Saturday, July 2, 2011

BAB - 05. HIJRAH KE MADINAH

Peristiwa Hijrah merupakan titik balik dalam kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. dan juga dalam sejarah Islam serta sejarah dunia. Beliau sangat lekat dengan kota Mekah karena di sanalah beliau dilahirkan dan hidup selama lebih dari setengah abad. Di sana beliau menikah, memiliki anak-anak, dan menerima perintah Allah SWT untuk menghancurkan berhala dan menyeru ummat manusia untuk menyembah-Nya.
Adalah benar bahwa beliau dan ummatnya mengalami kesulitan yang amat berat di Mekah semata-mata demi mempertahankan agamanya. Namun mereka mampu bertahan karena Allah SWT berulangkali menjamin dengan dukungan-Nya dan kemenangan tertinggi. Mereka menanggung siksaan yang paling keji dengan gembira dan teguh hati, dan bagi mereka yang keluar dari Mekah setelah melakukan 2x hijrah ke Abesinia, maka keberangkatan terakhir dari Mekah serasa menjadi suatu renggutan jiwa, tapi kehendak Allah adalah hukum tertinggi, dan mentaatinya adalah sebuah kebahagiaan bagi mereka.
Sampai saat itu, semboyan-semboyan Islam masih sedikit sekali dan amat sederhana namun  mampu menempa penganutnya untuk melakukan pekerjaan yang mengagumkan dan sangat agung. Sebelumnya manusia belum pernah bersaksi pada hal-hal seperti itu yaitu di dalam meningkatkan semangat hidup, dengan keimanan yang mampu membangkitkan pengorbanan dan dijalani dengan gembira semata-mata demi suara hatinya.
Sudah sejak waktu yang sangat lama, Mekah dan seluruh semenanjung penuh dengan kemalasan rohani. Penduduknya tenggelam dalam takhayul, kekejian dan kejahatan. Telah menjadi lazim ketika sang putra sulung memperistri janda-janda ayahnya, sehingga ia bisa mewarisi seluruh kekayaannya. Kesombongan dan kemiskinan telah membuat mereka menjadi pelaku-pelaku kriminil pembunuh bayi perempuan.
Agama mereka adalah penyembahan berhala, dan mereka beriman pada takhayul tergelap mahluk gaib yang mengerikan untuk meredam kemarahan dan kejengkelan dewa-dewinya, dan tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Hidup di akhirat dengan pembalasan atas amal perbuatan yang baik dan yang buruk sebagai dasar bagi perbuatan mereka di dunia, sama-sekali tidak dikenal. Mekah telah mati dalam kondisi rohani yang merosot pada 13 tahun sebelum Hijrah.
Lalu perubahan apa yang telah dihasilkan oleh masa selama 13 tahun itu?
Sebuah kumpulan beberapa ratus orang telah menolak berhala, menyembah hanya pada Yang Maha Esa, berserah diri sepenuhnya kepada bimbingan wahyu Ilahi; sembahyang kepada Allah SWT secara teratur dan bersemangat, memohon ampunan Allah dan berjuang untuk berbuat baik, berderma, hidup dalam kesucian farji dan berkeadilan. 
Mereka menjalani kehidupan dengan pola pikir yang tetap tentang betapa Allah Maha Kuasa senantiasa memelihara takdir-Nya bagi segala rincian urusan mereka. Di dalam segenap anugerah yang alami, di dalam setiap gerak kehidupan, di dalam setiap peristiwa, baik secara umum atau pribadi, mereka melihat bahwa di sana senantiasa tersedia tangan Allah. Di atas segalanya, eksistensi baru yang membanggakan mereka itu, dirujuk sebagai suatu tanda berkah yang khusus dari-Nya.
Nabi Muhammad s.a.w. adalah duta kehidupan mereka, sumber yang dibimbing Allah dari sebuah harapan yang baru lahir, dan kepada-Nya mereka berserah diri sepenuhnya. Dengan gerakan yang mengagumkan itu, maka dalam masa yang begitu singkat Mekah telah terbagi ke dalam dua bagian yang tak menghiraukan lagi lambang lama tentang suku dan keluarga, berbaris sendiri-sendiri dalam pertentangan maut, antara satu dengan lainnya.
Orang-orang yang beriman menanggung siksaan dengan sabar ditambah semangat toleransi dan kesabaran yang luar biasa. Sebanyak 100 orang laki-laki dan perempuan, dengan pertimbangan daripada mengingkari keimanan mereka yang amat mulia, telah meninggalkan rumahnya dan mengungsi untuk menunggu redanya badai yang menghantam mereka, di suatu tempat pengasingan mereka di Abesinia.
Sekarang, dengan jumlah yang lebih besar dan disertai oleh beliau sendiri, mereka Hijrah dari kota dengan Baitullah tercinta, yang bagi mereka merupakan tempat yang paling suci di dunia, dan kemudian pindah ke Yaṭrib. Di sana, di dalam waktu dua atau tiga tahun lagi daya-tarik yang sama mengagumkannya, telah tersedia dalam bentuk kekeluargaan yang siap mempertahankan beliau dan para pengikutnya dengan darah mereka. Ajaran Yahudi telah lama akrab di telinga orang-orang Yaṭrib; namun hal itu terhenti setelah mereka mendengar resapan kendali-jiwa beliau sehingga mereka terbangun dari tidur lelapnya, dan tiba-tiba melompat ke dalam kehidupan baru yang lebih serius.
Begitu menerima perintah Allah untuk segera meninggalkan Mekah, Nabi Muhammad s.a.w. keluar rumah dengan wajah tertutup di tengah panas siang hari bolong pertengahan bulan Juni, dan pergi menuju rumah Sayidina Abu Bakar r.a. serta memberitahu bahwa perintah untuk Hijrah telah diterimanya. Sayidina Abu Bakar r.a. bertanya dengan penuh semangat: ”Ya Rasulullah, apakah hamba boleh menemanimu?” Begitu permintaannya dikabulkan, Sayidina Abu Bakar r.a. menangis gembira, dan berkata: ”Ya Rasulullah, hamba menyiapkan dua ekor unta berpunuk-satu, di bawah daun-daun akasia untuk menghadapi hari ini. Hamba mohon agar engkau bisa menerima salah satu untuk digunakan.” Beliau membeli satu ekor dan Sayidina Abu Bakar r.a. terpaksa menerima syarat itu. Makanan untuk bekal di perjalanan segera disiapkan dan putri sulung Sayidina Abu Bakar r.a. yang bernama Asmāh telah memotong ikat pinggangnya menjadi dua bagian dan dipakai untuk mengikat dua buah bejana sehingga air dan makanan dapat dikemas dengan mudah. Karena peristiwa ini Asmāh dikenal dengan sebutan ”ia yang berikat-pinggang dua.”
Telah disetujui bahwa Nabi Muhammad s.a.w. dan Sayidina Abu Bakar r.a. akan pergi dari Mekah pada malam itu dan bersembunyi di gua Ṭaur. Kemudian beliau pulang kerumahnya. Pada malam itu rumah beliau dikepung oleh para pemuda yang berasal dari berbagai cabang suku Quraisy, dengan rencana akan meringkusnya begitu beliau keluar dari rumah di pagi hari. Beliau juga menyimpan sejumlah uang lainnya yang dipercayakan secara pribadi oleh orang-orang Quraisy kepada beliau. Lalu beliau menyerahkannya kepada Sayidina Ali r.a. dengan pesan bahwa ia tidak boleh keluar dari Mekah sebelum mengembalikan semua uang itu kepada pemiliknya masing-masing. Kemudian ia diperintahkan untuk tidur di kasur beliau, dan dijamin bahwa Allah akan menjaganya dari segala mara bahaya. Sayidina Ali r.a. kemudian berbaring dengan memakai jubah-merah milik beliau. Selanjutnya beliau menyelinap keluar rumah tanpa dikenali oleh para pengepungnya, tak ada satu pun yang menyangka bahwa beliau berangkat dari rumahnya dengan begitu cepat,  kemudian beliau menyusuri jalan-jalan Mekah, meninggalkan kota di belakangnya dan berbelok ke arah gua Ṭaur. Sayidina Abu Bakar r.a. yang telah menunggunya segera bertemu dan keduanya bersama-sama mendaki bukit menuju Ṭaur, sebuah gua yang ada di bukit kira-kira tiga mil di arah selatan Mekah. Sayidina Abu Bakar r.a. memasuki gua tersebut terlebih dahulu, lalu membersihkannya dan kemudian mempersilahkan beliau untuk segera mengikutinya.
Sepanjang malam para pengepung masuk ke rumah beliau secara teratur dengan jarak yang pendek-pendek dan merasa puas karena beliau ada di rumah dan tidur di kasurnya. Pada saat subuh mereka sadar bahwa beliau telah keluar dari rumah tadi malam. Dalam keadaan kecewa mereka mencari beliau di seluruh Mekah namun gagal. Lalu mereka menganiaya Sayidina Ali r.a. dengan sangat kejam namun mereka tidak mendapat keterangan apa pun. Mereka juga pergi ke rumah Sayidina Abu Bakar r.a. dan mengancam putrinya, namun tidak didapat keterangan yang pasti. Ketika jelas diketahui bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah melarikan diri, pihak Quraisy mengumumkan hadiah 100 ekor unta yang amat gemuk bagi siapa saja yang mampu menangkap dan menyerahkan beliau kepada mereka, hidup atau mati. Orang-orang menyebar ke segala arah untuk mencarinya demi mendapatkan hadiah. Para pemimpin Quraisy memanggil pencari-jejak terbaik dan mengikuti jejak para pelarian sampai ke mulut gua Ṭaur, dan mereka melaporkan bahwa dari sana tidak ada jejak lanjutan. Salah seorang pencari jejak mengusulkan agar ada orang yang masuk ke dalam gua dan mencari apakah pelarian itu bersembunyi di sana. Pencari jejak lainnya menolak usulan itu dan menurut pendapatnya tak seorang pun bisa bersembunyi di dalam gua itu karena sudah penuh dengan segala jenis serangga dan reptil yang beracun.
Sayidina Abu Bakar r.a. mendengar pembicaraan di antara para pemburu di luar gua dan merasa sangat khawatir, kemudian berbisik kepada Nabi Muhammad s.a.w.: ”Ya Rasulullah, orang-orang Quraisy berada begitu dekat, bahkan saya bisa melihat kaki mereka di luar gua ini. Jika salah satunya masuk dan mencari ke dalam gua, mungkin kita berdua dilihatnya.” Nabi Muhammad s.a.w. memberi jawaban dan menenangkannya: ”Jangan takut, Allah bersama kita. Abu Bakar, mengapa kamu pikir ada dua, kita bertiga, bersama Allah?”
Para pemburu pun pulang kembali ke Mekah, kecewa.
Sebelum berangkat dari rumahnya, Sayidina Abu Bakar r.a. menyuruh putranya yang cerdik yaitu Abdullah, untuk mengintai gerakan pihak Quraisy dan menyampaikan laporan harian kepada mereka di waktu malam. Ia datang setiap malam ke gua dan turut bermalam di sana. Sayidina Abu Bakar r.a. juga menyuruh Aamir bin Fuhairah penggembala kambingnya, untuk mengirim susu segar ke gua. Mereka melewatkan tiga malam di dalam gua. Telah diatur dengan Abdullah bin Ariqat dari Bani Dail, orang yang terpercaya, dibayar mahal, dan seorang petunjuk jalan yang ahli, agar menyertai mereka dalam perjalanan ke Yaṭrib. Sayidina Abu Bakar r.a. mempercayakan kedua ekor unta berpunuk-satu untuk dirawat olehnya, dan ia diperintahkan untuk membawa kedua ekor unta itu ke gua di malam yang keempat. Ia datang sebagaimana yang diperintahkan dan kelompok empat orang termasuk Aamir bin Fuhairah pelayan Sayidina Abu Bakar r.a. memulai perjalanan ke Yaṭrib. Sesaat sebelum berangkat Nabi Muhammad s.a.w.  mengarahkan wajahnya ke arah Mekah dan bersabda: ”Wahai Mekah, walau engkau dekat di hatiku dibanding lainnya, tapi rakyatmu tidak mengijinkanku tinggal denganmu.”
Karena pengejaran masih mungkin terjadi, kelompok kecil itu berjalan mengarah ke barat menuju pantai, kemudian berbelok ke utara sejajar dengan lautan. Kira-kira tengah hari, mereka beristirahat di bawah naungan batu karang, dan Sayidina Abu Bakar r.a. berhasil memperoleh sejumlah susu segar dari penggembala kambing. Setelah itu mereka meneruskan perjalanan. Tak lama berselang, Sayidina Abu Bakar r.a. memberitahu Nabi Muhammad s.a.w.  bahwa ada seseorang yang terlihat dari jauh sedang memburu mereka, namun beliau menjamin aman.
Sang pemburu itu ternyata bernama Suraqa bin Malik. Versi yang ia alami adalah sebagai berikut:
Ketika Muhammad lari dari Mekah, Quraisy mengumumkan bahwa siapa saja yang bisa menangkap dan membawa Muhammad dan Abu Bakar ke Mekkah -- hidup atau mati -- maka ia akan diberi hadiah yang sangat besar. Pengumuman mereka telah disampaikan kepada kami juga. Kemudian, ketika sedang duduk-duduk bersama suku kami sendiri yaitu Bani Maḍlaj, datanglah seorang Quraisy dan berkata kepada saya: ”Aku baru mengintai sekelompok orang yang berjalan ke arah pantai, dan aku menyangka bahwa mereka adalah Muhammad  dan sahabatnya.” Saya pikir ia mungkin benar, namun untuk menghentikannya, saya berkata padanya bahwa ada orang-orang lain yang baru lewat di dekat kita.
Kemudian saya menyelinap untuk menyiapkan kuda, saya ambil tombak dan berangkat diam-diam dari belakang rumah. Saya bergerak cepat dan segera terlihat Muhammad dan para sahabatnya. Kuda saya tersandung dan saya jatuh ke tanah, tapi saya cepat bangun mengambil alat nujum dan panahnya. Petunjuk panah menyatakan saya tidak boleh meneruskan rencana tsb, tapi saya mengingkarinya dan naik kuda terus memburu sampai mendekat kepada buruan sehingga saya bisa mendengar Muhammad membaca sesuatu. Saya perhatikan beliau tidak pernah menoleh ke arah saya sekali pun, tapi Abu Bakar berulang kali melihat saya. Ketika saya maju lebih mendekat sedikit, kuda saya tersandung lagi dan kakinya terbenam di tanah, dan saya jatuh kembali. Saya berdiri dan menolong kuda untuk mengeluarkan kakinya dari pasir. Dalam upaya itu, tiba-tiba awan pasir terbentuk di sekeliling kami. Saya ambil lagi alat nujum dan hasilnya sama saja, dan saya membatalkan rencana serta memanggil kelompok itu dengan nada damai, mereka berhenti.
Pengalaman telah meyakinkan saya bahwa bintang Muhammad sedang menanjak dan beliau akan menang pada akhirnya. Begitu mendekat pada mereka saya menyampaikan bahwa Quraisy akan memberi hadiah besar bagi yang bisa membunuh, menangkap dan membawa mereka ke Mekah, tadinya saya ikut namun sekarang saya batalkan. Saya menawarkan makanan pada mereka, namun tidak diterima. Saya diberi nasihat agar tidak memberi tahu siapa pun tentang mereka. Saya memohon agar Muhammad memberi jaminan dengan tulisan. Beliau menyuruh Aamir bin Fuhairah menulisnya pada selembar kulit. Ketika akan pergi, beliau bersabda kepada saya: ”Suraqa, bagaimana rasanya jika kamu memakai gelang Kusroe?” Saya kaget dan bertanya: ’Apa! Gelang Khusroe bin Hormus, Kaisar Iran?” Beliau bersabda, “Ya”.”
Suraqa memeluk Islam setelah jatuhnya kota Mekah. Di zaman Sayidina Umar r.a. ketika Persia sudah berada di bawah dominasi kekuatan Muslim, barang berharga bekas milik Kaisar Khusroe II bin Hormus-IV atau biasa disebut dengan nama Kushroe Parvez bin Hormus jatuh ke tangan mereka dan telah diangkut ke Madinah sebagai bagian dari pampasan perang. Termasuk di dalamnya terdapat gelang Khusroe II yang bertatahkan permata yang tidak ternilai harganya. Sayidina Umar r.a. memanggil Suraqa dan menyuruh ia mengambil gelang itu.
Tidak lama setelah kelompok itu berpisah dengan Suraqa, mereka bertemu Zubair bin Awam r.a. yang pulang ke Mekah dengan rombongan kecil setelah dagang di Siria. Zubair menghadiahkan pakaian-putih kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan Sayidina Abu Bakar r.a., dan menyatakan bahwa ia akan segera kembali dari Mekah dan bergabung ke Yaṭrib. Orang-orang lain yang ditemui selama perjalanannya, banyak yang kenal dengan Sayidina Abu Bakar r.a. dan bertanya kepadanya tentang siapa orang yang yang menunggang unta di depannya. Sayidina Abu Bakar r.a. menjawab dengan mengatakan: ”Beliau adalah petunjuk jalan bagi kami.” maksudnya bahwa beliau adalah guru rohani, namun yang dimengerti oleh yang bertanya bahwa ia adalah orang yang disewa Sayidina Abu Bakar r.a. sebagai petunjuk jalan. Setelah berjalan selama 8 hari kelompok kecil itu mendekati Yaṭrib. Ummat Muslim di Yaṭrib telah mengetahui bahwa Nabi Muhammad s.a.w.  telah berangkat dari Mekah dan berjalan menuju Yaṭrib. Telah beberapa hari mereka keluar kota Yaṭrib untuk menyambut beliau, namun setelah menunggu sampai sore mereka pulang dengan kecewa.
Di hari kedatangan, mereka baru saja tiba di rumah masing-masing ketika mereka mendengar seorang Yahudi, yang karena berbagai alasan telah berdiri di ketinggian dan melihat Nabi Muhammad s.a.w. beserta sahabatnya mendatangi dari kejauhan, dan ia berteriak: ”Wahai orang Arab, orang yang kalian tunggu-tunggu telah mendekat.” Ketika mendengarnya maka ummat Muslim sangat berbahagia dan segera mengambil senjatanya, kemudian keluar dari kota untuk menyambut pengelana yang termashur itu. Ketika Bani Anṣar pertama kali melihat Nabi Muhammad s.a.w. kebahagiaannya tak terkirakan. Mereka merasa telah dianugerahi berkat yang tidak terkira di dunia dan di akhirat. Bukhari menyampaikan bahwa Brā bin Aazib berkata bahwa tidak ada peristiwa lainnya yang membuat Anṣar menyatakan kebahagiaan secara spontan sebagaimana kedatangan beliau di Yaṭrib.
Tirmiḍi dan Ibnu Majah menyampaikan bahwa Anas bin Malik berkata: ”Pada hari dimana Nabi Muhammad s.a.w. tiba di Madinah kami melihat kota ini seperti bercahaya, dan pada hari ketika beliau wafat terlihat oleh kita bahwa Madinah tidak pernah segelap itu.”
Setelah menyalami mereka yang telah keluar untuk menyambutnya, beliau tidak langsung menuju kota, namun berbelok sedikit ke arah kanan dan tiba di Qaba, suatu kawasan berjarak kira-kira dua mil dari kota dan berada di ketinggian. Sebagian anggota Bani Anṣar tinggal di Qaba dan yang paling dikenal adalah keluarga Amar bin Auf. Pada saat itu kepala-sukunya dijabat oleh Khultum bin Hadam. Bani Anṣar yang tinggal di Qaba menyambut gembira kedatangan itu karena beliau memilih tinggal di rumah Khultum bin Hadam. Mayoritas Muhajirin yang tiba sebelum beliau telah ditempatkan di sana oleh Khultum bin Hadam dan para pemimpin lainnya. Mungkin oleh karena itulah beliau memilih untuk berhenti di Qaba. Berita tentang kedatangannya menyebar dengan cepat di Yaṭrib dan dengan gembira ummat Muslim mengunjungi beliau di sana. Sebagian dari mereka yang belum pernah bertemu menyangka bahwa Sayidina Abu Bakar r.a. adalah Nabi Muhammad s.a.w., karena walau umurnya lebih muda namun wajahnya kelihatan lebih tua, dan tidak ada petunjuk apa pun yang menunjukkan bahwa salah satu dari mereka adalah beliau.
Setelah Nabi Muhammad s.a.w. tiba di Yaṭrib maka kota itu dikenal dengan sebutan Madinatun Nabi (Kota Nabi), yang kemudian disingkat menjadi Madinah. Berselang tiga hari sejak kedatangan beliau di Yaṭrib, Sayidina Ali r.a. juga tiba dari Mekah dan bergabung dengan beliau. Hal yang pertama menarik perhatian beliau adalah membangun mesjid di Qaba, kemudian beliau memasang batu fondasi yang diselesaikan dalam beberapa hari oleh para Sahabat dengan tekun dan penuh semangat sebagai buruh dan pembangun. Beliau terus menerus terpaut hatinya pada mesjid ini sampai wafatnya. Setelah tiba di Madinah pada setiap minggunya beliau pergi ke Qaba dan memimpin Ṣalat di mesjidnya. Dan beberapa firman Allah diperkirakan merujuk kepada mesjid ini.
..... lamasjidun ussisa ’alat-taqwā min awwali yaumin aḥaqqu an taqūma fīh. ”Sesungguhnya masjid yang pondasinya diletakkan atas taqwa semenjak hari permulaan, kamu lebih berhak berdiri untuk Ṣalat di dalamnya.” (at-Taubah: 108)
Ummat Muslim telah membangun beberapa mesjid sebelum mesjid itu didirikan, namun fondasi mesjid itulah yang dilakukan sendiri oleh beliau pada hari pertama beliau tiba di Qaba. Sejak beliau masih di Qaba, ummat Muslim Madinah mulai mulai mengira-ngira dengan siapa beliau akan tinggal di Madinah. Setiap keluarga mengharapkan dapat menerima berkah dengan menjadi tuan rumah bagi beliau. Ketika beliau mengetahui hal itu, maka beliau mengisyaratkan bahwa akan tinggal dengan Bani Najjar karena Salmah yaitu ibunda kakek beliau - Abdul Muṭalib, berasal dari sana. Dan setelah tinggal lebih dari 10 hari di Qaba, beliau mulai bergerak menuju kota utama pada hari Jumat. Beliau diiringi oleh banyak orang yang berasal dari Anṣar dan Muhajirin. Beliau menunggang unta dan Sayidina Abu Bakar r.a. menyusul dibelakangnya. Perjalanan itu lambat dan waktu Ṣalat tiba ketika mereka masih dalam perjalanan. Beliau berhenti di tanah milik Bani Salam bin Auf dan memberikan khotbah serta menjadi Imam Ṣalat Jumat. Sebetulnya, Ṣalat Jumat telah berjalan di Madinah, namun hari itu adalah hari pertama Ṣalat Jumat yang dipimpin oleh beliau sendiri.
Sesudah Ṣalat, perjalanan dilanjutkan diiringi dengan dendang puji-pujian. Di setiap langkahnya dengan penuh harap beliau diundang singgah oleh ummat Muslim yang rumahnya dilewati. Beliau berterimakasih kepada setiap orang dan meneruskan perjalanannya sampai untanya berhenti di halaman Bani Najjar, yang anggota sukunya telah berdiri berjajar menyambut beliau diiringi gadis-gadis yang menyanyikan dendang puji-pujian dari atap-atap rumah. Di sini timbul lagi pertanyaan, dengan siapa beliau akan tinggal. Setiap orang dari suku-suku itu sangat berharap bahwa beliau akan tinggal bersamanya. Saking bersemangatnya, maka sebagian dari mereka telah memegangi tali kekang untanya.
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: ”Biarkanlah unta-ku itu bebas, ia dibimbing oleh kehendak Allah SWT.”
Unta itu bergerak maju lalu duduk sebentar, dan tiba-tiba ia berdiri dan bergerak maju beberapa langkah, kemudian ia mundur kembali dan duduk di tempat pertama. Mengamati hal itu, beliau bersabda: ”Allah menghendaki bahwa di situlah aku harus bertempat tinggal.”
Lalu beliau membongkar barang-barang dan memeriksa rumah siapa yang terdekat. Abu Ayub Ansari r.a. mendatangi beliau dan menyampaikan: ”Ya Rasulullah, itu adalah rumahku dan pintunya ada di sini. Kami menyambut dengan gembira.”
Beliau menjawab: ”Baik, sekarang pergilah dan siapkan tempat untuk aku tinggal.”
Abu Ayub r.a. pergi untuk mengadakan persiapan dan kembali lagi beberapa menit kemudian, lalu beliau pun pergi bersamanya ke rumah itu. Rumah itu bertingkat-dua dan Abu Ayub r.a. menyarankan agar beliau tinggal di lantai dua, namun beliau lebih suka tinggal di lantai satu agar mudah bertemu dengan para pengikutnya. Malamnya Abu Ayub r.a. dan istrinya tidak bisa tidur walau hanya sejenak karena terganggu pikiran bahwa mereka berada di atas beliau, sehingga pada pagi harinya Abu Ayub dengan sikap amat hormat memohon agar beliau sudi pindah ke lantai dua, dan beliau menyetujui permohonan itu. Beliau terus tinggal di rumah Abu Ayub r.a. selama beberapa bulan ke depan sampai konstruksi mesjid dan kamar yang akan digunakan oleh beliau selesai dibangun. Abu Ayub r.a. mengirim makanannya kepada beliau dan ia serta istrinya hanya menyantap sisa-sisa makan itu. Seringkali makanan untuk beliau dikirim oleh orang Muslim lainnya, salah satunya dari S’ad bin Ubadah r.a. kepala-suku Khazraj, yang telah secara khusus diterangkan biografinya.
Umi Salim r.a. seorang janda Muslimat taat dan punya anak Anas bin Malik r.a. yang berumur 10 tahun. Ia membawa anaknya kepada beliau dan menyampaikan: ”Ya Rasulullah, saya serahkan anak saya untuk melayani engkau dan saya memohon agar sudi memberkatinya, dan menerimanya sebagai pelayan.” Beliau berterimakasih dan memberkati, ia melayani sampai beliau wafat. Karena Anas r.a. memiliki peluang untuk memperhatikan beliau dari dekat, maka sejumlah besar hadis-hadis dinarasikan di bawah wewenangnya. Anas r.a. memelihara hadis Nabi Muhammad s.a.w. selama lebih dari 80 tahun, dan wafat di Basra dalam keadaan sehat ketika umurnya mencapai lebih dari 100 tahun. Ia sering berkata bahwa melalui doa Nabi Muhammad s.a.w. untuknya, ia merasa diberikan berkat dalam setiap hal, dan ia tidak pernah membayangkan bahwa hal itu dapat terjadi.
Tidak lama berselang setelah beliau tiba di Madinah, Zaid bin Hariṭa r.a. dikirim ke Mekah menjemput anggota keluarganya, dan mereka semuanya selamat tiba di Madinah. Bersama dengan mereka, tiba juga Abdullah bin Abu Bakar r.a. dengan semua anggota keluarga Sayidina Abu Bakar r.a. Di Madinah juga perhatian pertama beliau terletak pada pembangunan mesjid. Tanah tempat unta beliau pertama-berhenti di Madinah adalah milik dua orang anak Muslim yaitu Sahal r.a. dan Suhail r.a., yang dirawat oleh Asad bin Zararah r.a. Tanah itu kosong dan ditumbuhi beberapa pohon kurma serta di salah satu sudutnya terdapat rumah tua yang sudah rusak. Beliau membeli tanah itu untuk mesjid dan ruangannya sendiri seharga 10 dinar.
Lokasi itu dibersihkan dari pohon-pohon dan rumah tua dibongkar serta disiapkan untuk membangun mesjid. Beliau memasang fondasi batunya dengan didahului doa, dan sebagaimana terjadi di Qaba, para Sahabat  bekerja sebagai pembangun dan juga buruhnya. Beliau sendiri kadang-kadang ikut juga membantu bekerja di sana. Mesjid itu dibangun dengan batu-bata dan batu-pecah yang didirikan dengan tiang pancang dari kayu. Atapnya ditutupi dengan batang dan ranting pohon kurma, dan di masa awalnya Nabi Muhammad s.a.w. menyampaikan khotbah Jumat dengan bersandar pada salah satu tiangnya. Beberapa tahun kemudian sebuah mimbar disediakan untuk beliau. Awalnya lantai mesjid itu tidak dikeraskan, dan ketika hujan turun airnya bocor dari atap sehingga lantainya jadi lumpur. Karenanya, beberapa saat kemudian lantai mesjid itu dikeraskan dengan batu kerikil. Mesjid itu menghadap ke Yerusalem – Baitul Maqdis, namun di bawah perintah Allah ketika Qiblat dirubah dan ditetapkan ke Baitullah, lalu mesjid itu dirubah mengarah ke Ka’bah.
Tinggi mesjid kira-kira 10 kaki, panjangnya 105 kaki dan lebarnya 90 kaki. Di masa datang mesjid itu telah diperluas beberapa kali. Di luar salah satu sudut mesjid terdapat suatu anjungan tertutup dan dikenal dengan sebutan Suffah. Anjungan dipakai tempat istirahat bagi para Muhajirin miskin yang tidak punya rumah. Anjungan itulah rumah mereka sehingga dikenal dengan Tempat-tinggal Suffah. Mereka menikmati kebersamaan dengan Nabi Muhammad s.a.w. hampir sepanjang waktu, dan mereka sibuk dengan sembahyang dan tilawah Alquran. Mereka tidak memiliki sarana-sarana yang tetap untuk mata pencaharian mereka. Nabi Muhammad s.a.w. merawat mereka dengan cara membagi apa pun kepada mereka apa yang beliau peroleh untuk beliau dan keluarganya. Sekali-kali ketika mereka akan pergi, maka apa yang ada diberikan kepada Tempat-tinggal Suffah. Anṣar juga memperlakukan mereka dengan ramah-tamah, sesuai kemampuannya. Walau pun demikian orang-orang itu sering mengalami kelaparan. Hal itu terus berlangsung selama beberapa waktu sampai sebagian anggotanya memperoleh pekerjaan, dan badan-zakat telah mampu membantu mereka.
Rumah beliau sendiri yang hanya suatu ruangan seluas beberapa kaki persegi, terletak dekat sekali dengan mesjid. Salah satu pintunya membuka ke arah mesjid dan melalui pintu itulah beliau masuk ke mesjid untuk Ṣalat dll. Ketika jumlah istrinya bertambah, tiap ruangan baru dibangun lagi untuk setiap orang dan menyambung dengan ruang utama. Mesjid itu adalah mesjid Nabi Muhammad s.a.w.  di Madinah - mesjid Nabawi. Karena di sana tidak ada bangunan publik dimana urusan-urusan publik dapat diselenggarakan, maka mesjid itu juga dipakai sebagai markas-besar pemerintahan. Setiap harinya beliau lebih banyak menghabiskan waktunya di mesjid. Mesjid menjadi tempat bermusyawarah dan juga tempat bagi pengadilan Islam. Seluruh perintah dikeluarkan dari sana. Tempat itu juga digunakan untuk tamu. Belakangan, ketika sangat dibutuhkan, tahanan perang juga dikurung di sana.
Sir William Muir menulis (Life of Mahomet, hal. 177):
”Walau hanya dibuat dengan bahan-bahan biasa dan ukurannya tidak istimewa, Mesjid Muhammad  sangat mulia di dalam sejarah Islam. Di sini, Muhammad dan Sahabatnya menghabiskan waktunya; ṣhalat farḍu dan ṣalat sunah telah diperkenalkan untuk pertama kalinya, dan di sini kumpulan besar terjadi setiap Jumat, mendengarkan firman Allah dengan hormat dan terpesona. Di sini, beliau membuat rencana kemenangan, menerima duta-duta dari suku-suku yang menyesal dan kalah; dan dari sinilah dikeluarkan keputusan yang menghantui para pemberontak sampai ke pinggiran semenanjung. Kemudian, beliau wafat di dalam kamar Siti Aisyah, dan di sana, bersebelahan dengan kedua orang Khalifah pertama dan kedua, beliau dimakamkan.”
Bangunan mesjid dan rumah-rumah yang bersebelahan telah diselesaikan dalam waktu kurang lebih 7 bulan, dan beliau dengan istrinya Sayidah Saodah r.a. pindah ke ruangannya. Para muhajirin yang tidak mampu membeli tanah di area mesjid telah membangun rumahnya di mana saja mereka bisa memperolehnya, kadang-kadang berjarak sangat jauh dari mesjid, dan sebagiannya mampu membeli rumah dari Bani Anṣar.
Waktu Ṣalat telah ditetapkan namun belum ada pengaturan tentang Pengumuman, yang memberitahukan bahwa waktu Ṣalat sudah tiba. Ummat Muslim datang ke mesjid untuk Ṣalat sesuai dengan perkiraan mereka sendiri-sendiri tentang waktu tepatnya, namun hal itu tidak memuaskan mereka. Ketika mesjid telah dibangun mulai terpikir bahwa di sana harus ada suatu alat yang bisa digunakan untuk memanggil ummat Muslim melakukan Ṣalat. Perundingan diadakan dan berbagai usulan disampaikan, dan pada akhirnya Sayidina Umar r.a. mengusulkan bahwa harus ditunjuk seseorang guna mengumumkan bahwa waktu Ṣalat telah tiba. Nabi Muhammad s.a.w.  menyetujui usulan itu dan memerintahkan agar Bilal r.a. melakukan tugas tersebut. Kemudian Bilal r.a. menjadi terbiasa melakukan Pengumuman dengan suara kerasnya pada setiap waktu Ṣalat tiba, dan ummat Muslim berdatangan setelah mendengarnya. Pengumuman lainnya juga dilakukan seperti itu untuk memanggil ummat Muslim ke mesjid jika ada keperluan lainnya.
Beberapa saat kemudian Abdullah bin Zaid Ansari r.a. diajarkan tentang Ażan di dalam mimpinya, dan hal itu ia sampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang mengetahui bahwa itu adalah perintah Allah, lalu beliau menyuruh Abdullah r.a. mengajarkan Ażan kepada Bilal r.a. Ketika Bilal r.a. melakukan Ażan untuk pertama kalinya, Sayidina Umar r.a. segera menemui beliau dan melapor bahwa ia juga mendengar kalimat yang sama di dalam mimpinya. Ażan tersebut berlaku sampai dengan sekarang. Tak seorang pun menolak bahwa panggilan Ażan adalah yang paling berkat dan cara yang paling tepat dalam memanggil orang-orang untuk Ṣalat. 5x sehari Ażan terdengar dari setiap mesjid di seluruh dunia, di setiap kota dan di setiap desa yang didiami oleh ummat Muslim, pengumuman itu dibuat Yang Maha Esa di dalam masa  Kenabian Nabi Muhammad s.a.w., dan di dalam ungkapan yang pendek terdapat penjelasan yang lengkap tentang ajaran Islam.
Ṣalat telah menjadi kewajiban sejak Nabi Muhammad s.a.w. masih berada di kota Mekah, dan kecuali untuk Ṣalat Magrib yang terdiri dari 3 raka’at maka Ṣalat-Ṣalat lainnya hanya dilakukan 2 raka’at saja. Setelah Hijrah ke Madinah maka beliau sesuai perintah Allah telah menetapkan 4 raka’at untuk 3 waktu yang lain selain Ṣalat Subuh dan Ṣalat Magrib, kecuali dalam perjalanan maka sistem lama yang digunakan. Nabi Muhammad s.a.w., telah mendasarkan penegasan yang utama dalam bentuk-bentuk ibadah di dalam Ṣalat. Beliau mengajarkan bahwa di dalam Ṣalat seseorang sedang mengadakan perjumpaan dengan Allah. Pribadi beliau sendiri sangat menyukai Ṣalat sehingga ada tambahan pada Ṣalat Farḍu yaitu Ṣalat Tahajjud yang lama sekali dan dilakukan setelah tengah malam, sehingga kaki beliau sampai terluka. Beliau sering memperhatikan bahwa Ṣalat adalah hiburan teragung bagi jiwanya.
Pada saat itu ummat Muslim di Madinah terbagi menjadi dua katagori yaitu mereka yang Hijrah ke Madinah dari Mekah atau tempat lain yang dikenal dengan Muhajirin; dan mereka yang asli dari Madinah, dan karena mereka memberikan tempat bagi beliau dan para Muhajirin dan telah menolongnya, maka mereka dikenal dengan kaum Anṣar (Penolong). Muhajirin umumnya miskin, karena walau pun mereka orang kaya di Mekah namun tidak dapat membawa apa pun ketika melaksanakan Hijrah. Kaum Anṣar menghibur para Muhajirin dengan ramah dan tidak mengharapkan apa-apa. Nabi Muhammad s.a.w. menggunakan cara tertentu dalam memperkuat ikatan persaudaraan antara Muhajirin dan Anṣar. Beliau memanggil mereka secara bersama-sama dan membuat ikatan khusus antara Muhajirin dan Anṣar, dan dengan cara itu kira-kira ada 90 orang yang benar-benar menjadi pasangan saudara, satu dari Muhajirin dan satu dari Anṣar.
Ikatan persaudaraan seperti itu dalam prakteknya ternyata lebih kuat dari yang benar-benar saudara kandung. Anṣar menawarkan kebun-kebunnya untuk dibagi dengan saudara Muhajirin, namun karena mereka tidak terlatih di bidang pertamanan atau pertanian, akhirnya Anṣar yang mengerjakan taman dan holtikultura dll, namun hasilnya dibagikan kepada saudara Muhajirin. Sistem ini berjalan terus dan perlahan-lahan Muhajirin mampu berdagang dan memiliki kekayaan sendiri, sehingga mereka bisa melepaskan bantuan Anṣar.
Salah satu contohnya bisa dikutip dengan ilustrasi sebagai berikut:
”Abdul Rahman bin Auf r.a. mengikat tali persaudaraan dengan S’ad bin Rabi’ Ansari r.a. Dan S’ad bin Rabi’ Ansari r.a. membuat daftar inventaris seluruh kekayaannya dan disampaikan kepada Abdul Rahman r.a. dan memintanya untuk dibagi dua. Dengan semangat membagi dua dengan saudaranya itu, ia bertindak terlalu jauh karena ia menawarkan untuk mencerai salah satu istrinya dan akan dinikahkan dengan Abdul Rahman r.a. setelah masa idahnya berakhir. Abdul Rahman r.a. menyatakan terimakasih kepada S’ad r.a. dan memberkatinya namun ia berkata bahwa semua itu tidak diperlukan olehnya, dan ia cuma meminta ditunjukkan jalan agar ia bisa berdagang di pasar. Lalu Abdul Rahman r.a. memulai dagang kecil-kecilan sampai ia mampu menjadi orang ternama dan sangat kaya. Setelah Hijrah ke Madinah ia menikahi seorang gadis muda Anṣar, dan ketika ia melapor lepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang pernikahannya, ia ditanya maskawin apa yang diberikan pada gadis itu. Abdul Rahman r.a. menjawab bahwa ia memberikan emas sebesar biji kurma untuk maskawinnya, beliau bersabda: ”Engkau harus mengadakan walimah, walau terbatas hanya pada daging seekor domba.”
Peristiwa itu menunjukkan bahwa Abdul Rahman r.a. telah mampu mengadakan walimah dengan ukuran sederhana. Dalam sistem persaudaraan ini, dinyatakan juga bahwa jika saudara Ansari wafat, maka saudara Muhajirinnya berhak atas warisan. Sistem itu berlaku kira-kira dalam 2 tahun lebih sampai dibatalkan dengan perintah Allah. Itu adalah suatu perangkat yang unik yang memberikan manfaat besar dalam suatu masa yang rawan bagi masyarakat kecil Muslim yang sedang berkembang. Para Muhajirin tidak saja dibantu secara ekonomi, namun di berikan kepastian dan kenyamanan yang amat besar dalam keadaan lemah tersebut, sehingga mereka langsung merasa betah sejak dari mulai tiba di Madinah. Mereka merasa berada di rumahnya sendiri dan suatu ikatan jiwa yang kuat telah terbentuk antara mereka dengan saudaranya dari Madinah.”
Dengan demikian, setibanya beliau di Madinah, penduduknya terbagi dalam kelompok-kelompok sebagai berikut:
1.      Muslim Muhajirin dan Muslim Anṣar.
2.      Anggota suku Aus dan Khazraj yang telah menjadi Muslim dalam namanya saja, tidak begitu percaya kepada Islam dan memiliki rancangan rahasia terhadap beliau dan ummat Muslim. Mereka orang-orang yang tidak setia dan dikenal sebagai kaum munafik.
3.      Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menyembah berhala namun cepat menjadi Muslim dan berbaur dengan mereka.
4.      Kaum Yahudi yang terdiri dari tiga suku utama, Bani Qainuqa, Bani Nażir dan Bani Quraiżah.
Ini adalah suatu situasi yang penuh dengan kemungkinan bahaya di masa depan dan membutuhkan pengaturan dan koordinasi yang amat kuat, utamanya oleh karena eksistensi ummat Muslim penuh dengan penderitaan dan sedang berada di bawah ancaman pihak Quraisy yang ingin menghancurkan Islam dan ummat Muslim. Oleh karenanya, begitu telah mapan di Madinah, beliau mengadakan rapat dengan perwakilan Muhajirin, Aus dan Khazraj, serta suku-suku Yahudi guna berkonsultasi, dan mengundang mereka untuk mendirikan suatu sistem kerjasama yang menguntungkan semua pihak sehingga resiko perselisihan dapat dihilangkan dan keamanan Madinah menjadi terjamin. Setelah sibuk bertukar pendapat, akhirnya dapat dicapai persetujuan yang kemudian dituliskan, dengan syarat-syarat utama sebagai berikut:
1.      Ummat Muslim dan kaum Yahudi berhubungan atas dasar simpati dan ketulusan, dan tidak melibatkan diri dalam tindakan buruk dan agresi antara satu dengan lainnya.
2.      Semua bagian penduduk Madinah bebas menjalankan agamanya masing-masing.
3.      Jiwa dan harta-benda seseorang harus aman dan dihormati, hukum dan ketertiban harus ditegakkan dengan baik.
4.      Semua perbedaan yang timbul harus dilaporkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan beliau akan memutuskannya sesuai dengan hukum Syari’ah dan adat istiadat dari masing-masing bagian penduduk Madinah.
5.      Tidak ada satu kelompok pun yang boleh berperang tanpa izin beliau.
6.      Jika terjadi agresi terhadap kaum Yahudi atau ummat Muslim, kedua belah pihak harus bergabung untuk memukul agresor.
7.      Jika Madinah diserang, seluruh kelompok harus bergabung untuk melawannya.
8.      Dalam keadaan apa pun kaum Yahudi tidak boleh membantu pihak Quraisy atau memberi kenyamanan atau menyembunyikannya.
9.      Seluruh kelompok bertanggung jawab sendiri atas segala biaya yang timbul.
10.    Perjanjian itu tidak memberi kekebalan kepada yang melakukan kejahatan, berdosa atau pembuat kekacauan.
Karena adanya perjanjian ini maka hubungan antara ummat Muslim dan kaum Yahudi menjadi teratur, dan dasar-dasar pemerintahan di Madinah telah terwujud, dimana setiap bagian bebas menjalankan agamanya dan memiliki otonomi masing-masing sehubungan dengan urusan internalnya, namun harus bergabung dalam sistem pemerintahan pusat yang dijabat oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Pada waktu itu terdapat dua pribadi yang istimewa yang menjadi anggota dari bagian suku Aus dan Khazraj. Salah satunya adalah Abdullah bin Ubayy bin Salul, kepala-suku Khazraj. Ia memeluk Islam hanya dalam namanya saja setelah perang Badar, kemudian ia menentang Islam dan menjadi pemimpin kaum munafik di Madinah. Penyebab utama penentangannya adalah, karena sebelum beliau Hijrah ke Madinah, ternyata suku Aus dan Khazraj telah menderita kerugian yang amat besar baik nyawa atau harta bendanya, akibat dari perselisihan mereka yang berpuncak di perang Bu’aṭ, lalu mereka bersemangat sekali untuk hidup damai dan telah memilih Abdullah bin Ubayy sebagai penguasanya. Hal itu berhubungan dengan mahkota yang telah disiapkan baginya. Hijrah-nya Nbi Muhammad s.a.w. ke Madinah telah membubarkan rancangannya. Abdullah bin Ubayy kecewa dan sakit hati sehingga setelah itu pendapatnya selalu menentang beliau dan ummat Muslim.
Pribadi yang menentang lainnya adalah Abu Aamir, kepala-suku Aus. Ia yang banyak bepergian ke berbagai negara, cenderung memeluk Kristen, namun berpura-pura sebagai guru agama bebas. Ia telah dikenal sebagai seorang rahib. Ketika beliau tiba di Madinah, ia selalu menjadi penentangnya namun karena tidak puas lalu ia pindah ke Mekah disertai beberapa pengikutnya. Di perang Uhud ia bertempur membantu pihak Quraisy, sedang anaknya Hanzalah r.a. yang setia pada Islam, telah syahid di dalam perang itu untuk mendukung Nabi Muhammad s.a.w. Abu Aamir terus tinggal di Mekah sampai kota itu jatuh dan pindah ke Taif. Ketika Taif juga jatuh ke pelukan Muslim, ia berangkat ke Siria dan bersatu dengan Bizantin dalam melawan Islam, namun tidak mampu mencapai apa yang diinginkannya. Ketika di Madinah ia memanggil Nabi Muhammad s.a.w. dengan “ia yang Terkucil dan Terbuang.” Akhirnya justru ia sendiri yang tewas di Siria dalam keadaan terkucil dan terbuang.
Beliau tidak lama merasa aman di Madinah karena Abdullah bin Ubayy menerima surat ancaman dari pihak Quraisy sbb: ”Kamu sembunyikan orang kami, dan kami bersumpah demi Allah jika anda tidak menolak dan memusuhinya, maka anda akan diserang dengan segenap kekuatan kami dan akan orang-orangmu akan ditebas dengan pedang dan perempuan kalian akan dijadikan budak.”
Begitu menerima surat itu Abdullah bin Ubayy dan konco-konconya mengadakan persiapan untuk menyerang beliau. Ketika beliau mengetahui hal itu, dengan segera Abdullah bin Ubayy ditemui dan telah dijelaskan bahwa jika ia menyerangnya maka hal itu merupakan tindakan bunuh diri baginya, karena ia harus berhadapan dengan orang-orangnya sendiri yang sudah menjadi ummat Muslim yang setia. Beliau menasihati untuk menimbang baik dan buruknya sebelum mereka mengambil tindakan agar tidak menyesal kemudian. Lalu mereka sadar atas kesalahannya dan tetap menjaga perdamaian.
Pihak Quraisy yang merasa kecewa atas kegagalan rencananya, lalu mengirim surat yang sama isinya kepada orang-orang Yahudi. Mereka juga berlaku sama dan menahan diri. Itu adalah suatu petunjuk yang jelas bahwa pihak Quraisy masih amat sangat memusuhi Islam dan ingin sekali menghancurkannya. Jika mereka yang telah menyembunyikan beliau dan ummat Muslim juga akan dibantai dan dirampok keseluruhannya, bisa dibayangkan betapa jahatnya rancangan mereka terhadap beliau. Surat mereka kepada Abdullah bin Ubayy dan kaum Yahudi tidak hanya mendadak namun juga bukti dari kemarahan yang meluap; itu adalah suatu petunjuk bahwa mereka telah memutuskan untuk menghancurkan Islam.
Sebagian konsep kekejaman dan kebrutalan mereka dapat dilihat di bawah ini:
S’ad bin Mu’az r.a. kepala-suku Aus yang setia kepada Islam pergi ke Mekah dan tinggal di rumah teman lamanya, Umayyah bin Khalf salah seorang kepala-suku Quraisy. Karena faham akan berbahayanya keadaan Mekah, ia meminta temannya Umayyah untuk menemaninya ṭawaf di Ka’bah, dengan harapan dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Lalu Umayyah menemani S’ad bin Mu’az r.a. ke Ka’bah pada siang hari ketika tidak banyak orang yang berkunjung.
Tapi, pada waktu itu Abu Jahal tiba juga di sana, dan ia marah ketika melihat S’ad bin Mu’az r.a. ditemani oleh Umayyah, kemudian ia menemui dan bartanya: ”Hai Abu Safwan, siapa temanmu itu?” Dan ia dijawab dengan terang-terangan: ”Ia adalah S’ad bin Mu’az, kepala suku Aus.”
Lalu, Abu Jahal marah kepada S’ad bin Mu’az r.a.: ”Kamu pikir setelah menyembunyikan pengkhianat itu, terus kamu merasa aman  melakukan ṭawaf di Ka’bah? Kamu pikir kamu punya kekuatan untuk menjaga dan membantunya? Aku bersumpah demi Allah, andaikan kamu tidak ditemani Abu Safwan, kamu hanya akan pulang nama.”
S’ad bin Mu’az r.a. tidak tahan untuk menjawabnya: ”Jika kamu coba menahan kami dalam ṭawaf di Ka’bah ini, kamu tidak akan aman jika bepergian ke Siria.”
Umayyah berusaha menyabarkan S’ad bin Mu’az r.a. dan memintanya untuk tidak berteriak kepada Abul Hikam, tapi S’ad bin Mu’az r.a. menjawabnya: ”Umayyah, jangan ikut campur. Aku tidak bisa melupakan nubuatan Nabi Muhammad s.a.w. bahwa di kemudian hari kamu akan mati di tangan orang Muslim.”
Umayyah sangat gelisah dan ketika sampai di rumahnya ia menyampaikan pada istrinya apa yang ia dengar dari S’ad bin Mu’az r.a. dan berkata: ”Aku bersumpah bahwa aku tidak akan pergi dari Mekah untuk melawan kaum Muslim.” Akan tetapi, walau dengan sangat segan, ia pergi juga ke perang Badar dan terbunuh di sana.
Kira-kira pada waktu yang sama, Walid bin Mugirah ayah Khalid bin Walid jatuh sakit, dan ketika ia tahu bahwa perang hampir selesai ia mulai menangis. Beberapa pemimpin Mekah yang hadir di situ merasa kaget dan bertanya kepadanya, tentang mengapa ia menangis.
Walid menjawab: ”Jangan sekali-kali kamu pikir aku menangis karena takut mati. Aku menangis karena keimanan Muhammad mungkin akan menyebar dan kekuasaannya akan meliputi Mekah.”
Abu Sufyan bin Harb menghiburnya dengan kata-kata: ”Jangan kuatir. Sepanjang kami masih bernafas hal itu tidak akan terjadi. Kami menjamin hal itu.”
Di lain pihak, ummat Muslim di Madinah tidak menyadari rancangan Quraisy. Mereka percaya penuh pada janji Allah tentang keamanan bagi mereka, namun ada juga perasaan khawatir akan kesengsaraan yang mungkin dialami oleh mereka. Pada awalnya mereka menjadi begitu khawatir sehingga tidak bisa tidur lelap di malam harinya, karena tidak tahu kapan serangan akan tiba. Nabi Muhammad s.a.w. adalah orang yang paling waswas karena beliau memikul tanggung jawab bagi keamanan ummat Muslim. Telah dicatat oleh Nasai bahwa pada masa awal di Madinah, beliau hanya tidur sedikit saja di malam hari.
Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan:
Pada akhir suatu senja, Nabi Muhammad s.a.w.  bersabda: “Andai saja ada sahabatku yang bisa berjaga-jaga, mungkin aku bisa tidur sejenak.” Selepas itu, kami mendengar suara senjata beradu, dan beliau bertanya: “Siapa itu?” Jawabannya adalah: “Ya Rasulullah, hamba S’ad bin Waqqas. Saya datang untuk menjagamu.” Setelah mendengar itu beliau bisa tidur sejenak.’
Nabi Muhammad s.a.w.  selalu waspada. Pada suatu malam terdengar suara ribut-ribut dan orang-orang keluar dari rumahnya, karena ingin tahu apa yang menyebabkannya. Beberapa orang menuju ke arah dari mana suara itu timbul. Mereka tidak melanjutkan langkahnya karena melihat beliau datang dari arah berlawanan dan naik kuda Abu Talha r.a. dengan pedang tergantung di pinggang. Ketika tiba di dekat kumpulan orang-orang, beliau menjamin tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan, karena beliau baru saja memeriksa sumber suara ribut tersebut. Tentunya beliau masih terjaga ketika suara ribut itu terdengar dan langsung menuju ke arah suara itu.
Pihak Quraisy tidak hanya mengandalkan pada surat yang dialamatkan kepada Abdullah bin Ubayy dan kaum Yahudi yang ada di Madinah saja. Mereka juga membuat propaganda melawan ummat Muslim di seluruh negeri sejauh mereka bisa mencapainya, dan karena mereka merasa memiliki gengsi sebagai penjaga Ka’bah, maka propaganda keras mereka diharapkan dapat mempengaruhi seluruh suku-suku Arab agar melawan ummat Muslim. Kafilah-kafilah mereka ditingkatkan untuk menyebar propaganda sejauh mungkin.
Kesemua itu telah meningkatkan rasa khawatir ummat Muslim di Madinah. Hadis menyatakan bahwa seluruh Arabia bersatu menentang mereka dan ummat Muslim selalu membawa senjata di siang hari, serta mereka tidak melepas senjata walau di malam hari. Mereka ragu apakah mereka bisa selamat sampai pada saat ketika mereka dapat tertidur lelap dengan damai di malam hari tanpa rasa takut di hatinya terkecuali rasa takut terhadap Allah.
Keadaan mereka di waktu itu dengan jelas diterangkan dalam Alquran sebagai berikut:
Ważkurū iż antum qalīlum mustaḍ ’afūna fil-arḍi takhāfūna ay yatakhaṭṭafa kumunnāsu fa āwākum wa ayyadākum bi naṣrihī wa razaqakum minaṭ-ṭayibāti la’allakum tasykurūn. “Dan, ingatlah saat ketika kamu masih sedikit, dipandang lemah di muka bumi, dan kamu merasa takut manusia akan merenggut kamu, namun Dia memberikan tempat berlindung kepadamu di kota Madinah dan memperkuat kamu dengan pertolongan-Nya, dan Dia memberi kamu rizki dari yang baik-baik, supaya kamu bersyukur.” (al-Anfāl: 27)
Posisi ummat Muslim saat itu di Madinah, dalam beberapa hal lebih berbahaya ketimbang di Mekah. Karena adat-istiadat dan perjanjian sukunya telah mengikat mereka, walau bagi mereka yang berasal dari suku tertentu atau lainnya memiliki suatu derajat keamanan, tapi di Madinah mereka tidak hanya menjadi sasaran ancaman pihak Quraisy tapi juga merasa takut pada rancangan dan cara-cara kaum-munafik, serta tidak sepenuhnya terjamin dari perilaku orang-orang Yahudi.
Di tahun pertama setelah Hijrah bayi pertama Muhajirin telah lahir dan diberi nama Abdullah bin Zubair, dan kelahiran itu sangat menggembirakan para Muhajirin. Zubair bin Awan r.a. ayah si bayi, adalah keponakan pertama Nabi Muhammad s.a.w., yang menikah dengan Asmāh putri sulung Sayidina Abu Bakar r.a.. Ia adalah ibu sang bayi. Abdullah r.a. bertumbuh sebagai Muslim yang setia dan terpelajar serta memainkan peran penting dalam Sejarah Islam di masa awal. Tapi, di tahun itu juga, Nabi Muhammad s.a.w. dan ummat Muslim merasa sangat sedih atas meninggalnya dua orang pemimpin Anṣar yang terkenal yaitu Khultum bin Hadam r.a. yang pernah menampung beliau di rumahnya di Qaba, dan Asad bin Zararah r.a. yang merupakan orang pertama dari ke-6 orang Yaṭrib yang pertama-tama menjadi Muslim setahun sebelum Bai’at Aqabah yang Ke-1.
Mus’ab bin Umair r.a. guru Islam pertama di Madinah telah menetap di rumah Asad bin Zararah r.a. dan ia juga mendirikan pengajian dan Ṣalat Jumat di Madinah. Sebagai tambahan, Asad r.a. juga merupakan salah satu dari ke-12 orang yang telah ditunjuk oleh beliau setelah Bai’at Aqabah yang Ke-2. Di dalam sakaratul mautnya Kepala-Suku Bani Najjar itu memohon pada beliau untuk menunjuk seseorang untuk menggantikannya. Karena kepala-suku tidak diperlukan lagi, mereka diberitahu bahwa tidak perlu dipilih seorang pemimpin lagi karena beliau sendiri yang menjadi pemimpin mereka.
Walid bin Mugirah dan Aas bis Wail, dua orang pemimpin Quraisy yang berpengaruh, juga meninggal di tahun yang sama. Mereka adalah orang yang sangat dihormati di Mekah tapi menjadi musuh besar Islam. Anak-anak mereka, Kalid bin Walid dan Amir bin Aas memeluk Islam dalam beberapa tahun mendatang dan memainkan peran penting di awal Sejarah Islam.

----------------- *** -----------------

No comments:

Post a Comment