Saturday, July 2, 2011

BAB - 12. PERJANJIAN HUDAIBIYAH - GENCATAN SENJATA

Sekarang kita mendekati peristiwa terpenting di tahun ke-6 Hijrah, yang mengandung kemungkinan-kemungkinan yang teramat besar, guna membuka jalan kemenangan akhir bagi Islam di seluruh Arabia. Nabi Muhammad s.a.w. dan mereka yang telah ikut Hijrah bersamanya, sejak saat itu tidak pernah melihat kota kelahirannya, atau sembahyang di Baitullah, atau melaksanakan Umrah, yang sejak kecilnya telah mereka anggap sebagai bagian penting dari kehidupan sosial dan keagamaan mereka. Sejak perubahan Qiblat dari Yerusalem ke Mekah, maka seluruh perhatian beliau dan ummat Muslim telah terkonsentrasi kepada Mekah. Mereka rindu untuk mengunjungi kembali pemandangan sewaktu kecil dan melakukan ṭawaf di Ka’bah. Demikian, kira-kira pada waktu itulah beliau melihat dalam kasyafnya, bahwa beliau dan para Sahabat sedang melakukan ṭawaf di Ka’bah.
Satu dari empat bulan suci telah mendekat dan selama waktu itu seluruh peperangan dan pertentangan, sesuai adat istiadat Arab, harus dihentikan. Nabi Muhammad s.a.w. menyampaikan kasyaf-nya kepada ummat Muslim dan setiap orang merindukan pelaksanaannya. Telah diberitahu bahwa tidak ada perang atau pertandingan, pintu gerbangnya menjadi sunyi. Jika beliau dan ummat Muslim datang di waktu Ka’bah berada dalam pelukan damai masa naik haji, Quraisy akan terikat oleh segala janji-janji keimanan nasionalnya untuk tidak mengganggu mereka. Di pihak lainnya, jika Quraisy menyerang, maka tuduhan akan jatuh kepada mereka; dan walau demikian, kekuatan ikatan masa naik haji akan dapat menjamin keamanan.
Dengan cepatnya berita itu sampai kepada Muhajirin dan Anṣar yang menjadi penuh semangat atas panggilan itu, dan segera melakukan persiapan untuk perjalanan. Suku-suku Arab di sekitar Madinah yang telah memiliki hubungan yang bersahabat dengan beliau juga dipanggil, namun hanya sedikit yang datang. Ketika persiapan perjalanan telah lengkap, beliau menunggang untanya, Qaswa, dan memimpin iring-iringan 1.500 orang jemaah haji ke Żul Halifah yang berjarak 6 mil dari Madinah dan itulah pemberhentian ke-1 di jalan menuju ke Mekah.
Di situ rombongan berhenti dan beliau memerintahkan agar mereka mengenakan pakaian haji dan menyerukan Talbih (Labaik Allāhuma labaik, Ini hamba, Ya Allah, ini hamba). Hewan-hewan qurban sebanyak 70 ekor unta telah disiapkan, ornamen-ornamen digantungkan di lehernya, dan ditandai di sebelah kanannya. Beliau mengirim pengintai, Busra bin Sufyan dari Bani Khuzā untuk segera pergi ke Mekah dan kembali lagi dengan berita intelijen tentang perilaku Quraisy. Lalu, pasukan dengan 20 ekor kuda di bawah pimpinan Abbad bin Biṣri r.a. diperintahkan maju mendahului rombongan utama untuk memberi tanda jika ada bahaya.
Rombongan haji bergerak maju dengan menempuh jalan umum. Mereka tidak bersenjata dan hanya yang lazim dibawa dalam perjalanan yaitu pedang bersarung, busur dan anak panahnya. Di dalam perjalanan untuk ziarah haji kali ini, beliau disertai oleh istrinya yaitu Umi Salamah r.a.
Informasi bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan tiba di Mekah telah membuat Quraisy bersemangat, meski tujuannya suci dan perilaku Muslim tidak dalam keadaan bersiap perang. Suku-suku di sekitar Quraisy digabungkan, dan mereka memakai senjata lengkap serta berjaga-jaga di jalan ke Mekah, siap mati ketimbang mengizinkan ummat Muslim masuk ke kota. Pasukan yang terdiri dari 200 orang dipimpin Khalid bin Walid dan Ikramah bin Abu Jahal, telah siap maju di depan.
Rombongan haji Muslim hampir tiba di Osfan yaitu pemberhentian ke-2 sebelum Mekah, ketika sang pengintai tiba dan membawa berita bahwa Quraisy telah berkemah di Żu Towa, dengan pakaian kulit harimau panther. Para istri dan anak-anaknya ikut bersama pasukan, dan mereka telah bersumpah bahwa lebih baik mati ketimbang rombongan Muslim lewat dengan selamat. Sesaat kemudian pasukan kavaleri Mekah telah terlihat dari jauh, dan pasukan kuda Muslim maju ke depan untuk memeriksa.
Bergerak maju di jalan raya menjadi tidak mungkin lagi, Nabi Muhammad s.a.w. menyuruh rombongan berhenti, dan dengan petunjuk jalan lalu belok ke kanan mengambil jalur yang aman dari kuda-kuda musuh, dan setelah perjalanan yang melelahkan melalui jalur jalan yang rusak dan berliku-liku, rombongan tiba di Hudaibiyah, suatu dataran terbuka di pinggiran wilayah suci yang mengelilingi Mekah. Di situ unta beliau berhenti dan menaruh kaki depannya dengan kokoh di tanah, dia tidak mau bergerak lebih maju lagi.
‘Ia kelelahan.’  kata orang-orang yang mendesaknya maju.
”Bukan.” Sabda Nabi Muhammad s.a.w.: ”Qaswa bukan kelelahan, namun tangan yang sama telah menghentikannya sebagaimana dulu menahan Gajah.” Beliau menyinggung serangan Abrahah ke Mekah.: ”Oleh Allah SWT.” Beliau melanjutkan: ”Tidak ada perang dengan pihak Quraisy pada hari ini, dan demi kehormatan Baitullah, akan saya tolak.”
Beliau lalu mendesak untanya agar maju dan sang unta menurut pada isyaratnya. Beliau menyuruh untanya berjalan sampai ke ujung akhir dataran terbuka itu dan berhenti di dekat sumur-air. Namun, sumur itu tertutup pasir dan hanya ada sedikit air atau sumur itu sama sekali tidak ada airnya. Beliau mengambil anak panah dari tabung penyimpan dan meminta satu orang  turun ke sumur dan mengorek pasir yang menghalanginya dengan anak panah itu. Lalu air memancur keluar dari sumur itu. Malam itu turun hujan besar dan semua orang mencemaskan bahwa persediaan airnya akan tergusur air hujan yang deras. Kemudian beliau melihat bahwa sebagian pengikutnya menerima tibanya sang fajar dengan keimanan yang lebih kuat, namun sebagiannya masih ragu-ragu.
Ia yang berkata bahwa Allah telah menurunkan hujan karena berkat dan belas kasih-Nya, ia telah berserah diri kepada realita keimanan, tapi ia yang berkata bahwa hujan turun karena ada pengaruh dari planet maka ia percaya kepada planet dan menolak Allah. Lalu beliau menanamkan kebenaran pada pengikutnya bahwa walau pun ada sistem sebab dan akibat dalam suatu fakta, namun keimanan terhadap Allah Yang Maha Esa memerlukan syarat bahwa orang-orang yang beriman tidak perlu memperhatikan adanya penyebab apa pun yang menghalangi dan juga sumber-sumbernya, tapi memantapkan perhatian hanya kepada Allah Ta’ala Yang menjadi Penyebab dari semua akibat.
Jalan dari Hudaibiyah ke jalur Mekah berbelok-belok. Quraisy tidak segera mengetahui bahwa rombongan haji Muslim mengambil jalur itu, dan mereka pulang ke kota untuk bertahan, lalu mulai mengirim wakilnya untuk memastikan maksud dari ummat Muslim. Hudaibiyah hanya berjarak 9 mil, dan komunikasi menjadi mudah dan cepat. Budail bin Warqa pemimpin Bani Khuzā, suku yang bertetangga, disertai kelompok orang-orangnya adalah yang pertama tiba. Ia memberitahu Nabi Muhammad s.a.w. tentang situasi Quraisy, dan maksud mereka yang tidak memberi izin Muslim masuk kota.
Beliau menerangkan: ”Kami datang bukan untuk berperang. Maksud kami hanya melakukan Umrah. Aku menyesalkan bahwa Quraisy masih memperlihatkan rancangan untuk perang. Aku bahkan telah siap jika mereka menghentikan perang denganku, dan aku bebas bergerak dengan yang lain. Jika aku disapu bersih, Quraisy tidak perlu khawatir padaku lagi, namun Allah menganugerahkan kemenangan padaku atas mereka, dan imanku menjadi amat besar, orang Mekah tidak perlu segan untuk menerimaku. Namun, jika mereka tidak setuju dan memaksa terus berperang, maka atas nama Dia yang dalam tangan-Nya jiwaku berada, aku tidak akan mundur sampai tubuhku terbaring di jalan-Nya, atau Allah memberiku kemenangan.
Budail sangat tersentuh oleh ucapan beliau, dan berkata bahwa jika ia diberi tenggang waktu, ia akan kembali ke Mekah dan mengusahakan suatu perjanjian. Beliau setuju dan Budail dengan pasukannya kembali ke Mekah. Setibanya di Mekah, Budail berkata kepada pemimpin-pemimpin Quraisy bahwa ia telah bertemu dengan Nabi Muhammad s.a.w. yang mengajukan usulan, dan ingin ia utarakan kepada mereka. Mendengar itu, sebagian orang Quraisy yang memiliki semangat-tidak-layak dan tidak bertanggungjawab menyatakan bahwa mereka tidak mau mendengar berita apa pun, namun sebagian pemimpin Quraisy yang lebih serius, ingin mendengar apa yang akan disampaikan oleh Budail.
Setelah mendengar berita, Urwah bin Masūd pemimpin Ṭaqif yang berpengaruh dan kebetulan sedang berada di Mekah berdiri, dan setelah mendapat persetujuan Quraisy bahwa ia dipercaya penuh oleh mereka, ia berkata: ”Menurut hemat saya, Muhammad telah membuat usul yang baik, dan saya pikir kalian harus menerimanya. Jika kalian mengizinkan, saya akan pergi menemuinya dan berunding dengannya.” Setelah didukung Quraisy, Urwah menemui Nabi Muhammad s.a.w., yang lalu mengulangi apa yang telah beliau sampaikan pada Budail. Pada prinsipnya Urwah telah setuju, namun sebagai utusan Quraisy ia menjawab kepada beliau: Muhammad, jika perang terjadi dan engkau menghancurkan rakyatmu, maka engkau akan menjadi orang pertama di Arab yang melakukan perbuatan buruk, dan jika Quraisy mengalahkanmu maka semua pengikutmu akan mengingkarimu.
Lalu Sayidina Abu Bakar r.a. berdiri dan dengan ramahnya ia menyesalkan tuduhan itu. Urwah tidak mengindahkannya, dan tetap serius pada pembicaraannya, dan sesuai dengan adat-istiadat Badui, ia mengangkat tangannya untuk memegang janggut beliau.
”Mundur!” Tiba-tiba satu orang penonton maju, memukul tangannya: ”Tahan tanganmu dan jangan menyentuh Nabi Allah.”
’Siapa ini?’ tanya Urwah yang kaget kepada pemuda kasar berambut merah yang tidak dikenalinya karena ia memakai tutup-kepala.
”Aku anak keponakanmu, Mugirah bin Ṣu’bah.” Jawab orang itu.
”Oh kamu, orang yang tak tahu berterimakasih.” Dia menjawab: ”Mungkin, namun seperti kemarin juga aku telah menyelamatkan nyawamu.”
Hal ini, merupakan sebuah gambaran lain yang terjadi ketika mereka sedang berunding dan hal itu telah membuat Urwah merasakan betapa besar kecintaan dan ketaatan ummat Muslim terhadap Nabi Muhammad s.a.w., oleh karenanya ia ingin memberi kesan kepada pihak Quraisy ketika ia membawa pulang berita yang serupa dengan yang dilaporkan oleh Budail. Namun suku Quraisy tetap kokoh pada pendiriannya. Apa pun maksudnya, Nabi Muhammad s.a.w. dilarang masuk kota dan menunjukkan kekuatan, karena akan membuat mereka rendah di mata seluruh orang Arab.
Katakan padanya.” Mereka berkata: ”Pada tahun ini ia harus pulang, tapi tahun depan ia boleh datang, dan masuk Mekah untuk melakukan Umrah.
Urwah berkata kepada mereka: ”Aku telah banyak berkelana, dan telah bertemu Caesar, Khusroe, dan Najaṣi, namun aku belum pernah melihat satu orang pun di antara mereka yang dihormati dan disegani begitu rupa, sebagaimana yang aku saksikan sendiri terhadap Muhammad oleh pengikutnya. Nasihatku adalah bahwa usulan dia wajar dan adil, dan kalian harus terima.
Mendengar ceramahnya, Halis bin Alqamah kepala suku Bani Kananah, menawarkan diri untuk pergi dan mencari jalan keluar. Ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat Halis dari jauh, beliau bersabda kepada para Sahabat: ”Orang yang datang itu berasal dari suku yang menyukai pemandangan ketika hewan-hewan diqurbankan. Kumpulkan hewan-hewan qurban itu dan bawa ke depan sehingga ia menyadari apa maksud kita datang ke sini.
Lalu mereka membawa hewan-hewan qurban sambil mengucapkan Takbir: ”Allāhu Aqbar.” Dan unta-unta qurban pun telah terkumpul di depan utusan pihak Quraisy. Menyaksikan pemandangan itu, ia berkata: ”Mulialah Allah, orang-orang ini jemaah haji, dan sama sekali tidak boleh dihalangi untuk melakukan ṭawaf di Ka’bah.’
Jadi ia segera menemui pemimpin Quraisy dan berkata kepada mereka bahwa ia telah melihat hewan-hewan qurban milik ummat Muslim, dan dia yakin bahwa niat mereka hanyalah melakukan Umrah, dan mereka tidak boleh dihalangi dalam ritual ṭawaf. Tapi suku Quraisy tidak mengindahkannya: ”Engkau adalah Arab gurun yang sederhana, dan engkau tidak tahu tipu muslihat orang lain.
Halis timbul marahnya, dan bersumpah bahwa jika suku Quraisy terus menentang usul beliau, ia akan kembali dengan segenap pasukannya. Ancaman itu mengkhawatirkan suku Quraisy. ”Sabarlah sebentar saja.” Kata mereka: ”Sampai kita bisa membuat perjanjian untuk menjamin keamanan kita.
Sementara itu, Nabi Muhammad s.a.w. berpikir bahwa harus ada orang cerdik yang dikirim kepada pihak Quraisy untuk menerangkan pandangan ummat Muslim secara bijaksana dan simpatik. Guna memenuhi maksud itu beliau memilih Kharaṣ bin Umayyah dari Bani Khuzā dan memberi seekor unta miliknya. Ketika tiba di Mekah, generasi muda Quraisy amat terkesan pada unta itu, dan Ikramah bin Abu Jahal menyerang serta melukai untanya, bahkan mengancam nyawa Kharaṣ. Tapi generasi yang lebih tua ikut campur, dan ia disuruh pulang kembali ke kemah ummat Islam.
Tidak cukup dengan peragaan itu, suku Quraisy mengirim 50 orang bersenjata ke Hudaibiyah dengan perintah untuk mengintai di sekeliling perkemahan Islam dan juga menggunakan kesempatan untuk menimbulkan gangguan terhadap ummat Muslim. Tetapi, karena ummat Muslim selalu waspada, maka seluruh pasukan Quraisy dapat ditangkap. Namun beliau memerintahkan agar mereka segera dilepaskan, supaya negosiasi yang terkendala, tidak menjadi terganggu. Peristiwa itu dinyatakan dalam Alquran sebagai berikut:
Wa huwal-lażī kaffa aidiyahum ‘ankum wa aidiyakum ‘anhum bi baṭni Makatta mim ba’di an aẓfarakum ‘alaihim, wa kānallāhu bimā ta’malūna baṣīrā. ”Dan, Dia-lah Yang telah mencegah tangan mereka dari kamu dan tanganmu dari mereka di Lembah Mekah; sesudah Dia memberikan kemenangan kepadamu atas mereka. Dan Allah Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Fath: 25)
Selanjutnya Nabi Muhammad s.a.w. memandang tepat apabila diutus seseorang yang berasal dari Mekah dan memiliki hubungan dengan keluarga terhormat dari lingkungan suku Quraisy.
Beliau ingin Sayidina Umar r.a. diutus, tapi Sayidina Umar r.a. tidak berani menerima tugas mengingat dendam pribadi suku Quraisy terhadapnya, dan juga ia tidak memiliki kerabat yang berpengaruh di kota yang dapat melindunginya dari bahaya. Lalu mengusulkan agar Sayidina Uṡman r.a. yang berasal dari keluarga sangat berpengaruh di Mekah, yang ditunjuk sebagai utusan. Sayidina Uṡman r.a. bersedia, dan Nabi Muhammad s.a.w. memberi pernyataan tertulis yang dialamatkan kepada pemimpin-pemimpin Quraisy dimana beliau menerangkan maksudnya dan menjamin pihak Quraisy bahwa mereka hanya berniat Umrah dalam kedamaian, juga menyediakan hewan-hewan qurban sebelum pulang ke Madinah. Beliau juga meminta Sayidina Uṡman r.a. mengunjungi ummat Muslim miskin di Mekah dan memberi jaminan kembali bahwa Allah SWT akan segera membuka jalan bagi mereka, serta agar mereka tetap berteguh hati.
Ketika memasuki kota, Sayidina Uṡman r.a.  dilindungi sepupunya, lalu menuju Abu Sufyan dan para pempimpin lainnya. ”Kami telah tiba.” Ia berkata kepada mereka: ”Untuk mengunjungi dan menghormati Baitullah, dan bersembahyang. Kami membawa hewan-hewan qurban dan setelah menyembelihnya kami akan kembali pulang dalam damai.
Untuk meyakinkan mereka ia menyerahkan tulisan Nabi Muhammad s.a.w. yang diberikan kepadanya, yang lalu diperiksa dengan teliti oleh para pemimpin, namun mereka tetap pada pendirian bahwa ummat Muslim tidak boleh masuk kota Mekah di tahun itu. Ketika Sayidina Uṡman r.a. membujuknya, mereka mengatakan bahwa jika bersedia, ia sendiri boleh ṭawaf di Ka’bah, namun mereka bersumpah bahwa di tahun itu ummat Muslim tidak boleh masuk pintu gerbang kotanya. Sayidina Uṡman r.a. menolak tawaran mereka, dan segera bersiap untuk pulang kembali ke perkemahan Muslim. Sebagian pemimpin Quraisy berpikir bahwa mereka berkesempatan untuk memperoleh keadaan yang lebih baik, maka Sayidina Uṡman r.a. dan sahabatnya ditahan di Mekah.
Karena tidak pulang-pulang, lalu desas-desus muncul di antara ummat Muslim bahwa orang Mekah membunuh Sayidina Uṡman r.a. Kecemasan dan kewaspadaan memuncak. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri curiga akan adanya pengkhianatan, lalu berdiri di bawah bayang-bayang pohon akasia dan dikelilingi oleh seluruh jemaah haji, beliau meminta mereka mengambil Bai’at dengan keimanan sepenuhnya, dan mereka harus siap mati demi menyelamatkan Sayidina Uṡman r.a. Semua orang berebut dengan penuh semangat untuk mengambil Bai’at. Ketika semua telah benar-benar bersumpah, dengan menepukkan telapak tangan mereka ke tangan Nabi Muhammad s.a.w., dan beliau sendiri memukulkan tangan kanannya ke tangan kirinya, lalu bersabda: ”Ini adalah tangan Uṡman, karena jika ia berada di sini, maka ia tidak akan berada di belakang orang yang lainnya dalam mengambil Bai’at suci ini, tapi saat ini ia sedang bekerja untuk Allah dan Utusan-Nya.”
Bai’at itu dikenal dengan sebutan Bai’at dalam Riḍa Allah. Telah dikatakan dalam Alquran dengan kalimat:
Laqad raḍiyallāhu ‘anil-mu’minīna iż yubāyi’ūnaka tahtasy-syajarati fa ‘alima mā fi qulūbihim fa anzalas-sakīnata ‘alaihim wa aṡābahum fat’ḥan qarībā. ”Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka bai’at kepadamu di bawah pohon itu, dan Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, maka Dia menurunkan ketenteraman kepada mereka, dan Dia mengganjar mereka dengan kemenangan yang dekat.” (al-Fath: 19)
Ketika Quraisy mengetahui tentang Bai’at tersebut, mereka lalu menjadi mengerti dan tidak saja melepaskan Sayidina Uṡman r.a. dan para sahabatnya pulang, namun juga menentukan syarat-syarat kepada ummat Muslim bahwa mereka pada saat itu, di tahun itu, harus segera berangkat pulang ke Madinah dan dapat melakukan Umrah dengan bebasnya di tahun depan.
Di pihak lain Nabi Muhammad s.a.w. telah menentukan sikap bahwa beliau tidak akan menolak setiap permintaan suku Quraisy demi kehormatan Rumah Suci, maka prospek perjanjian itu menjadi penuh harapan. Setelah beberapa kali bertukar berita, pihak Quraisy memberi kuasa pada Suhail bin Amr, salah satu pemimpin penting dan beberapa wakil lainnya, guna memutuskan perjanjian damai.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat Suhail, beliau bersabda: ”Nah, itu Suhail datang, sekarang, dengan kehendak Allah masalah ini akan selesai. (Akar kata Suhail adalah sahl yang berarti mudah)
Ketika Suhail tiba dengan teman-temannya, ia berkata: ”Kami siap untuk persetujuan.
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda, bahwa beliau sudah sangat siap, lalu Sayidina Ali r.a. dipanggil dan bertindak selaku jurutulis perjanjian, dan isinya telah sama-sama dimengerti oleh kedua belah pihak, dan perinciannya dibuat sewaktu perjanjian itu ditulis. Ketika Sayidina Ali r.a tiba, beliau mulai mendiktekannya, dan menyuruhnya menulis: ”Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.”
Suhail langsung berkeberatan atas kalimat itu, dan berkata: ”Kami tidak tahu siapa itu Rahmān, mulailah seperti adat Arab yaitu: Atas nama-Mu Ya Allah.
Ummat Muslim merasa terusik dan memaksa bahwa kalimat pembuka harus persis sebagaimana didikte oleh Nabi Muhammad s.a.w., namun beliau bersabda bahwa tidak ada masalah jika harus menyesuaikan dengan usulan dari Suhail. Pendiktean dilanjutkan: “Ini adalah syarat-syarat perdamaian di antara Muhammad Rasulullah dengan ....
Berhenti, berhenti.” Potong Suhail: ”Jika engkau mengikuti, kami tidak akan mengangkat senjata melawanmu. Tulislah sesuai adat, namamu dan nama ayahmu.
”Tulislah.” Sabda Nabi Muhammad s.a.w.: ”di antara Muhammad anak Abdullah, dan Suhail anak Amr.
Lalu Sayidina Ali r.a. protes karena telah menuliskan kalimat Rasulullah atau Utusan Allah, beliau merasa tercemar jika kalimat itu dihilangkan. Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. sendiri yang menghapus kalimat itu dan tulisan menjadi mengikuti apa yang diinginkan Suhail.
Syarat-syarat perjanjian menjadi: ”Perang antara Quraisy dan ummat Muslim harus dihentikan selama 10 tahun. Siapa saja yang ingin bergabung dengan Muhammad, atau membuat perjanjian dengannya, ia boleh melakukan perkara itu dengan bebas; dan begitu juga sebaliknya bagi siapa pun yang ingin bergabung dengan Quraisy, atau membuat perjanjian dengan mereka. Jika seorang laki-laki di antara Quraisy tunduk kepada Muhammad tanpa persetujuan dari pelindungnya, ia harus dikirim pulang kembali kepada pelindungnya, tapi jika ada pengikut-pengikut Muhammad yang kembali kepada Quraisy, maka mereka tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad harus pulang tanpa masuk ke kota Mekah. Di tahun depan, Muhammad diizinkan mengunjungi Mekah, ia dan pengikut-pengikutnya, selama tiga hari, dan selama waktu itu Quraisy harus mundur dan menyerahkan Kota kepada mereka. Mereka tidak boleh memasuki kota dengan membawa senjata jenis apa pun, dan untuk menjaga keamanan di perjalanan, maka setiap orang boleh membawa pedang bersarung.
Ketika perjanjian ditulis, anak Suhail yaitu Abu Jandal dengan diborgol dan dirantai serta banyak tanda-tanda luka di badannya, terhuyung-huyung masuk ke kemah Muslim, dan berkata bahwa ia telah memeluk Islam dan ditahan di penjara dan disiksa, seperti disaksikan dari rantai-rantai dan luka-lukanya. Ia memohon agar ia tidak dipulangkan ke Quraisy karena ia tidak mampu menanggung penyiksaan lagi. Di pihak lain, Suhail menginginkan agar ia diserahkan dalam perlindungannya.
Nabi Muhammad s.a.w. sangat tersentuh oleh keadaan Abu Jandal dan meminta agar Abu Jandal tinggal bersama Muslim, namun permohonan yang berulang kali disampaikan beliau  itu diabaikan, dan Suhail tetap kokoh pada pendiriannya, dan disetujui.
Karena terdesak keadaan, lalu beliau bersabda kepada Abu Jandal: “Bersabarlah dan percayalah kepada Allah. Dia akan bekerja untukmu, dan juga bagi yang lain yang seperti engkau, itulah jalan pembebasanmu. Kami tidak mampu menolongmu, karena kami telah terikat perjanjian dengan Mekah, dan kami tidak bisa melanggar ucapan kami sendiri.”
Ummat Muslim sangat merasa terusik atas peristiwa itu, dan Sayidina Umar r.a. tidak mampu menahan dirinya sendiri, lalu menemui beliau dan bertanya: ”Apakah engkau bukan Rasulullah?
Beliau menjawab: ”Ya aku Rasulullah.
Lalu Sayidina Umar r.a. bertanya: ”Bukankah kita berdasarkan kebenaran, dan musuh kita berdasarkan kedustaan?
Beliau menjawabnya: ”Itu benar.
Sayidina Umar r.a. bertanya kembali: ”Lalu jika masalah iman, mengapa kita menyerah pada penghinaan itu?
Beliau menunjukkan: ”Umar, aku Rasulullah, dan faham akan apa-apa yang Dia kehendaki. Aku tidak mampu melawan-Nya, dan Dia adalah Penolong-ku.
Sayidina Umar r.a belum puas dan bertanya: ”Bukankah engkau berkata bahwa kita akan ṭawaf di Ka’bah?”
Beliau menjawabnya: ”Itu benar, tapi apakah aku juga ada mengatakan akan terjadi tahun ini?
Sayidina Umar r.a. mengaku bahwa hal itu benar tidak disebutkan, lalu Nabi Muhammad s.a.w. menasihatinya: ”Lalu tunggulah, atas kehendak Allah, maka kamu akan masuk ke Mekah dan melakukan ṭawaf di Ka’bah.
Masih terusik, Sayidina Umar r.a. menemui Sayidina Abu Bakar r.a. dan berunding.
Sayidina Abu Bakar r.a. menasihatinya: ”Umar, tahanlah dirimu dan jangan biarkan peganganmu pada sanggurdi Rasulullah jadi melonggar, demi Allah, beliau kepada siapa kita telah mengambil Bai’at, benar-benar sejati.
Kemudian Sayidina Umar r.a. mengakui bahwa, dalam keadaan bersemangat-tinggi, ia bertindak demikian kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan Sayidina Abu Bakar r.a., namun segera menjadi menyesal dan membuang semua kotoran dengan melakukan Ṣalat dan puasa dan berderma serta membebaskan budak.
Perjanjian telah ditulis dan disyahkan, yang mewakili ummat Muslim adalah Sayidina Abu Bakar r.a.,  Sayidina Uṡman r.a., Abdul Rahman bin Auf r.a., S’ad bin Abi Waqqas r.a. dan Abu Obaidah r.a. Salinannya diberikan kepada Suhail bin Amr yang langsung kembali ke Mekah. Sedangkan naskah yang asli ditahan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Setelah Suhail berangkat, beliau memerintahkan para Sahabat untuk menyembelih hewan-hewan qurban, dan mencukur rambut kepala atau dipotong pendek sekali, dan siap pulang ke Madinah. Namun mereka sangat murung dan menganggap bahwa syarat-syarat perjanjian itu sebagai suatu penghinaan bagi mereka, dan  karena bingung mereka telah bersikap tidak memperhatikan penjelasan beliau, walau pun beliau telah mengulanginya dua – tiga kali, sepertinya mereka tidak mendengar apa pun.
Nabi Muhammad s.a.w. menerima kelambanan mereka itu sampai ke hati dan masuk ke tendanya. Sayidah Umi Salamah r.a. yang menyaksikan kejadian di dalam tenda, dan menyadari tanda-tanda dari suaminya, menyampaikan: ”Ya Rasulullah, jangan bersedih. Para Sahabat bukannya tidak patuh, hanya merasa sangat sedih atas syarat-syarat perjanjian yang timpang. Saya memberanikan diri mengusulkan agar engkau tidak usah banyak bicara, dan sembelih hewan-hewan qurban itu, dan cukurlah kepala, sehingga mereka akan mengikuti contoh dari engkau, para Sahabat akan mengikuti engkau.
Nabi Muhammad s.a.w. menyetujui usulan itu, dan keluar dari tendanya serta langsung melakukan pekerjaan tersebut. Begitu ummat Muslim melihatnya demikian, mereka terguncang dan sadar dari kelesuan mentalnya, dan segera mengikuti beliau, dan tindakan itu ternyata terbukti lebih efektif ketimbang kata-kata.
Upacara ritual itu terus dilangsungkan dan ummat Muslim memperpanjang tinggalnya di Hudaibiyah hampir 20 hari, lalu Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan agar jemaah haji Muslim mulai bergerak pulang ke Madinah.
Ketika iring-iringan itu tiba di Kara’l Gamim di dekat Osfan, mereka berkemah di malam harinya dan beristirahat di sana, lalu Nabi Muhammad s.a.w. memanggil mereka dan bersabda bahwa sebuah Surah yang amat jelas sekali telah diturunkan kepada beliau.  Itulah Surah al-Fath ayat 2-4 dan ayat 28, yaitu khabar gembira:
Innā fataḥnā laka fat’ḥam mubīnā, li yagfira lakallāhu mā taqaddama min żambika wa mż ta’akhkhara wa yutimma ni’matahū ‘alaika wa yahdiyaka ṣirāṭam mustaqīmā, wa yanṣurakallāhu naṣran ‘azīzā.
Laqad ṣadaqallāhu rasūlahur-ru’ya bil-haqq, latadkhulunnal-Masjidal-Ḥarāma insyā ‘allāhu āminīna muḥalliqīna ru’ūsakum wa muqaṣṣirīna lā takhāfũn, fa ‘alima mā lam ta’lamū fa ja’ala min dūni żālika fatḥan qarībā.
”Sesungguhnya Kami telah memberi engkau satu kemenangan nyata. Supaya Allah melindungi engkau di masa lalu dari dosa-dosa yang dibuat oleh engkau dan di masa yang akan datang, dan Dia menyempurnakan nikmat-Nya atas engkau; dan memberi petunjuk kepada engkau pada jalan yang lurus.
Dan Allah akan menolong engkau dengan pertolongan yang perkasa. Sesungguhnya Allah menyempurnakan kepada Rasul-Nya ru’ya dengan benar, kamu pasti akan masuk Masjidil Haram dengan aman jika Allah menghendaki, dan mencukur habis rambut di kepalamu atau memotong pendek tanpa merasa takut. Tetapi Dia mengetahui apa yang kamu tidak ketahui Dia sebenarnya telah menetapkan bagimu selain itu satu kemenangan yang dekat.” (al-Fath: 2-4, 28)
Sayidina Umar r.a. dan para Sahabat beliau masih sangat kebingungan. Sayidina Umar r.a. meriwayatkan: ”Selama dalam perjalanan pulang dari Hudaibiyah, saya menemui Nabi Muhammad s.a.w. dan menyapanya, namun beliau tidak mengindahkan saya. Saya mencobanya 3x, namun beliau tetap saja berdiam diri. Saya amat sedih karena beliau berdiam diri dan menasihatkan pada diri sendiri bahwa diamnya Nabi Muhammad s.a.w. adalah petunjuk jiwa saya telah kacau. Saya menjauhkan diri saya dari sesama sahabat karena diliputi rasa takut bahwa mungkin saya dihukum Allah Ta’ala melalui wahyu yang diturunkan pada beliau. Ketika saya berada dalam kebingungan tiba-tiba saya mendengar panggilan: ”Nabi Muhammad s.a.w. memanggil Umar bin Khattab untuk datang menghadap.” Saya membayangkan bahwa rasa takut saya telah terbukti, dan segera saya menemui beliau dan setelah menyalaminya, saya duduk di dekatnya. Beliau bersabda bahwa Surah yang baru turun padanya, adalah yang paling baik dari apa pun yang ada di dunia ini, lalu ditilawahkanlah surah al Fath. Saya berkata, ‘Ya Rasulullãh, apakah perjanjian itu benar-benar kemenangan Islam?’ Beliau menjawab: “Hampir pasti, itu kemenangan kita.”
Ketika diketahui bahwa para Sahabat masih ragu apakah kekecewaan mereka di Hudaibiyah adalah benar-benar suatu kemenangan, Nabi Muhammad s.a.w. memberi nasihat: ”Jika tahu, Perjanjian Gencatan Senjata ini benar-benar kemenangan kita. Quraisy yang selalu menentang kita, telah setuju mengakhirinya dan telah menanda tangani perjanjian perdamaian dengan kita. Mereka berjanji membuka pintu gerbang Mekah bagi kita di tahun depan. Kita pulang dengan damai dan aman, terlindungi dari kekejian Mekah dan bisa menghirup bau wangi bagi kemenangan kita selanjutnya.  Jadi, ini adalah kemenangan besar. Apakah kalian sudah melupakan Uhud dan Ahzab ketika Quraisy mengepung kalian, dan masya Allah, diluar perkembangan yang terjadi sedemikian cepatnya, hal itu kan menyempitkan kalian, mata kalian jadi terganggu, dan jantung kalian naik sampai ke tenggorokkan? Hari ini, Quraisy yang sama menanda-tangani perjanjian dengan kalian.
Mendengar itu, para Sahabat berkata: ”Ya Rasulullah, sekarang kami tahu dan menyadari kebenarannya. Pandangan kami terbatas, dan kami tidak mampu melihat seperti engkau. Sekarang kami sadar perjanjian itu benar-benar kemenangan besar kita.
Selanjutnya, Nabi Muhammad s.a.w. dan para Sahabat kembali dengan aman ke Madinah.
Penilaian Sir William Muir pada Perjanjian Hudaibiyah dinyatakan sbb: (Life of Mahomet, hal 360)
”Orang-orang yang terbawa Kasyaf dan mengharap ziarahnya ke Ka’bah tidak ditentang, kecewa karena akhir perjalanan panjangnya telah gagal. Namun sejujurnya, suatu langkah agung telah dicapai oleh Muhammad. Status politiknya yang telah setara, dan Kekuatan yang bebas, telah diakui oleh perjanjian itu. Perjanjian Gencatan-Senjata selama 10 tahun memberi peluang dan waktu bagi sebuah agama baru untuk berkembang, dan untuk menguatkan da’waannya terhadap keyakinan Quraisy; dan penaklukkan baik secara material atau spiritual dapat dilakukan ke segala arah. Persyaratan bahwa tak seorang pun yang berada di bawah satu pelindung dapat meninggalkan Quraisy tanpa persetujuan pelindungnya, walau pun hal itu tidak populer di Madinah, namun telah sesuai dengan prinsip-prinsip yang lazim berlaku di masyarakat Arab; dan Muhammad sangat yakin terhadap loyalitas orang-orangnya dan betapa tingginya daya tarik Islam, serta tidak merasa khawatir terhadap akibat buruk dari pasal lainnya yang menyatakan bahwa tak seorang pun harus dikembalikan jika ada yang meninggalkan beliau. Di atas segalanya, adalah suatu manifestasi keberhasilan yang agung bahwa izin untuk masuk dengan bebasnya ke Mekah telah diperoleh untuk tahun depannya, dimana dalam waktu 3 hari mereka dapat menempati kota tanpa diganggu.”
Beberapa saat kemudian, beberapa perempuan Muslim telah berhasil melarikan diri dari Mekah dan tiba di Madinah. Yang pertama adalah Umi Kulṡum putri pemimpin para penyembah-berhala Uqbah bin Abu Muit, yang tewas di Badar. Dari pihak ibunya ia merupakan kerabat dekat Sayidina Uṡman bin Affan r.a. Ia segera dikejar oleh kedua orang saudara laki-lakinya yang menda’wa bahwa ia telah diserahkan kepada mereka. Mereka mendesak bahwa walau pun kata-kata di dalam perjanjian telah menjelaskan secara khusus bahwa setiap laki-laki (rajul) dari antara Quraisy yang menyerah kepada Nabi Muhammad s.a.w. harus segera dikembalikan kepada mereka, namun perjanjian itu sebenarnya berlaku umum bagi laki-laki dan perempuan.
Umi Kulṡum menentang dan mengandalkan pada bahasa perjanjian serta pertimbangan bahwa kaum perempuan itu kaum lemah dan ada dalam posisi yang lebih di bawah laki-laki, sehingga jika perempuan yang telah memeluk Islam dikembalikan kepada Quraisy maka ia akan mengalami kematian rohani. Karenanya ia mendesak bahwa kekecualian terhadap kaum perempuan dari pelaksanaan perjanjian itu, bukan saja sesuai bahasanya namun juga masuk akal, adil dan perlu. Nabi Muhammad s.a.w. membenarkan pendapat Umi Kulṡum dan menolak da’waan dari kedua orang saudara laki-lakinya.
Dalam lingkup ini, harap diingat bahwa Suhail bin Amr, utusan pihak Quraisy ke Hudaibiyah, telah memeriksa dengan detail setiap kata-kata perjanjian sebelum menandatanganinya. Sungguh, syarat-syarat perjanjian dinyatakan dalam bahasa yang diusulkan olehnya. Terjemahan sesuai asli atas pasal perjanjian seperti disampaikan Bukhari adalah sbb: ”Tak ada satu pun laki-laki kami yang diperbolehkan datang kepada engkau, walau dia beriman kepada engkau, dan engkau berkewajiban mengembalikan dia kepada kami.
Dengan demikian jelaslah kiranya pasal perjanjian ini dibatasi khusus untuk laki-laki. Hal ini menjadi mudah dimengerti karena kedua belah pihak tidak mempertimbangkan bahwa seorang perempuan akan memiliki peluang dan memiliki keberanian untuk melarikan diri dari Mekah ke Madinah dan menyatakan dirinya selalu seorang Muslimah. 
Faktor sangat kuat lainnya yang mendukung posisi yang diambil oleh Nabi Muhammad s.a.w. adalah bahwa pihak Quraisy tidak pernah menyatakan keberatannya terhadap fakta bahwa beliau tidak mengembalikan perempuan tersebut untuk dikembalikan kepada perlindungan Quraisy, dan dengan demikian beliau tidak dianggap bersalah dan tidak melanggar syarat-syarat perjanjian. Di samping itu, prinsip yang lazim berlaku adalah, dalam satu perjanjian atau persetujuan maka pihak penda’wa harus melakukan da’waan yang tidak meragukan.
Kemudian, seorang pemuda bernama Abu Basir Uṭbah bin Usyad Ṭaqafi penduduk Mekah dan konfederasi Bani Zumrah, telah memeluk Islam dan melarikan diri dari Mekah ke Madinah. Quraisy mengirim 2 orang utusan ke Madinah untuk mengejarnya dan dengan permintaan bahwa dia harus dikembalikan pada mereka.
Nabi Muhammad s.a.w. memanggil Abu Basir dan bersabda, dia harus kembali ke Mekah. Abu Basir menyatakan bahwa dia seorang Muslim, dan dia akan disiksa di Mekah serta pihak Quraisy akan menekannya untuk melepaskan Islam. Beliau  bersabda kepadanya: ”Kami ada di bawah paksaan perjanjian yang telah disetujui, jadi kami dilarang menerimamu di antara kami. Jika kamu tetap berteguh hati dan mencari berkat Allah, maka Dia akan membukakan jalan bagimu. Kami harus taati syarat-syarat perjanjian, dan kamu harus kembali ke Mekah.
Abu Basir dengan amat segan kembali ke Mekah bersama utusan Quraisy, dan ketakutan bahwa dia akan disiksa dengan kejamnya oleh Quraisy agar dia melepaskan Islam. Ketika kelompok itu tiba di Żul Halifah kira-kira beberapa mil dari Madinah, ia mendapat peluang untuk melepaskan diri dari utusan utama Quraisy, dan membunuh orang yang satunya lagi, tapi utusan itu berhasil lepas dan tiba kembali di Madinah lebih dahulu dari Abu Basir. Ia langsung pergi ke mesjid dan menemui Nabi Muhammad s.a.w. di sana, lalu dengan suara gemetar ketakutan ia berkata: ”Sahabat saya telah dibunuh dan nyawa saya juga berada dalam bahaya.
Beliau menghiburnya agar dia nyaman, dan pada saat itu Abu Basir juga tiba di sana dan menyampaikan: ”Ya Rasulullah, engkau mengembalikan hamba kepada orang Quraisy dan kewajiban engkau telah selesai, Allah telah menyelamatkan hamba dari mereka dan engkau tidak bertanggungjawab lagi atas diri hamba.” Mendengar itu, beliau bersabda: ”Malanglah ibunya, kelihatannya ia telah mengobarkan api peperangan. Tidak adakah seseorang yang akan menahannya?” Dari ucapan itu Abu Basir menyadari bahwa Nabi Muhammad s.a.w. walau bagaimana pun akan tetap mengembalikan ia ke Mekah. Lalu ia menyelinap diam-diam, dan tidak kembali ke Mekah namun tinggal di Siefal Bahr, yang terletak di tepi-pantai dekat jalur kafilah ke Siria.
Ketika hal itu diketahui di Mekah, lalu Abu Jandal dan pemuda lainnya yang telah yakin akan kebenaran Islam tapi tidak berani mengakui terang-terangan di Mekah,  berturut-turut menyelinap keluar Mekah dan bergabung dengan Abu Basir, yang dengan cepat sekali dikelilingi oleh 70 orang pengikut yang semuanya putus-asa seperti ia sendiri. Sekarang mereka jadi berdiri sendiri dan tidak berada di bawah kekuasaan Quraisy atau pun Nabi Muhammad s.a.w.. Mereka menghadang setiap kafilah dari Mekah dan tidak menyisakan satu pun. Hal ini membuat Quraisy kesulitan dan menghadapi situasi yang berbahaya. Mereka sangat terganggu oleh kegiatan kelompok itu sehingga mereka memohon campurtangan beliau, dan disetujui dengan syarat bahwa kegiatan mereka dibatasi namun mereka harus melepaskan haknya untuk menganggap mereka sebagai orang yang desersi.
Nabi Muhammad s.a.w. mengabulkan permohonannya, lalu mengirim surat pada Abu Basir dan Abu Jandal bahwa pihak Quraisy dengan sukarela telah membatalkan pasal terkait terhadap mereka, dan mereka dapat pergi ke Madinah. Ketika utusan beliau tiba di Siefal Bahr, Abu Basir yang menderita sakit, sedang dalam keadaan sekarat. Ia menerima surat beliau dengan penuh hormat, lalu menghembuskan nafas yang penghabisan sambil memegang surat. Abu Jandal dan seluruh kelompoknya mengubur Abu Basir di Siefal Bahr dan berjalan menuju Madinah dengan sedihnya. Patut diamati bahwa jika Abu Basir keluar dari Mekah tidak pergi ke Madinah namun langsung menuju Siefal Bahr, maka suku Quraisy tidak akan dapat memohon kepada beliau untuk memerintahkan agar ia kembali ke Mekah, karena kasus itu tidak tercakup dalam syarat-syarat Perjanjian Gencatan-Senjata.
Gencatan-Senjata di Hudaibiyah merupakan peristiwa luar biasa di dalam kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. Dengan itu, perselisihan antara beliau dengan pihak Quraisy telah diakhiri, yang lalu diperpanjang sampai 19 tahun, dan setelah Hijrah wataknya  menjadi konflik perang. Dengan adanya Gencatan-Senjata, akhirnya kedamaian telah didirikan, sedikitnya antara pihak Quraisy dan beliau, dan kesulitan besar dalam mempropagasikan Islam secara damai telah menghilang. Selanjutnya, Islam mulai menyebar secara cepat di bagian terbesar wilayah Arabia. Salah satu estimasi penilaian pada upaya ini mungkin dapat digambarkan dengan dasar jumlah ummat Muslim yang hadir bersama Nabi Muhammad s.a.w. di Hudaibiyah yang sedikit kurang dari 1.500 orang, dan jumlah pengikut beliau pada 2 tahun kemudian ketika kota Mekah jatuh, telah mencapai 10.000 orang.
Kesaksian yang penuh perasaan, daya tarik dan keunggulan Islam justru terletak pada kekuatan rohani dan bukan pada perang. Kecemasan besar beliau dalam mengamankan Perjanjian Gencatan-Senjata di Hudaibiyah, dan penerimaannya atas syarat-syarat perjanjian yang timpang, telah menguatkan janjinya pada perdamaian dan ketertiban serta kebencian beliau pada konflik peperangan. Sekarang beliau dapat bergerak lebih bebas lagi untuk mengabdikan bagian terbesar dari perhatian beliau guna melaksanakan tanggungjawab utama dalam menyampaikan kabar-suka Islam yang umum seluas mungkin. Beliau telah diperintahkan:
Ya ayyuhar-rasūlu ballig mā unzila ilaika mir rabbik, wa il lam taf’al famā ballagta risālatah, wallāhu ya’ṣimuka minan-nās, innallāha lā yahdil-qaumal-kāfirīn. ”Hai Rasul, sampaikanlah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak melakukan hal itu maka kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan, Allah akan melindungimu dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada kaum kafir.”  (al-Mā’idah: 68)
Kewajiban itu tidak terbatas kepada Nabi Muhammad s.a.w. sendiri, namun juga diharuskan pada semua orang beriman:
Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nāsi ta’murūna bil-ma’rufī wa tanhauna ‘anil munkari wa tu’minūna billāh. ”Kamu adalah ummat terbaik, dibangkitkan demi kebaikan ummat manusia; kamu menyuruh berbuat kebaikan dan melarang keburukkan, dan beriman kepada Allah.” (āli-’Imrān: 111)
dan:
Wal takum minkum ummatuy yad’ūna ilal-khairi wa ya’murūna bil ma’rūfi wa yanhauna ‘anil-munkar, wa ulā’ika humul-muflihūn. ”Dan hendaklah ada di antaramu segolongan yang mengajak manusia kepada kebajikan, dan menyuruh kepada kebaikan dan melarang terhadap keburukkan. Dan mereka itulah orang-orang yang berjaya.” (āli-’Imrān: 105)
Kewajiban itu harus dilaksanakan dengan hati-hati dan bijaksana, seperti dikatakan:
Ud’u ilā sabīli rabbika bil-ḥikmati wal mau’iẓatil-hasanati wa jādilhum bil-latī hiya aḥsan. ”Panggillah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik, dan bertukar-pikiranlah dengan mereka, dengan cara yang sebaik-baiknya.”  (an-Nahl: 126}
Tidak ada paksaan apa pun terhadap hal itu:
Lā ikraha fid-dīn, qat tabayyanar-rusydu minal-gayyi. “Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan.” (al-Baqarah: 257).
Wa qulil-haqqu mir rabbikum, fa man syā’a fal yu’miw wa man sya’a fal yakfur. “Dan katakanlah, ‘Inilah hak dari Tuhan-mu, maka barangsiapa menghendaki, maka berimanlah, dan barangsiapa menghendaki maka ingkarlah’.” (al-Kahf: 30)
Firman Allah yang telah dipercayakan kepada Nabi Muhammad s.a.w. diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia.
Qul yā ayyuhan-nāsu innī rasūlullāhi ilaikum jamī’anil-lażī lahū mulkus-samāwāti wal-arḍi. “Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku Rasul Allah kepada kamu sekalian dari Yang mempunyai kerajaan seluruh langit dan bumi’.” (al-A’rāf: 159)
Bukhari menyampaikan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah bersabda: “Aku telah dikaruniai 5 macam anugerah, yang telah membedakan aku dari Nabi-Nabi lainnya. Aku telah ditolong dengan kemasyhuran yang jangkauannya luas; seluruh bumi telah disucikan bagiku sebagai tempat Ṣalat, harta rampasan perang telah menjadi sah untukku, aku diizinkan untuk menjadi Safa’at bagi ummat manusia, segenap Nabi-Nabi yang terdahulu telah diturunkan hanya untuk ummatnya masing-masing saja, dan aku telah diturunkan bagi seluruh ummat manusia. 
Hukum Islam berlaku umum, permanen dan tidak bisa dibatalkan, sbb:
....... al yauma akmaltu lakum dīnakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matī wa raḍītu lakumul-Islāma dīnā. ”Hari ini telah kusempurnakan agamamu bagimu, dan telah Ku-lengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah kusukai bagimu Islam sebagai agama.” (al-Mā’idah: 4)
Telah disampaikan oleh Bukhari bahwa pada suatu hari, seorang Yahudi berkata kepada Sayidina Umar r.a., tentang ayat itu: ”Andai saja ayat itu diturunkan kepada kami, maka kami akan menjadikan hari turunnya wahyu itu sebagai hari raya.Sayidina Umar r.a menjawab: ”Allah Ta’ala Sendiri menjadikan hari itu bagaikan hari-raya pada kami, karena ayat itu telah diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. pada hari dimana jemaah haji di Arafat, dan keesokan harinya tiba Hari Raya Qurban.
Muslim telah menerangkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: ”Aku adalah Nabi terakhir dan mesjidku adalah mesjid terakhir.” Artinya, bahwa tidak ada lagi Nabi setelah beliau yang akan membatalkan Kenabian beliau atau pun yang akan membuat tempat Ṣalat lainnya, dimana suatu cara-cara Ṣalat baru akan didirikan.
Karena Perjanjian Gencatan-Senjata di Hudaibiyah telah memberikan banyak waktu istirahat bagi Nabi Muhammad s.a.w., maka segera setelah beliau tiba kembali di Madinah, diputuskan untuk mengirim undangan kepada para penguasa di negara-negara yang berbatasan dengan Arabia dan ke segala arah untuk menerima Islam. Ketika beliau menjelaskan proyek itu kepada para Sahabat-nya dan meminta nasihat mereka, beliau telah dinasihati bahwa penguasa-sementara tidak diterima oleh mereka dalam setiap komunikasi yang diadakan dengan mereka, terkecuali dia memiliki cap dari orang yang memberinya kuasa.
Oleh karenanya, beliau menyiapkan cincin-perak yang bertatahkan kata-kata: ”Muhammad, Rasulullah,” yang diatur begitu rupa sehingga Allah berada paling atas, Rasul ada di tengah dan Nabi Muhammad s.a.w. di akhirnya.
Selanjutnya cincin itu selalu dipakai oleh Nabi Muhammad s.a.w. sampai wafatnya, lalu dipakai oleh Sayidina Abu Bakar r.a. selama dalam Khilāfat-nya, lalu oleh Sayidina Umar r.a. dan setelahnya oleh Sayidina Uṡman r.a., yaitu para Penerus Kedua dan Ketiga dari beliau. 
Cincin itu terlepas dari jari Sayidina Uṡman r.a. ketika beliau duduk di tepi sumur yang disebut Aris dan tidak bisa ditemukan walau sudah diupayakan dengan segala cara.
Undangan Nabi Muhammad s.a.w. dikirim kepada:
-          Heraclius Kaisar Bizantin (Imperium Roma bagian Timur)
-          Kaisar Iran,
-          Raja Muda Mesir,
-          Pemimpin suku Yamamah,
-          Kaisar Abesinia,
-          Gubernur Gassan,
-          Raja Muda Yaman, dan
-          Gubernur Bahrain.
Undangan-undangan tidak dikirim sekaligus, namun disebarkan dalam beberapa minggu. Yang paling pertama dikirim adalah Kaisar Heraclius dari Bizantin. Sejak Nabi Muhammad s.a.w. menerima Wahyu Allah SWT, Imperium Bizantin dan Persia telah beradu satu sama lainnya tanpa berhenti dengan perang bersenjata yang mematikan.
Sampai tahun 621 AD, keberhasilan yang mantap telah diraih pasukan Persia. Siria, Mesir dan Asia Kecil telah direbut. Constantinopel sendiri telah terancam. Akhirnya Heraclius, Kaisar Bizantin bersikap serius dan mengambil alih sendiri masalah itu -- tidak lama setelah Nabi Muhammad s.a.w. Hijrah dari Mekah ke Madinah -- dan mengirim penyusup ke benteng mereka di Asia Kecil. Selama tiga tahun Heraclius telah berhasil memulihkan keberuntungan kerajaannya, dan beliau sedang sibuk berperang dengan Quraisy.
Tahun 627 AD, dalam operasi militer yang ketiga, Heraclius mengulangi suksesnya yang terdahulu, dan di akhir tahun itu ia mencapai kemenangan yang menentukan di Niniweh. Dalam pertempuran ini pasukan Persia benar-benar dihancurkan. Perisitiwa itu bersamaan dengan peristiwa Perjanjian Gencatan-Senjata di Hudaibiyah.
Selama musim gugur, Heraclius, memenuhi sumpahnya karena mencapai kemenangan luarbiasa yang baru saja diperolehnya, telah melakukan ziarah dari Emea (Hims) ke Yerusalem dengan berjalan kaki.
Begitu ia sampai di sana, di waktu pagi salah satu pegawai tingginya memperhatikan bahwa sang Kaisar terlihat sangat gelisah. Ketika ditanya, ia menceritakan penyebab kegelisahannya yaitu malam sebelumnya ia menghitung posisi planet-planet, dan telah menemukan ada seorang raja yang telah muncul di antara orang-orang yang disunat.
Ia bertanya, orang manakah yang biasa disunat, dan diberi tahu bahwa hal itu merupakan adat orang Yahudi, namun yang Kaisar ketahui bahwa orang Yahudi tidak cukup kuat untuk menjadi ancaman serius bagi imperiumnya. Kira-kira pada waktu itulah, Gubernur Gassan mengirim isyarat kepada Heraclius bahwa seorang Arab bernama Muhammad telah menda’wa kenabian dan pengaruhnya telah menyebar, karenanya ia menyuruh meneliti apakah orang Arab disunat, dan jawabannya mereka disunat, lalu ia berkata: ”Ia pasti seorang raja dari orang-orang itu.
Berselang beberapa saat kemudian, surat Nabi Muhammad s.a.w. sampai kepada Heraclius. Teks surat beliau adalah:
Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Dari Muhammad bin Abdullah, Utusan Allah, kepada Heraclius, Pemimpin Bizantin.
Damailah bersamanya, bagi siapa pun yang mengikuti jalan yang lurus. Saya mengundang anda ke dalam Islam. Jadilah seorang Muslim dan masuklah ke dalam keselamatan bersama Allah. Jadilah seorang Muslim dan Allah akan memberi pahala berlipat ganda. Jika anda menolak, anda akan menanggung akibat dari penolakan itu. Wahai orang-orang Ahli Kitab! Marilah kita bermufakat terhadap satu hal, yang sama bagimu dan bagi kami, yaitu, bahwa kami tidak menyembah siapa pun kecuali Allah, dan bahwa kami tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, dan karenanya sebagian dari kita tidak menyembah yang lainnya sebagai tuhan kecuali Allah.
Lalu, jika mereka menolak, katakanlah, ”Bersaksilah kalian, bahwa kami berserah diri sepenuhnya kepada Allah.”
Nabi Muhammad s.a.w. mempercayakan surat itu pada Dihya Kalbi dengan amanat untuk disampaikan langsung kepada Kaisar Bizantin melalui Gubernur Gassan. Ketika Dihya yang dibantu perantaranya tiba di Yerusalem dengan membawa surat, ia lalu menyerahkannya kepada keponakan sang Kaisar agar disampaikan kepada Kaisar.
Ketika sang keponakan menyerahkan surat itu kepada Kaisar, ia menyuruh staf-nya untuk membuka dan membacakan surat itu untuknya, namun begitu dibuka dan baris pertama telah dibaca ia mendadak menjadi marah-marah dan menyuruh staf-nya agar pembacaan dihentikan karena penulisnya telah bersalah telah tidak menghormati Kaisar, dimana dalam surat itu sang penulis telah menuliskan namanya sendiri di depan nama Kaisar, dan bukan menerangkannya sebagai Kaisar Imperium Bizantin namun hanya menuliskannya sebagai ”Pemimpin Bizantin”.
Kaisar  Heraclius mengabaikan kritik keponakannya, dan ia merebut surat itu, serta menyuruh pembawa surat diperlakukan sebagai tamu agung selama meneliti dan menimbang-nimbang maksud surat tersebut. Sang Kaisar juga memberi perintah untuk mencari orang besar yang senegara dengan penulis surat itu, yang mungkin bisa dicari dan agar bisa diatur untuk mengundangnya ke hadapan sang Kaisar.
Bukhari telah meriwayatkan berdasarkan sanad Ibnu Abbas tentang ucapan Abu Sufyan yang tersingkap sebagaimana ditanyakan oleh Kaisar.
Aku pergi ke Siria bersama para sahabat untuk berdagang. Peristiwa itu terjadi setelah Perjanjian Gencatan Senjata di Hudaibiyah. Orang-orang Kaisar mencariku, lalu membawaku ke Yerusalem, dan aku dibawa ke depan Kaisar, yang sedang bersidang dan memakai mahkota dan dikelilingi oleh para pegawai tingginya. Ia menyuruh penterjemahnya bertanya siapa yang paling dekat hubungannya dengan orang yang mengaku nabi. Aku jawab bahwa aku kerabatnya yang paling dekat karena ia keponakanku. Kaisar menyuruhku maju ke depan, dan sahabatku berdiri di belakangku, dan menyuruh penterjemah untuk memberi peringatan pada sahabatku bahwa ia akan bertanya kepadaku tentang orang yang menda’wa sebagai nabi, dan jika aku membuat kesalahan dalam menjawab pertanyaannya, maka mereka harus memberitahukan kepadanya. Selanjutnya, ia bertanya kepadaku tentang hal-hal berikut ini:
Kaisar:         “Apa status penda’wa itu di antara orang-orangnya?”
A.Sufyan:      Ia berasal dari keluarga mulia.”
Kaisar:         “Apakah kamu tahu bahwa dia pernah berbicara dusta sebelum menda’wa?”
A.Sufyan:      “Tidak pernah.”
Kaisar:         “Apakah di antara leluhurnya ada orang yang pernah menjadi seorang raja?”
A.Sufyan:      “Tidak ada.”
Kaisar:         “Apakah pengikutnya terdiri dari orang-orang penting, atau orang yang lemah dan orang biasa?”
A.Sufyan:      “Mereka orang lemah dan orang biasa.”
Kaisar:         “Apakah jumlahnya menjadi bertambah banyak atau menjadi berkurang?”
A.Sufyan:      “Jumlah mereka bertambah.”
Kaisar:         “Adakah di antara pengikutnya yang mencaci-maki agamanya dengan jijik?”
A.Sufyan:      “Tidak ada.”
Kaisar:         “Pernahkah dia melanggar janjinya?”
A.Sufyan:      “Tidak, tapi baru-baru ini kami membuat perjanjian dengannya, dan untuk itu kami memperkirakan bahwa ia mungkin akan mengarah pada hal yang seperti itu.”
Kaisar:         ”Adakah peperangan antara dia dengan pihakmu?”
A.Sufyan:      “Ya.”
Kaisar:         “Bagaimana hasilnya?”
A.Sufyan:      “Hal itu seperti naik dan turunnya ember di sebuah sumur. Kadang ia menang, dan kadangkala kami yang menang.”
Kaisar:         “Apa yang dia ajarkan?”
A.Sufyan:      “Dia meminta kami percaya kepada Tuhan Yang Esa dan kami tidak boleh menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Dia melarang kami menyembah berhala yang dilakukan oleh para leluhur kami. Dia menyuruh kami Ṣalat, berderma, menghentikan kejahatan, taat perjanjian dan tidak melanggar kepercayaan.”
Abu Sufyan menyampaikan bahwa setelah dialog itu, sang Kaisar menerangkan melalui penterjemahnya, tentang maksud setiap pertanyaannya dan kesimpulan yang ia ambil dari jawaban-jawabannya, yang semuanya telah menguntungkan si penda’wa.
Sang Kaisar menambahkan: “Aku tahu bahwa seorang Nabi akan muncul, namun aku tidak menyangka bahwa ia adalah salah seorang dari kamu, Arab. Jika apa yang kamu sampaikan padaku itu benar, maka aku anggap bahwa waktunya sudah dekat untuk orang ini menundukkan tanah dimana aku berdiri. Jika mungkin bagiku, maka aku akan menemuinya, dan jika aku punya kesempatan, maka aku akan merasa nyaman dengan mencuci kakinya. Abu Sufyan telah menyampaikan bahwa sang Kaisar memerintahkan bahwa surat yang ditulis penda’wa itu, dibacakan. Ketika pembacaan selesai, komentar datang dari sana sini dan suaranya mulai meninggi, namun ia dan para sahabatnya tidak tahu apa yang telah dikatakan oleh mereka. Lalu mereka diperintahkan untuk pulang kembali, dan ketika telah berada di luar, Abu Sufyan berkata kepada para sahabatnya: “Bagiku, bintang Muhammad sedang dalam keadaan bersinar, karena orang yang sebesar Kaisar Bizantin pun nampak takut kepadanya”.
Tidak lama sesudah itu, surat lainnya dikirim dengan syarat yang sama dengan Heraclius. Surat itu dialamatkan kepada Hariṭ VII, Pangeran Bani Gassan, yang diteruskan kepada Kaisar dengan alamat dari dirinya sendiri, kemudian ia meminta izin Kaisar untuk menghukum penulisnya yang tidak sopan. Namun Heraclius melarangnya mengirim pasukan, dan meminta agar Hariṭ bisa tiba dengan segera di Yerusalem.
Surat Nabi Muhammad s.a.w. yang lainnya dialamatkan kepada Khusroe Parvez bin Hormuz, Kaisar Persia, yang berasal dari dinasti Sassanid yang amat terkenal. Persia berhubungan panjang dengan Arabia. Bahrain, di timur Arabia, dan Yaman di selatan keduanya menjadi bagian dari wilayah Khusroe, dan diperintah oleh gubernur bawahannya. Faktor lain yang berhubungan dengan minat Khusroe dalam urusan Arabia ialah karena di sana ada suku-suku Yahudi yang telah tinggal di Madinah, Khaibar, Wadil Qura dsb.
Suku-suku Yahudi ini melawan Bizantin dengan penentangan dan siksaan yang akan disebutkan di belakang, namun Yahudi selalu bersahabat dengan Persia. Di zaman Nabi Muhammad s.a.w., para pemimpin Yahudi sering mengunjungi Persia dan dengan berbagai cara berupaya mengadu domba antara Khusroe dengan beliau.
Surat Nabi Muhammad s.a.w. yang dialamatkan kepada Khusroe dibawa oleh Sahabat-nya yang setia Abdullah bin Hużaifah Sahmi, yang diperintahkan bertemu terlebih dahulu dengan Gubernur Bahrain Munżar bin Sawi, dan menyampaikan surat kepada Khusroe melalui perantaraannya. Surat itu juga disegel seperti yang telah diberikan kepada Kaisar Bizantin, dan isi teksnya adalah sbb:
”Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Dari Muhammad Utusan Allah, kepada Khusroe, Pemimpin Iran.
Damailah bersamanya, bagi siapa pun yang mengikuti jalan yang lurus, percaya kepada Allah dan Utusan-Nya dan bersaksi bahwa tidak ada satu pun yang patut disembah melainkan Allah Yang Esa, tanpa sekutu dan Muhammad adalah Hamba dan Utusan-Nya. Saya mengundang anda untuk memenuhi Seruan Allah, dan saya adalah Utusan Allah untuk seluruh ummat manusia, dan saya memberi peringatan kepada semua orang yang masih hidup dan karenanya kebenaran telah menjadi jelas serta pengadilan Allah akan dikenakan kepada orang-orang kafir. Saya menyeru anda untuk menerima Islam dan membuat anda menjadi aman. Jika anda menolak, anda akan menanggung akibat dari penolakan itu.’
Abdullah bin Hużaifah bercerita, ketika surat Nabi Muhammad s.a.w. diserahkan kepada Khusroe, lalu ia menyuruh penterjemah membacakan surat itu untuknya. Ketika mendengar pembacaan itu, Khusroe menjadi marah-marah dan merebut surat itu dari tangan penterjemahnya, lalu merobek-robeknya dan berkata: ”Berani-beraninya seorang bawahanku menulis surat dengan kata-kata itu.
Ketika beliau menerima laporan tentang peristiwa yang disebutkan itu, beliau bersabda: ”Terkait dengan masalah yang ini (artinya orang-orang Iran) maka mereka akan hancur berkeping-keping, dan terkait dengan masalah yang itu (artinya orang-orang Bizantin) maka mereka akan diberi penangguhan.
Pengumuman Nabi Muhammad s.a.w. terpenuhi sesuai sabda beliau tentang Imperium Persia dalam beberapa tahun saja, tapi Imperium Bizantin, di luar provinsinya di timur yang lepas, masih berlanjut dalam beberapa abad.
Khusroe tidak membatasi amarahnya pada Nabi Muhammad s.a.w. hanya dengan merobek surat, namun memerintahkan Gubernur Yaman, yaitu Baḍan, untuk segera mengirim utusan yang kuat ke Hejaz dan menangkap penda’wa kenabian itu, serta membawanya ke depan Khusroe. Lalu Baḍan memilih juru-tulis Banweh untuk tujuan itu, dan berangkat ke Madinah dengan disertai oleh pasukan bersenjata, dan membawa surat yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang isinya mendesak beliau untuk dibawa oleh kedua utusan itu dan akan dihadapkan kepada Khusroe.
Ketika mereka tiba di Madinah, surat dari Baḍan diserahkan kepada beliau dan mereka memohon agar beliau dapat menemani mereka sebagaimana disebutkan di dalam surat itu, dan apabila perintah itu tidak dipenuhi maka Khusroe akan menghancurkan negara itu beserta seluruh rakyatnya. Nabi Muhammad s.a.w. tersenyum dan mengundang mereka untuk memeluk Islam dalam satu pembicaraan singkat, serta bersabda bahwa mereka harus bermalam karena beliau akan menjawab surat itu keesokan harinya. Ketika mereka menghadap keesokan harinya, beliau bersabda kepada mereka: ”Sampaikan pada tuanmu, Tuanku telah menyembelih tuannya tadi malam.
Banweh dan sahabatnya kembali ke Yaman dan menyampaikan berita dari Nabi Muhammad s.a.w. kepada Baḍan, yang begitu mendengarnya, ia berkata: ”Jika apa yang ia sampaikan benar, maka ia benar-benar Nabi Allah.
Lalu, Baḍan menerima berita isyarat dari Ṣerweh (Sirus), anak Khusroe Parvez, bahwa ia telah menyembelih ayahnya sendiri atas nama masyarakat, karena tirani dan tindakan tanpa belas kasihan Khusroe dalam membunuhi kaum ningrat kerajaan itu. Baḍan telah diperintahkan untuk mengambil bai’at rakyat Yaman kepada Ṣerweh, dan juga telah dikatakan bahwa perintah yang dikirim ayahnya terhadap orang-orang Arab telah dicabut.
Setelah menerima berita itu, Baḍan berkata tidak sengaja: ”Kata-kata Nabi Muhammad s.a.w. terbukti benar; kelihatannya beliau adalah Nabi Sejati dari Allah dan aku percaya kepada beliau.Ia segera menulis surat pada Nabi Muhammad s.a.w. memberitahukan bahwa dia memeluk Islam.
Muqauqis adalah Raja Muda Mesir bawahan Kaisar Bizantin, nama sebenarnya adalah Juraij bin Mina dan dia seorang Coptik yang memeluk agama Kristen sebagaimana orang-orang Mesir pada umumnya di zaman itu, surat Nabi Muhammad s.a.w. yang dialamatkan kepadanya dibawa oleh Hatab bin Abi Balta’h yang merupakan Sahabat-khusus beliau, dan yang juga ikut bertempur di perang Badar.
Teks suratnya adalah:
Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang, dari Muhammad Hamba Allah dan Utusan-Nya, kepada Muqauqis, Pemimpin Coptik.
Damailah bersamanya, bagi siapa pun yang mengikuti jalan yang lurus. Saya mengundang anda untuk memenuhi Seruan Allah. Peluklah Islam dan hiduplah dengan selamat sejahtera; Allah akan memberi karunia yang berlipat ganda. Jika anda menolak, anda dan orang-orang Coptik akan menanggung akibat dari penolakan itu. Wahai orang-orang Ahli Kitab!
Dan jika mereka menolak, katakanlah: ”Bersaksilah kalian, bahwa kami berserah diri sepenuhnya kepada Allah”.
Ketika Hattab tiba di Alexandria dan telah diizinkan menghadap pada Muqauqis serta menyerahkan surat Nabi Muhammad s.a.w. kepadanya, lalu dia membacanya, dan berkata dengan nada berkelakar kepada Hatab: ”Jika tuanmu itu Nabi Allah sejati, lalu mengapa dia tidak memohon kepada Allah agar Dia membuatku tunduk padanya.
Hatab menjawab bahwa Yesus pun tidak pernah berdoa seperti itu, terus disambung: ”Di negara anda, ada yang menda’wa bahwa ia tuhan dan penguasa dunia, namun Allah menyitanya dengan begitu rupa hingga ia menjadi contoh dari semua generasi berikutnya. Jadi saya mohon agar sudilah kiranya anda melihat pada apa yang telah terjadi, dan tidak menjadi orang yang dijadikan contoh buruk oleh orang lain.
Lalu Muqauqis menjawab dengan nada perkataan yang lebih serius: ”Kami beragama, dan kami tidak mau melepaskannya kecuali kami mendapat agama yang lebih kuat lagi.
Hatab menjawab: ”Islam adalah agama yang membuat pengikutnya terbebas dari keinginan memeluk agama lain, dan tidak perlu membuang keimanan kepada Yesus a.s. Ajaran Islam percaya segenap Nabi-nabi. Nabi Musa a.s. telah meramal datangnya Yesus a.s., dan dalam cara yang sama Yesus a.s. pun telah menubuatkan tentang akan turunnya Nabi Muhammad s.a.w.
Dalam wawancara selanjutnya yang juga dihadiri oleh pejabat tinggi gereja, Muqauqis berkata kepada Hatab: ”Aku mendengar bahwa Nabimu telah diusir dari rumahnya. Mengapa pada saat itu ia tidak mampu memohon kepada Allah untuk menghancurkan musuh-musuhnya?
Hatab menjawab: ”Nabi Muhammad s.a.w. hanya terusir dari rumahnya, tapi Yesus a.s. telah ditangkap orang Yahudi dan mereka bermaksud membunuhnya di tiang salib, dan ternyata beliau juga tidak mampu menghancurkan musuh-musuhnya jika hanya melalui permohonan doanya saja.
Muqauqis menjawab: ”Anda benar-benar orang yang cerdik dan telah dipilih sebagai utusan oleh seorang yang bijak. Saya tertarik dengan apa yang telah anda katakan tentang Nabi-mu dan saya pikir dia tidak mengajar apa pun yang buruk-buruk atau melarang apa pun yang baik-baik.
Lalu ia menempatkan surat Nabi Muhammad s.a.w. dalam sebuah kotak gading kecil, disegel dan dipercayakan kepada salah satu pelayan perempuannya. Lalu dia memanggil orang yang bisa bahasa Arab dan mendiktekan surat berikut:
Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Kepada Muhammad bin Abdullah, dari Muqauqis, Pemimpin Coptik.
 Keselamatan bersama anda. Saya telah membaca surat anda dan telah faham semua isinya, yang karena hal itulah anda telah menyeru saya. Saya faham bahwa seorang Nabi akan turun, namun saya menyangka bahwa ia akan muncul dari Siria. Saya menghormati utusan anda, dan saya kirimkan dua orang gadis berasal dari keluarga ningrat Coptik, dan sejumlah pakaian dan seekor keledai tunggangan.
Keselamatan bersama anda.
Lalu ia menitipkan surat itu kepada Hatab yang meneruskannya kepada Nabi Muhammad s.a.w.. Dari kedua orang gadis yang dikirim Muqauqis, salah satunya bernama Maryam dan yang lainnya bernama Sairin. Mereka kakak beradik.
Ketika mereka telah tiba di Madinah, lalu mereka memeluk Islam atas perintah dari Nabi Muhammad s.a.w.. Beliau menikah dengan Sayidah Maryam r.a. dan menikahkan saudaranya Sairin kepada penyair Arab terkenal Hassan bin Ṣabit. Dari Sayidah Maryam r.a. telah lahir putra Nabi Muhammad s.a.w. yang diberi nama Ibrahim. Keledai itu berbulu putih diberi nama Duldul. Beliau sering menunggangnya. Beliau menunggangnya di perang Hunain.
Satu hal yang amat menarik hati secara khusus tentang surat Nabi Muhammad s.a.w. kepada Muqauqis adalah bahwa setelah berabad-abad, surat asli tersebut ditemukan pada tahun 1858 oleh Monsieur Etienne Barthelemy anggota ekspedisi Perancis di sebuah biara di Mesir, dan sampai sekarang dipelihara dengan baik di Constantinopel. Berbagai photo surat itu telah dipublikasikan sejak saat itu.
Yang pertama, telah dipublikasikan oleh surat-kabar terkenal Mesir, al-Hilal, pada bulan November 1904; dan kemudian direproduksi di halaman 364 buku karya Profesor Margoliouth, Muhammad dan Kebangkitan Islam, dan di halaman 198 pada publikasi Mesir, Sejarah Politik Islam, karya Dr. Hassan bin Ibrahim, Profesor Sejarah di Universitas Islam Kairo. 
Sebagian sarjana Muslim telah menguatkan bahwa itulah surat yang asli, yang telah dikirim oleh Nabi Muhammad s.a.w. kepada Muqauqis, Raja Muda Mesir. Teks surat itu, benar-benar sama dengan teks yang diterangkan dalam buku-buku sejarah Islam dan kompilasi Hadis-hadis.
Nabi Muhammad s.a.w. juga mengirim surat kepada As’hama, Najaṣi dari Abesinia, yang menjadi pengagum berat beliau, dan sangat menghormati beliau dengan begitu besarnya, dan ia telah memperlakukan ummat Muslim dengan baik yang telah hijrah ke negaranya dan tinggal di sana, atas perintah beliau. Surat ini dipercayakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. kepada Amir bin Umayyah Ḍamiri.
Teks surat adalah sbb:
Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Dari Muhammad, Utusan Allah, kepada Najaṣi, Raja Abesinia.
 Kedamaian bersama anda. Aku memuji Allah yang di sisi-Nya tidak ada yang patut disembah, Raja, Yang Maha Suci, Sumber Kedamaian, Maha Pemberi Keamanan, Maha Pelindung. Aku bersaksi bahwa Yesus anak Maryam telah diangkat dengan Firman Allah, yang Dia berikan kepada Maryam.
Aku menyerumu kepada Allah, Yang Maha Esa tanpa sekutu, dan untuk bekerja sama denganku dalam mematuhi Dia dan ikutilah aku, dan ikutilah aku, dan percaya pada segala yang telah diwahyukan kepadaku, karena aku adalah Utusan Allah dan menyerumu dan menyeru orang-orangmu kepada Allah, Yang Maha Mulia.
Aku menyampaikan beritaku kepadamu dan telah menyerumu dengan segala ketulusan akan kebenaran. Dan jawablah seruanku yang tulus ini. Aku telah mengirim keponakanku Jafar dan sekelompok orang-orang Muslim ke negara anda.
Kedamaian bersama dia yang selalu mengikuti jalan yang lurus.
Ketika surat itu diserahkan kepada Najaṣi, beliau mengangkatnya ke dekat matanya, lalu turun dari singgasananya dan berkata: ”Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Lalu beliau meminta kotak gading kecil, dan menaruh surat itu ke dalamnya, dan berkata: ”Sepanjang surat ini dipelihara dengan baik oleh dinasti kerajaan kita, maka rakyat Abesinia akan terus menerus menerima berkat darinya.
Najaṣi mengirimkan surat jawaban kepada Nabi Muhammad s.a.w. sbb:
Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Kepada Muhammad, Utusan Allah, dari Najaṣi As’hama.
Keselamatan bersama anda, ya Utusan Allah dan atas segala belas kasihan-Nya dan atas berkat-Nya. Allah yang di sisi-Nya tidak ada yang patut disembah, Dia, Yang membimbingku terhadap Islam. Ya Utusan Allah, surat engkau telah sampai kepadaku. Demi Tuhan langit dan bumi, Yesus a.s. tidak lagi lebih dari apa yang telah engkau terangkan, walau sedikit pun. Saya memahami terhadap apa yang telah engkau kirimkan kepada kami. Saya bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar Utusan Allah yang kebenarannya telah teruji. Saya mengambil Bai’at di tangan keponakanmu dan memeluk Islam hanya demi Allah, Tuhan semesta alam.
Keselamatan bersama anda, dan atas segala belas kasih Allah dan berkat-Nya.
Itu adalah Najaṣi yang wafat pada tahun ke-9 Hijrah, dan ketika wafat, Nabi Muhammad s.a.w. memimpin Ṣalat jenazah dan mengumumkan bahwa seorang saudara dalam Islam yang muttaqi, Najaṣi Abesinia, telah wafat dan kerabat Muslim itu harus didoakan untuk penyelamatan ruh-nya.
Beliau juga mengirim surat kepada penerusnya, namun ia tidak membalasnya dan mati secara Kristen. Nabi Muhammad s.a.w. juga mengirim surat pribadi kepada Najaṣi As’hama di waktu yang bersamaan dengan surat resmi yang teks isinya telah diterangkan di atas.
Dalam surat pribadinya beliau meminta Najaṣi untuk menikah dengan Umi Habibah r.a. putri Abu Sufyan, dan janda dari Ubaidullah bin Jashsy r.a. sepupu beliau yang telah wafat di Abesinia. Beliau juga meminta Najaṣi agar mengatur kepulangan Jafar r.a. dan para sahabatnya kembali ke Madinah. Najaṣi mentaati kedua permintaan dari beliau tersebut.
Nabi Muhammad s.a.w. mengirim surat lainnya kepada Hauża bin Ali, Pemimpin Bani Hanifah, suku Kristen di Yamamah. Surat yang dibawa Salit bin Amr Qarṣi yang diterima dengan amat ramah oleh Hauża, diserahkan dengan pertukaran sejumlah pakaian dan persediaan perjalanan pulang. Dia dititipkan surat balasan untuk beliau yang berisi berita sebagai berikut: ”Kesempurnaan dan keindahan wahyu membuat engkau mengundang saya. Arab adalah kemuliaanku. Berikanlah sebagian kepadaku sebagai penguasa setelah engkau, dan aku akan menjadi pengikutmu.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. membaca suratnya, beliau bersabda: ”Penguasa hanya Allah, orang ini telah meminta padaku sebutir korma yang belum matang, dan tentang bagiannya untuk tanah, maka aku tidak akan memberikan kepadanya.
Hauża wafat di tahun depannya.

------------------ *** ------------------

No comments:

Post a Comment