Saturday, July 2, 2011

BAB - 11. PENGKHIANATAN BANI QURAIŻAH

Nabi Muhammad s.a.w. sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk membersihkan diri dan berganti baju ketika pulang ke rumahnya setelah pengepungan Pasukan Gabungan batal, karena ketika itu beliau merasakan suatu dorongan kuat, yang diterjemahkan sebagai perintah Allah, untuk segera menertibkan situasi yang diciptakan oleh para pengkhianat dan pemberontak, Bani Quraiżah. Oleh karenanya beliau mengumumkan bahwa semua orang harus segera menyiapkan diri dan menuju kubu Bani Quraiżah, dimana Ṣalat Asyar akan dilakukan di kemah. Beliau mengirim detasemen kecil lebih dahulu untuk melakukan pengintaian.
Ketika Sayidina Ali r.a. tiba di kubu Bani Quraiżah, ia melihat mereka bersikap garang, dan ketika ia berbicara kepada pemimpinnya mereka mencaci-maki Nabi Muhammad s.a.w. dan telah menghina istri beliau. Tidak lama setelah Sayidina Ali r.a. dan pasukannya berangkat, beliau sendiri juga turut berangkat dengan menunggang kuda dan disertai oleh sejumlah besar pasukan Muslim. Ketika beliau telah mendekati kubu Bani Quraiżah, beliau bertemu Sayidina Ali r.a. yang telah menunggunya, lalu ia memberi usulan agar beliau tidak bertemu mereka secara pribadi, karena pasukan Muslim mampu menangani situasi di antara Bani Quraiżah dengan mereka.
Beliau bertanya kepada Sayidina Ali r.a. apakah usulannya itu dipengaruhi oleh caci-maki Bani Quraiżah kepada beliau. Sayidina Ali r.a. menjawab bahwa benar begitu, sehingga beliau bersabda: “Biarkanlah, mereka memfitnah Nabi Musa a.s. jauh lebih parah ketimbang mereka memfitnah aku.” Nabi Muhammad s.a.w. dengan para pengikutnya terus maju, kemudian mereka mengepung kubu Bani Quraiżah.
Pada awalnya kaum Yahudi bersikap sombong dan kurang-ajar. Pernah suatu waktu, ketika beberapa orang Muslim dengan cerobohnya bernaung di bawah tembok kubu, seorang perempuan Yahudi menjatuhkan sebuah batu besar dari atas tembok dan membunuh salah satunya yaitu Khallad, dan yang lainnya kabur. Namun sejalan waktu yang berlalu, mereka mulai merasa bahwa kekurangan dan kesusahan yang dialaminya adalah akibat dari pengepungan, lalu mereka mulai mencari cara-cara untuk melepaskan diri. Pemimpinnya, Ka’ab bin Asad, membuat tiga buah usulan dan meminta mereka memilih salah satu yang disukai oleh mereka.
Ia berkata: “Usulanku yang pertama adalah bahwa kita harus percaya pada kebenaran Muhammad, sebagaimana peristiwa-peristiwa yang terjadi telah membuktikannya, dan juga kitab-kitab kita telah mendukungnya. Begitu kita memeluk Islam, maka seluruh pertentangan di antara kita menghilang.” Rencananya itu dengan segera ditolak dengan mentah-mentah. Lalu ia berkata lagi: ”Usulanku yang kedua adalah bahwa kita harus membantai perempuan-perempuan dan anak-anak kita sendiri agar tidak takut pada akibatnya nanti, dan kita angkat senjata berperang dengan ummat Muslim.” Rencana ini juga ditolak dengan alasan bahwa jika perempuan dan anak-anak dibantai oleh mereka sendiri, maka hidup mereka juga menjadi tidak berharga lagi. Akhirnya ia berkata: ”Usulanku yang terakhir adalah bahwa karena sekarang adalah hari Sabbaṭ, dan Muhammad dengan pengikutnya akan menjadi ceroboh, percaya diri bahwa mereka mampu melindungi dirinya dari setiap tindakan pihak kita, maka kita harus keluar secara mendadak dari kubu kita di waktu malam dan menyerang pasukan Muslim. Mereka akan kaget dengan serangan dadakan, lalu kita pukul mundur mereka.”
Orang-orang Yahudi menolak juga usulan itu karena mereka takut bahwa Tuhan akan marah karena telah menodai kesucian hari Sabbaṭ. Oleh karena penderitaan dan kesusahan mereka terus menumpuk, mereka memikirkan tentang suatu alat yang dapat mencari tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. tentang mereka, lalu mereka mengirim seorang utusan kepada beliau dan meminta agar Abu Lubaba bin Munḍar r.a. dari suku Aus dapat segera dikirimkan kepada mereka dalam rangka memperoleh nasihat darinya.
Ketika Abu Lubaba r.a. datang, ia disambut dengan ratapan menyedihkan dari anak-anak dan tangisan kaum perempuan Yahudi, dan ketika ia ditanya apakah Bani Quraiżah harus membuka pintu gerbang dan menyerahkan takdir mereka di tangan beliau, maka ia mengangguk sebagai tanda setuju namun ia juga menyilangkan tangan di lehernya yang mengisyaratkan bahwa mungkin mereka akan bertempur sampai mati.
Ketika kembali, ia menjadi begitu tertekan karena tindakannya dibuat tanpa persetujuan Nabi Muhammad s.a.w., dan ia telah bersalah karena telah melakukan dosa besar. Begitu mendalam perasaan menyesalnya sehingga ia mengikat dirinya sendiri di tiang mesjid, dan berdoa untuk memohon ampunan Allah. Ia melakukan hal itu sampai beliau sendiri melepaskannya. Kelancangan tindakannya telah menjadi sebab utama dari punahnya Bani Quraiżah, karena mereka menjadi tidak membiarkan diri mereka diampuni oleh beliau, namun menentukan pilihan untuk berperang sampai mati. Akhirnya setelah pengepungan berlangsung selama tiga minggu, Bani Quraiżah mengirimkan janjinya kepada beliau bahwa mereka siap untuk tunduk pada apa pun yang ditentukan oleh S’ad bin Mu’az r.a. kepala suku Aus, yang masih menderita dari luka-luka akibat tertusuk panah di parit, dan sedang dirawat di tenda yang ada di pelataran mesjid sesuai perintah dari beliau sendiri.
Di zaman pra-Islam, dulunya suku Aus bersekutu dengan Bani Quraiżah, sehingga mereka mengharap S’ad bin Mu’az r.a. akan bersikap lunak kepada mereka. Nabi Muhammad s.a.w. memberi tanda setuju dan S’ad r.a. dihadirkan di sana. Lalu ia menuju ke kubu Bani Quraiżah dengan naik keledai. Selama perjalanan berlangsung ia dikelilingi oleh orang-orang sesukunya yang memohon agar ia mengampuni Bani Quraiżah.
Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun sampai tiba di tempat, kemudian ia berkata: ”Sa’d bin Mu’az telah diberi karunia bahwa di jalan Allah, ia tidak mempedulikan orang – orang yang memalukan.’
Sementara itu tiga orang Bani Quraiżah yang yakin akan kebenaran Islam menyatakan diri mereka Muslim, dan orang ke-4 yang merasa sebegitu malunya atas pengkhianatan rakyatnya sehingga ia meninggalkan mereka dan keluar dari Madinah.
Ketika S’ad bin Muaz r.a. mendekati, beliau memerintahkan para Sahabat : ”Kalian berdirilah dan temui pimpinanmu, dan bantulah ia turun.”
Ketika S’ad bin Mu’az r.a. telah siap, ia berjalan maju ke arah Nabi Muhammad s.a.w. lalu ia menunggu perintah, dan beliau pun bersabda: ”Bani Quraiżah telah menerima kamu sebagai seorang hakim dan mereka setuju untuk mentaati keputusanmu.”
Dengan segera S’ad bin Mu’az r.a. berpaling ke arah rakyatnya yang telah membujuknya untuk menaruh iba, dan ia berkata: ”Apa kalian akan mengikat diri dengan keputusan Allah, bahwa apa pun yang kuputuskan, kalian akan menerima?”
Mereka menyetujuinya. Lalu ia berpaling ke arah beliau dan berkata: ”Apakah ia yang hadir di sini juga berjanji akan mentaati keputusanku?”
Nabi Muhammad s.a.w. menjawabnya: ”Aku berjanji.”
Lalu, S’ad r.a. mengumumkan putusannya: ”Laki-laki yang tubuhnya sehat dari Bani Quraiżah dihukum mati, perempuan dan anak-anaknya ditawan, dan harta-rampasan dibagi-bagi di antara ummat Muslim.”
Dari peristiwa itu, Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui bahwa putusan itu nampak dipengaruhi oleh kehendak Allah SWT. Tidak diragukan lagi bahwa karena situasi yang telah berkembang begitu rupa, maka putusan S’ad r.a. diberikan dengan tuntunan kehendak Allah SWT. Bani Quraiżah telah memohon agar Abu Lubaba dikirim kepada mereka, dan ia menunjukkan sesuatu yang benar-benar tidak berdasar, dan sebagai akibatnya Bani Quraiżah telah memutuskan untuk tidak meminta belas kasihan dari beliau. Akhirnya, mereka telah menyatakan sendiri bahwa mereka akan mentaati putusan S’ad r.a. dengan harapan bahwa sebagai pemimpin suku Aus yang jadi sekutu mereka di waktu yang terdahulu, maka ia akan mengampuni mereka.
Sedang di pihaknya, S’ad r.a. menyatakan bahwa ia tidak mengizinkan pertimbangan lain mempengaruhi putusannya, karena harus diambil sesuai kehendak Allah. Sebelum mengumumkan putusannya, ia meminta beliau untuk menyatakan janji agar putusannya dapat segera diberlakukan. Kesemua ini bukan semata-mata kebetulan belaka. Adalah Kehendak Allah bahwa putusan harus diserahkan kepada S’ad r.a., dan Kehendak Allah jua-lah yang menggerakkan hati S’ad bin Mu’az r.a. untuk mengumumkan putusannya terhadap kaum Yahudi Bani Quraiżah sesuai dengan hukum agama mereka yaitu Hukum Musa, sbb:
”Apabila kamu pergi untuk menyerang sebuah kota, berilah dahlu kesempatan kepada penduduknya untuk menyerah.
Kalau mereka membuka pintu-pintu gerbang dan menyerah, mereka semua harus menjadi hambamu dan melakukan kerja paksa untukmu.
Tetapi kalau penduduk kota itu tidak mau menyerah dan lebih suka berperang, kamu harus menegepung kota itu.
Kemudian, apabila Tuhan Allahmu memungkinkan kamu merebut kota itu, kamu harus membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki.
Tetapi kamu boleh mengambil kaum wanita, anak-anak, ternak, dan apa saja yang ada di kota itu. Segala harta benda musuh-musuhmu itu boleh kamu pakai. Tuhan Allahmu menyerahkan itu kepadamu.” (Taurat – Perjanjian Lama, Deutoronomy – Ulangan 20: 10-14)
Juga telah menjadi Kehendak Allah bahwa putusan dahsyat atas pengkhianatan dan pemberontakan Bani Quraiżah tidak perlu diumumkan sendiri oleh Nabi Muhammad s.a.w., namun S’ad bin Mu’az r.a. yang harus melaksanakan dengan sepenuhnya. Beliau mengarahkan bahwa kaum perempuan dan anak-anak Bani Quraiżah harus dipisahkan dari kaum laki-laki, lalu mereka diangkut secara terpisah ke Madinah, dan di dalam kota, mereka tinggal di rumah-rumah yang terpisah, dan di bawah perintah beliau mereka dilayani dengan baik, padahal perilaku kaum Yahudi pada Nabi Muhammad s.a.w. dan ummat Muslim sejak dari awalnya, telah penuh dengan kecurigaan dan selalu berkhianat dengan derajat terburuk.
Tentang situasi ketika Madinah sedang diinvasi oleh pihak Quraisy dan  Sekutu mereka, E. Dermengham telah menulis (Life of Mahomet, halaman 326):
”Quraisy telah bersekutu dengan suku-suku Badui dan Yahudi, dimana tindakan mereka yang amat keterlaluan telah disiapkan untuk menghancurkan Islam. Bani Nażir yang mengungsi di Khaibar telah menghasut pasukan mereka tentang kekuatan baru yang muncul dan melakukan tindakan anarkis di Arabia; mereka anggap Muhammad sebagai seorang tiran yang menunggu waktu untuk menyatukan seluruh suku-suku di dalam mata rantainya. Suku-suku Badui dari Tihama dan Nejed bergabung menjadi satu dengan Quraisy, dan Pasukan Gabungan itu telah memiliki mata-mata yang terletak di jantung kota Madinah yaitu ummat Yahudi dari Bani Quraiżah, yang secara hampir terang-terangan menginginkan agar teman yang memberatkannya hancur…. Jika terus diperpanjang, maka situasinya akan menjadi sangat serius, dimana hal itu telah terjadi sebagai akibat dari Bani Quraiżah yang telah menjadikan dirinya bersekutu dengan pihak musuh.”      
Stanley Lane-Poole menulis (Studies in a Mosque, hal. 68):
”Dari hukuman-hukuman yang dialami oleh ketiga suku itu, pengusiran dikenakan pada dua dari mereka, telah amat baik hati. Di sana terdapat pergolakan yang selalu didengar oleh orang-orang Madinah, dan akhirnya timbul percekcokan yang diikuti huru-hara dan diakhiri dengan diusirnya satu suku; pembangkangan, persekutuan dengan musuh dan kecurigaan akan konspirasi terhadap nyawa Muhammad berakhir serupa. Kedua suku telah melanggar perjanjian awal, dan mengupayakan segala cara untuk menyudutkan Muhammad dan agamanya ke arah kehancuran. Satu-satunya pertanyaan adalah, apakah hukuman itu tidak terlalu ringan. Pada suku yang ketiga, suatu contoh yang amat menakutkan telah terlaksana, bukan oleh Muhammad, namun oleh sang hakim yang ditunjuk oleh mereka sendiri. Ketika Quraisy dan para Sekutunya mengepung kota Madinah dan melakukan serangkaian gelombang serangan pada pertahanannya, suku Yahudi ini malahan berunding dengan musuh dimana perbuatannya itu hanya bisa dihentikan oleh diplomasi dari Muhammad. Ketika para pengepungnya telah kembali, maka wajar sekali jika Muhammad meminta penjelasan dari ummat Yahudi itu. Mereka tetap keras-kepala dan akhirnya mereka sendiri yang menjadi dikepung dan dipaksa menyerah tanpa syarat. Namun Muhammad, telah mengabulkan seorang kepala suku Arab yang pernah menjadi sekutu Yahudi sebagai hakim yang memutus hukuman bagi mereka. Kepala-suku Arab yang terpilih itu telah menjatuhkan hukuman bahwa laki-laki sejumlah 600 orang harus dihukum mati, para perempuan dan anak-anaknya dijadikan budak, dan hukuman dilaksanakan. Itu adalah hukuman yang kejam dan berlumur-darah, namun harus diingat bahwa perbuatan kriminal orang-orang itu merupakan pengkhianatan terbesar terhadap Negara dalam pengepungan, dan tak seorang pun merasa kaget pada eksekusi yang dilaksanakan pada suku yang pengkhianat itu.”
Pada keesokan harinya hukuman dari S’ad bin Mu’az r.a. telah dilaksanakan. Perintah Nabi Muhammad s.a.w. bahwa setiap eksekusi harus dilakukan secara terpisah, dan tidak di depan orang yang lainnya. Ketika Huyay bin Akhtab kepala suku Bani Nażir akan dieksekusi, sambil melihat kepada beliau ia berkata: ”Muhammad, aku tidak menyesal telah menentangmu, namun kebenaran adalah, bahwa ia yang meninggalkan Allah akan ditinggalkan juga oleh Allah. Tidak ada obat apa pun yang mampu melawan firman Allah. Ini adalah perintah-Nya dan firman-Nya.”
Ketika Ka’ab bin Asad kepala suku Bani Quraiżah, telah dibawa ke tempat eksekusi, Nabi Muhammad s.a.w. membujuknya untuk memeluk Islam. Ia menjawab: ”Wahai Abu Qasim, aku tidak mau memeluk Islam hanya karena pertimbangan bahwa jika aku lakukan hal itu, maka mungkin aku akan disebut orang yang takut mati. Jadi, biarlah aku mati sebagai Yahudi.”
Zubair bin Batia adalah anggota pimpinan Bani Quraiżah, yang pernah menolong seorang Muslim, Ṡabit bin Qais, yang lalu memohon kepada beliau agar Zubair dapat diampuni, dan disetujui. Ṡabit memberitahu kabar baik pada Zubair. Namun ia menjawab bahwa hidupnya akan berguna jika istri dan anaknya diampuni juga.
Ṡabit kembali menghadap beliau dan menjelaskan apa yang telah dikatakan Zubair, lalu beliau memerintahkan agar istri dan anak Zubair dibebaskan. Ketika Ṡabit berkata pada Zubair tentang hadiah itu, ia berkata lagi: “Bagaimana caranya ia dan istri dan anak-anaknya bisa hidup?”
Lagi-lagi Ṡabit menghadap Nabi Muhammad s.a.w. yang lalu memerintahkan agar harta-bendanya dikembalikan kepada Zubair. Ketika Ṡabit menyampaikan berita terakhir yang diperolehnya, ia bertanya lagi: ”Apakah pemimpin kami Ka’ab bin Asad dan pemimpin Yahudi Arabia Huyay bin Akhtab diampuni?”
Ṡabit menjawab bahwa mereka telah dieksekusi, dan Zubair berkata: ”Kalau mereka telah dieksekusi, apa perlunya aku hidup?”
Orang Yahudi lainnya bernama Rifa’h membujuk seorang perempuan Muslim untuk memohon ampun pada Nabi Muhammad s.a.w., yang lalu dikabulkan dan nyawa Rifa’h diampuni. Ada dua atau tiga lagi contoh yang serupa dan beliau mengabulkan permohonan belas kasihan atas nama orang yang telah dijatuhi hukuman. Tak satu pun permohonan yang ditolaknya.
Seseorang mengingatkan bahwa beliau telah berjanji melaksanakan sepenuhnya putusan S’ad bin Mu’az r.a., dan dijawab bahwa beliau selaku pemimpin boleh melakukan hak prerogatif pengampunan. Ini adalah suatu petunjuk bahwa walau pun beliau terikat dengan putusan S’ad r.a., namun beliau cenderung berbelas kasih.
Kira-kira 400 orang laki-laki Bani Quraiżah telah dieksekusi berdasarkan putusan S’ad bin Mu’az r.a. dan jenazah mereka dikubur atas perintah beliau. Kaum perempuan dan anak-anak Bani Quraiżah ditawan di Madinah. Tapi ada sebagian dari mereka dibebaskan dengan tebusan, dan sebagian dibebaskan oleh beliau sebagai berkat belas kasihan.
Seiring waktu yang berlalu, mereka semuanya menjadi Muslim. Nama-nama Atiyah Qurḍi, Abdur Rahman bin Zubair bin Bafla, Ka’ab bin Salim dan Muhammad bin Ka’ab, adalah orang terakhir yang tercatat masuk menjadi Muslim di zaman itu, oleh para ahli sejarah.
Walau sebagian penulis Barat seperti Stanley-Lane-Poole dan Margoliouth tidak hanya membenarkan eksekusi Bani Quraiżah, namun Margoliouth dalam kata-katanya telah menyatakan hal itu sebagai hal yang tidak bisa dihindarkan dan tidak dapat dielakkan, namun tetap saja ada sebagian dari golongan mereka yang telah mengkritik beliau dalam berbagai terminologi yang sangat kasar.
Untuk menjawab kritikan-kritikan mereka – yang kebanyakannya orang Kristen dan sebagiannya Yahudi -- sebuah contoh kongkrit telah dikutip langsung dari kitab Taurat tentang pelaksanaan hukuman berdasarkan aturan Deutoronomy 20: 10-14 yang dilakukan oleh Nabi Musa a.s., yaitu sbb:
”Musa menyuruh mereka berperang bersama-sama dengan .....
Sesuai dengan perintah Tuhan kepada Musa, orang Israel menyerang orang Midian dan membunuh semua orang laki-lakinya, termasuk lima raja Midian yaitu, Ewi, Rekem, Zur, Hur dan Reba, Bileam anak Beor juga dibunuh.
Orang-orang Israel menawan para perempuan dan anak-anak Midian, dan merampas segala hewan-hewan dan ternak-ternak, serta segala kekayaan mereka.
Kota-kota dan perkemahan mereka pun dibakar.
Setelah itu orang-orang Israel mengambil semua hasil rampasan itu, termasuk para tawanan dan hewan.
Lalu membawanya kepada Musa dan Imam Eleazar dan kepada seluruh ummat Israel. Pada waktu itu mereka sedang berkemah di dataran Moab, di tepi sungai Yordan, dekat kota Yerikho.” (Taurat - Perjanjian Lama, Numbers – Bilangan 31: 6-12)
Telah diterangkan bahwa S’ad bin Mu’az r.a. pemimpin suku Aus telah terluka dalam salah satu pertempuran sewaktu dikepung di Madinah oleh Quraisy dan Sekutu-nya. Setelah pengepungan berakhir, Nabi Muhammad telah memerintahkan bahwa ia harus dirawat di dalam kemah di pelataran mesjid, dan seorang Muslimah bernama Rafeidah yang merupakan seorang perawat ahli, telah ditunjuk untuk merawat yang terluka. Walau telah dirawat begitu rupa, luka S’ad r.a. tidak kunjung membaik dan luka-lukanya berulangkali pecah kembali dan berdarah.
Dalam keadaan seperti itulah, ia telah dipanggil untuk menjadi hakim dalam masalah Bani Quraiżah. Ketika melakukan tugasnya, S’ad r.a. harus menahan rasa lelah dan penderitaan, sehingga kesehatannya langsung menjadi mundur sekali.
Dalam keadaan seperti itu, di suatu malam ia berdoa dengan sepenuh hatinya: ”Ya Allah, Engkau tahu semangat hamba dalam berjuang di jalan agama-Mu melawan orang-orang yang menolak Nabi-Mu dan mengusir dari rumahnya. Ya Allah, hamba mengerti bahwa perjuangan bersenjata antara Quraisy dan kami hampir mencapai akhirnya. Namun jika kehendak-Mu bahwa masih ada pertempuran dengan Quraisy, maka hamba memohon kepada-Mu untuk memberi hamba waktu yang cukup agar hamba bisa turut berperang. Namun jika perlawanan kami terhadap mereka sudah berakhir, maka hamba tidak ingin hidup dan hamba mohon izin-Mu untuk mati syahid.”
Telah diriwayatkan bahwa pada malam yang sama luka-luka S’ad r.a. pecah kembali dan darah banyak keluar sehingga sebagiannya telah mengalir keluar tenda. Mereka yang melihatnya langsung berlari masuk ke tenda dan S’ad r.a. telah sekarat. Ia menarik nafasnya yang terakhir.
Nabi Muhammad s.a.w. amat bersedih atas kematian S’ad s.a.w. yang merupakan kehilangan yang tidak tergantikan bagi ummat Muslim. S’ad bin Mu’az r.a. telah menempati kedudukan tinggi di kalangan Bani Anṣar, sebagaimana perkara yang sama dengan kedudukan Sayidina Abu Bakar r.a. di kelangan Muhajirin. Ketulusannya, ketaatannya, pengorbanannya di jalan Islam, dan cintanya kepada beliau tidak ada bandingannya. Setiap tindakan dan setiap gerakan dirinya, memperagakan cintanya terhadap Islam dan Nabi Muhammad s.a.w. adalah asuhan jiwanya. Karena ia pemimpin suku, ia merupakan sumber agung bagi kekuatan Anṣar. Beliau merasakan suatu kehilangan yang besar sehingga beliau langsung memimpin pemakamannya, turut mengusung kerandanya ke kuburan, memimpin penguburan, dan pulang setelah penguburan selesai dan berdoa di kuburan itu.
Kemudian pada tahun yang sama, sebuah gempa-bumi telah mengguncang kota Madinah, dan beliau mengingatkan ummat Muslim tentang gempa-bumi itu dan tanda-tanda bencana alam lainnya yang harus menjadikan ummat Muslim waspada dari segala segi, dan segera memusatkan perhatiannya dalam berhubungan dengan Allah SWT. Dalam waktu yang berdekatan, beliau telah jatuh dari kudanya dan menderita luka-luka pada kakinya, sehingga mengharuskan beliau untuk Ṣalat dalam posisi duduk.
Pada akhir tahun ke-5 Hijrah, ummat Muslim yang telah mampu melewati segala bentuk cobaan dan bencana, dan setelah menderita kesusahan dan kesulitan yang luar-biasa, dan melalui berkat Allah telah menjadi unggul di Madinah, dan oleh karenanya bahwa pada waktu itu dapat disebutkan, bahwa Negara Muslim telah terwujud. Islam hanya meletakkan prinsip-prinsip dasar tertentu di dalam melaksanakan tata-negara, dan menyerahkan segala rincian tugas yang disesuaikan dengan keadaan waktu, wilayah, negara dan orang-orangnya. Prinsip dasar pertama adalah adanya kesamaan yang sempurna di antara manusia dalam hal memerintah, dan kewenangan bagi pemerintah itu diberikan oleh rakyat, mereka harus memberi amanat untuk memerintah kepada mereka yang paling berhak, Alquran berkata:
Innallāha ya’murukum an tu’addul-amānāti ilā ahlihā wa iżā ḥakamtum bainan-nāsi an taḥkumū bil-adl, innallāha ni’immā ya’iżukum bih, innallāha kāna samī’am baṣīrā. ”Sesungguhnya, Allah memerintahkan kamu supaya menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menghakimi di antara manusia hendaklah kamu memutuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah menasihatimu sebaik-baiknya dengan cara itu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (an-Nisā: 59)
Di dalam ayat ini, memerintah diterangkan sebagai sebuah kepercayaan, maksudnya bahwa otoritas pemerintahan diberikan oleh rakyat yang mempercayakannya kepada yang paling berhak di antara mereka untuk melaksanakan kepercayaan itu. Bagi mereka yang telah dipercaya harus melaksanakannya secara wajar dan adil.
Hal itu telah digambarkan oleh sebuah hadis terkenal yang terdapat pada kumpulan yang dibuat oleh Muslim, dimana di sana diceritakan bahwa Abu Ḍar r.a. salah seorang Sahabat Nabi Muhammad s.a.w., yang telah memohon-mohon kepada beliau agar bisa ditunjuk sebagai seorang gubernur, disabdakan:  ”Abu Ḍar, engkau orang yang lemah, memerintah adalah sebuah bentuk kepercayaan, di Hari Pembalasan nanti akan dibuktikan bahwa jabatan itu adalah sumber penghinaan dan penyesalan, kecuali orang yang dimaksud mampu melaksanakan kewajiban sepenuhnya.” 
Dalam hadis lain yang disampaikan oleh Muslim diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: ”Aku tidak akan menunjuk siapa pun untuk memegang jabatan publik bagi siapa pun yang memintanya atau pun menghendakinya.”
Prinsip dasar lainnya adalah mereka yang dipercayakan untuk memegang kekuasaan dalam urusan publik harus memperolehnya berdasarkan persetujuan dari orang-orang. Misalnya, berbagai watak orang beriman telah  disebutkan:
Wal-lażīnastajābū li rabbihim wa aqāmuṣ-ṣalāh, wa amruhum syūra bainahum, wa mimmā razaqnāhum yunfiqūn. ”Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhan mereka, dan mendirikan Ṣalat, dan dalam setiap urusan mereka, mereka bermusyawarah di antara mereka, dan dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka belanjakan.”  (asy-Syūrā: 39)
Nabi Muhammad s.a.w. sendiri telah diperintahkan:
........ wa syāwirhum fil-amr, fa iżā ‘azamta fa tawakkal ‘alallāh, innallāha yuḥibbul-mutawakkilīn. ”Dan, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan yang penting dan, apabila engkau telah mengambil suatu ketetapan, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (āli-’Imrān: 160)
Itulah dua tiang agung dan kokoh sebagai dasar Negara Islam. Yang pertama, otoritas pemerintahan dipilih oleh rakyat, dan mereka mempercayakan otoritas itu kepada siapa yang paling berhak untuk melaksanakannya; dan yang kedua, bagi dia yang dipercaya memegang otoritas harus melaksanakannya dengan wajar dan adil, dan bermusyawarah dengan rakyatnya. Islam tidak mengakui hak waris atas pemerintahan, atau pun mengizinkan untuk melaksanakan otoritas publik tanpa musyawarah dengan rakyatnya.
Tidak ada ruang bagi kediktatoran di dalam Islam. Perincian untuk memilih atau menyeleksi kepala negara, cara-cara musyawarah dengan rakyat atau wakilnya, ruang-lingkup musyawarah dan lain-lain sebagainya, dikerjakan dan didirikan oleh rakyat menurut keperluan mereka dan menurut keadaan yang berlaku di setiap zaman dan di setiap wilayahnya.
Ada banyak pertimbangan yang akan masuk dalam hal ini, namun hal itu tidak penting atau bahkan tidak diizinkan untuk memasuki arah jalannya suatu riwayat. Perkembangan lanjutan yang sekarang terjadi adalah bahwa Quraisy tidak lagi menjadi pusat penentangan terhadap Islam di Arabia. Sekarang pihak penentang telah meluas di seluruh negara dan lingkup tanggungjawab beliau dan ummat Islam juga turut menjadi luas.
Salah satu akibat dari perluasan cakrawala pandangannya adalah bahwa wilayah otoritas negara Muslim bertambah luas dan sejumlah besar orang-orang non-Muslim menjadi subyek terhadap otoritas itu. Arah yang mendasar dari lingkup ini adalah:
Yā ayyuhal-lażīna āmanū kūnū qawwāmīna lillāhi syuhadā’a bil-qisṭ, wa lā yajrimannakum syana’ānu qaumim ‘alā allā ta’dilū, i’dilū huwa aqrabu littaqwā, wattaqullāh, innallāha khabīrum bimā ta’malūn. ”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri teguh karena Allah, menjadi saksi dengan adil; dan janganlah kebencian sesuatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adil. Berlakulah adil; itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.” (al-Mā’idah: 9)
Setiap perjanjian dan permufakatan yang telah dibuat, atau janji-janji yang telah diberikan kepada setiap orang, harus benar-benar dilaksanakan:
..... wa aufū bil-‘ahdi, innal-‘ahda kāna mas’ūlā. ”Dan tepatilah janji, sesungguhnya janji itu akan ditanyakan.” (Bani Israel – al-Isrā: 35)
Begitu dalam kewajiban itu ditekankan dan didesak untuk dilakukan, walau tugas negara Muslim adalah membantu ummat Muslim menegakkan agamanya, namun kewajiban itu berlaku juga pada setiap permufakatan atau perjanjian yang dibuat negara Muslim dengan negara atau orang non-Muslim:
..... wal-lażīna āmanũ wa lam yuhājirũ mā lakum miw walāyatihim min syai’in ḥattā yuhājirũ, wa inistanṣarūkum fid-dīni fa ‘alaikumun-naṣru illā ‘alā qaumim bainakum wa bainahum mīṡāk, wallāhu bimā ta’malūna baṣīr. ”Dan orang-orang yang beriman tetapi tidak berhijrah, tidaklah kamu berkewajiban melindungi mereka sedikit pun, sebelum mereka berhijrah. Tetapi, jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam urusan agama, maka wajiblah bagi kamu menolong mereka, kecuali terhadap suatu kaum yang antara kamu dengan mereka telah mengikat perjanjian. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Anfāl: 73)
Mengenai subyek orang-orang non-Muslim di dalam Negara Muslim, Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah bersabda: ”Ia yang membunuh siapa pun ketika suatu negara Muslim telah memiliki kewajiban, akan dihalangi dari perjalanannya ke surga.”
Abu Dawūd telah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: ”Jika seorang Muslim berbuat buruk di dalam negara Islam yang memiliki kewajiban, atau menyebabkan kerugian baginya, atau meminta darinya diluar kemampuannya, atau mengambil darinya sesuatu tanpa izinnya, maka aku akan meminta keadilan bagi orang non-Muslim terhadap keburukan orang Muslim di Hari Pembalasan.”
Alquran terus menerangkan:
Lā yanhākumullāhu ’anil-lażīna lam yuqātilūkum fiddīni wa lam yukhrijūkum min diyārikum an tabarrũhum wa tuqsitū ilaihim, innallāha yuḥibbul muqsiṭīn. ”Allah tidak melarang kamu berbuat baik terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan yang tidak mengusir kamu dari rumah-rumahmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku Adil.” (al-Mumtahanah: 9)
Tahun ke-6 Hijrah merupakan salah satu kegiatan yang patut dipertimbangkan. Tidak ada pertempuran yang terjadi atau pun operasi militer besar yang dilakukan. Namun kelompok kecil tetap beroperasi, misalnya menghukum suku-suku yang menentang, atau menyergap kafilah, atau memukul mundur perampok dan perampas. Terdapat sebanyak 17 peristiwa yang telah terjadi selama tahun itu. Pada umumnya berakhir dengan menghilangkan musuh dan menangkap hewan-hewan dan ternak-ternak, mereka juga mengangkat tingi derajat Islam.
Di awal tahun, Nabi Muhammad s.a.w. menerima isyarat bahwa beberapa rancangan penentangan telah dilakukan oleh keluarga Qurta cabang Bani Bakar yang tinggal di ad-Ḍiriyyah di Nejed, kira-kira 7 hari perjalanan dari Madinah. Beliau mengirim detasemen kecil terdiri dari 30 orang bersenjata di bahwa pimpinan Muhammad bin Maslamah Ansari r.a. ke Nejed. Hanya ada sedikit perlawanan karena suku itu menyebar dan meninggalkan para perempuan dan anak-anaknya. Muhammad bin Maslamah r.a. tidak mengambil tindakan apa pun kepada kaum perempuan dan anak-anak, namun menangkap sejumlah unta dan kambing, lalu pulang ke Madinah. Ketika pulang, mereka menangkap 1 orang yang dicurigai turut menentang tapi ia tidak memberitahu identitasnya kepada mereka.
Padahal ia adalah Ṭumamah bin Uṭal dari Yamamah, seorang kepala suku Bani Hanifah yang berpengaruh. Ia sangat menentang Islam dan selalu menyembelih orang Muslim yang tidak berdosa. Di satu saat ia ikut bersekutu untuk membunuh utusan Nabi Muhammad s.a.w. yang dikirim ke salah satu wilayahnya. Di saat lainnya ia merencanakan untuk membunuh beliau sendiri. Karenanya ia sangat menyadari bahwa jika identitasnya diketahui maka ia akan dihukum mati. Ketika kelompok itu tiba di Madinah dan Ṭumamah dihadapkan pada Nabi Muhammad s.a.w., beliau langsung mengenalinya dan bertanya kepada para penangkapnya apakah mereka mengetahui siapakah orang itu. Mereka mengaku tidak tahu dan beliau mengatakan siapa sebenarnya orang itu.
Beliau memerintahkan agar Ṭumamah diperlakukan dengan baik dan mengirim makanan dari rumahnya sendiri. Kemudian beliau memberikan perintah bahwa Ṭumamah harus dikurung di mesjid dan tubuhnya harus diikat di tiang mesjid, agar ia dapat melihat ketika ummat Muslim melakukan Ṣalat farḍu dan seluruh kegiatan lain yang dilakukan oleh beliau dan para Sahabat-nya.
Setiap pagi Nabi Muhammad s.a.w. menemuinya dan bertanya apa yang ada di pikirannya. Thumamah menjawab: ”Muhammad, jika engkau memerintahkan untuk membunuhku, itu wajar saja karena perbuatanku telah mengganggu rakyatmu; tapi jika engkau memperluas kebaikan hatimu, maka aku sangat berterimakasih padamu. Jika engkau sudi menerima tebusan, aku akan menyiapkannya.”
Pada pagi hari yang ke-3 Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan Ṭumamah dilepaskan. Begitu dia dilepaskan, ia segera keluar dari mesjid, dan mereka yang hadir membayangkan bahwa ia akan segera pulang kerumahnya. Namun ia pergi ke kebun yang dekat, lalu membersihkan badannya, kembali lagi ke mesjid dan memeluk Islam langsung di tangan beliau. Selanjutnya ia menyampaikan: ”Ya Rasulullah, ada waktunya ketika aku merasa amat dendam kepadamu dan agamamu dan kotamu; tapi sekarang engkau, agamamu, dan kotamu lebih dekat dihatiku daripada yang lainnya.”
Di belakang hari, Ṭumamah menyampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w: ”Ya Rasulullah, ketika aku ditangkap, aku sedang dalam perjalanan ke Ka’bah untuk melaksanakan Umrah. Sekarang, apakah yang engkau inginkan dariku?”
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda bahwa ia bebas melaksanakan niatnya, dan memberkatinya, lalu Ṭumamah berangkat ke Mekah. Setelah tiba di Mekah dan melaksanakan Umrah, ia mulai menyebarkan Islam secara terbuka di Mekah. Suku Quraisy sangat marah dan menangkapnya, dan akan dihukum mati jika saja tidak ada pertimbangan bahwa ia pemimpin suku Yamamah dan mereka memiliki hubungan dagang yang dekat dengan Yamamah. Mereka memarahinya dan melepaskannya. Ketika ia berangkat, ia berkata pada Quraisy bahwa ia tidak akan menjual jagung kepada mereka dari Yamamah, kecuali diizinkan oleh beliau. Setibanya di Yamamah, ia melaksanakan ancamannya dan menghentikan gerakan kafilah Quraisy yang berjalan melalui Yamamah.
Karena sebagian besar kiriman makanan Mekah datang dari Yamamah, maka dengan segera Quraisy merasakan penderitaan, lalu mereka menulis surat kepada Nabi Muhammad s.a.w. bahwa memandang kekerabatan di antara mereka, dimohonkan agar beliau campur-tangan dan melepaskan penderitaan mereka.
Mereka melanjutkannya dengan mengirim Abu Sufyan ke Madinah dan menerangkan kesusahan mereka kepada beliau dan memohon agar beliau sudi menaruh iba dan mencampuri urusan itu, oleh karenanya beliau mengirim perintah kepada Ṭumamah untuk tidak menahan gerakan pengiriman makanan ke Mekah, dan pengiriman makanan menjadi lancar kembali. Ṭumamah terus menyebarkan Islam dengan giat di antara orang-orangnya dan banyak rakyatnya yang masuk Islam.
Belakangan, tidak lama setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat dan ketika itu banyak orang Muslim di Yamamah yang murtad karena dipengaruhi oleh Musailmah, seorang yang secara palsu menda’wa sebagai nabi, tapi Ṭumamah bukan saja tetap teguh dalam Islam namun melalui upayanya yang setia, ia merebut kembali sejumlah banyak orang-orang yang tadinya telah belot mengikuti Musailmah, serta membantu mereka untuk tetap berteguh hati terhadap Islam. Dia melakukan pelayanan yang amat luar biasa terhadap Islam selama waktu krisis tsb.
Pada suatu waktu, Bani Ṭa’lbah mencari padang rumput, lalu tergiur maju lebih jauh ke luar batas dan mengarah ke Madinah. Sementara itu sekumpulan unta milik orang-orang Muslim dibiarkan merumput di arah yang sama. Mereka merampoknya secara mendadak, dan suku-suku tetangga yang curiga akan hal itu telah berkumpul. Nabi Muhammad s.a.w. mengutus Muhammad bin Maslamah r.a. untuk memeriksa tempat itu dengan disertai 10 orang pengikut guna memastikan apa yang terjadi.
Sampai di Żul Qassa yang berjarak 2 – 3 hari perjalanan dari Madinah, ia dikepung oleh sejumlah banyak orang, diwaktu malam. Setelah melawan sebentar, orang-orangnya dibantai, dan ia sendiri dibiarkan tergeletak di tanah, agar mati dengan sendirinya. Lalu seseorang yang telah mengenalnya kebetulan melewati tempat itu menolongnya pulang ke Madinah.
Pasukan dengan jumlah 40 orang bersenjata lengkap segera berangkat dipimpin oleh Abu Obaidah r.a. guna menghukum perampok, tapi walau mereka telah menyusuri bukit-bukit yang agak tinggi di sekitarnya, namun mereka hanya dapat mengambil hewan dan barang-barang rumahtangga, sedangkan perampoknya sama sekali tidak kelihatan.
Sewaktu musim gugur di tahun itu, sebuah kafilah megah dari Mekah yang melalui jalur pantai menuju Siria telah dirampas di Iṣ, dan barang-barangnya diangkut ke Madinah yang terdiri dari sejumlah besar perak dan para pengawalnya yang telah ditawan. Di antara mereka ada Abul Aas menantu Nabi Muhammad s.a.w. Ia adalah keponakan Sayidah Khadijah r.a. dan seorang pedagang kaya di Mekah. Ia mulai cenderung untuk memeluk Islam, dan ia juga menolak anjuran para pemimpin Quraisy agar ia mencerai istrinya Zainab r.a., putri beliau, dan disuruh memilih salah satu putri mereka sebagai gantinya.
”Aku tidak mau mencerai istriku.” Ia berkata: ”Begitu juga aku tidak menginginkan perempuan lain dari putri-putri kalian.”
Nabi Muhammad s.a.w. amat menghargai ketulusan Abul Aas terhadap Zainab r.a. Kelekatan mereka serupa, karena ketika seluruh keluarganya hijrah ke Madinah, Zainab r.a. pun tetap mengikuti suaminya yang masih non-Muslim itu dan tinggal di Mekah.
Di perang Badar, Abul Aas ikut ditawan, dan ketika Quraisy mengutus orangnya untuk menebus para tawanan, Zainab r.a. menitipkan barang berharganya kepada mereka, untuk menebus suaminya agar bisa bebas. Di antara barang-barangnya terdapat kalung yang dihadiahkan Sayidah Khadijah r.a. pada Zainab. Ketika Nabi Muhammad s.a.w. tersentuh ingatan akan Sayidah Khadijah r.a. beliau sangat terharu, dan bersabda kepada para Sahabat: ”Jika kalian setuju, biarkanlah suami anakku itu dilepaskan, dan berikan kembali barang-barangnya.”
Semua Sahabat setuju, namun sebagai syarat atas kebebasannya Nabi Muhammad r.a. meminta kepada Abul Aas agar ia mengirim pulang Zainab r.a. ke Madinah. Kemudian, ketika telah kembali ke Mekah, Abul Aas mengirim Zainab r.a. dengan unta yang dikawal oleh saudaranya Kinana.
Namun di antara orang-orang Quraisy ada orang-orang yang bermoral rendah, yang lalu memburu Zainab r.a. dan menyuruhnya pulang kembali. Yang pertama muncul adalah Habbar, yang menyerang unta dengan tombaknya, dan hal itu sangat menakutkan bagi Zainab r.a. sehingga ia mengalami keguguran. Kinana langsung menyuruh untanya duduk, lalu merentang busurnya dan mengisi anak panahnya, membuat pemburunya terpojok.
Tiba-tiba Abu Sufyan tiba dan mengajak Kinana berunding: “Engkau tidak boleh begitu.” Kata Abu Sufyan: ”Jika kejadian ini tersebar, tahukah engkau bencana apa yang baru-baru ini terus terjadi karena Muhammad. Keberangkatan putrinya secara terbuka akan dianggap sebagai bukti kelemahan dan penghinaan kepada kita. Namun kita tidak boleh menghalangi putrinya kembali kepada ayahnya, atau kita  melakukan keburukkan padanya. Karenanya pulanglah sebentar ke Mekah, dan jika keonaran ini mereda, pergilah secara diam-diam.”  
Nasihatnya diikuti, dan beberapa hari kemudian, Zainab r.a. dikawal oleh Zaid r.a. yang dikirim untuk menjemputnya, telah tiba di Madinah dengan selamat. Lalu pada 3 -  4 tahun kemudian, Abul Aas telah ditawan kembali bersama-sama dengan kafilahnya di Iṣ.
Ketika kelompok yang menangkapnya tiba di Madinah, maka malam itu juga Abul Aas meminta izin berbicara dengan Zainab r.a. yang lalu memberi jaminan atas perlindungan baginya, lalu ia digabungkan dengan tawanan yang lainnya. Di waktu Ṣalat Subuh, ia berteriak keras dari rumahnya bahwa ia telah memberi jaminan untuk Abul Aas.
Ketika Ṣalat sudah selesai, Nabi Muhammad s.a.w. berbicara di hadapan orang banyak: ”Kalian sudah mendengar, sebagaimana aku mendengar suara putriku. Aku bersaksi di hadapan Allah, bahwa aku tidak tahu tentang jaminannya. Namun janji yang dikeluarkan oleh saudara kita harus ditepati.”
Setelah itu, beliau menemui putrinya, dan menyuruhnya untuk memperlakukan Abul Aas dengan hormat sebagai tamu, namun tidak boleh diperlakukan sebagai suami. Lalu dipanggilnya para penangkap kafilah dan mereka diingatkan akan hubungannya dengan Abul Aas, dan beliau bersabda: ”Jika kalian perlakukan dia dengan baik, dan mengembalikan harta kepadanya maka itu akan membuatku senang; tapi jika tidak, harta rampasan itu milikmu karena telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu, dan kalian berhak untuk memperolehnya.”
Mereka semuanya langsung menyetujui untuk membiarkan tawanan itu bebas pergi dan mengembalikan hartanya kepadanya. Kemurahan hati, dan kelekatannya dengan Zainab r.a. telah sedemikian memikat hati Abul Aas, sehingga ketika ia tiba di Mekah, ia langsung memeluk Islam lalu bergabung kembali dengan Zainab r.a. di Madinah. Namun kebahagiaan mereka tidaklah berlangsung lama, karena Zainab r.a. wafat pada tahun berikutnya disebabkan sakitnya akibat serangan Harbar di Madinah.
Pada waktu yang bersamaan, Madinah masih berkabut pagi, telah dibangunkan oleh teriakan bahaya dari ketinggian Sal’a. Kepala-suku Oyeina dengan pasukan kuda Fezara, telah tiba di dataran Gaba kira-kira beberapa mil dari Madinah, merampok unta milik Nabi Muhammad s.a.w. yang sedang merumput di sana, dan membunuh penggembalanya, serta merampas istrinya. Seorang Anṣari pagi-pagi sekali telah berada di padang rumput itu, dan melihat kelompok perampas, lalu meneriakkan tanda bahaya. Pasukan kuda segera berangkat memburu, dan Nabi Muhammad s.a.w. sendiri dengan 600 orang pasukan mengikuti di belakangnya. Pasukan kuda dengan beraninya menyelinap dari belakang perampas, membantai mereka dan mengambil setengah untanya. Di pihak Muslim telah jatuh korban 1 orang yang tewas.
Nabi Muhammad s.a.w. dengan pasukan utamanya mengejar sampai di Żu Qarad di arah Khaibar, namun para perampok dapat melarikan diri ke arah gurun. Istri penggembala unta selamat dengan menunggang salah satu unta yang tersesat, dan ia bersumpah akan mengorbankan unta itu sebagai tanda terimakasihnya. Ketika ia menjelaskan sumpahnya kepada Nabi Muhammad s.a.w., beliau mengejeknya atas sumpahnya yang tidak tahu rasa terimakasih dan akan menyembelih hewan yang telah menyelamatkan nyawanya, dan bukan ia sendiri yang dikorbankan. Beliau menyuruh pulang dengan damai.
Di tahun yang sama, Dihya r.a. telah diutus oleh beliau untuk menjalankan suatu tugas kepada gubernur Siria. Ia diterima dengan amat ramah, dan dianugerahi pakaian kehormatan. Ketika di jalan menuju kepulangannya ke rumah, ia dirampok habis-habisan di dekat Wadil Qura wilayah suku Juḍam. Lalu suku tetangga yang memiliki perjanjian dengan Nabi Muhammad s.a.w. menyerang para perampok, mengambil kembali harta rampasan, dan mengembalikan pada Dihya r.a.
Ketika berita perampokan diketahui oleh Nabi Muhammad s.a.w., dengan segera beliau mengutus Zaid r.a. dengan 500 pasukan untuk menghukum penjahat. Bergerak di waktu malam dan bersembunyi di siang hari, mereka berhasil menemukan suku Juḍam, membunuh kepala-suku dan beberapa orang lainnya, menawan kaum perempuan dan anak-anak serta hewan dan ternak-ternak. Kebetulan bahwa cabang suku Juḍam yang dihukum itu tidak diketahui oleh Zaid r.a. bahwa mereka telah menyerah kepada beliau. Pemimpinnya buru-buru berangkat ke Madinah dan menggugat beliau untuk memperoleh keadilan.
Karena Nabi Muhammad s.a.w. telah berulang kali menyatakan kesedihannya atas mereka yang tewas disembelih, pemimpin itu menyampaikan bahwa mereka siap melupakan yang tewas karena terjadi salah mengerti, namun para tawanan perang dan ternak-ternaknya diminta untuk dikembalikan kepada mereka. Nabi Muhammad s.a.w. menyetujui permohonan yang adil itu dan mengirim Sayidina Ali r.a. untuk melakukan perbaikan kembali. Ia bertemu dengan Zaid r.a. yang menuju pulang ke Madinah, para tawanan dan harta rampasan diserahkan kepada pemimpinnya.
Segera sesudah itu, Abdul Rahman bin Auf r.a. dikirim dengan 700 orang pasukan dalam ekspedisi militer yang kedua ke Dumatul Jandal, tempat permasalahan berada. Pertamanya ia harus membujuk orang-orangnya, dan bertempur jika terpaksa. Namun, sabda beliau, kamu dilarang menipu atau berkhianat, atau membunuh perempuan atau anak-anak.
Setibanya di Dumatul Jandal, Abdul Rahman r.a. mengundang suku-suku di sekitarnya untuk memeluk Islam, dan diberi waktu tiga hari. Pada waktu itu, Al-Asbag pemimpin Kristen Bani Khalib, menyatakan tunduk dan banyak suku lainnya mengikuti contohnya. Lainnya memilih membayar pajak dengan syarat diizinkan mempertahankan profesi lamanya dalam keimanan Kristen. Abdul Rahman r.a. mengirim kabar gembira atas keberhasilan itu kepada Nabi Muhammad s.a.w., yang pada jawabannya beliau menginginkan agar Abdul Rahman r.a. menikah dengan Tomażir putri kepala sukunya. Lalu Abdul Rahman r.a. menikahinya, yang kemudian melahirkan Abu Salamah, ahli hukum terkenal di kemudian hari.
Telah dijelaskan bahwa sekelompok Bani Nażir, setelah diusir dari Madinah, telah tinggal di Khaibar bersama kerabatnya. Salah satu pemimpinnya, Huyay bin Akhtab telah dieksekusi bersama Bani Quraiżah. Namun satu pemimpinnya yang lain, Sallam bin Abu Huqaiq yang dikenal dengan Abu Rafi’, sekarang menjadi pusat persekongkolan. Ia turut menjadi bagian penting pasukan konfederasi yang mengepung Madinah dan sekarang sibuk menghasut suku Ghaṭfan dan suku-suku lainnya di Nejed untuk melakukan perampokan dan agresi. 5 orang suku Khazraj ditunjuk untuk melaksanakan eksekusi Abu Rafi’, yang dilaksanakan dengan suksesnya.
Lalu posisi Abu Rafi’ di antara Yahudi Khaibar diganti oleh Usair bin Razam, yang tidak kalah sengitnya dalam menentang Islam dan ummat Muslim ketimbang Abu Rafi’. Sekarang ia menentukan pelaksanaan rancangan Abu Rafi’ yang belum sempat dilaksanakan. Tindakan pertamanya adalah berpidato dengan muluk-muluk di depan kerumunan orang-orang Yahudi, dan mengajak mereka melaksanakan rencana barunya yang akan dibantu oleh suku Ghaṭfan dan suku lainnya, sehingga ia akan menyelesaikan tugasnya menghancurkan Islam dan ummat Muslim.
Selanjutnya, ia mengunjungi suku Ghatfan dan suku-suku lainnya di Nejed serta menghasut agar mereka menyiapkan diri dalam operasi militer lainnya untuk menyerang Madinah. Ketika Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui kegiatan itu, beliau mengutus Abdullah bin Rawaha r.a. dengan disertai oleh tiga Sahabat ke Khaibar, untuk mengumpulkan berita intelijen dan setelah dapat agar segera kembali pulang. Ketika mereka kembali, dilaporkan bahwa apa yang mereka lihat dan dengar, tidak ragu lagi bahwa kaum Yahudi telah aktif bergabung untuk melawan Nabi Muhammad s.a.w. dan ummat Muslim.
Pada waktu yang bersamaan, seorang non-Muslim, Kharajah bin Husail tiba di Madinah dari arah Khaibar dan membuat konfirmasi atas laporan Abdullah bin Rawaha r.a. Ia berkata bahwa ia telah membiarkan Usair menyiapkan serangan ke Madinah. Karenanya beliau memutuskan untuk membuat upaya perjanjian dengan Usair agar seluruh komplotan rahasia yang telah terjadi, dan bahaya dan serangan bisa diakhiri dan kedamaian serta keamanan bisa didirikan kembali. Jika Usair bisa dibujuk untuk membatalkan kegiatannya yang kacau dalam melawan ummat Muslim, maka ia akan diakui sebagai pemimpin suku Khaibar.
Dengan bekal pemikiran seperti itu, Abdullah bin Rawaha r.a. dan 30 orang Sahabatnya pergi menuju Khaibar untuk membujuk Usair datang ke Madinah dengan maksud untuk merundingkan kemungkinan itu. Ketika kelompok Abdullah r.a. tiba di Khaibar mereka meminta Usair menjamin keamanan mereka selama berada di Khaibar, dan Usair menyetujuinya untuk kepentingan bersama. Selama pembicaraan berjalan, Abdullah r.a. menjelaskan bahwa maksud beliau adalah mendirikan kedamaian dan keamanan serta mengakhiri segala peperangan dan penentangan, dan cara yang paling baik adalah ia sendiri pergi ke Madinah dan berunding langsung dengan beliau.
Jika pengertian bisa dicapai, Nabi Muhammad s.a.w. akan merasa sangat senang berhubungan dengannya dan mungkin mengakuinya sebagai pemimpin suku Khaibar. Usair menyatakan persetujuannya terhadap rancangan itu dan memanggil seluruh orang-orang penting di antara Yahudi Khaibar untuk bermusyawarah. Kebanyakan dari mereka menentang rencana itu dan untuk membuat Usair merasa segan, mereka tidak mengharapkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan mengakuinya sebagai pemimpin Khaibar.
Tapi ia berkata kepada mereka bahwa menurut penilaiannya, beliau tidak menyukai konflik dan penentangan yang terus berlaku, dan ingin mengakhiri hal itu. Usair bin Razam setuju menemani Abdullah bin Rawaha r.a. dan kelompoknya ke Madinah, dan orang Yahudi terpilih dengan jumlah sama akan ke menemaninya ke Madinah.
Menjadi sangat sulit untuk ditebak apakah ia mempunyai rancangan rahasia terhadap Abdullah r.a. dan kelompoknya, atau apakah ia akan berubah setelah kedua kelompok itu berangkat dari Khaibar dan sedang berada di perjalanan menuju Madinah. Yang terjadi adalah, ketika kedua kelompok itu tiba di Qarqarah yang berjarak 6 mil dari Khaibar dan sedang berada dalam suatu pembicaraan yang ramah, Usair menorehkan tangannya ke sisi pedang Abdullah bin Unais Ansari r.a., lalu Abdullah r.a. yang mengerti kekejian rencananya, melarikan kudanya ke depan dan berputar lagi menuju Usair serta berteriak kepadanya:  Hai Musuh Allah, apakah kamu akan melakukan pengkhianatan?”
Usair diam dan tidak menjawab apa pun. Abdullah r.a. mengulangi pertanyaannya, namun Usair tetap berdiam diri, tapi berperilaku sebagai orang yang siap menyerang. Hal ini mungkin menjadi aba-aba awal bagi ummat Yahudi agar segera menyerang ummat Muslim dan menghancurkan mereka. Kedua belah pihak mencabut pedang, dan walau kedua kelompok itu jumlahnya sama serta banyak orang Muslim yang terluka, namun tak seorang pun terbunuh dan mereka berhasil membunuh semua orang Yahudi.
Abu Sufyan yang merasa frustrasi sejak kabur dari Madinah dan gagal  menaklukan Madinah, merasa sangat terhina dan memikirkan cara terbaik untuk menghilangkan kehinaannya dengan cara membunuh Nabi Muhammad s.a.w. melalui suatu sarana pelaksana. Ia faham bahwa beliau suka bergerak bebas di Madinah, dan menghabiskan sebagian besar waktunya di Mesjid atau tempat lain di antara orang-orangnya, dan tak seorang pun menjaganya sehingga setiap orang yang memiliki rancangan untuk membunuhnya dapat dengan mudah melakukannya. Ia terus memikirkan hal itu, dan pada suatu hari ia menghasut sekelompok pemuda dan menyuruh salah satunya melaksanakan rancangannya, sehingga ia telah menyelamatkan negaranya dari sumber gangguan.
Beberapa hari kemudian, seorang pemuda Badui menemui Abu Sufyan dan berkata bahwa ia datang untuk mengetahui rancangannya, dan ia telah siap melakukannya jika ia ditunjuk sebagai pelaksana, dan minta dibantu untuk mencapai maksudnya. Ia mengatakan bahwa ia sangat mengenal jalur ke Madinah dan ia memiliki golok tajam yang dapat disembunyikan di balik badannya sehingga tak seorang pun akan curiga bahwa ia membawanya. Setelah mendapat peluang baik, ia akan menyerang Nabi Muhammad s.a.w. dan membuat luka parah yang mematikan, lalu ia kabur dan bergabung dengan kafilah sehingga ummat Muslim tidak bisa mencari jejaknya.
Abu Sufyan menyetujui rencana itu, lalu memberinya unta yang bisa berjalan cepat dan persediaan lengkap, serta menjanjikan hadiah besar jika kembali dengan sukses. Ia mengingatkan agar jangan membuka rancangannya itu kepada orang lain. Orang itu berjalan diam-diam di malam hari dan tiba di Madinah dalam 6 hari, serta mendengar Nabi Muhammad s.a.w. sedang berada di mesjid Bani Abdul Aṣhal, dan ia segera menuju kesana pada saat itu juga. Begitu beliau melihatnya di antara orang-orang yang hadir di mesjid, beliau bersabda bahwa orang itu memiliki maksud jahat yang tersembunyi. Mendengar itu, ia bergerak maju menuju beliau, namun Usyad bin Huḍair r.a. kepala suku Aus meringkusnya dan didekap, dan pada pergumulan itu golok yang disembunyikan di balik badannya terlihat.
Ketika ia telah ditaklukkan dan diikat, Nabi Muhammad s.a.w. bertanya agar ia menyatakan sejujurnya siapa dia dan apa maksudnya. Ia menjawab bahwa ia akan membuka semuanya jika nyawanya diampuni. Ia diyakinkan bahwa jika ia berbicara jujur akan dimaafkan, akibatnya ia menyatakan keseluruhan cerita dari awal sampai akhir, dan juga menjelaskan hadiah Abu Sufyan yang dijanjikan kepadanya.
Ia terus tinggal di Madinah beberapa hari dan akhirnya secara sukarela ia masuk Islam. Nabi Muhammad s.a.w. yang diingatkan pada rancangan Abu Sufyan, telah mengirim Amr bin Umayyah Ḍamiri r.a. dan Salamah bin Aslam r.a. ke Mekah untuk mengumpulkan berita intelijen apa saja yang bisa mereka dapatkan, dan jika memperoleh peluang mereka bisa menghabisi Abu Sufyan secara langsung. Ketika tiba di Mekah identitas mereka ketahuan, dan mereka pulang ke Madinah. Di jalan pulang, mereka bertemu dengan dua orang mata-mata Quraisy dan satu orang terbunuh dalam pergumulan serta yang lainnya ditangkap dan dibawa ke Madinah. Waktu itu adalah waktu yang sangat berbahaya bagi ummat Muslim.
Di bawah hasutan pihak Quraisy dan kaum Yahudi, seluruh negeri telah berkobar dalam dendam terhadap mereka. Pada waktu itu musuh-musuh Islam telah meninggalkan rancangan serangan terbuka kepada Madinah, namun menerapkan kebijakan yang menimbulkan gangguan dan kerusakan besar bagi ummat Muslim dengan cara menggunakan peralatan rahasia dan cara-cara yang licik. Salah satu mata rantai dari kejahatan ini adalah rancangan penipuan dari sekelompok laki-laki tertentu yang berasal dari keluarga ‘Ak dan Urainah, anggota suku Badui. 
Delapan orang mereka tiba di Madinah dan mengaku telah mencintai dan melekat terhadap Islam, serta menjadi Muslim. Selang beberapa lama mereka melapor pada Nabi Muhammad s.a.w. bahwa cuaca di perkemahan Madinah mengganggu perut dan limpanya, karena mereka gamang dengan kehidupan kota dan terbiasa hidup di alam terbuka bersama hewan-hewan, sehingga mereka minta izin untuk tinggal di luar kota Madinah.
Nabi Muhammad s.a.w. mengizinkan mereka tinggal di dekat sekumpulan unta yang merumput di dataran selatan Qaba, dan diizinkan untuk meminum susunya. Karena mereka mematuhi nasihat beliau maka mereka cepat menjadi sehat, tapi kemudian secara tiba-tiba mereka menyerang keluarga penggembala unta tersebut, meringkus dan menyiksa keluarga itu dengan berbagai cara, sampai gembala dan keluarganya tewas karena disiksa secara keji oleh kelompok itu. Mereka mengumpulkan unta dan kabur sambil membawa lari untanya.
Salah seorang gembala berhasil melarikan diri, dan melaporkan tragedi itu kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan dengan segera 20 orang bersenjata berangkat memburu serta menemukan mereka berada dalam jarak yang tidak begitu jauh, lalu mereka ditangkap setelah bergumul beberapa saat, dan setelah diikat dengan tali mereka dihadapkan kepada beliau. Kemudian beliau mengenakan hukum Musa kepada orang-orang jahat yang menjadi sekutu kaum Yahudi tersebut dengan disesuaikan situasi yang ada, serta memerintahkan agar mereka diperlakukan dengan cara yang sama sebagaimana mereka memperlakukan korbannya.
Perintah hukum Musa dalam hal itu harus dilakukan sbb:
”Tetapi kalau perempuan itu terkena cedera yang lebih berat, maka hukuman untuk kejahatan itu adalah nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, luka ganti luka, luka bakar ganti luka bakar, bengkak ganti bengkak.” (Taurat - Perjanjian Lama, Exodus - Keluaran 21: 23-25)
dan
”Apabila seseorang membuat orang lain cedera, apa saja yang telah dilakukannya, harus juga dilakukan terhadap dia. Kalau ia mematahkan tulang maka tulangnya pun harus dipatahkan. Kalau ia membuat mata orang lain buta sebelah maka matanya pun harus dibutakan sebelah,. Kalau ia memukul orang lain sampai patah giginya maka giginya pun harus dipatahkan. Apa saja yang dilakukannya sehingga orang lain cacat, harus juga dilakukan terhadapnya sebagai tindakan pembalasan.” (Taurat - Perjanjian Lama, Leviticus - Imamat, 24: 19-20)
Setelah peristiwa itu, Nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu Allah sbb:
Wa jazā’u sayyi’atin sayyi’atum miṡluhā, fā man ’afā wa aṣlaḥa fa ajruhū ’alallāh, innahū lā yuḥibbuẓ-ẓālimīn. ”Dan pembalasan terhadap suatu keburukan adalah keburukan semisalnya, tetapi barang siapa memaafkan dan memperbaiki, maka ganjarannya ada pada Allah. Sesungguhnya, Dia tidak menyukai orang-orang aniaya.” (asy-Syūrā: 4I)
Sebagaimana diterangkan oleh Bukhari, setelah itu Nabi Muhammad s.a.w. mendorong kebaikan hati dan perlakuan baik bahkan terhadap musuh, dan melarang keras perbuatan mutilasi.

----------------- *** -----------------

No comments:

Post a Comment