Saturday, July 2, 2011

BAB - 10. PERANG KHANDAK - MADINAH DIKEPUNG

Di tahun ke-5 Hijrah, pahitnya penentangan Quraisy pada Islam dan ummat Muslim telah mencapai tingkat yang membahayakan. Propaganda beracun mereka terhadap Islam telah membuat banyak suku-suku Arab di Hejaz melawan Muslim, demikian halnya, sehingga suku-suku  yang sudah memelihara hubungan baik dengan ummat Muslim pun, menjadi menentang keras. Pemimpin propagandanya adalah Bani Mustalaq anggota keluarga Bani Khuzā yang terkenal. Kepala sukunya, Hariṭ bin Abi Ḍara, menggalang beberapa suku tetangga dan menghasut mereka untuk bergabung dengan mereka dan melawan Muslim.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. menerima isyarat tentang situasi itu, beliau mengirim Baridah bin Hasib r.a. kepada Bani Mustalaq untuk mendapatkan berita intelijen dan melaporkannya kembali. Ia pulang dengan cepat dan melapor kepada beliau bahwa Bani Mustalaq benar-benar sedang menyiapkan perang dalam skala besar untuk menyerbu Madinah. Oleh karenanya, beliau mengumumkan maksudnya dalam memimpin ekspedisi militer pendahuluan terhadap Bani Mustalaq, lalu sejumlah besar Sahabat bersiap-siap untuk pergi berperang, dimana sejumlah kaum-munafik juga turut menyertainya pada setiap kesempatan yang ada. Pasukan ini hanya memiliki 30 ekor kuda ditambah sejumlah besar unta, sehingga anggota pasukannya harus bergiliran ketika ingin mengendarai kuda. Selama di perjalanan, seorang mata-mata Bani Mustalaq ditangkap dan setelah terbukti melakukan spionase, ia dieksekusi.
Ketika Bani Mustalaq yang membuat rancangan serangan mendadak ke Madinah itu, menerima isyarat bahwa pasukan Muslim sudah dekat dan mata-mata mereka telah dieksekusi, mereka menjadi sangat ketakutan dan sebagian suku-suku yang bersekutu dengan mereka buru-buru meninggalkannya dan pulang ke rumah. Namun, para pemimpin Bani Mustalaq mengejek orang-orang itu, dan memutuskan untuk meneruskan perang dengan Muslim.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. tiba di Moraisi’, dekat pantai dan tidak jauh dari perkemahan Bani Mustalaq, beliau berkemah di sana dan membariskan pasukannya dalam formasi tempur dan panji-panji pun telah dibagikan, lalu beliau mengutus Sayidina Umar r.a. untuk menemui Bani Mustalaq dan mengumumkan bahwa jika mereka menghentikan penentangannya terhadap Islam, dan mau mengakui otoritas beliau, maka mereka akan dibiarkan dalam kedamaian dan pasukan Muslim kembali ke Madinah. Tawaran itu dengan sombongnya ditolak dan pertempuran akan segera terjadi.
Bani Mustalaq memulai melepaskan anak panah mereka. Lalu beliau memberi komando agar pasukan panahnya membalas. Pasukan pemanah segera maju, lalu beliau memberi komando serangan mendadak sehingga pasukan lawan menjadi terpencar-pencar, namun pasukan Muslim mengepungnya begitu efektif sehinggga suku itu dikelilingi dan dipaksa menyerah. Perang itu berakhir dengan korban jiwa 10 orang Bani Mustalaq dan 1 orang Muslim.
Setelah perang, beliau bertahan di kemah Moraisi’ untuk beberapa hari, dan ketika mendekati akhir terjadilah peristiwa malang yang berbahaya, namun dibuat menjadi tidak berbahaya oleh penanganan yang bijaksana dari beliau. Hal itu terjadi ketika pelayan Sayidina Umar r.a. yang bernama Jahjah, pergi ke mata-air Moraisi’ untuk mengambil air. Pada saat yang sama, Sinan, salah satu konfederasi Anṣar, juga tiba di mata-air itu dengan maksud yang serupa.
Lalu terjadilah pertikaian di antara kedua orang yang kurang pendidikan itu, sehingga membuat Jaljah melukai Sinan yang terus berteriak-teriak agar Anṣar datang ke tempat itu untuk menolongnya. Di sisi lainnya, Jaljah juga ikut-ikutan berteriak meminta tolong pada Muhajirin, dan sebagai akibatnya mereka datang ke tempat itu sehingga kedua belah pihak naik darah dan siap bertempur, untung saja sejumlah orang-orang yang bertanggungjawab dari kedua belah pihak datang tepat pada waktunya dan menegur kedua orang itu serta mampu mencegah ancaman konflik.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w.  mengetahui kejadiannya, beliau menyatakan tidak-berkenan dan bersabda bahwa peristiwa itu adalah suatu penzahiran dari semangat ketidak-patuhan di zaman pra-Islam. Lalu kejadian itu dianggap selesai dan sudah dilupakan, jika bukan karena ulah Abdullah bin Ubayy pemimpin kaum-munafik, yang sayangnya telah mengutak-utik kembali perkara itu.
Abdullah bin Ubayy berpidato muluk-muluk di depan pengikutnya, dan menutupnya sbb: ”Hal itulah yang menjadi masalah bagi kalian, karena kalian telah mengundang orang-asing di antara kita. Sekarang tunggulah sampai kita pulang ke Madinah, lalu yang paling dihormati di antara kita akan mengusir orang terburuk yang telah berada di antara kita.”
Zaid bin Arqam r.a., orang muda yang tulus, menceritakan ucapan Abdullah bin Ubayy kepada pamannya dan melapor pada Nabi Muhammad s.a.w. Sayidina Umar r.a. yang menemani beliau menjadi marah, dan memohon agar beliau segera menyerang pemimpin kaum munafik tersebut. Namun beliau menyabarkannya, karena tidak ingin dikatakan orang bahwa beliau senang membunuh pengikutnya.
Lalu beliau bersama para Sahabat menemui Abdullah bin Ubayy dan bertanya kepada mereka tentang apa yang terjadi. Namun mereka bersumpah bahwa tak seorang pun yang mengatakan seperti apa yang telah dituduhkan kepada mereka. Sebagian Anṣar menuduh bahwa Zaid bin Arqam r.a. mungkin keliru mendengar. Beliau menutup seluruh kejadian itu, namun laporan Zaid r.a. telah diperkuat oleh wahyu yang turun kemudian.
Nabi Muhammad s.a.w.  mengirim berita pada Abdullah bin Ubayy dan gerombolannya, menyatakan bahwa ucapan Zaid r.a. telah dikonfirmasi, dan juga memerintahkan Sayidina Umar r.a. agar pasukannya segera berangkat ke Madinah. Saat itu tengah hari yang amat panas sekali, dan biasanya beliau menghindarkan diri untuk bergerak di saat yang demikian, namun beliau memutuskan bahwa keadaannya memerlukan tindakan segera. Semua orang telah siap berperang.
Lalu Usyad bin Huḍair r.a. kepala suku Aus merasa curiga dan ingin tahu apa alasan tindakan beliau yang tidak biasa itu. Ia menghadap beliau dan bertanya: “Ya Rasulullah, biasanya engkau tidak berangkat pada waktu seperti ini. Apakah yang menyebabkan engkau melakukan hal itu?”
Beliau  menjawab: “Usyad, apakah kamu tidak mendengar Abdullah bin Ubay berkata bahwa orang yang paling dihormati di antara kita akan mengusir orang terburuk yang telah berada di antara kita.”
Lalu Usyad menyampaikan: ”Ya Rasulullah, sudah pasti engkau dapat mengusir Abdullah dari Madinah, karena tidak diragukan lagi bahwa engkau adalah orang yang paling dihormati di antara kita, dan ia adalah orang yang terburuk. Namun Ya Rasulullah, engkau faham bahwa sebelum engkau tiba di Madinah, Abdullah adalah orang terhormat di antara rakyatnya, dan mereka berencana akan mengangkatnya menjadi raja. Kedatangan engkau membatalkannya, dan sejak itu ia cemburu pada engkau. Engkau tidak perlu repot membalas perbuatannya yang tidak berarti itu, dan semoga engkau lebih bersabar padanya.”
Segera sesudah itu, Abdullah r.a. anak Abdullah bin Ubayy seorang Muslim yang tulus dan merasa sangat terusik, menghadap Muhammad s.a.w. dan berkata: “Ya Rasulullah, saya telah mendengar bahwa engkau berniat mengeksekusi ayahku, karena dia amat sombong dan membuat kekacauan. Jika itu merupakan suatu keputusan, saya memohon agar saya sendiri yang ditunjuk menjadi algojo ayahku, dan saya akan segera melaksanakannya, dan saya mohon agar jangan engkau menunjuk orang lain untuk melakukan hal itu, kalau tidak, saya akan menjadi lemah dan seterusnya saya akan mendendam kepadanya, dan hal itu akan menimbulkan ketidak senangan bagi Allah SWT.”
Beliau menjawabnya: “Jangan khawatir. Sepanjang ayahmu tetap berada dengan kita, maka kami akan membuat persahabatan ini menjadi menyenangkan baginya.”
Namun sang anak telah panas hati pada ayahnya, sehingga ketika pasukan Muslim mendekati Madinah sang anak menghalangi jalan ayahnya dan bersumpah bahwa ia tidak akan membiarkan ayahnya lewat kecuali ia mengaku bahwa beliau adalah orang yang paling dihormati dan ia sendiri Abdullah bin Ubayy adalah orang terburuk di Madinah. Ayahnya menjadi mengakuinya, karena sang anak mendesak dan setelah itu, sang anak membebaskan ayahnya.
Pasukan mulai berjalan di tengah hari dan terus berjalan sepanjang hari, lalu  diteruskan pada malam harinya sampai menjelang pagi pada keesokan harinya. Ketika kemah selesai dipasang, semua orang menjadi teramat lelah dan mereka segera tertidur selama beberapa jam. Melalui kebijakan Nabi Muhammad s.a.w., sopan santun ummat Muslim telah dialihkan dari hal-hal yang tidak menyenangkan di masa lalu, dan mereka terpelihara dari segenap kekacauan yang telah dilakukan oleh kaum-munafik. Namun tidak ada kata kecewa yang memberi rasa segan kepada kaum-munafik. Sungguh, setiap kekecewaan membuatnya menjadi lebih berani mengacau dan merancang gangguan yang lebih serius.
Mendekati akhir tujuan pasukan itu, suatu peristiwa lainnya telah begitu dibesar-besarkan, sehingga menjadi sumber ujian yang amat serius bagi ummat Muslim. Peristiwa itu dikenal sebagai Fitnah, dan Sayidah Siti Aisyah r.a. istri Nabi Muhammad s.a.w. putri Sayidina Abu Bakar r.a. telah dilibatkan di dalamnya.
Versi asli peristiwa itu diterangkan oleh kata-kata Sayidah Siti Aisyah r.a.   sendiri, sebagai berikut.
Merupakan kebiasaan Nabi Muhammad s.a.w. yaitu ketika akan berangkat dalam sebuah perjalanan, beliau mengundi istri yang mana yang akan menyertai beliau. Pada suatu hari, undian jatuh ke nama saya dan beliau pun mengajak saya ikut. Pada saat itu, hukum yang mewajibkan perempuan memakai jilbab telah diwahyukan. Di tengah perjalanan, saya duduk di dalam tandu yang dipasang di punggung unta, yang kemudian dibongkar dan diletakkan di atas tanah, ketika pasukan akan di istirahatkan. Di tempat peristirahatan itu, ketika kami mendekati Madinah, beliau memerintahkan agar pasukan mulai diberangkatkan pada waktu malam.
Ketika mendengar pengumuman itu, lalu saya pergi agak jauh karena harus mempersiapkan diri, dan ketika saya kembali saya kehilangan gelang tangan. Lalu saya kembali lagi untuk mencarinya dan terlambat beberapa lama. Sementara itu, mereka yang bertugas mengangkat tandu telah berdatangan dan menyangka saya ada di dalamnya, lalu mereka memasang tandu di punggung unta, dan mulai bergerak. Tubuh saya sangat kurus saat itu, dan berat saya amat ringan, sehingga tak seorang pun curiga bahwa mungkin saya tidak berada di dalam tandu.
Ketika saya kembali karena gelang tangan telah ketemu, saya lihat bahwa pasukan telah berangkat dan tak seorang pun yang tertinggal di sana. Saya takut sekali, namun saya pikir bahwa saya harus tetap tinggal di tempat itu, agar ketika kehilangan saya diketahui, maka seseorang akan disuruh kembali untuk menjemput saya. Lalu saya duduk dan tidak berapa lama saya mengantuk dan tertidur. Kebetulan Safwan bin Mu’attal petugas yang mulai bekerja setelah pasukan Muslim bergerak maju, yaitu memeriksa segala sesuatu yang mungkin tertinggal dan mengumpulkannya, telah tiba pada pagi harinya di tempat itu, dan saya sedang berbaring tidur. Karena dia pernah bertemu saya sebelum turun hukum jilbab, maka ia mengenali saya, dan dalam keadaan terkaget-kaget ia berseru: Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.”
Suaranya jadi membangunkan saya, dan setelah melihatnya, buru-buru saya menutup wajah dengan kerudung. Ia tidak berkata apa-apa kepada saya, namun ia mendekatkan untanya kepada saya, dan menaruh kakinya pada lipatan lutut unta, lalu saya naik ke punggung unta itu. Safwan menuntun untanya dan kami mulai berjalan menuju arah Madinah sampai kami tiba di tempat pasukan Muslim berkemah. Kemudian bersama Nabi Muhammad s.a.w.  kami tiba di Madinah, dan ketika saya sampai di Madinah langsung jatuh sakit sampai satu bulan. Selama waktu itu, fitnah terhadap saya telah bergaung keras dan meluas, namun saya tidak menyadarinya.
Memang, saya memperhatikan bahwa selama saya sakit, beliau tidak memperlihatkan keramahan dan kasih-sayangnya, dan saya menjadi terbiasa menerima perlakuan itu, namun hal itu sangat menyusahkan hati saya. Ketika menengok, beliau menyalami saya dan hanya bertanya: Bagaimana keadaanmu sekarang?” Lalu beliau keluar lagi. Saya sangat sedih sekali, dan sakit saya yang amat lama sangat melelahkan dan membuat saya menjadi lemah.
Pada suatu hari, secara kebetulan saya mendapat kabar dari Umi Mistah yang menjadi kerabat jauh kami, bahwa ada perkara yang berhubungan dengan saya. Saya juga mengetahui bahwa anaknya Mistah, adalah salah satu orang yang memfitnah saya. Saya sangat terganggu, dan dalam tekanan kesedihan itu saya jadi lupa bahwa saya sedang sakit. Ketika Nabi Muhammad s.a.w.  tiba sebagaimana biasanya dan bertanya: Bagaimana keadaanmu sekarang?”
Langsung saya minta izin istirahat beberapa hari di rumah orangtua saya. Beliau mengizinkan, dan saya pergi dari rumah menuju orang tua saya. Tujuan saya pulang adalah mencari tahu apa yang dikatakan tentang saya. Saya berbicara pada ibu saya dan ia menghibur saya, seraya berkata: Putriku, hilangkanlah kesedihanmu, karena sudah sering terjadi jika seorang laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan, dan ia lebih menyukai salah satu dari mereka, maka skandal akan jauh lebih besar dituduhkan kepadanya.”
Lalu saya menyadari bahwa skandal tentang diri saya telah tersebar, dan saya mulai menangis terus menerus sepanjang malam. Kira-kira pada waktu itu, beliau sedang bermusyawarah dengan Ali bin Abi Ṭalib r.a. dan Usama bin Zaid r.a. Usama r.a. berkata bahwa ia tidak pernah mengetahui apa pun selain yang baik-baik tentang saya.  Yang lebih dalam dari hal itu adalah, ketika beliau mungkin akan mencoba mencari tahu dari pelayan saya, lalu beliau benar-benar memanggil pelayan saya Barairah dan bertanya padanya apakah ia mengetahui sesuatu yang mencurigakan tentang saya. Ia bersaksi bahwa ia tidak pernah melihat apa pun pada diri saya yang mungkin terbuka pada sesuatu yang mengarah tidak benar, kecuali umur yang masih sangat muda, kadang-kadang saya tidak begitu perduli pada pekerjaan sehari-hari. Nabi Muhammad s.a.w. juga bertanya tentang diri saya kepada Zainab binti Jahsy r.a. salah satu istri beliau, dan ia juga bersaksi bahwa ia menghormati saya sebagai perempuan yang baik dan saleh.
Pada suatu hari Nabi Muhammad s.a.w. berkhotbah di Mesjid dan menyatakan bahwa sebagian dari mereka telah merasa cemas sekali terhadap anggota keluarganya, dan bertanya apakah ada orang di antara yang hadir yang mampu menghentikan penyebaran skandal ini. Beliau bersaksi bahwa beliau tidak mengetahui apa pun tentang diri saya kecuali yang baik-baik saja, dan beliau beranggapan bahwa orang yang dimaksud dalam kasus ini adalah seorang laki-laki yang baik, dan tidak pernah datang ke rumah ketika beliau tidak ada.
Mendengar itu, S’ad bin Mu’az r.a. pemimpin suku Aus berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah, saya akan mengakhiri skandal ini, Jika orang yang bertanggung jawab atas keributan ini berasal dari suku saya, maka saya anggap dia bersalah karena gangguannya fatal dan saya akan membunuhnya, jika ia anggota saudara saya suku Khazraj, maka saya siap bertindak sebagaimana yang engkau perintahkan.”
Mendengar itu, S’ad bin Ubada r.a. pemimpin suku Khazraj melakukan protes atas apa yang diucapkan S’ad bin Mu’az r.a. tentang Khajraz dan memarahinya. Usyad bin Huḍair sepupu S’ad bin Mu’az r.a. mendukung sepupunya dan balik memarahi pemimpin Khazraj. Namun Nabi Muhammad s.a.w.  mencampuri mereka dan meredakan yang berselisih. Kemudian, beliau datang mengunjungi saya, beliau duduk dekat saya dan setelah membaca Syahadat, berkata kepada saya: ”Aisyah, kamu telah mendengar apa yang dikatakan orang-orang kepadamu. Jika kamu tidak berdosa, aku memohon agar Allah SWT mengumumkan bahwa kamu tidak berdosa, tapi jika kamu berdosa atas suatu perbuatan maka kamu harus memohon ampunan kepada Allah dan berpaling kepada-Nya, Dia akan menerima penyesalan hamba-Nya yang memohon dengan ikhlas kepada-Nya, dan Dia akan mengampuni.”
Mendengar langsung sabda Nabi Muhammad s.a.w., air mataku mendadak berhenti, dan saya meminta orang tua saya untuk menjawabnya atas nama saya, tapi mereka berkata bahwa mereka tidak tahu apa yang harus mereka katakan. Saya hanyalah seorang yang masih muda, dan saya tidak mengetahui Alquran dengan fasih, dan karena saya dikecewakan oleh kedua orangtua saya, lalu saya berkata kepada beliau: ”Saya faham bahwa engkau telah dipengaruhi oleh apa yang orang-orang katakan, jadi jika saya memprotes dengan menyatakan bahwa saya tidak berdosa, mungkin engkau meragukannya, dan jika saya mengaku berdosa padahal saya tidak berdosa, maka engkau mungkin mempercayainya. Saya merasa bahwa saya berada dalam situasi yang pernah dialami oleh ayah Nabi Yusuf a.s., dan saya berkata seperti beliau:
Wa jā’ũ ‘alā qamīṣihī bi damin każib, qāla bal sawwalat lakum anfusukum amrā, fa ṣabrun jamīl, wallāhul-musta’ānu ‘alā mā taṣifūn.  Dan mereka datang dengan darah palsu di kemejanya. Ia berkata ”Apa yang kamu katakan itu tidak benar, bahkan nafsumu telah membuat perkara itu nampak indah. Maka bersabarlah yang terbaik bagiku. Dan hanya Allah yang dapat dimohon pertolongan-Nya mengenai apa-apa yang kamu ceritakan itu.” (Yūsuf: 19)
Setelah membaca ayat itu, saya pergi tidur dalam keyakinan penuh bahwa saya tidak berdosa, Allah akan segera mengumumkan tidak-berdosanya saya. Apa yang ada di dalam pikiran adalah bahwa Allah akan meyakinkan Nabi Muhammad s.a.w.  tentang tidak-berdosanya saya melalui mimpi-mimpi atau pun kasyaf. Saya tidak tahu apakah wahyu itu akan diturunkan kepada beliau atas nama saya atau pun tidak. Namun dalam beberapa saat kemudian, dan beliau masih berada di rumah kami, saya melihat keringat mengucur dari wajahnya, dari sana saya mengerti bahwa beliau sedang menerima wahyu.
Lalu beliau tersenyum, menengok ke arah saya dan berkata: Aisyah, bergembiralah, Allah telah berfirman bahwa kamu tidak berdosa.” Ibuku cepat-cepat membujukku untuk berterimakasih kepada Nabi Muhammad s.a.w., namun dicekam oleh gejolak rasa syukur kepada Allah SWT, saya menjawab: Mengapa aku harus menyatakan rasa syukurku kepada beliau, aku benar-benar bersyukur kepada Allah yang telah berfirman dan mengukuhkan bahwa aku tidak berdosa.”
Wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.  dan dinyatakan dalam Alquran, Surah an Nūr, ayat 12 – 21 sebagai berikut:
Innal lażīna jā’ū bil-ifki ’uṣbatum minkum, lā taḥsabūhu syarral lakum, bal huwa khairul lakum li kullimri’im minhum maktasaba minal-iṡm, wal-lażī tawallā kibrahū minhum lahū ’ażābun aẓīm. Lau lā iż sami’tumūhu ẓannal-mu’minūna wal-mu’minātu bi anfusihim khairaw wa qālū hāżā ifkum mubīn. Lau lā jā’ū alaihi arba’ati syuhadā’, fa iż lam ya’tū bisy-syuhada’i fa ulā’ika ’indallāhi humul-kāżibūn. Wa lau lā faḍlullāhi ’alaikum wa raḥmatuhū fid-dun-yā wal-ākhirati lamassakum fī mā afaḍtum fīhi ’ażābun aẓīm. Iż talaqqaunahū bi alsinatikum wa taqūlūna bi afwāhikum mā laisa lakum bīhi ’ilmuw wa tahsabūnahū hayyinaw wa huwa ’indallāhi ’aẓīm. Wa lau lā iż sami’tumūhu qultum mā yakūnu lanā an natakallama bi hāżā subḥānaka hāżā buhtānun ’aẓīm. Ya’iẓukumullāhu an ta’ūdū li miṡlihī abadan in kuntum mu’minīn. Wa yubayyinullāhu lakumul-āyāt, wallāhu ’alīmun ḥakīm. Innal-lażīna yuḥibbūna an tasyī’al-fāḥisyatu fil-lażīna āmanū lahum ’ażābun alimun fid-dun-yā wal ākhirah, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamūn. Wa lau lā faḍlullāhi ’alaikum wa raḥmatuhū wa annallāha ra’ūfur rahim. ”Sesungguhnya orang-orang yang melontarkan tuduhan itu adalah golongan dari kamu. Janganlah kamu menyangkanya buruk bagimu, bahkan itu baik bagimu. Tiap-tiap orang di antara mereka akan mendapat bagiannya dari apa yang ia telah peroleh dari dosa itu, dan orang yang mengambil peranan besar di antara mereka, bagi dia ada ażab yang sangat besar. Mengapa ketika kamu mendengarnya, orang-orang mu’min laki-laki dan orang-orang mu’min perempuan menyangka baik tentang diri mereka, dan mereka berkata bahwa ini adalah kedustaan yang nyata? Mengapakah mereka tidak membawa atasnya empat orang saksi? Karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi itu, maka di sisi Allah mereka itu pendusta! Dan sekiranya tidak ada karunia Allah atas kamu dan rahmat-Nya, di dunia dan di akhirat, niscaya akan menimpa kamu mengenai apa yang kamu lakukan di dalamnya, ażab yang besar. Ketika kamu menerima kebohongan itu dengan lidah kamu satu sama lain, dan kamu mengatakan dengan mulut kamu hal yang kamu tidak mempunyai ilmu tentang itu, dan kamu menyangkanya kecil, padahal hal itu di sisi Allah adalah besar. Dan mengapakah tidak kamu katakan ketika kamu mendengarnya. ”Tidak layak bagi kami berbicara tentang ini. Maha Suci Engkau, ini adalah tuduhan yang sangat besar. Allah menasihatkan kamu, supaya kamu jangan mengulangi lagi hal yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang mu’min. Dan Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang suka, supaya kekejian tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka itu ażab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, dan kamu tidak mengetahui. Dan sekiranya tidak ada karunia Allah atasmu dan rahmat-Nya, dan sesungguhnya Allah adalah Maha Penyantun, Maha Penyayang.”  [an Nūr:12-21]
Ketika keadaan tidak-berdosanya saya telah didirikan, ayahku, yang biasa menyokong Mistah bin Athathah karena kebaikannya dan karena Mistah miskin, telah bersumpah bahwa Mistah adalah orang yang melakukan fitnah kepada saya, karenanya untuk ke depannya ia tidak akan menolongnya dalam bentuk apa pun.  Namun segera setelah itu, Nabi Muhammad s.a.w.  menerima wahyu bahwa sumpah Sayidina Abu Bakar r.a. tidak menyenangkan Allah, oleh karena itu ia meneruskan sokongan untuk Mistah dan memutuskan untuk tidak pernah menghentikannya.”
Skandal itu merupakan kekacauan besar yang telah disusupkan oleh kaum-munafik, pemimpin mereka yang ada di belakangnya adalah Abdullah bin Ubayy bin Salul. Tujuannya tidak hanya menyerang kehormatan seorang perempuan yang saleh dan muttaqi, namun juga menjerumuskan Nabi Muhammad s.a.w. dalam kehinaan dan menggoyang masyarakat Muslim sampai ke dasar. Cara-cara dan propaganda buruk dibawakan secara sedemikian rupa sehingga sebagian orang Muslim yang sederhana dan tulus ikut juga terperangkap di dalam jaringnya yang luas, dan di antara nama-nama itu terdapat penyair seperti Hassan bin Ṡabit, Hamnah binti Jahsy dan Mistah bin Aṭaṭah yang secara khusus telah diterangkan. Namun, hal itu menjadi saksi bagi seorang manusia yang memiliki pandangan luas seperti Sayidah Aisyah r.a. karena ia telah memaafkan semua orang yang terkait dalam peristiwa itu dan sama-sekali tidak memiliki rasa dendam kepada mereka.
Ketika Hassan bin Ṣabit mengunjunginya kemudian, ia menerimanya dengan ramah. Telah diceritakan bahwa pada suatu hari, ketika Hassan memohon izin bertemu, Masrūq seorang Muslim yang hadir di sana, menyatakan kekagetannya kepada Sayidah Siti Aisyah r.a. bahwa beliau mau menerima kunjungannya.
Sayidah Aisyah r.a. berkata kepadanya: ”Ia orang yang patut dikasihani, orang malang yang tidak berpandangan jauh, dan saya juga tidak boleh melupakan bahwa biasanya ia membuat syair untuk mendukung Nabi Muhammad s.a.w.  dalam melawan para pemfitnah.”
Beliau memberikan izin, lalu Hassan tiba dan duduk serta membacakan beberapa syair yang mengagungkan Sayidah Aisyah r.a., dimana dia menerangkan bahwa beliau tidak pernah menjelekkan perempuan yang tidak berdosa. Sayidah Aisyah r.a. merasa tersanjung, tapi beliau bertanya: ”Lalu, anda sendiri bagaimana?”
Sir William Muir mengakhiri seluruh peristiwa dengan tulisan:
”Sedikit sekali catatan watak Aisyah ........... hidupnya baik sebelum dan sesudah peristiwa itu menunjukkan pada kita untuk percaya bahwa ia tidak berdosa’ (Life of Mahomet, hal 304)
Sekarang kita sampai pada upaya-upaya maksimum Quraisy dan Sekutu-nya untuk menyapu Islam dan menghancurkan Muslim. Sejauh itu, Quraisy dan suku-suku utama Nejed, Ghaṭfan dan Suleim, yang amat keras dalam menentang ummat Muslim, belum mau menggabungkan pasukannya untuk mencapai tujuan mereka. Terdapat unsur ketiga yang masuk dalam situasi itu yaitu pemimpin Bani Nażir yang telah diusir dari Madinah dan telah bertempat tinggal di Khaibar.
Yang paling aktif adalah Salam bin Abi Huqaiq, Huyay bin Akthab dan Kananah bin Rabi’. Mereka mulai dari Khaibar dan pertamanya membujuk Quraisy agar menyiapkan diri dalam suatu gabungan kuat guna melawan Muslim, dan mereka mengunjungi suku demi suku di Nejed dan Hejaz dalam rangka membujuk mereka mendukung rancangannya. Mereka mengalami sedikit kesulitan dalam menarik suku Ghaṭfan dan cabang-cabang seperti Fararah, Murrah dan Asyj’a, dalam mendukung rencana mereka.
Lalu Quraisy dan Ghaṭfan mendapat dukungan Bani Suleim dan Bani Asad. Kaum Yahudi berhasil dalam membujuk konfederasi mereka yaitu Bani S’ad, agar membantu rancangan mereka. Quraisy juga mendapat dukungan dari suku-suku tetangga yang berada dalam pengaruh mereka. Jadi, dengan persiapan penuh maka pasukan besar itu telah siap menyerang Madinah bagaikan banjir-bandang, dengan niat teguh yaitu menyapu Islam secara bersama-sama dari Madinah. Kekuatan pasukan mereka diperkirakan secara berbeda-beda yaitu antara 10.000 – 20.000 pejuang. Jika angka terendah dianggap benar, maka jumlah itu lebih besar dari pasukan mana pun yang melawan musuh di zaman lalu dalam perang antar suku di Arabia.
Panglima tertinggi dipercayakan kepada Abu Sufyan, yang juga menjabat sebagai panglima Quraisy. Ghaṭfan dipimpin oleh Ujainah bin Haṭan Fajari, dan dibawahnya setiap suku memiliki panglimanya sendiri. Bani Suleim dipimpin Sufyan bin Abdul Syams, dan Bani Asad oleh pemimpinnya Tulaiha bin Khuwailid. Pasukan perang besar ini memiliki peralatan canggih, bersenjata lengkap dan logistik. Mereka mulai bergerak menuju Madinah di akhir Februari atau awal Maret 627 AD.
Adalah tidak mungkin merahasiakan gerakan pasukan yang begitu besar, dan juga, sistem intelijen Nabi Muhammad s.a.w.  telah terorganisir dengan baik, sehingga begitu pasukan besar itu bergerak dari Mekah, beliau langsung menerima isyarat, dan beliau memanggil rapat para Sahabat. Salman Farisi r.a. seorang Muslim asal Persia yang tulus dan pakar dalam taktik dan strategi Persia mengusulkan bahwa dalam situasi yang dihadapi oleh ummat Muslim, cara terbaik untuk melawan mereka adalah dengan menggali sebuah parit besar dan panjang di sekitar Madinah yang tidak terlindungi dan sangat rawan serangan.
Hal itu adalah ide baru yang tidak pernah terpikirkan oleh suku-suku Arab, namun beliau yang mengetahui bahwa taktik itu telah berhasil dalam perang bangsa-bangsa non Arab, memutuskan untuk menggunakannya dan memberi perintah untuk menggali sebuah parit yang lebar guna melindungi Madinah pada daerah yang terbuka dan rawan. Di bawah pimpinannya, beliau menandai sendiri rencana parit dan menugaskan 10 orang Muslim per kelompok untuk menggali setiap parit dengan panjang 15 kaki.
Suatu perselisihan-bersahabat muncul, yaitu apakah bagi Salman sendiri yang menjadi perencana penggalian parit, dan di luar usia tuanya namun masih kuat dan pintar, haruskah ia dianggap pihak Muhajirin, atau karena tiba di Madinah sebelum Hijrah maka ia dianggap Anṣar, kedua-dua pihak ingin bekerja-sama dengannya. Masalah disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan setelah mendengar pendapat keduanya sambil tersenyum beliau bersabda: ”Salman bukan Muhajirin atau Anṣar, ia adalah anggota keluargaku dan salah seorang dari kami.” Untuk selanjutnya Salman r.a. selalu dikenal sebagai anggota keluarga beliau.
Setiap kelompok yang terdiri dari 10 orang membagi tugasnya masing-masing dan mulai menggali parit dengan sunguh-sungguh. Namun penggalian itu tidak mudah karena cuaca dingin tambah menyulitkan. Hampir semua orang Muslim yang mampu telah didaftar untuk menggali parit, dan pekerjaan lainnya harus ditinggalkan, sehingga mereka yang untuk kehidupannya sangat tergantung kepada pendapatan sehari-hari, telah menderita kelaparan dan kekurangan gizi.
Nabi Muhammad s.a.w.  mengobarkan semangat ummat Muslim dengan cara mengangkat sendiri keranjang yang penuh bebatuan, dan ikut bergabung mendendangkan puji-pujian bersama-sama mereka, seperti yang sedang membangun sebuah mesjid: ”Ya Allah, tidak ada kebahagiaan kecuali nanti di akhirat. Ya Allah, limpahkanlah belas kasihmu kepada Muhajirin dan Anṣar.”
Beliau juga sering mengulangi puisi berikut, dengan tubuh yang penuh tanah dan debu, sebagaimana orang lainnya juga: ”Ya Allah, tanpa-Mu, kami tidak memiliki pembimbing! Kami tidak akan mampu berderma, atau pun berdoa! Limpahkan pada kami kedamaian, dan dalam perang teguhkanlah langkah kami! Mereka telah bangkit melawan kami, dan mencoba menyesatkan kami, namun kami menolaknya! Ya, kami menolaknya!” Ketika beliau mengulangi dua kata terakhir, suaranya ditinggikan dengan keras.
Bersama ummat Muslim beliau merasakan betapa sakitnya rasa lapar sebagaimana yng mereka rasakan. Pada suatu hari, sebuah kelompok penggali menemukan batukarang yang amat keras di dalam tanah, dan tidak bisa dipecahkan atau pun digerakkan oleh penggali yang lapar. Akhirnya mereka menemui Nabi Muhammad s.a.w. dan menjelaskan kesulitan yang dihadapinya. Keadaan beliau tidak lebih baik dari mereka namun tetap pergi juga ke tempat itu dengan membawa sebuah kapak, lalu beliau menghantamkan kapak itu ke batukarang dengan menyebut asma Allah.
Baja menghantam batukarang menimbulkan percikan api, lalu Nabi Muhammad s.a.w.  berseru: ”Allah Maha Besar.” dengan suara yang keras, lalu bersabda: ”Aku telah dianugerahkan kunci kerajaan Siria (Bizantin) dan melihat istana-istana batu-merah di Negara itu.”
Hantaman beliau memecahkan sebagian dari batukarang itu. Beliau memakai kapak kedua kalinya dan menghantam batukarang, kembali menyeru asma Allah dan percikan api muncul lagi dari batu itu, lalu beliau berseru: ”Allah Maha Besar.” lalu bersabda: ”Sekarang aku telah dianugerahkan kunci kerajaan Persia dan melihat istana-istana putih  di Madain.”
Saat itu sebagian besar batukarang telah dapat dipecahkan. Hal yang sama terjadi pada kali yang ketiga, dan ketika percikan api muncul, Nabi Muhammad s.a.w. pun berseru: ”Allah Maha Besar.” lalu bersabda: ”Sekarang aku telah dianugerahkan kunci kerajaan Yaman dan aku melihat pintu-gerbang Sana’a.” Batukarang itu akhirnya hancur-lebur dan pecahannya dibuang ke luar parit.
Tiga macam kasyaf Nabi Muhammad s.a.w.  yang telah diturunkan itu, adalah suatu nubuatan sebagai tanda bagi kemenangan dan kemakmuran ummat Muslim di masa datang, dan semangat mereka yang jatuh menjadi terangkat naik. Kaum-munafik, ketika mendengar tentang kasyaf tersebut, telah mengejek dan menghina mereka dan menganggapnya sebagai suatu khayalan sebagai akibat dari kesulitan luar-biasa yang diderita oleh ummat Muslim. Namun, pada waktunya, ketiga kasyaf nubuatan itu telah terpenuhi selengkapnya di zaman khalîfah penerus beliau.
Ketika itu, seorang Muslim yang taat Jabir bin Abdullah r.a. setelah melihat tanda-tanda kelaparan dan lemahnya Nabi Muhammad s.a.w., ia meminta izin untuk pulang ke rumahnya sebentar, dan di sana ia berkata pada istrinya bahwa beliau telah menderita kelaparan berat, dan ia bertanya apakah masih ada makanan di rumah itu.
Ia menjawab bahwa masih ada tepung jawawut dan ada seekor kambing. Jabir r.a. menyembelih kambing dan mengadoni tepung menjadi roti dan berkata: ”Sekarang siapkanlah makanan dan aku akan mengundang Nabi Muhammad s.a.w. datang dan makan di sini.”
Istrinya mengingatkan dia: ”Engkau jangan buat malu aku dengan mengundang banyak orang bersama Rasulullah s.a.w.”
Jabir r.a. pergi dan berkata pada Nabi Muhammad s.a.w. hampir berbisik: ”Ya Rasulullah, kami punya daging dan tepung jawawut, dan saya menyuruh istri saya menyiapkan makanan. Saya mengundang engkau dan sebagian Sahabat untuk makan di rumahku.”
Nabi Muhammad s.a.w.  bertanya tentang berapa banyak makanan itu, lalu Jabir r.a. menerangkannya.
Beliau bersabda: ”Wah, itu banyak.”
Lalu beliau berkeliling dan berteriak dengan suara yang keras: ”Hai kalian kelompok Anṣar dan Muhajirin, datanglah. Jabir mengundang kita makan. Mari kita pergi dan makan.”
Mendengar itu, sejumlah besar orang mungkin mencapai 1.000 orang atau lebih telah siap menemani beliau. Ia meminta Jabir buru-buru pulang ke rumahnya dan memberitahu istrinya agar jangan memindahkan panci masaknya dari tungku, dan jangan membuat roti sebelum beliau tiba di sana. Jabir r.a. segera pulang dan memberitahu istrinya sesuai pesan yang diperolehnya. Ia benar-benar kebingungan karena makanan hanya cukup untuk beberapa orang saja, dan ia tahu bahwa banyak orang sudah berjalan menuju rumahnya. Begitu Nabi Muhammad s.a.w. tiba, segera beliau memanjatkan doa di depan panci masak dan adonan, serta bersabda: ”Nah sekarang masaklah roti itu.” Ketika roti itu telah matang beliau membagi-bagikannya, dan orang-orang makan bergiliran per kelompok, semuanya makan sampai kenyang padahal pancinya masih mendidih dan adonan belum habis.
Dalam waktu seminggu dengan bekerja terus menerus dan sungguh-sungguh dari seluruh pasukan Muslim, maka parit itu dapat diselesaikan walau semua orang kelelahan. Pada waktu itu, Pasukan Gabungan Yahudi dan kaum Penyembah berhala yang bersenjata lengkap telah berada di dekat Madinah. Abu Sufyan selaku panglima tertinggi maju ke arah Uhud, dan setelah melihat medan itu kosong melompong, ia berputar ke satu sisi Madinah dan dari sana penyerangan akan dapat dilakukan dengan efektif, namun ketika sudah mendekati Madinah mereka tertahan oleh parit. Di dekatnya dilindungi oleh pagar-pagar panjang di sisi kota yang membentuk penghalang, sehingga mereka terhalangi. Mereka takjub dan bingung atas taktik baru dari beliau. Karena tidak bisa menyerang kota, mereka membuat kemah di dataran yang dekat sana, dan mengisi waktunya untuk sementara waktu dengan pemanah jarak jauhnya.
Sementara itu Abu Sufyan telah berhasil memisahkan Bani Quraiżah dari persekutuan dengan beliau, sekarang tinggal satu-satunya suku utama Yahudi di Madinah. Huyay, si pemimpin Bani Nażir yang diusir itu sekarang bersekutu dengan suku Quraisy, dan dikirim oleh Abu Sufyan ke benteng Bani Quraiżah, yang pada awalnya ditolak. Namun dengan gigihnya Huyay memohon dengan menggambarkan keseluruhan jumlah pasukan Gabungan yang bagai terjangan ombak lautan, akhirnya ia mampu melunakkan Kāb pemimpin Bani Quraiżah.
Telah disetujui bahwa Bani Quraiżah akan membantu pihak Quraisy, dengan syarat bahwa Huyay harus ditahan di benteng mereka jika pasukan Sekutu mundur karena gagal dalam menundukkan Madinah. Desas-desus tentang kegagalan itu sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w., lalu beliau mengirim kedua orang S’ad r.a. pemimpin suku Aus dan suku Kazraj, guna meyakinkan kebenarannya dan jika hasilnya tidak memuaskan, dengan tegas mereka akan diperangi. Mereka melihat Bani Quraiżah tidak ramah.
”Siapa itu Muhammad?” kata mereka: ”Dan siapa Utusan Allah yang harus kami taati itu? Tidak ada ikatan atau kesepakatan apa pun antara kita dengannya.” Setelah pembicaraan dilakukan dalam nada tinggi dan ancaman, kedua utusan itu kembali dan melapor kepada Nabi Muhammad s.a.w. bahwa perilaku Yahudi telah menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Sir William Muir menulis (Life of Mahomet, hal. 309):
“Secara keseluruhan, kesan saya bahwa Bani Quraiżah telah masuk dalam suatu persekutuan dengan Huyay si-Yahudi yang terusir, bersepakat dengannya, dan berjanji untuk turut mengambil bagian dalam keberhasilan Quraisy – suatu janji yang mereka pikir merupakan posisi yang menguntungkan – karena benteng mereka walau jaraknya jauh dari kota namun terbuka bagi serangan musuh. Di pihak lain, Muhammad telah keluar kota Madinah dengan memimpin 3.000 pasukan Muslim dan berkemah di antara parit dan kota, serta menjadikan bukit Sil’a di belakang mereka. Beliau membagi pasukannya menjadi pagar-pagar kecil yang ditempatkan di sepanjang parit dan sisi-sisi Madinah lainnya yang terbuka, dengan komando tegas bahwa mereka tetap harus berjaga selama 24 jam sehari. Situasinya benar-benar amat berbahaya. Kota itu dikepung ribuan musuh yang bersenjata lengkap, yang menunggu kesempatan menyerang Muslim dengan serbuan tepat dan menghancurkannya. Di dalam kota, para perempuan dan anak-anak Muslim juga dapat menjadi mangsa Bani Quraiżah, dimana ratusan pemuda bersenjata  bersikap mengancam seperti pasukan bersenjata lain yang berdisiplin. Sebagian orang Muslim yang lemah sangat ketakutan dan tidak mampu membayangkan tentang apa yang akan terjadi kemudian. Kaum munafik, dan mereka yang dalam pikirannya terdapat penyakit, telah menyatakan secara terbuka.”
Wa iż yaqūlul-munāfiqūna wal-lażīna fī qulūbihim maraḍum mā wa’adanallāhu wa rasūluhū illā gurūra. Wa iż qālaṭ-ṭā’ifatum minhum yā ahla Yaṡriba lā muqāma lakum farji’ũ, wa yasta’żinu farīqum minhumun-nabiyya yaqūlūna inna buyūtanā ‘aurah, wa mā hiya bi’aurah, iy yurîdūna illā firārā. Wa lau dukhilat ‘alaihim min aqṭāriha ṡumma su’ilul-fitnata la’ātauhā wa mā talabbaṡu bihā illā yasīrā. “Dan ingatlah ketika orang-orang munafik dan mereka yang di dalam hatinya ada penyakit berkata, “Tidaklah Allah dan Rasul-Nya menjanjikan kepada kami melainkan janji yang dusta. Dan ketika segolongan dari mereka berkata, “Hai, orang-orang Yathrib kamu mungkin tidak dapat bertahan terhadap musuh oleh karena itu kembalilah kamu.” Dan segolongan dari mereka meminta izin kepada Nabi dengan berkata, “Sesungguhnya rumah kami terbuka terhadap serangan musuh,” Padahal rumah mereka itu sebenarnya tidak terbuka. Mereka hanya berusaha melarikan diri. Dan sekiranya musuh memasuki kota Madinah dari daerah-daerah sekitarnya, dan kemudian mereka diminta bergabung dalam kerusuhan terhadap kaum Muslimin, tentulah mereka akan melakukannya, dan mereka tidak akan tinggal di Madinah melainkan sebentar saja.”  (ah-Ahzāb: 13:15)
Namun saat yang berbahaya itu ternyata membawa hikmah bagi orang-orang mu’min. Alquran berkata:
Wa lammā ra’al-mu’minūnal-aḥzāba qālū hāżā mā wa’adanallāhu wa rasūluhū wa ṣadaqallūhu wa rasūluh, wa mā zādahum illā īmānaw wa taslīmā. “Dan ketika orang-orang mu’min melihat lasykar-lasykar persekutuan, mereka berkata, ‘Inilah yang telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami, dan Allah dan Rasul-Nya telah mengatakan yang benar,’ Dan hal itu tidak menambah kepada mereka kecuali keimanan dan kepatuhan.” (al-Ahzāb: 23)
Namun betapa rumitnya situasi dan ancaman besar yang diperagakan, telah diketahui orang-orang dan menyebabkan kegelisahan. Alquran menyatakan hal itu:
Iż jā’ūkum min fauqikum wa min asfala minkum wa iż zāgatil-abṣāru wa balagatil qulūbul-hanājira wa taẓunnūna billāhiẓ-ẓunũnã. ”Ketika mereka datang kepadamu dari atasmu dan dari bawahmu, dan ketika matamu melantur dan hati sampai tenggorokan, dan kamu berprasangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka. Di situlah orang-orang mu’min diuji, dan mereka digoncangkan dengan suatu goncangan yang dahsyat.” (al-Ahzāb: 11- 12)
Dalam keadaan seperti ini, ummat Muslim tidak tahu harus berbuat apa. Setelah 2 atau 3 tahun pertama Hijrah, mereka terus menerus berada dalam keadaan waspada sehingga mereka menjadi lelah. Musuhnya faham akan hal itu dan secara berulang-kali mereka membuat upaya untuk melewati parit pada titik-titik terlemah, sehingga lawannya harus selalu berpindah-pindah tempat dimana ancaman bahaya berada, akibatnya mereka tidak terkonsentrasi pada satu titik tertentu. Di samping itu, karena ada pasukan panah Bani Quraiżah maka pagar yang ada di sisi kota harus segera diperkuat, sehingga perempuan dan anak-anak tidak terbuka pada ancaman bahya yang amat serius.
Sir William Muir telah menerangkan sebagian dari situasi itu sebagai berikut (Life of Mahomet, hal. 310 – 311)
”Pasukan konfederasi memikirkan bahwa sedapat mungkin parit harus dilawan dengan mencari celah kecil yang kurang dijaga, dan diikuti serangan umum. Lalu sebagian kecil pasukan kuda memasang roda gigi pada kudanya yang dipimpin Ikrama anak Abu Jahal, dan menghancurkan parit, mencongklang kuda dengan menakutkan di depan garis pertahanan pasukan Muslim. Yang paling cepat reaksinya adalah Ali yang segera bergerak maju dengan dilindungi pasukan kapak. Dengan manuver cepat, ia sudah berada di belakang Ikrama, dengan menerobos celah sempit ia menutup jalan mundurnya.
Saat itu Amr bin Abdūd, seorang pemimpin berumur lanjut dalam pasukan Ikrama menantangnya untuk melakukan duel satu lawan satu. Ali langsung menerima tantangan itu, dan kedua orang itu berhadapan di sebuah dataran. Amr turun dari kuda, membabat kaki kudanya sebagai tanda menang atau mati. Mereka mendekat, lalu keduanya terhalangi oleh kepulan debu. Namun tidak lama, karena terdengar Takbir ”Allah Maha Besar,” dari bibir Ali, sang pemenang.  
Sisa pasukan mengambil kesempatan kabur dengan memasang roda gigi pada kudanya, kecuali Naufal yang tertidur karena kecapaian, telah ditangkap oleh Zubair. Dia terbaring di parit. Quraisy menawarkan 10.000 dirham sebagai tebusannya. Muhammad melepas tanpa tebusan. Selanjutnya hari itu tidak ada kegiatan. Namun persiapan besar dilakukan malam harinya, dan keesokan harinya Muhammad melihat segenap pasukan Sekutu telah berbaris di hadapan beliau.
Situasi seperti itu memerlukan penjagaan yang terus menerus agar mampu menahan olah-gerak mereka. Sekarang mereka diancam oleh serangan besar-besaran yang terbagi-bagi dalam banyak divisi dan menyerang berbagai tempat secara cepat dengan diikuti serangkaian gangguan, dan akhirnya mereka akan menunggu kesempatan yang baik, dimana pasukannya akan menyerang secara bersamaan pada titik yang kurang terjaga, serta dengan lindungan pasukan panah mereka akan melewati parit.
Sekali lagi gempuran terjadi di kota oleh pemimpin sekelas Khalid atau Amr, dan kemah Muhammad sendiri saat itu berada dalam bahaya, namun pasukan depan Muslim yang berani dan hujan anak panah memukul mundur mereka. Serangan itu berlangsung sepanjang hari, namun pasukan Muhammad cukup mampu mempertahankan garis batasnya, serangan itu tidak berhasil. Malam hari pun, pasukan komando Khalid tetap berbahaya, dan menyerang pos terkecil berselang-seling. Namun upaya keras musuh tersebut tidak menghasilkan apa-apa.  Parit itu tidak pernah bisa dilalui dengan kekerasan dan selama perang, Muhammad kehilangan 5 orang. Pihak konfederasi juga hanya kehilangan 3 orang saja. S’ad bin Mu’az pemimpin suku Aus telah terluka parah pada pundaknya yang terkena sebatang panah.”
Amr bin Abdūd adalah pemain pedang termasyhur, dan karena keberaniannya ia disamakan dengan kemampuan 100 orang pejuang. Ia ikut perang di Badar, dan pengalaman itu menjadikannya lebih keras dan lebih mendendam kepada pasukan Muslim. Ia menantang duel satu lawan satu dengan suara sombong, dan Sayidina Ali r.a. dengan izin Nabi Muhammad s.a.w. maju menjawab tantangannya. Beliau memberikan pedangnya sendiri dan berdoa untuknya.
Mendatangi Amr, Sayidina Ali r.a. berkata: ”Aku dengar kamu menjanjikan bahwa jika ada orang Quraisy membuat dua pemintaan padamu, kamu akan penuhi paling tidak untuk salah satunya.”
Amr mengiyakannya, dan mendengar itu Sayidina Ali r.a. berkata: ”Kalau begitu aku memintamu untuk memeluk Islam dan percaya bahwa Nabi Muhammad s.a.w. mendapat berkah Allah.”
Amr menjawab bahwa ia tidak mau melakukannya. Lalu Sayidina Ali r.a. berkata: ”Jika kamu tidak menerima permintaan yang pertama, permintaanku yang kedua adalah berduel denganku.”
Amr meminta Sayidina Ali r.a. memperkenalkan dirinya, dan setelah tahu ia berkata: ”Hai keponakan, kamu masih terlalu muda. Aku tak mau menumpahkan darahmu. Kirimlah orang lain yang lebih tua untuk berduel denganku.”
Sayidina Ali r.a. membalasnya: ”Kamu tidak ingin menumpahkan darahku, tapi aku tidak keberatan untuk menumpahkan darahmu.”
Jawaban itu membangkitkan amarah Amr. Ia lompat dari kuda dan membabat kaki kudanya, lalu maju bagai jilatan api menuju Sayidina Ali r.a., dan mengayunkan pedangnya dengan amat keras sehingga mampu memotong tameng Sayidina Ali r.a. dan melukai dahinya. Tapi Sayidina Ali r.a. dengan secepat kilat menyerang pundaknya dengan begitu rupa sehingga pedang memotong tubuhnya sekaligus dan ia roboh ke tanah, lalu sekarat dan tewas dalam 1-2 menit. Namun, keberhasilan sementara itu, tidak membawa akibat apa pun pada pasukan Muslim yang telah melemah sejak dikepung.
Keimanan dan ketaatan mereka tidak goyah, namun tubuhnya amat lelah. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri yang keadaannya tidak lebih baik, telah terpengaruh dengan amat dalam oleh penderitaan pasukan Muslim. Lalu beliau berunding dengan S’ad bin Mu’az r.a. dan S’ad bin Ubadah r.a. para pemimpin Anṣar, tentang bagaimana mengatasi situasi itu. Beliau mengusulkan kepada mereka bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan merebut suku Ghaṭfan dari Quraisy dengan menawarkan sebagian dari pendapatan Madinah.
Lalu mereka bertanya, apakah usul beliau itu sesuai dengan firman Allah. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda kepada mereka bahwa beliau justru meminta nasihat tentang apa-apa yang dianggap layak oleh mereka, dan tidak ada firman Allah yang terlibat, kemudian setelah mendengar hal ini mereka menyampaikan bahwa nasihat mereka adalah tidak memberi kebaikan apa pun kepada pihak musuh sebelum mereka menjadi Muslim, mereka tidak mau menawarkan apa pun kepada musuh dalam perang ini kecuali pedang yang terhunus. beliau merasa amat puas dengan keteguhan mereka dan tidak memaksa agar usulannya bisa disetujui.
Situasinya terus berlangsung buruk dan beliau serta pasukan Muslim terus berteguh hati namun berada dalam penderitaan. Faktor lainnya dalam situasi tersebut yang menambah kecemasan beliau dan pengikutnya adalah masalah keamanan para perempuan dan anak-anak, khususnya ketika musuh menekan keras untuk menerobos parit dan seluruh pasukan Muslim harus menahan serangan hebat dan memukul mundur musuhnya, dan satu-satunya orang yang menjaga para perempuan dan anak-anak adalah orang yang tidak mampu menghadapi ahli bela-diri dan orang yang bersenjata.
Suatu saat, kaum Yahudi mengirim mata-mata untuk menilai situasi dan melaporkannya. Sudah begitu adanya, bahwa pada saat itu satu-satunya orang yang menjaga para perempuan dan anak-anak hanyalah sang penyair Hassan bin Ṣabit, yang karena jantungnya lemah, ia tidak mampu berkelahi. Ketika para perempuan melihat mata-mata Yahudi berkeliaran kemana-mana, Ṣafiyah binti Abdul Muṭalib r.a. bibi Nabi Muhammad s.a.w., berkata pada Hassan agar membunuh mata-mata itu yang terlihat akan membuat kekacauan. Namun karena Hassan lemah maka Ṣafiyah sendiri yang maju sambil membawa tiang kemah dan membunuh orang itu. Lalu ia berpikir bahwa orang itu harus dipotong kepalanya dan dibuang di tempat biasa orang-orang Yahudi berkumpul untuk pamer kekuatan, sehingga mereka berpikir bahwa para perempuan itu dilindungi dengan baik. Tipu daya itu berhasil, dan kaum Yahudi itu kembali ke benteng mereka.
Pada suatu hari sebagian orang Muslim menemui Nabi Muhammad s.a.w. dan memohon beliau membuat permohonan khusus untuk memperoleh keselamatan dan juga mengajar mereka berdoa yang dapat mereka lakukan. Beliau bersabda agar jangan lemah hati dan terus berdoa kepada Allah agar memberkati mereka kekuatan, dan meneguhkan hati serta menghilangkan kecemasan mereka, dan beliau mengajarkan doanya.
Beliau sendiri berdoa: ”Ya Allah, Maha Pemberi perintah, Maha Cepat dalam perhitungan, hancurkanlah pasukan Sekutu itu. Ya Allah, hancurkanlah mereka, bantulah kami dan goyahkan mereka. Engkaulah yang mendengar tangisan orang-orang yang susah, dan menjawab seruan mereka yang menderita, Engkau-lah yang menghilangkan kecemasan, dan kesedihan dan kesusahan kami, karena Engkau telah mengetahui bagaimana keadaan yang dialami oleh para Sahabat hamba ini.”
Dengan berkat Allah, ketika itu, No’eim bin Mas’ūd dari sub-suku Asyj’a, cabang suku Ghaṭfan, tiba di Madinah. Ia percaya kepada kebenaran Islam walau belum menyatakan bahwa dirinya seorang Muslim. Setelah menilai situasi, ia membuat rancangan yang berhasil menciptakan perselisihan antara Sekutu dengan Yahudi. Di awalnya ia pergi ke Bani Quraiżah dan menerangkan bahwa niat pasukan asing itu berbeda dengan niat mereka, jadi sebelum mereka menghadapi keadaan yang tidak bisa diperbaiki lagi dengan bergabung menyerang Madinah, maka mereka harus meminta sandera dari Quraisy sebagai jaminan akhir jika mereka dikalahkan oleh Nabi Muhammad s.a.w.  Hal ini masuk akal bagi mereka dan setuju mengikuti nasihatnya.
Lalu ia pergi ke pemimpin Sekutu dan mengingatkan mereka terhadap kaum Yahudi, dan memberitahu mereka bahwa Bani Quraiżah berniat meminta sandera dari mereka dan mereka harus hati-hati, karena sandera bisa diserahkan kepada Muslim. Ketika Quraisy menanyakan niat Bani Quraiżah tentang pemenuhan janji mereka untuk bergabung dalam serangan besar-besaran terhadap pasukan Muslim di hari berikutnya, mereka lalu melakukan Sabbaṭ sebagai dalih untuk menyiapkan perang pada keesokan harinya, namun karena mereka takut ditinggalkan sendirian sehingga menginginkan sandera.
Pihak Sekutu, menganggap hal itu sebagai suatu konfirmasi bagi intelijen No’eim dan menaruh prasangka sepenuhnya atas pengkhianatan Bani Quraiżah, sehingga mereka mulai merasa khawatir akan diserang oleh mereka. Para pemimpin Sekutu benar-benar merasa putus-asa. Setelah dua hari bertengkar keras, mereka tidak ingin lagi melakukan serangan besar. Harapan yang muncul di awalnya adalah, bahwa Bani Quraiżah diharapkan menyerang kota dari belakang pasukan Muslim, namun sekarang telah berubah menjadi kekhawatiran akan penentangan dari Bani Quraiżah sendiri terhadap mereka.
Makanan ternak memang masih bisa didapatkan namun harus diupayakan dengan susah payah, persediaan makanan juga telah menipis, sehingga unta-unta dan kuda-kuda setiap harinya mati dalam jumlah besar. Kelelahan dan semangat yang turun disertai dengan cuaca malam yang dingin sekali dan badai pun datang. Angin kencang dan hujan lebat menghantam kemah terbuka mereka, tanpa ampun. Angin ribut berubah menjadi angin topan. Api menyala dimana-mana, kemah-kemah terbakar, panci-panci makanan dan peralatan lainnya terlempar kemana-mana. Kedinginan dan sengsara, tiba-tiba Abu Sufyan memutuskan untuk segera pulang.
Ia segera memanggil semua pemimpin dan memberitahukan keputusannya: ”Bongkar kemahmu.” Ia berkata: ”Dan pulanglah, aku sendiri akan pergi juga.” Selesai berkata, ia menunggang untanya, begitu besar rasa tidak sabarnya, padahal kakinya belum terlepas, dan ia pulang. Akan tetapi Khalid bin Walid r.a. dengan 200 pasukan kuda mengiringi di belakangnya, untuk menjaga jika mereka melakukan hal-hal yang membahayakan ummat Muslim. Pihak Quraisy mengambil jalan melalui Uhud terus ke Mekah, dan Bani Ghaṭfan pulang ke kemahnya di gurun.
Selanjutnya Bani Quraiżah memperkuat dirinya di bentengnya dimana Huyay bin Akhtab pemimpin suku Bani Nażir ditahan oleh mereka. Jadi, sebelum terbit fajar medan perang telah kosong, dan dengan begitu mendadak serta mengagetkan terjadilah perubahan yang tidak disangka dan menguntungkan bagi pasukan Muslim, dari situasi yang tadinya berada di tepi jurang kehancuran, mendadak menjadi pemenang perang. Di malam harinya ketika perkemahan Sekutu akan ditinggalkan, Nabi Muhammad s.a.w.  memanggil: ”Hai ada orangkah di sana?”
Namun suasananya begitu sunyi dan pasukan Muslim yang berada di dekat beliau telah begitu kelaparan, tapi tetap tidak ada yang menjawab panggilannya walau beliau mengulanginya sampai 3 kali. Akhirnya beliau memanggil nama Hużaifah bin Yaman r.a., lalu ia datang dan berdiri di hadapan beliau dengan gemetaran. Nabi Muhammad s.a.w.  menepuk dahinya dengan tangan beliau dan berdoa, kemudian bersabda: “Jangan takut, dan yakinlah bahwa atas kehendak Allah SWT, kamu tidak akan terlibat kesulitan. Menyelinaplah kmau ke dalam kemah musuh, dan jangan menimbulkan gangguan pada siapa pun, dan kembali serta lapor padaku.”
Kemudian Hużaifah bercerita: “Ketika saya bergerak, saya merasakan bahwa rasa dingin telah hilang sama sekali dan seperti sedang melewati ruangan yang hangat sehingga kekhawatiran saya melenyap. Malam itu amat gelap sekali dan saya menyelinap diam-diam tanpa rasa takut dan masuk ke perkemahan musuh. Saya melihat Abu Sufyan berdiri dan menghangatkan diri dekat api unggun. Lalu saya menaruh anak panah di busur, dan ketika saya akan melepasnya, lalu saya teringat nasihat Nabi Muhammad s.a.w.  untuk tidak mengganggu siapa pun. Saya berada begitu dekat dengan Abu Sufyan dan jika saya tembakkan anak panah, maka dia tidak bisa lari. Abu Sufyan sedang membujuk pasukan untuk segera berangkat pulang. Dia menunggang untanya dan setelah saya pandang sebentar, saya pulang. Nabi Muhammad s.a.w. sedang berdoa, dan saya menunggu sampai beliau selesai dan melaporkan peristiwa itu.”
Beliau berterimakasih kepada Allah SWT dan bersabda: ”Hal ini tidak bisa terjadi hanya dengan kekuatan atau upaya kita saja, hal ini hanya terjadi atas berkat Allah yang telah melemahkan pasukan Sekutu.”
Selanjutnya, berita tentang mundurnya pasukan penyembah-berhala tersebut tersebar di seluruh perkemahan pasukan Muslim. Ada kemungkinan bahwa pada kesempatan itulah Nabi Muhammad s.a.w.  bersabda: ”Sekarang mereka tidak akan menyerang kita lagi, justru kita yang akan menyerang mereka.” Pihak Quraisy begitu putus asanya setelah mereka mundur dan untuk selamanya mereka tidak berani menyerang Madinah terlebih dahulu, dimana nubuatan beliau telah terpenuhi secara sesungguhnya.
Ketika pasukan Sekutu telah kembali dan terlihat jelas bahwa mundurnya pasukan musuh itu bukan suatu taktik saja, beliau memerintahkan pasukan Muslim untuk membongkar kemah dan pulang ke kota. Kepungan yang berlangsung selama 3 minggu itu telah membuat pasukan Muslim benar-benar susah dan ketakutan, yang diperberat dengan pengkhianatan Bani Quraiżah.
Biang kerok dari keseluruhan kesulitan tersebut adalah pemimpin pengkhianat Bani Nażir yang menerima belas kasihan Nabi Muhammad s.a.w. dengan mengusirnya dari Madinah. Melalui hasutan merekalah akhirnya seluruh suku-suku utama yang ada di Hejaz dan Arabia Tengah telah menggabungkan dendam kesummat mereka terhadap Islam dan bermaksud menyerang Madinah dan menghancurkan Muslim sampai ke cabang-cabang dan akar-akarnya. Dapat dipastikan bahwa dalam peristiwa itu jika pasukan Sekutu berhasil masuk ke Madinah, maka tak satu pun pasukan Muslim yang akan dibiarkan hidup, dan kehormatan para perempuan Muslim tidak akan bisa diselamatkan. Badar, Uhud, dan serangan Sekutu adalah upaya-upaya besar untuk menyapu Islam dan menghancurkan ummat Muslim. Di tiap peristiwa, perbedaan antara pasukan yang berlawanan tersebut dalam hal jumlah, senjata, persediaan makanan dan alat transportasi amat jauh sekali, keganjilannya memenuhi Quraisy dan Sekutu-sekutunya.
Di Badar, 1.000 orang pasukan Quraisy dengan peralatan dan senjata lengkap melawan sekitar 300 orang pasukan Muslim yang tidak bersenjata lengkap dan setengah kelaparan. Ketika perang berlangsung, perbedaannya adalah Quraisy unggul di masa awal namun akhirnya kalah secara cepat dan tajam. Dalam duel satu lawan satu, Quraisy kehilangan 3 orang pemimpin besar, dan dalam perang besar-besaran ksatria dan keberanian Quraisy hancur menjadi debu. Kesombongan dan harga-diri Quraisy hancur, tulang punggung mereka patah dan tidak bisa diobati mau pun disembuhkan.
Di Uhud, 3.000 orang pasukan Quraisy dengan senjata, peralatan dan baju zirah yang lengkap, melawan 700 orang Muslim. Lagi-lagi, keuntungan memenuhi Quraisy, dan walau mereka menderita kerugian di awalnya, namun pelanggaran terhadap perintah tegas Nabi Muhammad s.a.w.  oleh pasukan panahnya untuk menjaga bagian belakang pasukan Muslim, telah berakhir dengan hampir menjadi bencana besar bagi pasukan Muslim. Jika Quraisy memanfaatkan keuntungan itu dan menyerang Madinah, mungkin saja mereka berhasil mencapai tujuannya yaitu menghancurkan pasukan Muslim.
Pasukan Gabungan Quraisy dan Sekutu berjumlah 10.000 orang. Dan hanya tersedia 3.000 orang pasukan Muslim untuk menjaga parit dan bagian-bagian lemah kota Madinah. Selama masa terberat ketika dikepung, pasukan Muslim bisa disebutkan sebagai sebuah pasukan yang hanya nama belaka. Mereka setengah kelaparan selama dan ketika mendekati akhir perang, dan benar-benar lelah dan tidak berdaya. Di tahap akhir mereka terperangkap dan terjepit oleh beban dari atas dan dari bawah yaitu Sekutu dan Bani Quraiżah. Mereka tidak mungkin bisa selamat dari tekanan itu lebih dari 2 atau 3 hari lagi. Kemudian, terjadi lagi penyelesaian akhir yang cepat dan tajam. Ganasnya kekuatan alam mampu memaksa Sekutu mundur dari medan tempur, dan mereka pulang dengan tidak teratur, kebingungan, dan hati murung. Pihak Quraisy dan Sekutu yang merupakan Pasukan Gabungan hancur lebur tidak mampu melakukan apa-apa.
Bani Quraiżah bertahan di kubunya, tinggi-diri dan sombong dalam keyakinan bahwa posisi mereka begitu kuat dan tidak tergoyahkan, sedangkan pasukan Muslim yang kondisinya melemah setelah dikepung begitu lama, dianggap tidak berbahaya lagi. Pengepungan Madinah telah dibatalkan, namun pasukan Muslim tidak bisa aman dengan cara apa pun. Hasil pengepungan itu masih harus diteliti kembali.
Walau demikian adakah suatu penilaian yang adil dan tidak bias terhadap peristiwa-peristiwa selama 5 tahun yang dimulai dari keberangkatan Nabi Muhammad s.a.w. dari Mekah yang ditemani oleh Sayidina Abu Bakar r.a., dan diakhiri dengan mundurnya Pasukan Gabungan yang amat memalukan, telah menyingkapkan fakta bahwa semua peristiwa yang terjadi hanyalah suatu deretan permainan-judi yang akhirnya menjadi kemenangan bagi pihak Muslim?
Kesimpulan seperti itu benar-benar suatu keadaan salah-tanggap terhadap sejarah dan memperkosa logika serta nalar yang baik. Di sepanjang sejarah manusia, tidak ada waktu lain yang sesingkat 5 tahun, penuh kerja keras, ujian dan penderitaan, namun berakhir dengan keunggulan dari si lemah terhadap si kuat, yang rendah-diri terhadap yang sombong, yang takwa-pada-Allah terhadap yang tidak bertuhan. Sesungguhnya, Nabi Muhammad s.a.w. pribadi-lah yang menanggung beban sepanjang masa dengan tanggungjawab amat berat, dan terus-menerus dihadapkan pada situasi yang penuh masalah, kesulitan dan kebingungan baik internal mau pun eksternal, dimana melalui belas kasih dan berkat Allah SWT, telah membuat sejahtera bukan saja pada ummat Muslim namun juga segenap masyarakat Madinah yang majemuk, dan menjaga keamanan mereka dan meletakkan dengan teguhnya dasar-dasar agama yang agung di dunia.
Beliau meneguhkan keimanan ummat Muslim di setiap langkahnya, memelihara semangat berkorban mereka, mengajarkan nilai-nilai akhlak dan rohani yang tinggi kepada mereka, dan memberi mereka contoh cemerlang melalui kehidupan pribadi beliau dalam menghadapi segenap krisis yang terus mengelilingi dengan begitu rapat.
----------------- *** -----------------

No comments:

Post a Comment