Saturday, July 2, 2011

BAB - 13. KEMENANGAN ISLAM, KHAIBAR - MEKAH TAKLUK, PERANG MUTAH - PERANG HUNAIN

Ke-3 suku utama Yahudi, yaitu Bani Qainuqa, Bani Nażir dan Bani Quraiżah, telah menetap di oase-oase Madinah sejak waktu yang jauh sebelum suku Qayla (Aus dan Khazraj) terlihat di permukaan bumi. Setelah orang-orang Qayla berdatangan, suku-suku Yahudi terus mendominasi posisi memimpin di oase-oase itu untuk beberapa waktu lamanya. Bahkan ketika Hijrah, jumlah mereka telah melebihi orang Arab di oase-oase itu.
Bagaimana caranya orang Yahudi itu bisa berada di Madinah dan apakah mereka benar-benar keluarga Ibrani atau keturunan Arab yang pindah ke Judaisme, tidak jelas. Namun yang pasti, bahwa di sepanjang waktu mereka telah mengadopsi adat-istiadat yang sama dengan tetangga Arab-nya yang penyembah-berhala, namun mereka lekat dengan agama Yahudi-nya dan memelihara keberadaan mereka yang berbeda.
Tibanya Nabi Muhammad s.a.w. di Madinah tidak diterima dengan lebih baik ketimbang Abdullah bin Ubayy pemimpin Khazraj, yang hampir saja menerima mahkota sebagai Raja Aus dan Khazraj, suatu rancangan yang telah dikecewakan oleh perkembangan di Madinah sebagai akibat dari kedatangan beliau di sana.
Kaum Yahudi sedang menunggu-nunggu turunnya seorang Nabi, yang telah diramalkan dalam kitab Taurat - Deuteronomy 18:18, yaitu sbb:
”Dari bangsa mereka sendiri Aku akan mengutus kepada mereka seorang nabi seperti kamu. Aku akan mengatakan kepadanya apa yang harus dikatakan olehnya, lalu ia akan menyampaikan kepada bangsa itu segala yang Aku perintahkan.”
Akan tetapi mereka percaya sepenuhnya bahwa Nabi akan diangkat dari antara orang Yahudi, dan karenanya mereka tidak mampu menyadari kenyataan bahwa dia telah diangkat dari antara orang Arab. Mereka menjadi cemburu dan menentang, serta dari sanalah awal mula timbulnya keinginan untuk menggagalkan beliau.
Ketika Islam menyebar dengan cepatnya di antara suku Aus dan Khazraj, kaum Yahudi mulai kesal dan menjadi khawatir bahwa orang asing dari Mekah dapat mencapai posisi yang mendominasi di Madinah. Walau begitu, mereka mengharap bahwa kecenderungan itu akan segera teratasi. Ketika mereka menerima isyarat bahwa sebuah pasukan yang amat kuat sedang bergerak dari Mekah ke Madinah, dan Nabi Muhammad s.a.w. pergi keluar untuk memeriksa dan melawannya, kaum Yahudi merasa tersanjung dan penuh harapan bahwa beliau dan ummat Muslim akan kalah di tangan suku Quraisy.
Hasil akhir yang tidak disangka-sangka dari perang tsb telah membuat mereka kaget. Setelah perang, ketika Nabi Muhammad s.a.w. yang mengetahui bahwa Bani Qainuqa bersikap sangat agresif, lalu beliau mengumpulkan mereka di pasarnya sendiri dan memperingatkan dalam kalimat sbb: ”Hati-hati, kalau tidak Allah akan memberi pembalasan yang Dia kenakan kepada Quraisy, dan peluklah Islam. Kalian tahu, aku Nabi yang telah diturunkan – kalian akan mengetahuinya dalam kitab kalian, dan dalam perjanjian Allah dengan kalian.
Orang-orang Yahudi membalas pendekatan itu dengan sebuah tantangan. Mereka berkata: ”Muhammad, kelihatannya kamu berpikir bahwa kami seperti orang-orangmu. Jangan bohongi dirimu sendiri karena kamu hanya melawan orang-orang yang tidak ada ilmu tentang perang dan kamu menang atas mereka; karenanya demi Allah, jika kami berperang denganmu, maka kamu akan mengetahui bahwa kami benar-benar ksatria.
Jawaban itu kelihatannya telah menutup peluang akan perjanjian perdamaian. Adalah tidak diragukan lagi, bahwa ketika itu ketiga suku Yahudi, baik sendiri atau bersama-sama, ditinjau dari segala segi jauh lebih kuat ketimbang pasukan beliau.
Perkembangan berikutnya telah diterangkan di dalam bab yang terdahulu. Telah menjadi jelas bahwa Yahudi Madinah terus menerus menghasut Quraisy, dan kemudian suku-suku lainnya juga, dan melakukan tindakan agresif terhadap Muslim dengan maksud menyapu bersih Islam.
Khaibar Takluk
Nabi Muhammad s.a.w. menghadapinya dengan sabar, dan tanpa mempedulikan perilaku mereka yang buruk, dengan kebaikan-hatinya beliau mengajak mereka hidup damai dengan ummat Muslim, dan perlakuan kasar yang diterima dari Bani Quraiżah tidak dianggap sebagai peringatan.
Sementara itu di Khaibar, setelah Bani Nażir diusir dari Madinah, telah menjadi pusat perlawanan kaum Yahudi. Pemimpin Bani Nażir diterima dengan baik di Khaibar, dan Huyay bin Akhtab pemimpin Bani Nażir menjadi pemimpin utamanya. Ia hadir bersama Bani Quraiżah ketika mereka melakukan kegiatan pengkhianatan sewaktu Madinah dikepung, dan mengalami nasib serupa setelah kepungan dibatalkan.
Perjanjian Gencatan-Senjata di Hudaibiyah memblok kaum Yahudi dari mitra utamanya yaitu suku Quraisy, yang sejauh itu dipakai sebagai ujung-tombak rancangan jahat mereka terhadap ummat Muslim. Mereka juga khawatir bahwa terkecuali mereka bisa bergerak dalam kekuatan cukup untuk melawan Muslim di masa awal, maka kekuatan akhirnya bisa merugikan mereka. Sekarang mereka amat tergantung pada suku Gaṭfan dan suku Nejed lainnya, yang telah lama berhubungan baik, untuk melaksanakan tujuan mereka.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. menerima isyarat bahwa Yahudi Khaibar dan Yahudi lain yang tinggal bertetangga telah aktif merencanakan agresi melawan ummat Muslim dengan bergabung kepada Bani Gaṭfan, beliau memutuskan untuk bergerak ke Khaibar dengan harapan mendapat permufakatan dengan mereka seperti yang telah dilakukan dengan pihak Quraisy.
Beliau mengumpulkan mereka yang menyertainya ke Hudaibiyah, dan untuk menjaga agar gerakan mereka tidak diketahui, maka beliau mengatur perjalanan ke Khaibar yang jaraknya kurang dari 100 mil, dalam 3 barisan pasukan yang berbeda. Begitu cepat gerakan itu, begitu lengkap kekagetan mereka, sehingga para pengolah tanah Khaibar, sewaktu tiba di ladang pagi harinya telah melihat dirinya berhadapan dengan sebuah pasukan besar, dan mereka segara pulang ke kota dalam keadaan takut. Kecepatan pasukan itu memutus semua harapan akan bantuan Bani Gaṭfan.
Lembah Khaibar ditebari desa-desa dan benteng-benteng yang dibangun seadanya tapi terpasang kuat di atas batukarang dan telah terkenal karena di sana sini terlihat pohon-pohon korma dan ladang jagung. Satu demi satu, sebelum pihak lawan siap melawan, benteng-benteng itu diserang dan dijatuhkan. Dari desa yang pertama diserang dan hanya menderita sedikit kerugian, ummat Muslim maju ke benteng yang kuat Qamus.
Di sini kaum Yahudi, yang telah berkumpul  di sekeliling pemimpinnya Kinana, telah berjaga-jaga di depan benteng-kota, dan terpaksa bertempur dalam keputus-asaan. Upaya pertama untuk mengusir mereka telah gagal, dan pagi harinya Nabi Muhammad s.a.w. memberikan perintahnya kepada Sayidina Ali r.a. dan pasukannya untuk menyerang. Pada saat itu, pahlawan kaum Yahudi bernama Marhab maju selangkah dari barisan Yahudi, dan menantang lawannya berduel. Sayidina Ali r.a. melawannya, dan duel pun terjadi, lalu Sayidina Ali r.a. berhasil membelah dua kepala Marhab. Saudaranya maju menggantikan dia, dan Zubair r.a. bergerak dan menebasnya.
Pasukan Muslim mulai melakukan serangan besar-besaran, dan setelah perang yang amat dahsyat, musuh dapat dikalahkan. Di perang ini, Sayidina Ali r.a. memperlihatkan keberanian yang tiada taranya. Setelah tamengnya hancur, ia mengambil daun jendela, yang digunakan sebagai pengganti dengan hasil yang efektif. Kemenangannya sangat telak, karena korban Yahudi ada 93 orang, dan ummat Muslim hanya 19 orang yang terbunuh. Benteng-kota Qamus menyerah dengan syarat penghuninya dibebaskan pergi keluar negara itu, namun semua harta kekayaannya menjadi milik sang pemenang.
Lalu tibalah Kinana pemimpin Khaibar dan sepupunya bersama sisa orang-orangnya. Mereka dituduh telah melanggar kesepakatan karena menyembunyikan sebagian besar harta bendanya, yang seharusnya diserahkan. Mereka protes karena tak menyembunyikan apa pun dan menantang bahwa jika mereka bohong akan dibayar dengan nyawanya. Lalu harta itu ditemukan karena diberitahu seorang Yahudi, dari tempat dimana keduanya bersembunyi. Mereka membayar dengan nyawanya.
Zainab, saudara perempuan Marhab, yang telah kehilangan suaminya, beserta ayahnya dan saudara-saudara lainnya di dalam perang itu, merasa sangat benci terhadap Nabi Muhammad s.a.w. Setelah merasa yakin bahwa beliau suka kaki anak-domba, lalu ia memasaknya dan dihias dengan manisnya setelah kaki itu direndam racun, dan dihidangkan kepada beliau untuk santapan malamnya. Gembira karena mendapat hadiah itu, beliau mengambil sepotong kaki anak domba untuknya, dan membagi-bagikan sisanya kepada Sayidina Abu Bakar r.a. dan yang lainnya termasuk Biṣri r.a. yang duduk di dekatnya. Begitu beliau menyuap makanan untuk yang pertama kalinya, Nabi Muhammad s.a.w. berteriak: ”Awas, kaki anak-domba ini telah diracuni.
Dan beliau memuntahkan makanannya. Biṣri r.a., yang memakan bagiannya, seketika itu juga wajahnya berubah warna, tangan dan kakinya menggeletar lalu tewas. Nabi Muhammad s.a.w. menderita sakit perut yang amat menyiksa dan hal itu membuat beliau dan semua orang yang turut memakan hidangan itu, menjadi sangat kesakitan.
Zainab membela dirinya dengan menjawab: ”Engkau telah menyebabkan kerugian besar pada rakyatku, engkau sembelih ayahku, saudaraku dan suamiku. Karenanya, aku berkata pada diriku, jika ia Nabi maka ia akan menolak hadiah karena tahu daging itu telah diracuni, tapi kalau ia berpura-pura, kami akan membunuhnya dan Yahudi akan makmur lagi. Pernyataan pembelaan diterima dan ia dibebaskan.
Setelah kemenangan di Qamus, benteng-benteng Yahudi yang masih tertinggal adalah Watih dan Sulalim, yang terus diinvasi dan ketika tidak ada hal yang menggelisahkan, langsung diserahkan lagi dengan syarat bahwa mereka harus membayar pajak yaitu setengah dari hasil olahan tanahnya. Mereka boleh memiliki kembali hartanya.
Fadak, suatu perkemahan Yahudi yang tidak jauh dari Khaibar, mengambil keuntungan dari contoh tadi, dan segera menyerahkan diri, dengan syarat-syarat yang serupa. Ketika pulang, pasukan Muslim mengepung perkemahan Yahudi di Wadil Qura, dan setelah bertahan 1 – 2 hari, mereka menyerah dengan syarat-syarat serupa juga.
1/5 bagian harta-rampasan dari Khaibar, disisihkan untuk Nabi Muhammad s.a.w. dan dibagikan pada keluarganya serta untuk bagian orang-orang yang miskin. Sisa 4/5 bagian dilelang, dan sesuai ketentuan hasilnya dibagi menjadi saham-saham,  1 saham untuk prajurit berjalan kaki, dan 3 saham untuk prajurit berkuda. Desa-desa dan tanah-tanah dibagi-bagi dengan cara yang berbeda.
Setengahnya, termasuk tempat-tempat yang diserahkan tanpa bertempur, dicadangkan untuk Nabi Muhammad s.a.w., dan setelah itu didirikan sejenis daerah kekuasaan Mahkota, setengah lainnya dicadangkan untuk dimiliki sebagai harta rampasan pribadi sesuai ketentuan.
Walau tanah-tanah yang diperoleh dengan pertempuran dibagikan sebagai milik pribadi namun dianggap layak untuk membiarkan tanah itu dimiliki oleh Yahudi, dengan kondisi yang sama dengan tanah umum, yaitu menyerahkan setengah dari hasil olahannya.
Penilaian dilaksanakan setiap tahun untuk menentukan jumlahnya, menghitung sewa, lalu membawanya ke Madinah. Sepanjang hidupnya, Abdullah bin Rawaha r.a. telah ditunjuk untuk dapat melaksanakan tugas tersebut. Kaum Yahudi tersebut sangat menghormati keadilan dan kewajaran dalam membuat penilaian.
Di perjalanan pulang, Nabi Muhammad s.a.w. menjadi begitu gembira karena bertemu Jafar r.a. sepupunya, yang bersama beberapa orang muhajirin, telah tiba dari Abesinia, dan datang untuk mengunjunginya. Nabi Muhammad s.a.w. menyatakan kegembiraannya yang luar biasa ketika bertemu mereka; dan pasukan juga tidak kurang senangnya, dan mereka menyetujui usulan beliau untuk memberi Jafar r.a. dan para sahabatnya bagian yang sama dengan mereka, atas harta rampasan Khaibar.
Selama musim gugur dan musim dingin pada tahun ke-7 Hijrah, berbagai ekspedisi militer telah dikirimkan, dan dipimpin oleh berbagai komandan ke berbagai arah. Mereka tidak membuat hasil akhir yang penting, namun lebih condong untuk memperluas pengaruh Nabi Muhammad s.a.w. dan membuat hubungan dengan suku-suku di sekitarnya, atau juga yang berjarak jauh.
Waktunya telah tiba bagi beliau mengunjungi Mekah dan melakukan Umrah, sesuai dengan perjanjian. Disamping mereka yang telah mendampingi beliau  tahun lalu ke Hudaibiyah, juga ada banyak lainnya yang bergabung dengan iring-iringan itu sehingga sekarang jumlahnya mencapai 2.000 orang. Muhammad bin Maslamah r.a. dengan 100 ekor kuda, bergerak di depan jemaah haji. Hewan-hewan qurban telah dikirim terlebih dahulu ke tempat yang dekat dengan Mekah. Sementara Quraisy yang dikabari tentang kedatangan ummat Muslim, telah mentaati perjanjian untuk mengosongkan kota dan mereka menaiki bukit-bukit sekitar, sambil mengawasi kedatangan jemaah haji.
Akhirnya iring-iringan itu terlihat muncul dari arah utara lembah. Di depannya, terlihat Nabi Muhammad s.a.w. dengan menunggang Qaswa; Abdullah bin Rawaha r.a. berjalan kaki di depannya sambil memegang tali kekang, di setiap sisinya para pemimpin Sahabat, di belakangnya, barisan panjang jemaah yang naik unta dan berjalan kaki.
Sudah 7 tahun berlalu sejak para Muhajirin terakhir melihat lembah tempat kelahirannya, sekarang dengan langkah cepat dan keinginan yang terpendam lama, mereka maju tergesa-gesa, dan, beliau mengucapkan Talbih dengan nyaring: Labaik allāhuma labaik. ”Ini hamba, Ya Allah, ini hamba.”
Masih menunggang unta, pakaian ihramnya tersandang dari bawah tangan kanan ke bahu kiri, beliau  mendatangi Ka’bah, menyentuh Hażar Aswad dengan tangannya, dan melakukan ṭawaf 7 kali mengelilingi tempat Suci, dan orang-orang pun mengikutinya. Lalu Abdullah r.a. yang menuntun unta beliau, membacakan ayat-ayat dengan nada suara yang seperti akan maju berperang dan menantang.
Lalu ia diberi nasihat: ”Sopanlah, wahai anak Rawaha! Jangan baca ayat itu.” Katakanlah: ”Tidak ada tuhan melainkan Allah! Dia-lah Yang mengutus Hamba-Nya, dan memuliakan orang-orang-Nya! Dengan Sendirian, Dia mengalahkan pasukan Gabungan.”
Abdullah r.a. mengucapkan kalimat itu, dan orang-orang mulai berteriak nyaring sambil mengelilingi Ka’bah, suara yang membahana itu memenuhi seluruh lembah. Ṭawaf selesai, Nabi Muhammad s.a.w. tetap naik unta, dan langsung melaksanakan Sa’i antara Safa dan Marwa sebanyak 7x bolak-balik dari satu sisi ke sisi yang lainnya, sesuai dengan kebiasaan kuno. Hewan-hewan lalu diqurbankan, dan pelaksanaan Umrah telah selesai.
Di pagi harinya beliau memasuki ruang terdalam Ka’bah dan tinggal di sana sampai waktu Ṣalat. Bilal r.a., dengan berdiri di atap Ka’bah, memanggil jemaah haji dengan panggilan Ażan untuk Ṣalat Zuhur. Mereka berkumpul dari setiap sudut, dan di bawah bayangan Baitullah, Ṣalat dengan Imam langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad s.a.w. dilakukan dengan cara yang sama seperti di mesjid Madinah.
Sir William Muir menulis (Life of Mahomet, hal. 388):
“Benar-benar suatu pemandangan yang amat ganjil, yang pada saat itu sedang berlangsung di lembah Mekah – suatu pemandangan, yang mungkin bisa disebut oleh orang-orang, sebagai suatu sejarah yang unik. Selama tiga hari penuh, kota kuno dikosongkan dari seluruh penduduknya, dan setiap rumah ditinggalkan. Begitu kosong, pihak yang Terkucil, yang sekian lama dilarang mengunjungi tempat kelahirannya, dengan ditemani oleh sekutu-sekutunya, mengunjungi kembali rumah masa kecil mereka yang sudah kosong melompong, serta dalam waktu yang sebegitu pendek harus dapat menyelesaikan ritual hajinya.
Penduduk yang terusir dengan keluarga mereka, mendaki ketinggian bukit sekitar, beristirahat di bahwa tenda-tenda atau batu-batu karang di bukit-bukit dan lembah kecil; dinaungi puncak Abu Qobais yang menjuntai, lalu melihat gerakan-gerakan para pengunjung di bawahnya, dimana sang Nabi ada di depan, mereka memperagakan ritual sakral – dengan penuh curiga mereka memantau setiap gerak, jika mungkin berharap dapat mengenali beberapa teman-teman lama atau kerabatnya di antara para jemaah. Pemandangan itu hanya mungkin terjadi setelah kesengsaraan berat yang melahirkan Islam.’
Selama di Mekah, Nabi Muhammad s.a.w. tinggal di dalam tenda kulit binatang, yang disediakan untuk beliau, di sebelah Ka’bah. Namun beliau berbicara dengan beberapa penduduk dan mengupayakan agar peluang yang ada dapat digunakan untuk membujuk para penduduk Mekah memeluk Islam, dan usaha itu bukannya tidak berhasil.
Namun, waktunya terlalu singkat. Syarat tiga hari telah berakhir, dan sudah memasuki hari yang keempat ketika Suhail dan Huweitib pemimpin Quraisy muncul dan memaksa beliau dan para pengikutnya segera keluar dari kota Mekah. Lalu Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan untuk segera berangkat, dan ketika malam tiba tidak ada satu orang pun yang ketinggalan. Tidak lama setelah itu, Khalid bin Walid seorang panglima Quraisy yang mampu muncul di garis belakang pasukan Muslim dalam perang Uhud, menyusul ke Madinah dan menyatakan dirinya memeluk Islam. Dua orang lainnya telah mengikuti juga. Salah satunya adalah teman Khalid bin Walid yang sama-sama terkenal yaitu Amr, ia serba bisa dan ahli diplomasi yang diutus Quraisy sebagai duta ke Abesinia.
Yang satu lagi Usman anak Talha, pemimpin yang penting dan pelindung Ka’bah. Dalam jabatannya itu ia tak pernah ragu, ia berikan kunci Ka’bah kepada Nabi Muhammad s.a.w. agar bisa masuk ke dalam Rumah Suci, dan mungkin seperti orang lainnya juga yang memperhatikan pemandangan yang amat membekas dari kejauhan, dan dia tunduk pada pengabdian tulus beliau terhadap Ka’bah dengan ketinggian dan keindahan ritual yang mereka peragakan.
Posisi beliau di Mekah menjadi bertambah kuat dengan memiliki orang-orang yang penting itu. Tidak diragukan lagi bahwa perkembangan yang menguntungkan beliau tidak terbatas pada mereka saja, namun jauh lebih umum dan meluas, dan hari demi hari agama Islam menjadi populer di Mekah.
Perang Mutah
Selama musim semi dan musim panas tahun ke-8 Hijrah, berbagai ekspedisi militer telah dilangsungkan dengan berbagai keuntungan. Satu kelompok terdiri dari 15 orang dikirim ke Ḍat Atlah di perbatasan Siria. Di sana mereka bertemu dengan kerumunan orang yang banyak sekali dan mereka menyerunya untuk masuk Islam. Hujan panah adalah balasannya. Ummat Muslim bertempur dengan putus-asa, hanya 1 orang selamat dan melaporkannya.
Kemungkinan, bencana itulah yang membuka jalan bagi serangan besar-besaran ke distrik-distrik di perbatasan Siria. Pemicunya kepala-suku Surahbil di Mutah, yang membunuh utusan Nabi Muhammad s.a.w. yang sedang mengantarkan surat kepada Pangeran Gassan di Basra. Segera diputuskan bahwa kepala-suku yang menantang itu harus dihukum.
Panggilan umum pada prajurit dilakukan dan pasukan sebesar 3.000 orang telah terbentuk di luar kota Madinah. Panji putih telah dikibarkan dan beliau menyerahkannya kepada Zaid r.a., lalu bergerak maju menuju tempat dimana sang utusan telah disembelih, menyeru penduduknya untuk memeluk Islam, dan jika mereka menolak, pedang akan terhunus baginya.
Jika Zaid r.a. tewas, Jafar r.a. akan mengganti, dan jika Jafar r.a. tewas maka Abdullah bin Rawaha r.a. yang maju, jika ia juga tewas, pasukan memilih panglimanya masing-masing.
Berita tentang tibanya pasukan Islam didengar oleh Surahbil, yang langsung meminta bantuan pada seluruh suku-suku di sekitarnya. Begitu mendengar bahaya invasi, mereka segera bergabung dengan Surahbil, dan pasukan yang besar telah terbentuk. Zaid r.a. menerima isyarat intelijen ketika pasukan mendekati wilayah Mān. Ia mendengar bahwa musuh telah berkemah di wilayah Mān; perkiraannya ditambah lagi dengan desas-desus bahwa 300 – 600 orang dari pasukan Bizantin ada di sana, dan Kaisar-nya memimpin mereka. Ia berhenti, dewan perang dipanggil, dan selama dua hari para pemimpin Muslim membahas kesulitan posisi mereka. Banyak sekali usulan agar Nabi Muhammad s.a.w. diberikan laporan yang sesuai keadaan, dan suatu rencana baru harus dibuat sehingga perintah baru pun diperlukan.
Abdullah r.a. tidak setuju, ia mendesak dengan nada yang penuh semangat agar pasukan segera maju, dan disetujui semua orang. Lalu pasukan Muslim bergerak maju. Ketika tiba di Belka yaitu pantai selatan Laut Mati, tiba-tiba mereka berhadapan dengan musuh yang jumlah orangnya dan peralatannya jauh melewati semua yang pernah mereka lihat sebelumnya. Melihat formasi tempurnya yang berbahaya, mereka mundur kembali ke desa Mutah. Di sana, mereka menemukan dataran yang cocok, mereka berhenti dan membentuk formasi tempur, dan siap perang. Pasukan tempur Bizantin dengan tebaran orang-orang Arab di sayap lainnya, bergerak dengan tegapnya menuju mereka.
Di perang Mutah ini, Zaid r.a., Jafar r.a. dan Abdullah r.a. gugur menjalankan tugas sucinya. Karena pasukan Muslim tidak memiliki panglima lagi, maka rapat darurat dilakukan dan menetapkan Khalid bin Walid r.a. sebagai panglima. Namun peluang menang telah lewat. Pilihan bagi Khalid bin Walid r.a. hanyalah menyelamatkan pasukan yang morat-marit itu dari kehancuran, walau pun kemampuan dan kemahiran pribadinya amat tinggi. Melalui sederetan gerakan-gerakan cepat ia berhasil membuat pasukannya mundur ke tempat yang aman. Namun ia sama sekali tidak berani berhenti lebih lama di wilayah yang amat berbahaya itu dan tanpa upaya meneruskan perang, ia langsung kembali pulang ke Madinah.
Wafatnya Jafar r.a. sepupunya dan Zaid r.a. yang setia dan sahabat tercintanya selama 35 tahun sangat berpengaruh pada Nabi Muhammad s.a.w.. Ketika berita intelijen awal tentang wafatnya mereka dan mundurnya pasukan yang diterima terlebih dahulu melalui utusan rahasia, beliau pergi ke rumah Jafar r.a. Jandanya Asmāh r.a., selesai memandikan anak dan sedang mengenakan baju anaknya ketika Nabi Muhammad s.a.w. tiba, lalu memeluk anak-anak dengan lembutnya dan menangis. Asmāh r.a. merasakannya lalu ia menangis keras. Para perempuan lainnya segera mengerumuninya, dan diam-diam Nabi Muhammad s.a.w. menyelinap pulang ke rumah, dan mengirim makanan ke rumah Jafar r.a., sambil bersabda: ”Di sana pasti tidak ada makanan karena mereka tenggelam dalam kesedihan ditinggal oleh tuannya.”
Lalu beliau pergi ke rumah Zaid r.a. dan putri Zaid yang kecil berlari memeluk tangannya, serta menangis sedih. Beliau menjadi sedih dan menangis bersamanya. Seorang penonton, ingin mengetahui apa yang disedihkannya, dan bertanya: ”Mengapa engkau bersedih ya Nabi?”  ”Ini.” Beliau menjawab; ”Merasa sedih tidaklah dilarang, ini adalah bentuk kasih sayang yang timbul dari hati seorang teman bagi temannya.”
Kira-kira pada waktu itulah gubernur Arab di wilayah Mān yang bernama Farwa dan memeluk agama Kristen, mengirim surat kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan melaporkan bahwa ia telah memeluk Islam, ia juga mengirim berbagai hadiah yaitu – seekor keledai putih, seekor kuda, seekor kuda kecil, dan sejumlah pakaian yang bertatahkan emas. Hadiah-hadiah itu diterima dengan senang hati, sebagaimana tergambar dalam surat beliau yang juga berisikan pengarahan akan bimbingan-rohani kepadanya. Pemerintah Bizantin yang mendengar tindakannya, menawarkan promosi padanya agar ia kembali memeluk agama Kristen. Namun Farwa r.a. menolak, dan dihukum mati.
Kekalahan di Mutah mempengaruhi nama-baik Nabi Muhammad s.a.w. di mata suku-suku utara. Timbul desas-desus bahwa suku-suku Badui di sekitarnya telah membentuk pasukan besar dan akan menyerang Madinah. Amr seorang mualaf, memimpin 300 orang pasukan termasuk 30 pasukan kuda, diperintahkan untuk mengembalikan nama-baik Islam di perbatasan Siria. Pemilihan Amr didasarkan pada ciri-ciri pribadinya dan juga karena ia berasal dari Bani Ali, suku yang berpengaruh di wilayahnya dan memiliki pengaruh pribadi yang mungkin membantu dalam ekspedisi militer.
Ketika terjadi penentangan yang serius, ia memanggil orang-orang Arab di wilayah yang telah setuju menyerah padanya dan mereka diminta untuk membantunya. Setelah 10 hari berjalan ia berkemah di suatu mata-air di dekat perbatasan Siria. Di sana ia melihat pasukan musuh telah berkumpul banyak sekali dan ia berpikir bisa meminta bantuan dari suku-suku lokal. Ia berhenti dan mengirim utusan untuk meminta bantuan.
Nabi Muhammad s.a.w. segera mengirim 200 orang pasukan termasuk Sayidina Abu Bakar r.a. dan Sayidina Umar r.a., dipimpin Abu Obaidah r.a.. Begitu menjadi tambah kuat, Amr memimpin pasukan gabungan, lalu maju perang yang berlangsung dengan dahsyat, dan dikuatkan oleh suku-suku yang bersahabat. Setelah merampungkan tugasnya, ia pulang ke Madinah. Di luar suku-suku Siria yang dikalahkan Amr, beberapa suku lainnya seperti Bani Abas, Murrah, dan Dubyan sekarang telah memeluk Islam, dan juga suku Fezara yang dipimpin Oyeina yang telah begitu lama menyebabkan kekhawatiran bagi Madinah.
Bani Suleim yang turut dalam mengepung Madinah, telah bergabung ke dalam Islam kira-kira pada waktu ini. Hampir segenap suku-suku di sekitar Madinah telah mengetahui keunggulan ummat Islam.
Sir William Muir berkomentar (Life of Mahomet, hal. 399):
”Perlakuan sopan dengan perwakilan yang mulai berdatangan dari segala arah dialami oleh Nabi, perhatiannya yang besar akan kesedihan, kebijakan yang mampu menyelesaikan perselisihan, dan penunjukan pejabat politik yang bertanggungjawab terhadap wilayahnya yang menyatakan tunduk pada Islam, telah membuat namanya jadi populer. Dan termasyhurnya ia selaku seorang Pangeran yang agung dan murah hati, telah menyebar ke seluruh semenanjung.”
Perjanjian Gencatan-Senjata di Hudaibiyah, sekarang telah berumur dua tahun. Bertindak atas dasar syarat-syarat perjanjian, Bani Khuzā dan Bani Bakar yang tinggal di Mekah dan sekitarnya, telah mengumumkan bahwa Bani Khuzā tunduk kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan Bani Bakar tunduk kepada suku Quraisy. Perselisihan berdarah yang berlangsung lama di antara mereka, walau hal itu terjadi sebelum perang dengan ummat Muslim, namun darah yang tertumpah di kedua belah pihak menyebabkan kebencian sering timbul di dada mereka.
Perjanjian Gencatan Senjata di Hudaibiyah membuat Bani Bakar mencari kesalahan Khuzā, dan menunggu untuk membalas dendam. Dibantu kelompok Quraisy, di malam harinya mereka menyerang kemah Khuzā dengan mendadak, dan membunuh beberapa orang. Perwakilan Khuzā ada 40 orang dan luka-luka menunggang untanya segera pergi ke Madinah dan melaporkan kesalahan mereka pada Nabi Muhammad s.a.w., serta memohon agar pembunuh pengkhianat itu dihukum. Quraisy yang juga mendengar perwakilan itu, segera menyadari bahaya yang mengancam.
Mereka mengirim Abu Sufyan ke Madinah untuk menguatkan kembali permufakatan mereka terhadap perdamaian. Di tengah jalan ia bertemu Budail pemimpin Khuzā yang telah kembali dari Madinah setelah berunding dengan Nabi Muhammad s.a.w. Tapi Abu Sufyan tidak mampu menyelesaikan tugasnya dalam meyakinkan Nabi Muhammad s.a.w. Ia pulang dan melaporkan kegagalannya pada Quraisy, namun meyakinkan bahwa ia tidak melihat persiapan perang di Madinah.
Menjawab permohonan Khuzā, beliau mengirim pasukan untuk melawan Quraisy, dengan rancangan yang sangat merahasiakan gerakan itu, sejauh memungkinkan. Selanjutnya, beliau memanggil sekutu suku-suku Badui untuk bergabung di Madinah, atau di suatu tempat di tengah jalan, namun tujuannya dirahasiakan. Di saat-saat akhir beliau memerintahkan ummat Muslim di kota untuk mempersenjatai diri, dan memerintahkan agar semuanya tanpa kecuali, dengan berbagai cara yang ada, harus bisa sampai di Mekah.
Berlawanan dengan perintah itu, Hatib seorang Muslim secara rahasia mengirim surat melalui utusan perempuan dan mengisyaratkan rencana dimaksud. Informasi didengar Nabi Muhammad s.a.w., lalu dengan segera Sayidina Ali r.a. dan Zubair r.a. diperintahkan untuk memburunya. Mereka menangkap sang utusan dan mengambil surat itu dari tangannya. Hatib memohon maaf karena hal itu adalah keinginan alami untuk melindungi keluarganya di Mekah; dan memohon ampun atas dasar pelayanan terdahulu termasuk ikut perang di Badar, dan permohonannya dikabulkan.
Kota Mekkah Takluk
Pada tgl 1 Januari 630 AD pasukan perang Muslim mulai diberangkatkan. Itu adalah pasukan perang Madinah terbesar yang pernah ada. Tenda-tenda pasukan telah menggelapkan dataran bermil-mil panjangnya dan pasukan besar telah bergabung pada Nabi Muhammad s.a.w. Lalu, dua di antaranya ada suku Muzeina dan Suleim yang masing-masing membawa 1.000 orang. Sekarang beliau menyadari, ada 10.000 orang prajurit yang mendukungnya. Zubair memimpin 200 pasukan pelopor. Pasukan berjalan sangat cepat dan dalam waktu 1 minggu telah berkemah di Marraz Zahran, 1 tahap lagi sampai di Mekah.
Abbas r.a., paman Nabi Muhammad s.a.w. bergabung di tengah jalan, diterima dengan amat senang dan penuh kasih sayang oleh beliau. Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan agar semua orang menyulut obor di malam hari di ketinggian di atas tempat berkemah. Tidak ada berita pasti tentang pasukan Madinah yang sampai kepada Quraisy, dan  ketenangan yang luar biasa mendadak pecah oleh laporan yang meragukan, lalu Abu Sufyan ditugaskan untuk mengintai. Malam harinya, ia ditemani Hakim bin Hizam keponakan Sayidah Khadijah r.a., dan Budail pemimpin Khuzā bersenda-gurau di jalan yang menuju ke Madinah. Tiba-tiba, 10.000 obor menyala terang di puncak gunung dan terlihat dengan amat jelas sehingga menyilaukan mereka, karena timbul mendadak dari kegelapan.
Abu Sufyan didekati oleh Abbas r.a., yang lalu menunjukkan kepadanya bahwa betapa bijaknya jika ia memikirkan tentang taqdirnya di tangan ummat Muslim. 
”Duduklah di kuda, di belakangku.” Abbas r.a. berkata kepadanya: ”Aku akan membawamu kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan kamu harus berlindung kepada beliau.”
Dengan cepat mereka tiba di tenda beliau, yang setelah diberitahu Abbas r.a. tentang kedatangan Abu Sufyan, beliau meminta agar ia diundang ke tenda beliau, diperlakukan dengan baik dan pulang kembali di waktu pagi. Menjelang terbit fajar, Abu Sufyan sangat terkesan oleh deretan barisan Muslim yang Ṣalat Subuh dan ma’mum pada Nabi Muhammad s.a.w. Dia menyadari bahwa orang Mekah tidak mampu melawan tamunya yang perkasa.
Ketika ia diterima oleh beliau, ia bertanya: “Jika kami tidak melawanmu dengan pedang, apakah engkau akan tetap menggunakan pedang kepada kami?”
Ia diyakinkan bahwa jika mereka tidak melawan dengan senjata, maka mereka juga tidak akan diserang. Lalu Nabi Muhammad s.a.w. bertanya kepada Abu Sufyan: ”Apakah kamu belum faham juga bahwa tidak ada tuhan selain Allah?”
”Apakah ada Tuhan lainnya lagi?” Jawab Abu Sufyan.
”Tentu saja, Dia selalu membantu kita. Lalu, apakah kamu mengakui.” sabda Nabi Muhammad s.a.w. : ”bahwa aku adalah Utusan Allah?”
”Kalau soal itu,” jawab Abu Sufyan: ”ternyata di dalam hatiku masih ada keraguan.”
”Malanglah anda.” kata Abbas r.a.: ”Tidak ada waktu lagi untuk ragu.”
Sungguh, tidak ada waktu untuk angkuh atau segan, dan karena Abu Sufyan tidak punya pilihan lain, lalu ia mengulangi kalimat hanya percaya kepada Allah Yang Maha Esa, Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad s.a.w. adalah Utusan Allah. Lalu ia memohon diberi tanda kehormatan karena ia Pemimpin Quraisy, dan tugas apa yang akan diberikan kepadanya. Ia diberitahu, bahwa siapa pun yang mengungsi di rumahnya, akan selamat.
Nabi Muhammad s.a.w. juga memerintahkan agar ia segera pulang dan mengumumkan bahwa siapa pun yang menutup pintu rumahnya akan selamat, dan juga untuk mereka yang memasuki Rumah Suci. Sebelum Abu Sufyan berangkat pulang, pasukan telah siap bersenjata, dan berdiri rapi dalam barisan masing-masing. Berdiri di samping Abbas r.a., ia memperhatikan dan terpukau, karena suku-suku berbaris dengan panji masing-masing di tempatnya. Satu demi satu, suku-suku yang berbeda itu disebut namanya dan menjadi dikenal olehnya.
”Siapa barisan berwarna hitam itu?” tanya Abu Sufyan.
”Baju-zirah gelap dan tombak mengkilap? Itu ksatria dari Mekah dan Madinah.” jawab Abbas r.a.: “Kelompok terhormat yang melindungi pribadi Nabi Muhammad s.a.w.”
“Benar.” Jawab pemimpin yang sedang terpukau itu: “Kerajaan keponakanmu itu benar-benar kerajaan yang perkasa.”
”Tidak, Abu Sufyan, ia lebih dari seorang raja, ia Nabi yang perkasa.” Jawab Abbas r.a.
Abu Sufyan buru-buru kembali ke Mekah dan begitu tiba, ia berteriak dengan suara yang paling keras: ”Kalian orang Quraisy, Nabi Muhammad s.a.w. sudah berada di dekat kita! Beliau punya pasukan yang tidak akan bisa dilawan olehmu. Bagi siapa pun yang masuk ke rumah Abu Sufyan maka ia akan selamat, dan siapa pun yang menutup pintu rumahnya maka ia akan selamat, dan siapa pun yang masuk Rumah Suci, ia juga akan selamat.”
Lalu orang-orang berlarian ke segala arah, masuk ke rumah masing-masing dan sebahagian masuk ke Ka’bah.
Pasukan Muslim bergerak cepat menuju Mekah. Kekhawatiran akan kehilangan nyawa telah memenuhi saat-saat itu, akan tetapi begitu kota terlihat, terbuktilah bahwa tidak ada pasukan yang melawan. Jika serangan besar-besaran akan dilakukan, maka di situlah seharusnya terjadi, namun pasukan musuh sama-sekali tidak terlihat.
Sebagai tanda penghormatan, Nabi Muhammad s.a.w. menundukkan kepalanya ke arah untanya dan mengucapkan terimakasih kepada Allah. Pasukan dibagi dalam 4 divisi, masing-masing bergerak maju dalam jalur yang berbeda, dengan perintah tegas agar tidak bertempur kecuali di batas akhir, dan tidak melakukan kekerasan pada siapa pun.
Zubair r.a. memimpin batayon kiri dan masuk dari utara, Khalid bin Walid r.a. masuk dari selatan, orang-orang Madinah dipimpin S’ad bin Ubadah r.a. masuk dari barat, sementara si lembut hati tapi waspada Abu Obaidah r.a. memimpin Muhajirin diikuti Nabi Muhammad s.a.w., mengambil jalan terdekat menyusuri Jabal Hind.
Pembagian ini bijak sekali, jika musuh melawan di mana saja, salah satu divisinya langsung bisa memberi bantuan dengan mengambil posisi di belakang musuh. S’ad bin Ubadah r.a. memimpin penduduk Madinah, ia bernyanyi-nyanyi: ’Hari ini, hari pembantaian, tak ada yang selamat hari ini bagi orang Mekah.’
Ketika hal itu dilaporkan pada Nabi Muhammad s.a.w., langsung panji Madinah diambil dari S’ad bin Ubadah r.a. dan diserahkan kepada putranya Qais bin S’ad r.a., orang yang bertubuh tinggi sekali, namun berwatak lebih lembut ketimbang ayahnya.
Pasukan Khalid bin Walid r.a. bertemu musuh yang melawannya, akibatnya sejumlah kecil suku Quraisy dan dua orang tentara Khalid bin Walid r.a. tewas dalam pertempuran, dan hal itu menyedihkan hati beliau.
Beliau menuruni lembah dan tiba di dekat kuburan Abu Talib dan Sayidah Khadijah r.a.. Di sana beliau bergabung dengan divisi Zubair r.a., dan memerintahkan agar tendanya dibuat di tempat terbuka di arah utara kota.
”Mengapa engkau tidak ke rumahmu?” Tanya seorang pengikutnya.
”Pergi kemana?” Jawab beliau: ”Apakah mereka membiarkanku memiliki rumah di kota?”
Lalu panji besar dikibarkan di pintu tenda dan beliau istirahat di sana, namun hal itu tidak berlangsung lama. Dengan menunggang Qaswa beliau bergerak kembali menuju Ka’bah dan melakukan ṭawaf di Rumah Suci itu.
Lalu beliau menghancurkan semua berhala-berhala yang diletakkan di dalam dan di sekeliling Ka’bah. Setiap berhala roboh, beliau membaca:
.. jā’al-ḥaqqu wa zahaqal-bāṭil, innal-bāṭila kāna zahūqā. ”Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan itu pasti akan lenyap.” (Bani Israel – al-Ishrā’: 82)
Demikianlah, Ka’bah telah kembali pada fungsi asalnya untuk memuja Allah Yang Maha Esa, dan begitulah rancangan aslinya. Beliau meminta Bilal r.a. untuk melakukan Ażan dari atap Ka’bah, dan Ṣalat dilakukan dengan sedemikian besar jumlah orangnya, yang sampai saat itu belum pernah terjadi di Mekah, dengan mengikuti cara ritual di mesjid Madinah.
Suatu panggilan lalu diteriakkan ke seluruh kota dengan bunyi sbb: ”Bagi yang percaya pada Allah dan Hari Pembalasan, janganlah ia meninggalkan gambaran apa pun di rumahnya yang dapat membuatnya dibinasakan.”
Sepertinya beliau merujuk kelompok Khuzā yang telah memperbaiki tiang pembatas di sekeliling wilayah sakral. Jadi beliau memberikan bukti praktis bahwa selagi melaksanakan pencabutan berhala sampai ke akar-akarnya dari tanah itu, pada saat yang sama ia juga menjaga kesucian kota Mekah. Penduduk tercuri hatinya pada pernyataan beliau yang menyenangi kota mereka.
”Engkau adalah tempat terpilih di bumi ini yang diberikan kepadaku.” Beliau bersabda: ”Dan sangat menyenangkan. Jika rakyatmu tidak mengusirku, maka aku tidak akan meninggalkanmu.”
Saat itu Anṣar mulai menyatakan rasa khawatirnya bahwa setelah Allah memberi kemenangan di tanah kelahirannya, maka beliau tidak ingin pulang lagi ke Madinah. Beliau mendengarnya, lalu memanggil mereka berkumpul, dan meyakinkan bahwa beliau tidak akan meninggalkan Madinah.
”Allah melarang hal itu.” Sabda beliau: ’Dimana kamu tinggal, di sanalah aku berada, dan di situ juga aku wafat.”
Setelah melaksanakan tugas-tugas yang penting, Nabi Muhammad s.a.w. memanggil pemimpin Quraisy dan bertanya padanya bagaimana beliau harus bersikap kepada mereka. Mereka menjawab bahwa mereka menerima apa pun hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka, namun mereka tahu bahwa beliau adalah saudara yang murah hati, dan pasti akan memperlakukan mereka seperti itu.
Nabi Muhammad s.a.w. mengumumkan hukumannya dalam kata-kata yang disampaikan oleh Nabi Jusuf a.s. kepada saudara kandungnya.
... lā taṡrība ‘alaikumul-yaūm. ”Tiada celaan bagi kamu pada hari ini.” (Yūsuf: 93)
Beliau bersabda, mereka dibebaskan. Segala hinaan dan ejekan telah ditumpahkan orang-orang Mekah kepada beliau, benci dan dendam mereka tak terelakan, masa-masa sengsara yang amat panjang, siksaan kejam penuh fitnah, segala perang, kesulitan dan penderitaan, hilangnya para Sahabat yang disayang dan yang amat setia, semuanya – dalam masa-masa penuh kemenangan - semuanya telah dibuang dari pikiran dan dimaafkan demi Allah Yang Maha Tinggi, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Perintah Allah Yang Mulia telah dilaksanakan dengan sempurna:
Wa lā tastawil-ḥasanatu wa las-sayyi’ah, idfa’ bil-latī hiya aḥsanu fa iżal-lażī bainaka wa bainahū ‘adāwatun ka annahū waliyyun ḥamīm. Wa mā yulaqqāhā illal-lażīna ṣabarū, wa mā yulaqqāhā illā żū ḥaẓẓin ‘aẓīm. ”Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan. Tolaklah keburukan itu dengan cara yang sebaik-baiknya, maka tiba-tiba ia, yang di antara kamu dan dirinya ada permusuhan, akan menjadi seperti seorang sahabat yang setia. Dan, tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang-orang yang sabar, dan tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang yang mempunyai bagian besar dalam kebaikan.”  (Ha Mim as-Sajdah - Fuṣṣilat: 35, 36)
Pintu-gerbang cinta dan belas kasih telah terbuka lebar-lebar. Musuh bebuyutan di waktu pagi, menjadi sahabat kental di siang hari. Sebagiannya masih gondok; penghinaan, walau dilunakkan oleh kemurahan hati, namun tenyata susah sembuhnya, walau demikian hal ini tidak mampu menahan efek menyembuhkan dari balsem kebaikan dan kebajikan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Sejarah tidak pernah mampu memberi contoh lain yang serupa, suatu sikap memaafkan yang seutuhnya, begitu tinggi kemurahan hati beliau, dan berlaku pada skala yang amat besar. Lusinan manusia yang tidak mendapat amnesti karena kekejaman yang telah dilakukan secara pribadi oleh mereka dan telah terbukti, namun mereka juga dapat dimaafkan, kecuali empat orang yang benar-benar mendapat hukuman yang luar-biasa.
Abu Jahal panglima pasukan Mekah yang terbunuh di perang Badar, adalah musuh bebuyutan Nabi Muhammad s.a.w. di Mekah. Anaknya Ikramah, adalah salah seorang panglima perang Uhud yang melihat celah lemah di belakang, dan melewati mereka dan memimpin serangan yang hampir menjadi bencana bagi pasukan Muslim.
Ketika Mekah jatuh, Ikramah kabur dari kota dan menuju ke arah pantai dengan niat menyeberang ke Abesinia, karena telah yakin bahwa Mekah dan wilayah sekitarnya sudah tidak ada aman lagi baginya. Istrinya menemui Nabi Muhammad s.a.w. dan memohon agar Ikramah dapat diizinkan kembali ke Mekah namun tetap menyembah berhala.
Beliau bersabda, bahwa keimanan adalah suara hati, dan suara hati itu bebas. Jika Ikramah kembali ke Mekah, ia tidak akan dianiaya, dan boleh tinggal dengan aman dengan apa yang dipercayanya. Atas jaminan itu, ia menyusul Ikramah dan membujuknya kembali ke Mekah. Begitu tiba, ia menghadap Nabi Muhammad s.a.w. dan menerima jaminan yang telah terlebih dahulu disampaikan oleh istrinya. Kemudian ia menyatakan masuk Islam, dan beliau bertanya padanya, apa keinginannya?
Ia menjawab bahwa ia tidak menginginkan hadiah apa pun selain dari anugerah Allah yang telah dianugerahkan kepadanya dalam membuka hatinya untuk menerima Islam, namun ia sangat menginginkan agar beliau memanjatkan doa kepada Allah SWT untuk mengampuninya atas segala kebencian yang telah ia lakukan pada Nabi Muhammad s.a.w. dan ummat Muslim.
Lalu beliau langsung berdoa dan memberikan jubahnya sendiri kepada Ikramah r.a., dan bersabda: ”Ia yang telah datang kepadaku karena percaya kepada Allah, boleh mengakui bahwa rumahku adalah rumahnya juga.
Ikramah r.a. membuktikan dirinya sebagai orang beriman yang taat dan giat, dan mencap keimanan dengan mempertaruhkan nyawa di perang Siria beberapa tahun kemudian.
Akhirnya Nabi Muhammad s.a.w. merasa lapar dan pergi mencari makanan. Beliau pergi ke rumah keponakannya, Umi Hany putri Abu Talib, yang sangat gembira menerimanya, namun ia sedih karena di rumahnya ia tidak punya apa-apa dan yang bisa ditawarkan hanya sepotong roti yang sudah basi dan terlalu keras untuk dimakan.
Ketika ia menerangkan hal itu kepada Nabi Muhammad s.a.w., beliau tersenyum dan bersabda: ”Tidak apa-apa Umi Hany, roti itu bisa dilunakkan dengan direndam air. Dan apa kamu punya yang lainnya supaya roti itu jadi lebih enak?”
Ia menjawab: ”Ada sedikit ampas cuka yang sudah tersimpan lama.”
Beliau bersabda: ”Wah itu bagus sekali.”
Lalu beliau menyobek sekerat roti dan merendamnya dalam air, setelah menjadi lembut beliau makan roti itu dengan campuran cuka hitam, pertama menyebut asma Allah pada makanan itu dan menyampaikan rasa syukur kepada-Nya ketika selesai makan, sepertinya telah selesai makan dalam suatu pesta.
Beliau berterimakasih dan bersabda: ”Umi Hany, roti dan cuka itu adalah hadiah untukku!”
Di dalam waktu 14 hari berturut-turut, sambil menyelesaikan urusan umum di Mekah, Nabi Muhammad s.a.w. mengutus beberapa kelompok pasukan untuk menghancurkan tempat keramat berhala-berhala di wilayah itu dan menerima penyerahan dari suku-suku yang ada di wilayah sekitarnya.
Akan tetapi, di tengah-tengah ekspedisi itu, Khalid bin Walid r.a. telah membunuh beberapa anggota suku yang menyerah dan meletakkan senjata mereka. Nabi Muhammad s.a.w. s.a.w. amat sedih ketika isyarat tentang hal itu diterima oleh beliau lalu mengangkat kedua tangannya ke langit, dan memohon: ”Ya Allah, aku tidak bersalah dalam pandangan-Mu atas apa yang telah dibuat oleh Khalid.” Guna membuktikan ketulusannya, beliau mengutus Sayidina Ali r.a. membayar ganti-rugi bagi korban.
Perang Hunain
Kota Mekah telah direbut, namun hal itu ternyata tidak otomatis membawa perdamaian. Dan Nabi Muhammad s.a.w.  dengan mendadak segera bergerak menuju ke Madinah karena isyarat awal yang diterima beliau menerangkan bahwa suku-suku yang ada di sekitarnya telah bersiap-siap menyerang dan telah bergerak menuju ke kota Madinah.
Suku-suku itu sangat terhasut oleh berita tentang telah direbutnya kota Mekah oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan mereka merasa bahwa waktunya telah tiba untuk membuat upaya penyerangan terakhir melawan Islam.
Suku Hawazin yang besar hidup di daerah yang terletak di deretan lereng bukit di timur Mekah, dengan sejumlah cabang-cabang dan afiliasi keluarga yang menyebar di padang-padang rumput di luar kota Taif. Kotanya didiami oleh Bani Ṭaqif  keturunan yang sama dengan pusatnya, dan penduduknya menyembah berhala serta erat hubungannya dengan Mekah, yaitu takut akan kekuatan Islam yang berkembang cepat.
Kemudian mereka mengirim panggilan darurat kepada seluruh cabang Hawazin agar berkumpul, dengan maksud mengawasi penyebaran Islam secara ketat. Mereka berkumpul di Autas, yaitu lembah di deretan pegunungan timur-laut Taif, dan dengan cepatnya membentuk pasukan.
Gerakan ini tercium Nabi Muhammad s.a.w. sehingga memperpendek masa tinggal di Mekah. Walau kota itu dengan gembira menerima beliau, namun tidak semua penduduk memeluk Islam. Beliau menginginkan agar mereka merubah kepercayaannya secara perlahan dan tidak dengan paksaan.
Selanjutnya beliau memerintahkan Muaz bin Jalal yang menguasai Alquran dan perkara praktek-praktek keagamaan, untuk mengajar agama Islam kepada penduduk Mekah, dan menunjuk pemuda Quraisy bernama Attab dari Bani Abdusy Syams untuk menjalankan pemerintahan sekuler di kota.
Dan 4 minggu telah berlalu sejak meninggalkan Madinah ketika Nabi Muhammad s.a.w. mulai bergerak dari Mekah dengan memimpin pasukan yang sekarang ditambah dengan 2.000 orang Quraisy sehingga jumlah seluruhnya menjadi 12.000 orang.
Atas kehendaknya sendiri, Safwan memberi pinjaman 100 buah baju-zirah lengkap dengan senjatanya, dan juga unta-untanya. Barisan suku-suku, yang masing-masing mengibarkan panjinya nampak amat mengesankan. Di dalam 3 atau 4 formasi, pasukan perang itu tiba di mulut lembah Hunain.
Pihak Hawazin, telah siap dengan pasukan besar di Autas yang dipimpin Malik, dengan jumlah sedikitnya 30.000 orang, yang saat itu juga sedang memasuki lembah yang sama. Para perempuan dan anak-anak suku Hawazin lengkap dengan hewan dan ternaknya mengikuti dari belakang. Malik mengharapkan bahwa pasukannya akan meraih kemenangan.
Di malam harinya ketika pasukan Muslim akan masuk ke Hunain, Malik menyuruh orangnya memakai topeng dan bersembunyi di lereng curam yang bercelah sempit yaitu jalan masuk ke lembah, diam di sana dan menunggu datangnya musuh. Menjelang fajar, namun hari masih gelap, langit ditebari awan-awan, dan pasukan Muslim sedang dalam perjalanan. Nabi Muhammad s.a.w. menunggang keledai putihnya, mengikuti dari belakang.
Pasukan pelopor Bani Suleim yang dipimpin Khalid bin Walid r.a., dengan santai bergerak mendaki lereng curam dan celah sempit ketika dengan mendadak pasukan Hawazin keluar dari tempat sembunyi dan menyerang dengan sangat cepat.
Terhuyung-huyung karena serangan hebat, barisan demi barisan jatuh dan celah sempit itu menjadi tersumbat. Diperburuk keadaan gelap dan jalan yang berbatu-batu, pasukan Muslim panik dan berbalik arah terus melarikan diri.
Panggilan berkumpul Nabi Muhammad s.a.w. tidak berhasil, kecuali kelompok setia termasuk Abbas r.a. dan putranya Fadhl r.a., Sayidina Ali r.a., Sayidina Abu Bakar r.a., Sayidina Umar r.a., Usama r.a. dan Aiman r.a. yang tetap mengelilingi beliau untuk melindungi.
Kepanikan bertambah parah karena sejumlah besar unta menjadi liar dan berdesak-desakan satu sama lainnya sehingga semuanya menjadi kacau dan begitu ribut sehingga suara beliau tenggelam di dalamnya.
Beliau meminta Abbas r.a. yang menuntun keledainya untuk berteriak keras: ”Hai Anṣar! Hai orang-orang yang Bai’at di Bawah Pohon!”
Abbas r.a. langsung meneriakkan kata-kata itu dan diulang-ulang dengan nada suaranya yang unik, dan mencapai kemana-mana. Hati orang-orang Anṣar tersentuh, dan membatalkan kaburnya, lalu segera menuju Nabi Muhammad s.a.w. dengan berteriak keras: ”Kami di sini, kami di sini.”
100 orang pengikut yang setia, melepaskan diri dengan susah payah dari sekumpulan unta yang memblok jalanan, dan keluar dari lembah sempit dan menyusuri jalan menurun dengan terburu-buru. Terlepas dari tekanan di atas, pasukan berkumpul dan kembali meneruskan perang. Beliau maju di atas keledainya, dan berteriak: ”Aku adalah seorang Nabi, aku bukan penipu, aku adalah anak Abdul Muṭalib.”
Pertempuran itu berlangsung dengan begitu dahsyat dan melihat keadaan yang nyata di medan tempur, serta musuh yang mampu bergerak cepat, telah menimbulkan keraguan untuk sementara waktu. Saat itu menjadi kritis sekali, namun pada akhirnya, karena keteguhan Anṣar dan semangat yang bernyala-nyala dari sisa pasukan lainnya yang telah pulih kembali, menyebabkan kemenangan bagi mereka.
Musuh kabur dan penaklukkan telah lengkap. Malik, yang ditemani sisa pasukan terhenti di atas lembah itu, ia berhasil melarikan diri dengan pasukannya yang hancur namun tidak mampu menyelamatkan kaum perempuan dan anak-anak serta perlengkapannya yang langsung jatuh ke tangan pasukan Muslim.
Harta rampasannya 24.000 ekor unta, 40.000 ekor kambing dan domba, dan 4.000 ons perak, 6.000 orang ditawan, dan bersama harta rampasannya diangkut ke lembah lainnya yaitu Lembah Jirana, dan berhenti di sana menunggu datangnya pasukan Muslim cadangan dari Taif.
Nabi Muhammad s.a.w. faham bahwa suku Hawazin akan mencari jalan untuk menebus keluarganya, dan suatu peluang yang baik bisa dilakukan dengan negosiasi. Pasukan yang kalah perang diburu sampai ke Nakhla, dari sana kembali ke Autas dan sebagian ke Taif.
Pasukan Muslim yang terdahulu berkubu di kemah lama milik pihak musuh. Satu detasemen kuat dikirim untuk menyerang mereka, yang dirampungkan setelah pertempuran yang dahsyat. Satuan-satuan berpencar dan bersembunyi di bukit sekitarnya.
Begitu detasemen kembali dari Autas, Nabi Muhammad s.a.w. memimpin pasukan melewati Nakhla dan mengepung Taif yang merupakan pusat pemberontakan. Namun menara-bentengnya terlalu kuat, dan kotanya penuh dengan persediaan makanan serta banyak sumur air yang berlokasi di dalam tembok kota.
Dengan segala daya-upaya, kepungan itu berhasil setelah 2 minggu ketika beliau memutuskan untuk mengakhiri kepungan dan pasukan kembali ke Jirana.
Nabi Muhammad s.a.w. akhirnya mengetahui bahwa saudara angkatnya yaitu anak perempuan Halimah dari Bani S’ad teryata berada di antara para tawanan perang. Lalu beliau memanggilnya, dan duduk disebelahnya dengan penuh perhatian, serta menawarkan untuk ikut  ke Madinah. Namun karena ia ingin tinggal bersama sukunya, maka beliau mengizinkannya serta diberi hadiah banyak. Disemangati perlakuan baiknya terhadap saudara perempuan mereka, lalu berdatanganlah wakil dari berbagai suku-suku Hawazin ke hadapan beliau.
Mereka mengaku berserah diri kepada beliau, dan untuk menghindarkan bencana yang lebih besar lagi, mereka memohon: ”Di gubuk tawanan perang ini, ada ibu angkat dan saudara angkat engkau, yang telah merawat engkau dan memangku engkau dalam dekapannya. Kami tahu engkau telah meningkat sampai ke tingkat yang mulia ini. Karenanya, bermurah hatilah pada kami, karena Allah bermurah hati padamu.”
Nabi Muhammad s.a.w. sangat tersentuh, dan berubah menjadi baik kepada mereka, dan bersabda bahwa jika mereka menyampaikan hal itu terlebih dahulu kepadanya, maka beliau akan melepaskan tawanan perang tanpa uang tebusan.
Lalu beliau bertanya: ”Dari dua perkara, yang mana kamu sukai, keluargamu atau hartamu?”
Para perempuan dan anak-anak kami.” Balas mereka: ”Kami tidak akan mengambil apa pun untuk ditukar dengan mereka.”
”Jadi” sambung Nabi Muhammad s.a.w.: ”Siapa pun tawanan perang yang menjadi bagianku dan keluargaku, aku akan serahkan mereka kepadamu. Dan untuk yang lainnya, datanglah kembali ke sini setelah Ṣalat Zuhur ketika dewan sedang berkumpul, dan minta agar aku menengahi mereka untuk keperluanmu.”
Mereka hadir pada waktu yang telah ditentukan dan mengajukan usulannya. Anṣar dan Muhajirin dengan gembira mencontoh beliau, namun sebagian suku-suku lainnya seperti Fejara dengan Oyeina sebagai pemimpinnya, menolak. Nabi Muhammad s.a.w. menawarkan ganti-rugi kepada mereka sebanyak 6 ekor unta untuk 1 orang tawanan, dan mereka setuju, lalu para tawanan perang itu dilepaskan.
Ketika harta rampasan perang dibagi, 44 ekor unta, 40 ekor kambing dan domba jatuh kepada setiap prajurit, dan 3x lipat dari jumlah itu untuk setiap prajurit berkuda. Di luar 1/5 bagian yang jatuh kepada beliau, dengan kemurahan seorang pangeran, beliau mengambil kesempatan untuk mengambil hati para pemimpin Mekah yang penting dan suku-suku Badui.
Bagi yang paling berpengaruh beliau menghadiahkan 100 ekor unta. Di antaranya adalah, Abu Sufyan dan ke-dua anaknya yatu Yazid dan Muawiyah, Hakim bin Hizam, Safwan, Suhail, Huweitib, dan lainnya yang beberapa minggu yang lalu adalah musuhnya yang sangat berat.
Bagi setiap pemimpin yang kurang pengaruh, beliau memberi 50 ekor unta. Begitu murah hatinya, sehingga jika dalam hal tertentu muncul ketidak puasan, beliau tanpa segan memberi hadiah 2x lipat. Kemurahan hati dalam memperlakukan orang Mekah ketika kota itu jatuh membuat mereka menyerah, dan kelapangan hati pada mereka sekarang telah menjatuhkan hatinya. Hal itu merupakan kemenangan yang jauh lebih besar daripada jatuhnya kota Mekah.
Bahkan Malik sendiri, kepala yang memimpin Hawazin dan masih berada di Taif, ketika dipanggil ia tiba dan langsung menyerah, serta diperlakukan dengan baik. Ia segera bergabung dengan Nabi Muhammad s.a.w. dan menjadi orang beriman yang sempurna. Dikukuhkan dalam posisinya, ia ikut perang memimpin penduduk Taif dan melebarkan sayapnya ke seluruh semenanjung.
Telah disampaikan kepada beliau bahwa kemurahan hatinya yang tidak terduga terhadap musuh bebuyutannya, telah dijadikan bahan pembicaraan oleh orang-orang muda Anṣar yang tidak puas.
Lalu beliau memanggil Bani Anṣar dan berkata kepada mereka: ”Anṣar, telah dilaporkan kepadaku bahwa kalian tidak puas karena aku telah memberi bagian besar kepada para pemimpin itu di luar bagian yang 1/5, dan belum memberi apa pun kepada kalian.”
Pemimpin Bani Anṣar menjamin bahwa ketidak puasan itu berasal dari orang-orang muda Anṣar yang tidak bertanggung jawab, dan kelompok mereka tidak merasa berkeberatan terhadap hal itu.
 Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Sekarang katakan kepadaku, tidakkah aku datang kepadamu ketika kamu sedang ragu, dan Allah telah memberimu jalan yang lurus ketika kamu miskin, Dia telah membuatmu kaya-raya; dan ketika kebencian melanda, Dia penuhi hatimu dengan cinta dan kesatuan!” 
”Benar, dan begitulah keadaannya sebagaimana yang engkau katakan.” Mereka menjawab: ”Kepada Allah dan kepada Nabi-Nya kembali lagi kebaikan dan berkat.”
”Tidak,” sabda Nabi Muhammad s.a.w.: “Tapi kamu harus menjawab, dan jawablah sejujurnya. Jika aku mengambilnya untukku sendiri maka ketika sampai di Madinah akan ditolak dan kamu menjadi saksi; soal tawanan itu maka kami menyertakan kamu juga; ketika kamu diasingkan kami berikan kamu suaka, ketika kamu kelaparan kami berikan kamu makanan. Mengapa kamu mengganggu pikiranmu sendiri karena perkara duniawi semata, sedangkan aku mendorong orang-orang itu kepada keimanan yang sekarang sudah kamu terima? Mengapa kamu tidak puas karena orang lain memiliki hewan-hewan dan ternak-ternak, sedangkan kamu hanya membawa kembali Nabi Allah? Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu. Jika seluruh ummat manusia pergi ke satu jalan, dan Anṣar pergi ke jalan lain, maka aku akan pergi di jalan Anṣar. Allah menyukai mereka dan memberkati mereka, dan anak-anak mereka, dan anak-anak dari anak-anak mereka, selamanya.”
Mendengar kata-kata itu, mereka menangis sampai air-matanya jatuh bercucuran ke janggutnya, dan mereka berteriak: ”Ya, kami benar-benar puas Ya Nabi, dengan segala nasib baik ini.”
Nabi Muhammad s.a.w. tinggal selama 14 hari di Lembah Jirana, dan selama waktu itu seluruh harta rampasan perang Hunain telah dibagi-bagikan. Ketika seluruhnya telah diselesaikan, beliau berangkat ke Mekah melaksanakan Umrah, lalu kembali ke Jirana pada malam yang sama, dan dengan melalui lembah-lembah kembali ke rumahnya di Madinah.
Sang pemuda Attab r.a. ditetapkan untuk memimpin pemerintahan Mekah dengan tunjangannya sebesar 1 dirham per hari. Ia sangat senang dengan tunjangannya yang cukup besar itu. Ia berkata: ”Semoga Allah membuat lapar hati orang itu, yang lapar karena 1 dirham sehari. Sang Nabi telah menganugerahkannya padaku untuk nafkah hidupku. Aku tidak akan menggugatnya walau pada siapa pun juga.”
Mu’az r.a. ditinggalkan untuk melaksanakan perintah-perintah kerohanian di kota itu. Ziarah haji tahunan segera tiba setelah peristiwa itu, dan Attab r.a. pun ikut ke sana.
----------------- *** -----------------

No comments:

Post a Comment