Saturday, July 2, 2011

BAB - 02. PANGGILAN ALLAH SWT

Sekarang usia Nabi Muhammad s.a.w. mendekati umur 40 tahunan. Beliau selalu termenung, semakin matang, menjadi lebih pengertian dan suka menyepi. Tafakur dan introspeksi-diri memenuhi pikiran beliau, dan kemerosotan akhlak rakyatnya sangat menekan perasaan beliau. Jiwa beliau bimbang karena tidak pasti pada jalan lurus yang mana yang harus ditempuh. Jika terbebani, beliau sering menyepi mencari damai dalam tafakur di lembah sunyi dan di celah-celah batu-batu karang di dekat Mekah.
Tempat yang paling disukai adalah sebuah gua di Gunung Hira, bukit kerucut yang tinggi, sejauh 2 – 3 mil di utara Mekah. Di sana beliau menyepi berhari-hari, dan kadang-kadang Sayidah Khadijah r.a. pun menemani beliau. Di dalam waktu itu beliau mulai melihat banyak hal dalam mimpi-mimpinya dan terbukti sesuai wahyu yang diterimanya. Ini petunjuk bahwa beliau telah tiba pada standar yang diterangkan dalam Alquran dengan referensi terhadap Nabi Musa a.s. yaitu sbb:
Waṣṭana ‘tuka li nafsī. Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku.         (Ṭāhā: 42)
Pada hari Senin di dalam 10 hari terakhir dari bulan Ramaḍan yang penuh berkat, ketika beliau sedang berzikir di dalam gua, tiba-tiba menjelmalah seseorang yang asing di hadapannya. Ia mendekati beliau dan berkata: “Bacalah.” Dan beliau menjawab: “Aku tidak bisa membaca.” Kemudian seseorang itu menangkap dan memeluk beliau dengan keras di dadanya, kemudian melepaskan pelukannya dan  memerintahkan kembali: “Bacalah.”
Jawabannya sama dengan yang pertama. Perintah itu diulanginya sekali lagi, dan pelukannya menjadi lebih keras lagi untuk mempengaruhi hati Nabi Muhammad s.a.w. dan menyiapkan beliau untuk menerima firman yang harus disampaikan kepadanya. Setelah pelukan yang ketiga, seseorang itu melepas beliau dan berkata:
Iqra’ bismi rabbikal-lażī khalaq. Khalaqal-insāna min ‘alaq. Iqra’ wa rabbukal-akram, allażī ‘allama bil-qalam, ‘allamal-insāna mā lam ya’lam. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu adalah Maha Mulia. Yang mengajarmu dengan pena. Mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.”  (al-Alaq: 2-6)
Setelah itu sang seseorang menghilang, meninggalkan beliau yang begitu gelisah dan kebingungan. Jantungnya berdegup kencang dan beliau belum mengerti akan wahyu yang baru saja terjadi, dan apa yang dimaksud oleh seseorang tersebut. Dalam keadaan gemetaran, beliau keluar dari gua,  lalu pulang, dan berkata kepada Sayidah Khadijah r.a.: ”Selimuti aku, selimuti aku.” Melihat kegelisahan suaminya, Sayidah Khadijah r.a. curiga dan segera menyelimuti beliau. Selang beberapa saat, setelah gelisahnya agak mereda, beliau menerangkan peristiwa itu kepada Sayidah Khadijah r.a. dan bersabda: ”Aku merasa sangat ketakutan.”
Sayidah Khadijah r.a. menjawab: ”Tidak sayang, bergembiralah. Allah pasti tidak akan merendahkanmu. Engkau telah melakukan kewajiban akan kebaikan, engkau jujur, engkau melepas beban berat dari orang-orang, engkau memiliki akhlak yang mulia sehingga amat jarang terjadi, engkau menghormati tamu dan engkau telah menyelamatkan orang-orang yang berada dalam kesulitan.”
Itulah pengalaman pertama beliau menerima wahyu secara lisan. Kata-kata yang disampaikan kepada beliau tidak diragukan lagi adalah mutlak wahyu sejati yang datang dari Allah SWT. Perintah seseorang itu kepada Nabi Muhammad s.a.w.: ”Bacalah”, diartikan bahwa beliau harus membacanya, dan jawabannya dapat berarti: ”Saya tidak bisa membaca.” Kenyataannya Nabi Muhammad s.a.w. butahuruf dan tidak bisa membaca atau menulis. Hal ini dibenarkan oleh Alquran yang menegaskan sbb:
Wa mā kunta tatlū min qablihī min kitābiw wa lā takhuṭṭuhū bi yamīnika iżal lartābal-mubṭilūn. ”Dan tidak pernah kamu membaca sebelum Alquran ini satu pun Kitab, dan tidak pernah kamu menulisnya dengan tangan kananmu, sekiranya terjadi demikian, tentulah menjadi ragu orang-orang yang mendustakan.” (al-Ankabūt: 49)
Namun perintah ”Bacalah” yang disampaikan oleh seseorang kepada Nabi Muhammad s.a.w. berarti bahwa beliau telah dipilih untuk mengambil langkah-langkah tertentu dalam menyampaikan firman tersebut kepada seluruh ummat manusia, dan jawaban pada saat itu adalah bahwa beliau tidak mampu melakukannya. Maksud pelukan yang dilakukan berkali-kali itu adalah untuk memberi dampak dan menguatkan hati beliau sehingga siap-sedia menerima tanggungjawab yang akan diberikan Allah SWT di pundaknya.
Sayidah Khadijah r.a. mengajak beliau menemui keponakannya yang bernama Waraqah bin Naufal yang telah membuang penyembahan berhalanya kemudian memeluk Kristen dan mengerti Kitab-kitab Suci. Tapi sekarang ia sudah tua dan hampir buta. Sayidah Khadijah r.a. memintanya mendengar apa-apa yang telah disabdakan oleh beliau.
Setelah didengarnya, Waraqah pun berkata: ”Malaikat yang biasanya turun kepada Nabi Musa a.s. telah turun kepadamu. Andai saja aku lebih kuat dan dapat hidup lama sampai bisa melihat orang-orangmu mengusirmu dari rumahmu.’
Nabi Muhammad s.a.w. merasa kaget dan bersabda: ”Apakah mereka akan mengusirku.”
Waraqah menjawab: ”Tidak pernah ada utusan Tuhan yang tidak ditentang oleh orang-orangnya. Jika aku hidup sampai saat itu, aku akan membantu dengan semua kekuatanku.”  Namun tidak lama setelah itu ia wafat.
Setelah pengalaman pertama menerima wahyu, beliau tidak menerima wahyu lagi sampai kira-kira 6 minggu. Beliau menjalani hari-hari itu dengan amat kebingungan dan tidak bisa tidur. Beliau tidak mengerti maksud kejadian itu, dan apa yang akan terjadi kemudian.
Apakah firman itu benar-benar datang dari Allah, atau hanya rahasia yang bergolak di dalam pikiran beliau?                                                                                                                                      
Saat-saat itu adalah masa-masa kecemasan yang amat besar bagi beliau. Di tengah perjuangan yang meliputi pikiran dan jiwanya, ketika, pada suatu hari beliau pulang dari Bukit Hira ke rumahnya dan tiba-tiba terdengar suara seperti seseorang sedang berbicara kepada beliau. Lalu beliau menengok ke kanan dan ke kiri, namun tak seorang pun terlihat. Ketika menengadah ke arah langit beliau melihat sebuah kursi-sandar besar yang tergantung di udara, dan di sana duduklah seseorang yang sama, yang dilihat oleh beliau ketika berada di dalam gua. Beliau terkaget-kaget lalu lari pulang ke rumah, dan setibanya di sana beliau minta diselimuti oleh Sayidah Khadijah r.a.
Begitu berbaring, beliau mendengar suara agung yang berkata:
Yā ayyuhalmuddaṡṡir, qum fa anżir, wa rabbaka fa kabbir, wa ṡiyābaka fa ṭahhir, war-rujza fahjur. “Wahai, orang yang memakai jubah, Bangkitlah dan peringatkanlah, dan Tuhanmu hendaknya diagungkan, dan sucikanlah orang-orang yang tinggal bersamamu, dan syirik hendaknya dihapuskan.” (al-Muddaṡṡir: 2-6)
Setelah peristiwa itu, Nabi Muhammad s.a.w. senantiasa menerima wahyu secara terus-menerus. Sekarang beliau senang dan memahami bahwa beliau telah diberi kuasa oleh Allah untuk menyeru orang-orang kepada Tuhannya. Beliau mulai menyeru orang-orang kepada Tauhid dan melarang perbuatan syirik yaitu perbuatan menyekutukan Allah. Namun pada saat itu beliau belum mulai melakukan pemberitahuan dengan terbuka. Beliau bekerja diam-diam dan membatasi kabar-suka hanya kepada sahabat dekatnya saja.
Apakah kedua pengalaman Nabi Muhammad s.a.w. itu benar-benar diberi kuasa oleh Allah, atau apakah hal itu hanya semacam halusinasi, atau apakah hal itu akibat dari imajinasinya, atau hanya karangan beliau belaka?
Hal itu tidak mungkin dikarang, dibuat, atau hanya merupakan perbuatan beliau yang dilakukan dalam keadaan tidak sadar, karena jika demikian, maka beliau tidak akan berperilaku sebagaimana yang dilakukannya segera setelah pengalaman pertamanya di gua, dan pada masa waktu 6 minggu ketika terjadi penghentian wahyu. Beliau harus mengarang sendiri tindakan apa yang akan dilakukan selanjutnya setelah berpura-pura mengalami pengalamanan tersebut sebagaimana diterangkan kepada istrinya ketika sampai di rumah dari gua Hira. Atau beliau akan merasa kebingungan dan terus merasa gelisah selama periode berhentinya wahyu. Juga menjadi sama tidak mungkinnya bahwa pengalaman itu akibat dari halusinasi.
Kedua wahyu itu penuh dengan kebijaksanaan dan semangat yang suci sehingga tidak mungkin didapat dari halusinasi. Pelajarilah sejenak tentang nubuatan agung yang terkandung di dalam kata pertama pada wahyu yang pertama: Bacalah,’ yang disampaikan berulang-ulang. Ini adalah petunjuk yang jelas bahwa Allah SWT bermaksud menyampaikannya secara lisan kepada beliau, dan perlu diulangi serta harus disampaikan secara meluas. Pemenuhan nubuatan ini telah menjadi bukti bahwa pengalaman tersebut bukanlah hasil dari sebuah halusinasi. Pikirkan juga adanya penyingkapan agung bahwa ummat manusia akan mengakui seutuhnya terhadap kebenaran agung yang disebarkan secara luas melalui pena, dimana pena akan menjadi alat yang dapat menyebarkan ilmu pengetahuan secara rinci kepada ummat manusia.
Apakah ada jejak halusinasi di sini?
Kebijaksanaan tanpa tanding yang terkandung di dalam wahyu yang diturunkan kepada beliau secara terus menerus, adalah bukti yang tepat bagi kewarasan tertinggi dan ketulusan sempurna dari penerima wahyu-wahyu tersebut. Pertimbangan yang sama telah membuktikan bahwa Nabi Muhamad s.a.w. sebagaimana adanya beliau sekarang, tidak hanya tergambar dari kedua pengalaman itu saja.
Kenyataannya, bahwa selama sisa hidupnya beliau terus menerus menerima wahyu yang terdiri dari kebenaran agung, pengetahuan tentang yang gaib, kepastian tentang pertolongan dan keberhasilan, dimana seluruhnya telah menjadi kenyataan, nubuatan-nubuatan yang sudah terpenuhi lebih dahulu dan yang akan dipenuhi untuk selama-lamanya, menjadi berada di luar kemungkinan bahwa wahyu yang dida’wa beliau dan terus menerus disampaikan itu adalah suatu produk halusinasi yang hanya karangan belaka.
Karenanya, kita harus menyimpulkan bahwa pengalaman-pengalaman itu adalah saat dimulainya kenabian (nubuwat) beliau, dan sejak itu beliau menjadi beriman sepenuhnya, dan keimanan itu setiap saat terus menerus dilaksanakan dan diperkuat di dalam kehidupannya, dan berlaku terus sampai di akhir hayat.
Apakah tugas beliau?
Singkatnya hal itu adalah menyebarkan Islam, yang berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Tiang utama Islam adalah Tauhid yaitu Pencipta dan Pemilik alam-semesta adalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud-Nya dan sifat-sifat-Nya, dan tidak ada sekutu sama-sekali. Dia adalah Yang Maha Abadi, Yang Maha Hidup. Segenap mahluk di langit dan di bumi adalah ciptaan-Nya  yang hanya berwujud melalui kehendak-Nya, dan segenap dewa-dewi yang disembah manusia hanyalah palsu dan dusta belaka.
Selanjutnya Nabi Muhammad s.a.w. berpikir bahwa Allah SWT menciptakan alam-semesta dengan maksud agar ummat manusia dapat mengerti tentang Dia dan menjadi bukti nyata dari sifat-sifat-Nya, dan yang dibuat untuk kesejahteraan abadi bagi mereka. Guna memenuhinya, kehidupan manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu hidup di dunia yang merupakan periode untuk melakukan perbuatan, dan yang kedua adalah hidup di alam akhirat yang merupakan suatu periode tanpa akhir dalam pembalasan atas perbuatan manusia di dunia. Beliau menentukan bahwa kematian adalah garis pemisah di antara kedua kehidupan itu.
Beliau juga menekankan bahwa Allah SWT mengangkat para utusan dan para nabi untuk membimbing ummat manusia dengan pengetahuan yang diturunkan Allah. Para utusan dan para nabi tadi telah muncul dari antara manusia, di segenap wilayah dan di semua zaman, dan beliau adalah Rasulullah s.a.w.
Syariah tersebut terus bertambah banyak dan dijelaskan dengan rinci karena ayat-ayat Alquran terus menerus turun sampai seluruh struktur keimanannya menjadi sempurna. Kabar-suka itu ditujukan untuk semua orang dan berlaku sepanjang masa, dan beliau dikaruniai kesempurnaan dengan segenap keunggulannya, yang juga pernah diturunkan dalam berbagai derajat kepada nabi-nabi yang terdahulu, maka beliau telah diangkat oleh Allah SWT sebagai Khātaman Nabiyyīn.
Orang yang pertama percaya kepada beliau adalah istrinya Sayidah Khadijah r.a., yang masuk Islam dengan tanpa ada keraguan. Sayidina Ali r.a., yang pada saat itu berumur 10 tahun, dan Zaid bin Hariṭa r.a. yaitu budak yang dibebaskan oleh Nabi Muhammad s.a.w., mereka adalah anggota keluarganya. Mereka juga langsung percaya kepada beliau ketika tugasnya diberitahukan. Tidak perlu lagi ada pernyataan dari mereka dalam hal ini.
Di luar anggota keluarga, Sayidina Abu Bakar r.a. yang menjadi sahabat dekat langsung percaya ketika diberitahu tentang da’waan beliau. Sayidina Abu Bakar r.a. telah mengenal beliau lama sekali, karena tinggal di sudut kota yang sama dengan Sayidah Khadijah r.a. sehingga antara Sayidina Abu Bakar r.a. dengan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi akrab sekali dan kedekatan itu sekarang dipaku dengan keimanan murni kepada beliau, yang di belakang hari disabdakan sbb: ”Aku belum pernah mengajar agama kepada siapa pun yang memperlihatkan tidak adanya keraguan dan tidak adanya kebingungan kecuali Abu Bakar, dimana ketika aku menyampaikan ajaran agama Islam padanya, ia tidak menunda sedikit pun atau merasa kebingungan.”
Sayidina Abu Bakar r.a. berumur dua tahun lebih muda dari Nabi Muhammad s.a.w., perawakannya kecil dan pendek,  matanya yang dalam terletak di bawah dahinya yang tinggi. Berpenampilan biasa, berwajah manis dan tipis, sehingga pembuluh darahnya terlihat.
Sifatnya lembut dan simpatik namun kurang bisa bertindak tegas ketika keadaan yang penting memerlukan hal itu. Rangsangan dan gejolak nafsunya jarang terlihat karena selalu mengikuti logika dengan pembawaan yang tenang. Karena iman dan percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dengan tidak tergoyahkan, Sayidina Abu Bakar r.a. disebut: Siddiq, yang-Benar.
Sayidina Abu Bakar r.a. memiliki hati yang lembut dan penuh iba, dan merupakan seorang pedagang yang giat dan sukses karena pembawaannya yang sederhana serta hemat, maka ketika masuk Islam kekayaannya mencapai 40,000 uang perak. Kemurahan hatinya amat jarang ditemukan dan kedermawanannya tidak ada habis-habisnya. Sesudah memeluk Islam bagian terbesar dari kekayaannya diabdikan pada pembelian budak-budak malang untuk dibebaskan, sehingga 12 tahun kemudian ketika Sayidina Abu Bakar r.a. melaksanakan hijrah bersama Nabi Muhammad s.a.w. ke Madinah uang peraknya tinggal 5.000. Sayidina Abu Bakar r.a. kurang faham akan sejarah Quraisy, walau pun hal itu sering dirujuk kepadanya dalam menerangkan silsilah keluarganya.
Penilaiannya selalu adil dan tidak berat-sebelah, ucapannya mudah dimengerti, dan peri-lakunya ramah serta menjanjikan. Nasihat-nasihatnya sering diminta oleh Quraisy dan sangat populer di antara penduduk kota. Hal itu adalah bukti yang amat kuat bagi kebenaran dan ketulusan Nabi Muhammad s.a.w., bahwa yang terlebih dulu masuk Islam bukan saja mereka yang memiliki watak jujur namun juga berupa teman akrab dan orang-orang yang berada di rumahnya, yang jelas mengetahui kehidupan pribadi beliau, mereka tidak mungkin salah dalam mengenali perbedaan-perbedaan yang sedikit banyak telah timbul antara para pengkritik di luar negeri dengan tindakan-tindakan pribadi beliau di rumahnya sendiri.
Ikutnya dan begitu eratnya Sayidina Abu Bakar r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. telah menjadi sumber kenyamanan dan kekuatan bagi beliau. Pengaruhnya telah digunakan dengan baik untuk memajukan Islam, dan 5 orang yang masuk Islam di masa-masa awal tersebut dipercaya sebagai akibat dari contoh dan cara pendekatan Sayidina Abu Bakar r.a..
Tiga orang dari mereka masih remaja. Sa’d bin Abi Waqqas r.a. masih berumur antara 16 – 17 tahun. Ia adalah keponakan Siti Aminah r.a., ibu Nabi Muhammad s.a.w.
Zubair r.a., keponakan Sayidah Khadijah r.a. adalah putra bibi Nabi Muhammad s.a.w. yang bernama Ṣafiyah r.a. dan ia lebih muda usianya dibanding dengan S’ad bin Abi Waqqas r.a.
Talha r.a. yang seumur dengan Zubair r.a. adalah kerabat Sayidina Abu Bakar r.a. dan menjadi pahlawan terkenal di kemudian hari.
Orang ke-4 yang masuk Islam adalah Sayidina Uṡman bin Affan r.a., yang walau pun beliau berasal dari Bani Umayyah namun dari sisi ibunya beliau adalah cucu Abdul Muṭalib (Bani Hasyim). Ketika Sayidina Uṡman r.a. mencapai usia 35 tahun, dan ketika putri Nabi Muhammad s.a.w. yang bernama Ruqqayyah r.a. dicerai oleh Uṭba bin Abu Lahab, lalu Rugayyah r.a. menikah dengan Sayidina Uṡman r.a., dan 12 tahun kemudian ketika Ruqayyah r.a. wafat, beliau menikahkan putrinya Umi Kulṡum r.a. janda Uṭaiba bin Abu Lahab kepada Sayidina Uṡman r.a. Dengan demikian Sayidina Uṡman r.a. secara berturut-turut menikah dengan dua orang putri Nabi Muhammad s.a.w. sehingga beliau digelari dengan julukan San-Nur-Ain yang artinya orang yang memiliki dua buah lampu.
Orang ke-5 yang masuk Islam adalah Abdul Rahman r.a. yang berumur 10 tahun lebih muda dari beliau, ia seorang yang kaya dan jujur.
Abdul Rahman r.a., Sayidina Uṡman r.a., dan Talha r.a. sebagaimana Sayidina Abu Bakar r.a., adalah para pedagang. Pada kunjungan pertamanya kepada beliau, Abdul Rahman r.a. disertai oleh 4 orang sahabatnya, dan memeluk Islam pada saat yang sama, yaitu:
-        Ubaidah r.a., putra Hariṡ paman Nabi Muhammad s.a.w.
-        Abu Salamah r.a.
-        Abu Obaidah r.a., seorang pahlawan yang terkenal, dan
-        Usman r.a., putra Maz’un.
Usman bin Maz’un r.a. telah berhenti dari kebiasaan meminum minuman-keras, dan ia adalah orang yang paling sulit dibujuk oleh Nabi Muhammad s.a.w. untuk melepaskan sifat kerasnya dari kehidupan yang seperti pertapa. Keluarganya lebih condong kepada Islam karena dua orang saudaranya, yaitu seorang anak dan beberapa orang kerabatnya adalah sebagian dari yang pertama masuk Islam.
Orang-orang lainnya yang masuk Islam di zaman itu adalah:
-        Abu Huzaifah bin Uṭba r.a. dari Bani Umayyah, yang syahid dalam perang Yamamah, ketika melawan Musailmah;
-        Said bin Zaid r.a. dari Bani Adi, ipar Sayidina Umar r.a., yang wafat di zaman Muawiyah; dan
-        Arqam r.a. dari Bani Makhzūm, dan kemudian beliau sering bermusyawarah dengan ummat Muslim di rumahnya.
Kemudian ada dua saudara, Abdullah r.a. bin Jahsy dan Ubaidullah r.a. bin Jahsy keponakan sepupu Nabi Muhammad s.a.w., karena ibu mereka Umaimah binti Abdul Muṭalib adalah saudara ayah beliau, Abdullah bin Abdul Muṭalib. Mereka bukan dari suku Quraisy tapi dari Bani Asad. Dan Zainab binti Jahsy r.a., adalah saudara kandung mereka yang menikah dengan beliau setelah dicerai oleh suami pertamanya Zaid bin Hariṭa r.a.
Ubaidullah r.a. menikah dengan Umi Habibah r.a. anak Abu Sufyan, dan kemudian Sayidah Umi Habibah r.a. menikah dengan beliau setelah dicerai oleh Ubaidullah r.a.
Muslim yang mulia lainnya dalam periode ini adalah Abdullah bin Mas’ūd r.a.. Ia bukan dari suku Quraisy dan berasal dari keluarga Huḍail. Keadaannya miskin sekali dan setelah masuk Islam, ia menghabiskan waktunya sebagai pengikut Nabi Muhammad s.a.w. Ia menjadi sarjana dan ahli hukum yang agung.
Ada lagi Abu Ḍar Giffari r.a. Ketika ia mendengar da’waan Nabi Muhammad s.a.w., dikirimlah saudaranya untuk membuat suatu penyelidikan. Tidak puas dengan laporan, ia pergi sendiri ke Mekah dan ketika bertemu dengan beliau, ia langsung memeluk Islam. Ia adalah orang yang benar-benar saleh dan sangat sederhana. Ia percaya bahwa orang Islam tidak boleh menjadi kaya, dan ajaran yang seperti ini terkadang menjadi subyek pertentangan antara ia dengan para Sahabat yang lainnya
Dari kalangan budak-budak dan orang-orang yang dibebaskan dan telah masuk Islam di kala itu, adalah Bilal bin Rabah r.a.  yang tadinya seorang budak milik Umayyah bin Khalif, tapi ketika Bilal r.a. telah menjadi Muslim ia dianiaya secara biadab. Bilal r.a. dijemur di tengah hari yang terik dan dipaksa berbaring di atas pasir panas, serta dadanya ditindih dengan batu-batu panas dan disuruh mengingkari Tauhid, namun Bilal r.a. terus menyebut: Ahad, Ahad, (Esa, Esa).
Sayidina Abu Bakar r.a. merasa iba kepadanya dan membebaskannya dari Ummayah. Setelah Hijrah ke Madinah, Bilal r.a. ditunjuk sebagai mu’ażżin yang pertama oleh Nabi Muhammad s.a.w. Setelah beliau wafat Bilal r.a. tidak mau Ażan lagi karena hal itu membuatnya sedih dan teringat akan Nabi yang tercinta. Tapi di zaman Sayidina Umar r.a. setelah Damaskus direbut Islam, Bilal r.a. dibujuk untuk Ażan. sekali lagi dan ia mau melakukanya, serta membuat setiap orang yang berada di situ menjadi sedih sekali. Sayidina Umar r.a. menghormatinya tinggi sekali sehingga ketika ia wafat beliau pun bersabda: ”Hari ini ummat Muslim telah ditinggalkan oleh pemimpin mereka.”
Amir bin Fuhairah r.a. adalah seorang budak lainnya yang dibebaskan oleh Sayidina Abu Bakar r.a. dan menjadi pelayannya.
Khabbab bin Arat r.a. dibebaskan juga oleh Sayidina Abu Bakar r.a. dan bekerja sebagai pandai-besi di Mekah sehingga masuk Islam juga di masa awal.
Istri dan anak-anak dari orang-orang yang masuk Islam di masa awal pada umumnya ikut masuk ke kalangan ummat Muslim. Mereka yang secara khusus diterangkan dalam lingkup ini adalah Asmāh r.a. putri Sayidina Abu Bakar r.a., Fatimah r.a. binti Khattab istri Said bin Zaid r.a., dan Umi Fazal r.a. istri Abbas paman Nabi Muhammad s.a.w. Nampaknya, Abbas sendiri sejauh itu belum menjadi Muslim.
Dari semua yang masuk Islam, hanya Sayidina Abu Bakar r.a. yang memiliki wibawa dan pengaruh terhadap suku Quraisy.
Karena hidup sebagai budak dan orang yang dibebaskan, maka kebanyakan ummat Muslim saat itu miskin dan tidak diperhitungkan. Tidak diragukan lagi bahwa sebagian dari mereka adalah keluarga Quraisy, tapi sebagian besar terdiri dari pemuda yang tidak berpengaruh di keluarganya. Mereka yang umurnya matang berada dalam keadaan miskin sehingga tidak dihitung. Jadi di dalam kesan Quraisy, hanya orang-orang lemah dan miskin yang percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. Hal ini menjadi petunjuk juga bagi kebenaran beliau, karena di awalnya, seorang nabi hanya diakui oleh orang-orang yang lemah dan miskin.
Di masa awalnya yaitu kira-kira selama tiga tahun, beliau menyebarkan agamanya secara rahasia dan bersifat pribadi. Di zaman itu, tidak ada satu pun pusat yang bisa digunakan ummat Muslim untuk bertemu. Beliau menerima kedatangan para pencari kebenaran di rumahnya sendiri atau di suatu tempat di luar kota. Tidak semua orang Muslim di zaman itu dapat mengenal yang lainnya secara akrab. Pada waktu itu, pihak Quraisy membatasi penentangan mereka pada syahadat baru, hanya dalam bentuk ejekan dan tertawaan.
Praktek-praktek agama Islam ketika itu terbatas pada Ṣalat dengan 2 dan 3 raka’at saja, dan belum dilakukan sebagaimana Ṣalat farḍu 5x sehari pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Ummat Muslim melakukan ibadahnya di rumah masing-masing, atau berkumpul 2 - 3 - 4 orang di salah satu jalan sempit di luar kota Mekah.
Telah diceritakan bahwa pada suatu saat Nabi Muhammad s.a.w. dan Sayidina Ali r.a. beribadah di suatu jalan sempit, dan saat itu Abu Ṭalib memergoki mereka. Ia belum lama mendengar Islam.
Lalu Abu Ṭalib memperhatikan keduanya yang sedang melakukan ibadah dengan cara baru, dan setelah selesai, lalu ia bertanya pada beliau: “Wahai anak saudaraku, inikah syari’ah baru yang telah engkau ajarkan?”
Beliau menjawab: “Paman, ini adalah agama Allah yang merupakan agama Ibrahim a.s.” Dan beliau mengundangnya masuk Islam.
Tapi Abu Ṭalib menolak dan berkata: “Aku tidak mau membuang agama  ayahku.” Namun ia berkata kepada Sayidina Ali r.a.: Anakku dekatlah dengannya, karena aku yakin bahwa ia tidak mengundangmu untuk hal-hal buruk.”
Bersamaan dengan itu, di satu kesempatan, Sa’d bin Abi Waqqas r.a. dan beberapa orang Muslim beribadah di jalan sempit ketika serombongan orang Quraisy melewati mereka, lalu mereka dinasihati karena mempraktekkan cara ibadah yang baru tersebut sehingga terjadi perdebatan, namun tidak berkembang menjadi perkelahian.
Pada permulaan tahun yang ke-4 Kenabian, Nabi Muhammad s.a.w. telah menerima wahyu:
Faṣda’ bimā tu’maru .....… ”Maka sampaikanlah dengan terang-terangan, apa yang diperintahkan kepada engkau.” (al-Hijr: 95)
kemudian turun wahyu:
Iż qāla lahum akhūhum Hūdun alā tattaqūn. ”Ketika saudara mereka, Hud, berkata kepada mereka, “Tidakkah kamu bertakwa?” (asy-Syu’ārā: 125)
Mentaati perintah ini, Nabi Muhammad s.a.w. naik ke sebuah ketinggian dan memanggil semua orang dari suku-suku Quraisy dengan masing-masing nama mereka.
Ketika mereka telah berkumpul semuanya, beliau bersabda kepada mereka: ”Wahai orang-orang Quraisy, aku memberi tahu kalian bahwa sepasukan tentara yang amat besar telah berada di sisi lain dari ketinggian ini dan telah siap untuk menyerang kalian, apakah kalian percaya?”
Mereka menjawab: ”Tentu saja, kami akan mempercayaimu sebagaimana kami tahu bahwa engkau selalu berkata jujur.”
Mendengar jawaban itu, beliau bersabda: ”Dengarlah, saya memperingatkan kalian bahwa hukuman Allah telah hampir tiba. Percayalah kepada Allah SWT agar kalian selamat dari hukuman-Nya.”
Begitu mendengar peringatan itu, mereka tertawa terbahak-bahak, dan Abu Lahab berkata: ”Kehancuranlah yang mendatangimu. Apa kamu memanggil kami untuk ini?” Kemudian mereka tertawa lagi dan membuat beliau menjadi bahan tertawaan, lalu mereka bubar.
Nabi Muhammad s.a.w. menyuruh Sayidina Ali r.a. menyiapkan makanan dan mengundang turunan Abdul Muṭalib untuk menghadirinya, sehingga dalam kesempatan itu dapat menyampaikan firman Allah kepada mereka. Kira-kira 40 orang telah datang memenuhi undangan tersebut. Ketika selesai makan, beliau ingin menyampaikan sesuatu, namun lagi-lagi Abu Lahab telah membuat kegaduhan yang menyebabkan para tamu bubar.
Segera setelah itu, beliau menyuruh Sayidina Ali r.a. untuk menyiapkan hidangan lain dan mengundang kerabatnya. Dalam kesempatan ini, beliau bersabda kepada mereka sbb: ”Wahai turunan Abdul Muṭalib, aku bawa yang lebih baik, dan tidak ada satu pun yang pernah memberikannya padamu. Aku memanggilmu kepada Allah SWT. Jika kamu taat kepada panggilanku, maka kamu akan menjadi penerima hadiah terbaik di dunia ini dan juga di akhirat. Siapa dari antara kalian yang akan menjadi pembantuku?”
Keadaan menjadi sunyi senyap, lalu tiba-tiba Sayidina Ali r.a. berdiri dan berkata: ”Walau pun saya adalah yang termuda dan terlemah dari yang ada di sini, namun saya akan mendukungmu.”
Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. bersabda kepada para tamu: “Jika kalian dengar dan ikut apa yang dikatakan anak muda ini, anda akan selamat.”
Mendengar itu mereka tertawa dan Abu Lahab berkata kepada saudaranya Abu Ṭalib: ”Sekarang Muhammad memerintahkan engkau untuk mengikuti anakmu.”
Para tamu pulang sambil mengejek dan mentertawakan beliau. Ketika itu juga beliau merasa perlu adanya tempat dimana ummat Muslim dapat berkumpul tanpa terganggu, lalu bergabung dalam ibadah dan menyampaikan ajaran Islam kepada siapa pun yang mungkin mau mempelajarinya. Guna memenuhi maksud tersebut, beliau telah memilih rumah Arqam r.a. yang baru saja masuk Islam, karena letak rumahnya tidak jauh dari rumah beliau, dan berada di dekat tanjakan ke Safa.
Menghadap ke Ka’bah dari arah timur, rumah itu terletak di suatu posisi dengan arah yang sering dilalui oleh peziarah haji, sehingga mereka harus melewatinya. Dengan demikian jika ada seseorang yang memiliki minat terhadap Islam maka di rumah itu beliau dapat mengajarkan Islam kepada mereka dengan lebih sempurna. Oleh karenanya rumah itu di antara ummat Muslim dikenal sebagai Baitul-Islam. Nabi Muhammad s.a.w. menggunakan rumah itu sebagai pusat Islam selama tiga tahun. Sayidina Umar r.a. adalah orang terakhir yang memeluk Islam di rumah itu. Ketaatannya terhadap Islam menaikkan semangat Muslim, kemudian mereka menyebarkan keimanan mereka secara terang-terangan.
Dari antara mereka yang memeluk Islam di rumah Arqam r.a., yang telah diketahui adalah sbb:
1.      Musa’b bin Umair  r.a., dari Bani Abdud Dar. Ia adalah seorang pemuda tampan dan dicintai orang-orang dari keluarga yang lainnya. Ia dikirim sebagai penyebar Islam ke Madinah sebelum Hijrah.
2.      Zaid bin Khattab r.a., saudara tua Sayidina Umar bin Khattab r.a.. Ia syahid di dalam perang Yamamah. Sayidina Umar r.a. sangat sedih atas kewafatannya. Ketika Sayidina Umar r.a. menjadi Khalīfah, seseorang membaca puisi pedih yang ia gubah untuk mengenang suadaranya yang telah gugur. Sayidina Umar r.a. terkesan dan bersabda: “Andaikan aku memiliki kemampuan untuk mencipta, maka aku juga akan membuat puisi pedih yang serupa untuk saudaraku Zaid.” Mendengar itu, maka si-penggubah puisi sedih itu berkata: ”Ya Amirul Mu’minin, jika saudaraku yang wafat itu memperoleh berkat dari wafatnya saudara engkau, maka saya tidak akan berkabung atau menggubah sajak untuknya.” Sayidina Umar r.a. menghormatinya tinggi sekali dan bersabda: ”Tak ada yang membuat aku nyaman atas wafatnya saudaraku selain apa yang baru saja engkau ucapkan.” Selanjutnya, beliau tidak bersedih-hati lagi atas saudaranya yang wafat.
3.      Abdullah bin Um Maktum r.a., yang buta. Sebetulnya ia adalah kerabat Sayidah Khadijah r.a., namun agak kurang diperhatikan. Padahal ia adalah orang yang hebat. Ia menjadi amat terkenal karena pengetahuannya atas Alquran, dan di Madinah pun ia berulang-ulang terpilih menjadi pimpinan.
4.      Jafar bin Abi Ṭalib r.a., saudara Sayidina Ali r.a. dan keponakan Nabi Muhammad s.a.w. Diceritakan bahwa ia mirip dengan beliau, baik dalam perawakannya atau pun dalam kualitas akhlaknya.
5-7    Ammar bin Yassar r.a., ayahnya dan ibunya, yang kesemuanya berasal dari suku Mazhaj.
8.      Suhaib bin Sanan r.a., yang lebih dikenal sebagai Suhaib Rumi (Bizantin). Kenyataannya ia bukan orang Bizantin, tapi ketika ayahnya menjadi penguasa di satu wilayah dan menjadi bawahan pemerintah Iran, ia ditangkap oleh orang-orang Bizantin dan dijadikan budak oleh mereka. Kemudian ia dibeli dan dibebaskan oleh Abdullah bin Jad’an Qarṣi salah satu pemimpin Mekah. Ketika ia masuk Islam, Nabi Muhammad s.a.w. mengamatinya dan bersabda: “Suhaib adalah buah pertama dari  Bizantium.” Ketika Hijrah, suku Quraisy tidak mau melepaskannya berangkat ke Madinah. Ia datang ke Mekah dalam keadaan miskin dan sekarang berkecukupan. Ia bersedia menyerahkan seluruh hartanya kepada suku Quraisy jika mereka membiarkannya berangkat. Suku Quraisy setuju dan ia Hijrah ke Madinah. Ketika mengetahui hal itu, beliau bersabda: ”Suhaib telah berbuat yang amat menguntungkannya.” Hubungannya menjadi dekat ketika Sayidina Umar r.a. diserang ketika sedang Ṣalat dan terluka parah, lalu ia disuruh untuk menjadi Imam Ṣalat dan menggantikan beliau. Ia juga memimpin doa dalam pemakaman jenazah Sayidina Umar r.a.
9.      Abu Musa Aṣari r.a. dari Yaman. Ia membaca Alquran dengan indah.
10.    Sayidina Umar bin Khattab r.a., yang menjadi Penerus Kedua Nabi Muhammad s.a.w. Ketika Hijrah suku Quraisy tidak mau melepasnya berangkat ke Madinah. Saudara dan sebagian anggota keluarganya telah memeluk Islam sebelumnya. Awalnya ajaran Nabi Muhammad s.a.w. dianggap sebagai sumber kerusakan besar bagi suku Quraisy. Sayidina Umar r.a. memikirkan hal itu dan telah memutuskan bahwa cara terbaik untuk menghindarkan perpecahan adalah dengan cara membunuh beliau. Sayidina Umar r.a. yakin dengan rancangan itu, namun di tengah jalan diberitahu seseorang bahwa saudara perempuan dan iparnya telah memeluk Islam. Sayidina Umar r.a. langsung menuju rumah mereka dan ketika tiba di sana, terdengarlah alunan ayat-ayat Alquran yang ditilawahkan oleh seorang Muslim. Sayidina Umar r.a. menjadi marah besar dan mencabut pedangnya serta mendatangi iparnya untuk membunuhnya. Saudara perempuannya memisahkan mereka dan berada di antara Sayidina Umar r.a. dan suaminya, sehingga ia terluka dan berdarah. Hal itu menghentikan Sayidina Umar r.a., dan amarahnya mereda setelah mencederai saudaranya sendiri, lalu meminta agar diperlihatkan tulisan ayat-ayat itu yang kemudian akan dibacanya ketika sudah tiba di rumahnya. Saudara perempuannya menerangkan bahwa Sayidina Umar r.a. harus membersihkan dirinya terlebih dahulu dan mengambil air wuḍu sebelum membaca ayat-ayat tersebut. Kemudian Sayidina Umar r.a. mematuhinya dan ketika membaca ayat-ayat itu hatinya tersentuh dan langsung memutuskan untuk segera berserah diri kepada Nabi Muhammad s.a.w. Masuk Islam-nya Sayidina Umar r.a. telah memuaskan beliau dan membuat ummat Muslim gembira dan berani.
Sekarang Islam mulai disebarkan dengan terbuka di Mekah, dan suku Quraisy merasa sangat terganggu dan mulai memikirkan tindakan-tindakan pencegahan agar hal itu tidak terus berlangsung. Penentangan suku Quraisy pada Islam tidak membuat kaget lagi. Manakala suatu gerakan ketuhanan mulai berkembang pada lazimnya pihak yang menentangnya selalu ber-reaksi, karena mereka merasa akan sangat dipengaruhi oleh gerakan itu.
Sesungguhnya, seorang nabi hanya diturunkan jika ummat manusia menyimpang dari jalan lurus yang ditetapkan Allah SWT dan harus diikuti oleh mereka. Nabi mengajak mereka untuk mengikuti jalan lurus itu, namun karena mereka telah terbiasa dalam mengikuti jalannya sendiri yang sudah mendarah daging, mereka menjadi penentang terhadap ajaran seorang nabi. Sebagaimana Alquran mengatakan:
Yā ḥasratan ’alal-‘ibād, mā ya’tīhim mir-rasūlin illā kānū bihī yastahzi’ūn. ”Ah sayang bagi hamba-hamba-Ku! Tidak pernah datang kepada mereka seorang rasul, melainkan mereka senantiasa mencemoohkannya.” (Yāsīn: 31)
Ciri khas aneh dari para penentang itu adalah banyaknya orang terkenal yang menentang keras seorang nabi. Sebagaimana disebut dalam Alquran:
Wa każālika ja’alnā fī kulli qaryatin akābira mujrimīhā li yamkurū fīhā, wa mā yamkurūna illā bi anfusihim wa mā yasy’urūn. ”Dan, demikianlah Kami menjadikan di dalam tiap negeri penjahat-penjahatnya yang besar sehingga akibatnya mereka mengadakan tipu daya di dalam negeri itu, dan mereka tidak memperdayakan melainkan diri mereka sendiri, dan mereka tidak menyadari.” (al-An’ām: 124)
Semakin mulia tugas seorang nabi akan semakin besar penentangan terhadapnya, sebagaimana Nabi Muhammad s.a.w. yang diturunkan ketika dunia tenggelam dalam kegelapan rohani yang terdalam, justru beliau yang menghadapi penentangan terbesar jika dibandingkan dengan para nabi lainnya. Berikut ini adalah penyebab-penyebab utama dari penentangan suku Quraisy terhadap beliau.
1.      Suku Quraisy adalah penyembah berhala dan mereka amat menghormati berhala-berhalanya, sehingga mereka tidak tahan jika mendengar kata-kata yang mencemarkan berhala-berhala tersebut. Berlawanan dengan itu, Tauhid adalah dasar-dasar ajaran Islam. Alquran telah menasihatkan:
........ lā tasjudū lisy-syamsi wa lā lil-qamari wasjudū lillāhil-lażī khalaqahunna in kuntum iyyāhu ta’budūn. ”Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, dan bersujudlah kepada Allah, Yang telah menciptakan mereka, jika kamu hanya kepada-Nya menyembah.” (Ha Mim as-Sajdah - Fuṣṣilat: 38)  
Bukan itu saja, namun berhala dan dewa-dewi mereka dan mereka sendiri diterangkan di dalam Alquran sebagai bahan bakar untuk api neraka.
Innakum wa mā ta’budūna min dūnillāhi ḥaṣabu Jahannam, antum lahā wāridūn. ”Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah bahan bakar Jahannam. Kamu akan masuk ke dalamnya.” (al-An’biyā’: 99)
Hukuman yang sedemikian beratnya telah mendorong suku Quraisy bersatu untuk menghapuskan Islam.
2.      Di samping menyembah berhala, adat dan kebiasaan orang Arab rendah sekali. Zinah, minuman-keras, perampokan, judi, pembunuhan dan kesemua jenis praktek-paktek terlarang dijalankannya. Kesemuanya dilarang oleh Islam, dan memeluk Islam berarti hal itu harus dibuang dan menjalankan hidup baru. Suku Quraisy tidak siap untuk menerimanya.
3.      Orang Arab sangat peka terhadap nama baik nenek moyangnya dan bangga dalam mengikuti jejaknya, serta tidak perduli apakah hal itu baik atau buruk. Sebagaimana disebut Alquran:
Wa iżā qīla lahumuttabi’ū mā anzalallāhu qālū bal nattabi’u mā alfainã ‘alaihi ābā’ anā, a walau kāna ābā’uhum lā ya’qilūna syai’aw wa lā yahtadūn. “Dan jika dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah,” berkata mereka, ’Tidak, kami hanya mengikuti apa yang kami dapati pada bapak-bapak kami.’ Apa! Walau bapak-bapak mereka tidak mengerti suatu apa pun, dan tidak pula mereka mendapat petunjuk?” (al-Baqarah: 171)
4.      Suku Quraisy tinggi diri, orang sombong  yang tidak memandang siapa pun sederajat dengan mereka. Khusus budak-budak amat dipandang rendah dan diperlakukan dengan kasar. Di pihak lain, Islam menghilangkan perbedaan itu dan mendirikan persaudaraan yang berlaku umum. Sang tuan dan budak ditempatkan dalam derajat yang sama di mata Allah. Hal itu menjadi duri bagi para kepala suku Quraisy.
5.      Terdapat banyak orang-orang kaya dan berpengaruh di antara orang Quraisy. Walau Nabi Muhammad s.a.w. berasal dari keluarga terpandang suku Quraisy, namun beliau tidak kaya dan tidak diperhitungkan sebagai pribadi yang menonjol. Pimpinan Mekah tidak siap mengikuti seseorang yang statusnya dianggap tidak sederajat dengan mereka. Karenanya mereka berkata:
... lau lā nuzzila hāżal-Qur’ānu ‘alā rajulim minal-qaryataini ‘aẓīm. ”Mengapa Alquran ini tidak diturunkan kepada seseorang besar dari kedua kota besar itu, Mekah atau Taif?” (az-Zukhruf: 32)
6.      Suku Quraisy sangat iri pada anggota suku lainnya, karenanya suku-suku di luar Bani Hasyim telah menyesalkan Bani Hasyim karena gengsinya mengungguli mereka. Khususnya Bani Umayyah dan Bani Makhzūm sangat kasar terhadap Bani Hasyim, dan itulah sebabnya kedua suku itu teramat menentang ketimbang suku- suku Quraisy lainnya.
Penentang Islam yang utama di antara suku Quraisy terdiri dari 3 jenis. Katagori Jenis pertama yaitu mereka yang tidak mendendam dan ingin berperilaku baik namun tidak mau ikut Nabi Muhammad s.a.w., tidak merasa bergengsi namun mereka merasa bahwa Islam telah mengancam keimanan leluhurnya, adatnya dan kebiasaannya. Yang seperti ini adalah Mut’am bin Adi dari Bani Naufal. Mereka jelas penyembah-berhala namun pada umumnya baik terhadap beliau. Kita dapat menyaksikan di belakang hari ketika ia memimpin penghentian boikot suku Quraisy terhadap beliau dan seluruh anggota Bani Hasyim, dan juga ketika beliau pulang dari Taif, dimana dengan gagahnya ia memperpanjang jaminannya guna melindungi beliau sehingga memungkinkan beliau dapat kembali masuk ke Mekah. Orang kedua yang jenisnya sama adalah Abul Bakhtari yang berasal dari Bani Asad, dan orang ketiga adalah Zubair bin Abu Umayyah saudara Sayidah Umi Salamah r.a. yang belakangan menikah dengan beliau.
Katagori jenis kedua adalah mereka yang mengerahkan orang-orang Mekah untuk melawan Islam dengan watak tersendiri yaitu membuat kekacauan, walau mereka tidak sampai melakukan penyiksaan. Salah satu dari mereka adalah Uṭba bin Rabi’a dari Bani Abdusy Syam. Ia kaya raya dan memiliki pengaruh yang amat besar. Pada perang Badar ketika Nabi Muhammad s.a.w., memandangnya dari kejauhan dan ia sedang naik onta merah di depan musuh-musuhnya, beliau bersabda: “Jika ada orang dari antara musuh kita memiliki watak yang mulia, maka ia yang naik onta merah adalah orangnya.” Saudaranya Syaiba juga demikian. Keduanya terbunuh di medan perang Badar oleh Hamzah r.a. dan Sayidina Ali r.a. Lalu ada Walid bin Mugirah, ayah Khalid bin Walid yang kemudian menjadi terkenal sebagai jendral-besar pasukan Muslim. Ia kepala suku Quraisy terkenal, dan mereka memujanya seperti kepada bapaknya. Ia wafat tiga bulan setelah Hijrah karena terkena anak panah. Yang lainnya adalah Aas bin Wail Sahmi, ayah dari Amir bin Aas. Ia juga kaya dan berpengaruh. Ia wafat beberapa minggu setelah Hijrah dalam kesedihan akibat luka-luka di kakinya.
Katagori jenis ketiga adalah musuh Islam yang paling kejam dan bermaksud menghancurkan Islam dengan cara apa pun. Justru merekalah yang jumlahnya terbanyak dan suku Quraisy berada di bawah pengaruhnya. Orang penting mereka yang pertama mati kafir adalah Umar bin Hisyam dari Bani Makhzūm. Ia orang yang paling sengit, musuh Islam dan Muslim yang paling dibenci. Ia menduduki posisi yang tinggi di antara pemimpin Quraisy yang merujuknya sebagai Abul Hikam (bapak kebijakan), namun ummat Muslim menyebutnya dengan Abu Jahal (bapak kebodohan). Ia terbunuh di medan perang Badar oleh dua orang  pemuda Anṣar. Satu orang lagi yang sejenis dengannya adalah Abu Lahab bin Abdul Muṭalib, paman Nabi Muhammad s.a.w. Ia setanding dengan Abu Jahal dalam memusuhi dan menyiksa ummat Muslim. Abu Lahab tidak ikut suku Quraisy dalam perang Badar namun mengirimkan penggantinya. Ia jatuh sakit dan terus mati. Orang yang ketiga adalah Uqbah bin Abi Muit dari Bani Umayyah. Ia benar-benar jahat dan bersifat buruk. Ia terbunuh dalam perang Badar. Lainnya adalah Umayyah bin Khalif dari Bani Umayyah, yang juga setanding dengan Abu Jahal dalam menyiksa ummat Muslim. Ia terbunuh dalam perang Badar. Saudaranya Ubayy bin Khalif sama juga dengannya. Ia mati karena luka-luka beratnya di tangan Nabi Muhammad s.a.w. ketika berperang di medan perang Uhud. Ada juga Naḍar bin Hariṭ dari Bani Abdud Dar, yang khusus membenci sekali kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia tertangkap di medan perang Badar dan dihukum mati sebagai hukuman atas kasus pidananya yang terdahulu. Ada beberapa lagi yang sejenis dengan itu namun mereka lalu berturut-turut memeluk Islam dan akan diterangkan kemudian karena pengabdian dan semangatnya. Begitu penentangan suku Quraisy timbul, maka ummat Muslim dijadikan sasaran gangguan, penyiksaan, dan peperangan.
Suku Quraisy telah menetapkan bahwa ajaran baru harus dihancurkan dan pengikutnya dipaksa untuk mengingkarinya. Penyiksaannya semakin bertambah brutal. Bagi mereka yang penduduk Mekah dan selamat dari luka parahnya, dilindungi oleh keluarganya dan diterima dengan hormat, namun sebagiannya ada juga yang dianiaya oleh keluarganya sendiri yang sudah tua. Namun para budak dan orang-orang yang dibebaskan lebih banyak menderita.
Dalam penentangan mereka terhadap Nabi Muhammad s.a.w., suku Quraisy terhalang oleh suatu kenyataan bahwa paman beliau Abu Ṭalib selalu melindunginya, dan sepanjang hal itu berjalan maka mereka tidak dapat melawan beliau karena akan terkena resiko peperangan antar-suku.
Karenanya, rancangan yang pertama dari mereka adalah mencabut dukungan dan perlindungan Abu Ṭalib kepada beliau. Guna memenuhi maksudnya, mereka mengirim delegasi kepada Abu Ṭalib untuk membujuknya dengan sedemikian rupa, agar keponakannya dilarang menyebarkan Islam. Delegasi itu antara lain terdiri dari Walid bin Mugirah, Aas bin Wail, Uṭba bin Rabi’a, Abu Jahal and Abu Sufyan.
Mereka berkata kepada Abu Ṭalib: ”Engkau sangat kami hormati, dan kami datang ke sini untuk memohon engkau agar bisa menghentikan keponakanmu untuk tidak menyebarkan ajaran baru. Namun jika sulit, maka kami harap agar engkau mencabut jaminan perlindungan baginya, sehingga kami bisa berhadapan dengannya.”
Abu Ṭalib menjawab dengan sopan, dan berupaya mengurangi amarah mereka kepada keponakannya, dan mempersilahkan mereka pulang tanpa jaminan apa pun darinya.
Disebabkan kemarahan mereka yang terus menggunung dan ajaran-bertuhan-banyak yang mereka anut, terus-menerus dihukum oleh Alquran dengan istilah keras, mereka kembali mengunjungi Abu Ṭalib dan setelah berbasa-basi mereka berkata: ”Kami sedang dikritik dengan istilah-istilah yang lebih tajam oleh Muhammad. Kami disebut orang keji, orang yang dibenci, ummat terburuk, yang bodoh dan keturunan setan, dewa-dewi kami dihukum jadi bahan-bakar api neraka, dan nenek-moyang disebut telah hilang kewarasannya. Kami tidak bisa duduk berpangku-tangan saja atas hukuman itu dan tidak tahan lagi. Jika engkau tidak menarik jaminan perlindungan, maka kami tidak punya pilihan selain menentang engkau sampai salah satu pihak kalah.”
Abu Ṭalib merasa amat terusik dan segera pergi menemui Nabi Muhammad s.a.w. Ketika tiba, ia berkata demikian: ”Wahai anak saudaraku, rakyatku telah terusik sekali oleh propagandamu, mereka akan mengancurkanmu dan juga aku. Kamu menyebut orang bijak sebagai bodoh, menyebut nenek moyangnya ummat terburuk, menerangkan dewa-dewi mereka yang terhormat sebagai bahan-bakar api neraka dan menghukum orang-orang itu sebagai bodoh dan yang dibenci. Aku memberi nasihat kepadamu, hentikan penghinaan dan tahan lidahmu, karena aku tidak memiliki kekuatan untuk melawan seluruh orang-orangku.”
Nabi Muhammad s.a.w. mafhum bahwa keteguhan hati Abu Ṭalib yang mendukungnya telah goyah dan kelihatannya dukungan utama secara duniawi tersebut harus dilepaskan, namun beliau tidak memperlihatkan kemarahan dan menjawab dengan tenangnya: ”Paman, itu bukan penghinaan, namun penjelasan fakta yang ada; untuk itulah aku diutus, jelasnya menyeru orang-orang ke jalan yang lurus dengan menerangkan kesalahannya. Jika aku harus mati karena hal itu, aku siap menghadapinya dengan gembira. Hidupku diabdikan untuk itu, dan tidak tahan untuk menyatakan kebenaran ketimbang rasa takut akan kematian. Paman, jika engkau mengalami kesulitan maka cabutlah perlindungan atas diriku, dan aku tidak akan berhenti menyebarkan semuanya yang telah diturunkan kepadaku. Andaikan orang-orang itu meletakkan matahari di sisi-kananku dan bulan di sisi-kiriku, aku tetap akan melakukan tugas ini. Aku harus terus begitu sampai Allah menghentikan sepenuhnya, atau sampai aku gugur dalam upaya ini.”
Nabi Muhammad s.a.w. menyampaikan sendiri sabda itu dengan ketulusan dan perasaan mendalam sehingga wajah beliau tampak bersinar. Setelah selesai bersabda beliau berbalik dan pergi, namun Abu Ṭalib memanggil dan dengan air-mata bercucuran ia berkata: ”Wahai anak saudaraku, teruskanlah tugasmu, aku akan mendukungmu sampai akhir batas kekuatanku dan sepanjang aku masih bisa bernafas.”
Kemudian suku Quraisy pun menyusun taktik yang lain. Mereka kembali menemui Abu Ṭalib sambil membawa pemuda cemerlang bernama Ammarah bin Walid dari keluarga mulia suku Quraisy, dan berkata pada Abu Ṭalib: ”Kami membawa Ammarah bin Walid dan anda harus tahu bahwa ia adalah salah satu pemuda Quraisy yang terbaik. Kami bermaksud menyerahkan pemuda ini kepadamu dan dipersilahkan untuk memanfaatkan apa pun dari dirinya. Anda boleh menjadikannya anakmu jika anda mau, dan kami siap menyerahkan segenap hak-haknya padamu. Kami ingin anda menukarnya dengan Muhammad yang telah menciptakan kekacauan besar bagi kami dengan serangan-serangannya atas keimanan yang diwarisi oleh kami dari leluhur kami, jadi kami bisa melakukan apa pun kepadanya. Dalam hal ini, sebuah jiwa dibalas dengan sebuah jiwa pula, dan anda tidak akan kecewa.”
Abu Ṭalib menjawab kepada mereka: “Usulan ini tidak masuk akal, karena aku harus memungut anak dari salah satu pemuda kalian dan aku harus mengurus dan membesarkannya, sebaliknya aku harus menyerahkan anakku agar kalian bisa membunuhnya. Aku tidak akan menjadi mitra dari pertukaran yang semacam itu.”
Lalu Mut’am bin Adi berkata kepada Abu Ṭalib: “Orang-orangmu mencoba segala daya upaya untuk menyelesaikan masalah ini tanpa pertengkaran, tapi kelihatannya engkau tidak setuju saran mereka.”
Abu Ṭalib menjawabnya langsung: “Mut’am, aku tidak menerima perlakuan yang adil, aku menduga engkau condong untuk mendukung orang-orangmu dan bersikap tidak adil kepadaku. Jika orang-orangmu tetap berpikir tidak wajar, aku tidak bisa berbuat apa pun. “Lakukanlah apa yang kalian suka”.”
Para pemimpin Quraisy berunding dan akhirnya disetujui bahwa setiap suku akan memaksa keluarganya yang telah memeluk Islam untuk melepaskannya kembali. Mereka membayangkan bahwa jika cara ini berhasil maka Nabi Muhammad s.a.w. akan dikhianati oleh para sahabatnya, dan setelah sendirian ia tidak bisa melakukan tugasnya. Ketika Abu Ṭalib mengetahuinya, ia segera mengumpulkan keluarga Bani Hasyim dan Bani Muṭalib, dan setelah menjelaskan kepada mereka apa-apa yang diketahuinya maka mereka harus dengan segala daya upaya untuk melindungi beliau. Semua yang hadir di sana menyetujuinya terkecuali Abu Lahab yang telah menjadi musuh bebuyutan Islam yang berurat-berakar. Cara Quraisy tersebut dapat menghindari peperangan antar suku, namun ummat Muslim secara individu menjadi mudah disiksa oleh suku mereka sendiri.
Gambaran berikut ini akan menarik perhatian kita bersama.
Uṡman bin Affan r.a. berasal dari Bani Umayyah dan merupakan orang yang sudah matang dalam segala hal. Namun karena aturan yang disetujui suku Quraisy, maka pamannya Hakam bin Abul Aas telah mengikatnya dengan tali dan memukulnya berkali-kali, dan beliau menerimanya dengan tenang tanpa protes sedikit pun.
Zubair bin Awam r.a. berasal dari Bani Asad dan seorang yang berani dan berwibawa. Pamannya telah menggulungnya dalam sebuah permadani yang panjang dan menyiksanya dengan asap agar ia bersedia melepaskan Islam. Ia menahan siksaan dengan gembira dan tetap teguh pada kebenaran yang dipeluknya, dan ia menolak mengingkarinya.
Said bin Zaid r.a. ipar Umar berasal dari Bani Adi dan dihormati di lingkungannya. Ketika Umar mengetahui bahwa Said r.a. telah memeluk Islam lalu ia menyerangnya dengan kasar, dan dalam serangan itu saudara perempuannya sendiri terluka dan berdarah.
Abdullah bin Masūd r.a. berasal dari Bani Huḍail dan dipukuli dengan hebatnya di pelataran Ka’bah. Abu Ḍar Giffari r.a. dipukul tanpa rasa belas-kasih dan hampir terbunuh jika Abbas bin Abdul Muṭalib tidak menyelamatkannya dari pembunuhan itu dengan cara mengingatkan mereka bahwa korban mereka adalah Bani Gaffar, yang kuat di rute perdagangan Siria, dan kafilah mereka yang menuju utara akan diganggu.
Itu adalah contoh orang-orang yang berasal dari suku-suku yang kuat dan mereka diperlakukan dengan berbagai pertimbangan. Namun bagi mereka yang lemah dan bagi mereka yang berada dalam keadaan tidak bebas, maka mereka akan disiksa tanpa peri kemanusiaan.
Kami telah menerangkan kisah Bilal bin Rabah r.a. yang dimiliki Umayyah bin Khalif dan harus menahan derita pada tangannya sebagai akibat tidak mau mengkhianati Nabi Muhammad s.a.w. dan tetap teguh dalam keimanannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Abu Fakih r.a. adalah budak Safwan bin Umayyah. Ia disiksa dalam cara yang sama dengan Bilal r.a. dan begitu juga Aamir bin Fuhairah r.a., budak lainnya yang ketika itu juga dibeli Sayidina Abu Bakar r.a. dan dibebaskan. Lalu Sayidina Abu Bakar r.a. mempekerjakannya untuk menggembalakan biri-birinya.
Labinah r.a. adalah budak perempuan yang telah memeluk Islam. Sebelumnya, Umar bin Khattab sering menyiksanya tanpa ampun, dan jika lelah memukulinya maka ia akan beristirahat dulu dan kemudian memukulinya kembali. Protesnya hanyalah: ”Umar, jika engkau tidak memeluk Islam, Allah tidak akan memaafkan kekejianmu padaku.”
Zunairah r.a. adalah budak perempuan Bani Makhzūm. Abu Jahal memukulinya dengan kejam sekali sehingga matanya menjadi buta. Ia selalu menghinanya dan berkata: ”Jika Islam benar, bagaimana ia bisa memeluknya padahal kita tidak melihat ada kebenarannya?’
Suhaib bin Sanan Rumi r.a. bukan budak lagi dan ia berkecukupan, namun sering dipukuli tanpa ampun oleh orang-orang Quraisy.
Khabbab bin Arat r.a. adalah orang yang bebas dan mendirikan praktek pandai besi. Pada suatu hari ia ditangkap dan dipaksa berbaring di atas arang yang membara di dapurnya sendiri, sampai apinya menjadi padam. Ia mengatakan kejadian itu beberapa tahun kemudian kepada Sayidina Umar r.a. dan memperlihatkan punggungnya yang penuh dengan jalur-jalur putih bekas luka-lukanya.
Ammar r.a., ayahnya Yassar dan ibunya Samayyah r.a., dengan tanpa ampun dan dengan kejam disiksa oleh Bani Makhzūm. Pada suatu hari ketika mereka disiksa lewatlah Nabi Muhammad s.a.w. dan melihat keadaannya yang amat menyedihkan, beliau menghibur mereka. ‘Tetap teguhlah wahai keluarga Yassar, surga adalah tempat tinggalmu.’ Akhirnya Yassar tunduk pada penyiksanya. Istrinya yang telah tua dihajar tanpa ampun oleh Abu Jahal dengan tombak sehingga langsung wafat. Ammar r.a. juga berulang kali disiksa namun selamat.
Nabi Muhammad s.a.w. sendiri, dilindungi sampai tingkat yang amat luas oleh jaminan yang diberikan oleh Bani Hasyim dan Bani Muṭalib dimana perjanjian terhadap hal itu telah dibuat. Dalam beberapa hal jaminan itu telah dilemahkan oleh penentangan kuat Abu Lahab, dan suku Quraisy sedang menimbang-nimbang tindakan mereka terhadap Bani Hasyim dan Bani Muṭalib walau mereka belum melaksanakannya secara nyata. Mereka membatasi diri pada perbuatan mencela, mengejek, dan mengganggu.
Ketika saat ziarah haji tahunan mendekat, mereka berkumpul di rumah Walid bin Mugirah dan memikirkan keterangan apa yang pantas disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dengan ajaran barunya, pada kesempatan ziarah haji tersebut: ”Apakah mereka harus menerangkannya sebagai peramal, atau orang yang gila, atau apakah ia penyair yang mempengaruhi orang dengan puisi-puisinya, atau seorang pesulap yang menyesatkan orang-orang dengan peragaan sulapnya?”
Walid menegaskan bahwa tak ada satu pun dari penjelasan-penjelasan itu yang sesuai dengan Muhammad, oleh karenanya jika menuduhnya dengan hal itu, tetap aja tidak akan membuat ia menjadi bersalah. Akhirnya mereka setuju untuk menuduhnya sebagai tukang sihir, yang dengan kekuatan sihirnya, ia telah menghancurkan banyak keluarga, memisahkan anak dari bapak-bapaknya, saudara dari saudaranya, istri-istri dari suami-suaminya. Mereka mulai mempropagandakan tuduhan itu di musim ziarah haji, menjelaskannya pada  suku-suku Arab yang datang ke Mekah di musim itu, dan menghasut mereka untuk melawan beliau.
Pihak Quraisy tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka terus menerus menciptakan kekacauan dan mengganggu beliau dengan berbagai cara. Mereka mengikuti beliau kemana-mana dan lidahnya mengucapkan kalimat-kalimat dan slogan-slogan yang amat mengejek. Para tetangga melempari rumah beliau dengan batu, menyebar duri-duri di depan pintu, dan melemparkan benda-benda busuk melewati tembok rumah beliau. Suatu hari, seseorang melempar isi-perut kambing ke dalam rumah. Beliau membawanya ke luar dan bersabda: ”Wahai Bani Abdul Manaf, ini bukanlah cara-cara seorang tetangga yang baik.”
Pada suatu hari, ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang dalam keadaan bersujud secara khusuk di pelataran Ka’bah, lalu seseorang yang disuruh oleh Abu Jahal telah menaruh sejumlah isi-perut onta di bagian  pundak beliau. Mendengar hal itu, salah satu putrinya datang dan mengangkat isi-perut itu agar beliau dapat bangun kembali. Pada saat itulah orang-orang Quraisy mulai menyebut beliau dengan nama Muḍammam (yang amat terhina) sebagai pengganti dari Muhammad (yang amat terpuji). Ketika seseorang melaporkan, beliau hanya tersenyum dan bersabda: ”Namaku Muhammad, dan ia yang bernama Muhammad bukanlah orang yang bernama Muḍammam. Perhatikan, bagaimana Allah melindungi aku terhadap kekejaman mereka.”
Di lain kesempatan ketika beliau melaksanakan Ṣalat di dekat Ka’bah, tiba-tiba Uṭba bin Abi Muit melangkah kearahnya, lalu memilin kain yang mengelilingi lehernya sampai kencang dan beliau menjadi sulit untuk bernafas. Melihat demikian maka Sayidina Abu Bakar r.a. berlari mendekati Uṭba dan berkata: ”Akankah engkau membunuh orang yang menyebut Allah adalah Tuhanku?”
Pada waktu lainnya ketika Nabi Muhammad s.a.w. menjelaskan tentang Tauhid di pelataran Ka’bah, beberapa orang Quraisy mengelilingi beliau dengan perilaku yang mengancam. Anak-angkatnya, Hariṭ bin Abi Hallah r.a. berlari dan melindungi beliau terhadap kekacauan yang mungkin dibuat orang-orang Quraisy. Tiba-tiba orang Quraisy mencabut pedang dan membunuh Hariṭ r.a. seketika itu juga. Dalam suasana yang kacau itu, menjadi sulit untuk menentukan siapa pembunuhnya. Ummat Muslim di Mekah pada saat itu menghadapi kesulitan yang amat besar.
Nabi Muhammad s.a.w. tidak keberatan menderita gangguan, namun sangat cemas terhadap penyiksaan yang dialami ummat Muslim, khususnya bagi yang lemah, yang dijadikan korban sasaran mereka. Beliau sangat faham bahwa pada tahap ini seluruh penganut kebenaran harus lulus ujian, dan penyiksaan itu terjadi sebagai suatu alat guna mengajar mereka dalam hal ketahanan dan keteguhan hati. Beliau memberitahu mereka bahwa inilah cara yang abadi dari Allah SWT, dan orang-orang yang berimanlah yang akan menang.
Pada suatu hari ketika beliau duduk di dekat Ka’bah, kemudian Khabbab bin Arat r.a. dan orang-orang Muslim menemui dan bertanya: ”Ya Rasulullah, setelah melihat bagaimana para Muslim disiksa Quraisy, mengapa engkau tidak menurunkan ażab Allah kepada orang-orang Quraisy?”
Mendengar hal itu, beliau yang amat terpengaruh, telah menasihati mereka: ”Ada banyak orang sebelum kamu yang bertahan dari kesulitan yang jauh lebih besar dalam mempertahankan keimanan ketimbang yang kalian alami. Ada orang-orang yang dagingnya dicabuti dengan jepitan besi, sehingga tulang-tulangnya kelihatan, namun mereka tetap berteguh hati. Ada orang-orang yang badannya dipotong dengan gergaji, namun mereka tidak goyang dari keimanannya. Yakinlah bahwa Allah akan menyempurnakan rancangan-Nya. Saatnya akan tiba ketika penunggang unta akan berjalan dari Siria ke Hadramaut tanpa ada rasa takut di hatinya, takutlah hanya kepada Allah. Tapi kamu tidak sabar.”
Di waktu lainnya, Abdul Rahman bin Auf r.a. dan beberapa orang Muslim yang lainnya menghadap beliau dan bertanya: ”Ya Rasulullah, ketika kami menyembah berhala, kami dihormati, dan tak seorang pun yang melotot kepada kami. Namun setelah kami menjadi Islam, kami menjadi lemah dan tak berdaya dan tidak dianggap sebagai manusia. Kami harus tahan pada siksaan-siksaan orang-orang kafir yang amat kejam. Ya Rasulullah, kami memohon agar engkau mengizinkan kami melawan mereka.”
Jawaban beliau adalah: ”Aku diperintahkan untuk mengendalikan diri. Aku tidak mengizinkan kalian melawan musuh-musuh kalian.” Dengan demikian, mereka harus mengerti dan harus dapat bertahan pada segala aniaya dengan berteguh-hati dan tetap berdiri dengan kokohnya.

----------------- *** -------------------

No comments:

Post a Comment