ke arah Masjidil Haram; dan di mana saja kamu berada, hadapkan wajahmu ke arahnya.” (al-Baqarah: 143-145)
Ayat-ayat itu memerintahkan untuk merubah Qiblat dari Baitul Maqdis di Yerusalem ke Masjidil Haram di Mekah. Dan juga menerangkan tentang kebijakan Yerusalem yang telah ditetapkan sebagai Qiblat bagi ummat Muslim di masa awal yang kemudian dirubah ke Ka’bah. Lalu Yerusalem sebagai Qiblat menjadi suatu tantangan bagi para penyembah-berhala di Mekah, dan dalam bulan-bulan awal setelah Hijrah pun, hal itu tetap menjadi tantangan bagi para penyembah-berhala di Madinah. Ketika penyembah-berhala menjadi Muslim, tantangan menghilang dan penunjukkan Ka’bah sebagai Qiblat menjadi tantangan bagi ummat Yahudi di Madinah.
Perubahan itu juga merupakan bukti nubuatan bahwa Mekah akan segera jatuh ke dalam dominasi Muslim dan Ka’bah akan disucikan dari berhala-berhala, serta dirubah menjadi tempat memuja Allah Yang Maha Esa Sejati. Ummat Muslim telah diperintahkan untuk memusatkan perhatiannya guna mencapai tujuan itu. Dari bentuk-bentuk pemujaan yang dilembagakan oleh Islam guna pembersihan diri dan pemenuhan kebutuhan rohani ummat Muslim, pertama-tama Ṣalat harus didirikan lalu diikuti oleh pelaksanaan Puasa di bulan Ramaḍan, dimana perintah itu turun beberapa waktu setelah beliau tiba di Madinah, dengan wahyu: 
Yā ayyuhal-lażīna āmanū kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alal-lażīna min qablikum la’allakum tattaqūn. Ayyāman ma’dūdāt, fa man kāna minkum marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar, wa ‘alal-lażīna yuṭīqūnahū fidyatun ṭa’āmu miskīn, fa man taṭawwa’a khairan fa huwa khairullah, wa an taṣūmũ khairul lakum in kuntum ta’lamūn. ”Hai orang-orang yang beriman, puasa diwajibkan atasmu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu terpelihara dari keburukan rohani dan jasmani. Hari-hari yang telah ditentukan bilangannya, maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka hendaknya berpuasa sebanyak itu pada hari-hari lain; dan bagi mereka yang tidak sanggup berpuasa, membayar fidyah, memberi makan kepada seorang miskin. Dan, barangsiapa berbuat kebaikan dengan rela hati maka hal itu lebih baik baginya. Dan, berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 184-185)
Puasa termasuk tidak makan dan minum antara terbit fajar sampai matahari terbenam, dan tidak melakukan hubungan suami-istri selama waktu itu, dan selama dalam bulan Ramaḍan. Walau pun bekerja dan mencari nafkah dapat dilakukan seperti biasa dalam bulan Ramaḍan, namun penekanannya terletak dalam latihan akhlak dan rohani, sebagaimana dalam Ṣalat, yaitu selalu mengingat kepada Allah SWT, mempelajari Alquran dan seluruh bentuk-bentuk amal. Beliau telah meletakkan penekanan pada kesucian, pisik, rohani, dan akhlak yang mutlak selama bulan Ramaḍan.
Diriwayatkan bahwa beliau telah bersabda: ”Yang paling merugi adalah orang yang tidak memanfaatkan kesempatan melaksanakan puasa dengan penuh semangat di bulan Ramaḍan, dan oleh karenanya ia tidak memperoleh ampunan bagi segenap dosa-dosa dan kesalahannya yang telah lalu. Jika seseorang yang melaksanakan puasa namun tidak membuang perbuatan dusta dan penipuan yang berdalih hukum-hukum, ia akan merugi karena Allah menetapkan bahwa orang itu tidak memperoleh nilai apa pun melainkan lapar dan haus belaka.”
Beliau juga memperingatkan terhadap segala sesuatu yang dilakukan dengan berlebihan, bahkan untuk shalat sekali pun. Beliau melarang orang-orang melakukan kebiasaan berpuasa secara terus menerus, atau untuk suatu masa yang amat panjang.  
Beliau memberi nasihat: ”Kamu memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri, terhadap istri-istrimu, terhadap anak-anakmu, terhadap sahabat-sahabatmu, dan terhadap tetangga-tetanggamu, dan tidak boleh meninggalkan setiap kewajiban itu. Dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban itu sesuai dengan kehendak dan kesenangan Allah, maka hal itu juga sudah menjadi sebuah ṣalat.”
Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan bahwa di akhir bulan Ramaḍan, setiap orang Muslim yang mampu harus membayar zakat berupa tujuh pon gandum, atau jawawut, atau korma, atau anggur, yang diserahkan kepada Badan Zakat-Infaq-Ṣadaqah, yang harus dibagi-bagikan kepada orang-orang yang kekurangan, anak-anak yatim, janda-janda dll., sehingga hal itu dapat menjadi sebuah penebusan terhadap hari-hari puasa yang tidak dilaksanakan, dan dapat menjadikan orang-orang miskin dan yang berkekurangan tadi turut serta berbahagia di dalam Hari-Raya sesudah mereka selesai melaksanakan ibadah puasa satu bulan penuh. 
Perayaan ini dilembagakan juga di hari ketika puasa mulai wajib dilaksanakan. Perayaan ini dilaksanakan dengan sangat bergembira sebagai penyataan rasa syukur ke hadirat Allah SWT karena Dia telah memberikan kesempatan kepada hamba-hamba-Nya untuk menjalankan ibadah puasa sebagaimana telah diwajibkan oleh-Nya. Di hari itu semua ummat Muslim, laki-laki dan perempuan berkumpul bersama-sama di lapangan terbuka dan melaksanakan Ṣalat sunnah sehingga tubuh dan ruh menjadi bersama-sama ikut merayakannya.
Terdapat dua buah Hari-Raya yang telah melembaga di dalam Islam. Hari-Raya yang kedua dirayakan sesudah ibadah naik haji selesai dilakukan, dan bagi mereka yang mampu harus mengorbankan seekor kambing untuk memperoleh kesenangan Allah SWT. Berkenaan dengan pengorbanan ini, Alquran telah menetapkan:
Lay yanālallāha luḥūmuhā wa lā dimā’uhā wa lakiy yanāluhut-taqwā minkum, każalika sakhkharahā lakum li tukabbirullāha ‘alā mā hadākum, wabasy-syiril muḥsinīn. Sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, dagingnya dan tidak pula darahnya, akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan darimu. Demikianlah Dia menundukkan mereka untuk kamu, supaya kamu mengagungkan Allah sesuai petunjuk kepadamu. Dan berikan khabar suka kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (al-Hajj: 38)
----------------- *** -----------------

No comments:

Post a Comment