Saturday, July 2, 2011

BAB - 03. FITNAH & ANIAYA KEJI SUKU QURAISY

Ketika penderitaan dan kesengsaraan orang-orang Muslim di tangan suku Quraisy telah mencapai batasnya, Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan bagi mereka yang mampu untuk segera hijrah ke Abesinia menyeberangi Laut Merah. Beliau mengetahui bahwa penguasa Abesinia jujur dan tidak mengizinkan siapa pun bertindak buruk di wilayah negaranya. Gelar dari penguasa Abesinia adalah  Najaṣi. Ibu-kota negara itu bernama Axum, yang dekat dengan kota modern Adowa. Najaṣi yang berkuasa saat itu bernama As’hama, beliau seorang yang jujur, pintar dan penguasa yang berpengaruh besar. Najaṣi As’hama adalah seorang pemeluk Kristen yang taat, dan berkuasa atas daerah yang sangat luas.
Di bawah perintah Nabi Muhammad s.a.w. sebelas orang laki-laki dan empat orang perempuan Muslim berangkat hijrah ke Abesinia. Nama-nama yang sudah jelas diketahui adalah sbb:
1. 2. Uṡman bin Affan r.a. dan istrinya Ruqayyah r.a., putri Nabi Muhammad s.a.w.
3.      Abdul Rahman bin Auf r.a.
4.      Zubair bin Awwam r.a.
5.      Abu Hużaifah bin Utba r.a.
6.            Usman bin Maz’un r.a.
7.      Musa’b bin Umair r.a.
8. 9.  Abu Salamah bin Abdul Asad r.a. dan istrinya Umi Salamah r.a..
Kesemua nama-nama tersebut di atas memiliki hubungan dengan suku-suku Quraisy yang berkuasa, dan telah menunjukkan bahwa mereka tidak aman terhadap penyiksaan dari orang-orang Quraisy, dan juga bagi orang-orang Muslim yang lemah ekonomi atau pun pisik tidak bisa ikut berangkat hijrah ke Abesinia.
Ketika para muhajirin tiba di pelabuhan terdekat, mereka beruntung karena tersedia kapal yang sudah siap berangkat ke Abesinia. Semuanya naik ke atas kapal, lalu segera berlayar menuju negeri tujuan. Ketika suku Quraisy mengetahui tentang hijrahnya mereka, pemimpin Quraisy menjadi amat kesal dan mengirim orang-orangnya untuk memburu mereka, namun ketika tiba di pantai, kapal sudah berlayar dan orang-orang Quraisy pulang kembali ke Mekah dengan perasaan amat kecewa. Ummat Muslim yang menjadi muhajirin itu tiba di Abesinia dan tinggal di sana dalam kedamaian dan sangat bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjauhkan mereka dari tirani suku Quraisy.
Lalu beredarlah sebuah kisah bahwa mereka tidak sempat tinggal lama di Abesinia, karena tidak lama setelahnya mereka menerima kabar bahwa seluruh suku Quraisy telah memeluk Islam sehingga Mekah menjadi aman dan damai. Begitu kabar tersebut didengar oleh mereka, lalu sebagian besar dari mereka dengan terburu-buru pulang kembali ke Mekah. Ketika sampai di Mekah mereka mengetahui bahwa kabar itu ternyata bohong belaka. Mereka menjadi kebingungan sehingga tidak tahu harus berbuat apa. Sebagiannya berangkat lagi ke Abesinia, dan sebagian lainnya masuk kota Mekah secara diam-diam atau di bawah perlindungan orang yang berpengaruh besar di sana.
Peristiwa hijrah itu dan kembalinya mereka terjadi pada tahun ke-5 kenabian Nabi Muhammad s.a.w. Sebuah penelitian seksama terhadap seluruh kejadian itu, telah menyangsikan bahwa desas-desus tersebut dapat sampai kepada kelompok muhajirin di Abesinia, dan apakah benar terdapat sebagian mereka yang berupaya kembali ke Mekah.
Peristiwa ini entah bagaimana menjadi terhubung dengan peristiwa lainnya yang diriwayatkan di dalam hadis Bukhari yaitu sebagai berikut: “Pada suatu hari Nabi Muhammad s.a.w. membaca ayat-ayat Surah an-Najm (Surah 53, Juz-27) di pelataran Ka’bah, dan pada saat itu sebagian kepala-kepala suku Quraisy ikut hadir di sana, demikian juga hadir beberapa orang Muslim. Ketika selesai membaca Surah itu, beliau terus bersujud dan semua orang-orang Muslim dan juga orang-orang kafir yang hadir di sana menjadi ikut bersujud juga.”
Hadis itu tidak menjelaskan tentang mengapa orang-orang kafir tersebut menjadi ikut bersujud, namun nampaknya terjadi ketika Nabi Muhammad s.a.w. membaca Surah yang ayat-ayatnya menekankan kepercayaan kepada Tauhid  beserta Kuasa dan Kehendak-Nya, lalu diakhiri dengan peringatan:
Azifatil-āzifah. Laisa lahā min dūnillāhi kāsyifah. A fa min hāżal- ḥadīṡi ta’jabūn, wa taḍḥakūna wa lā tabkūn, wa antum sāmidūn. Fasjudū lillāhi wa’budū. ”Saat pembalasan itu telah kian mendekat, tiada baginya selain Allah yang dapat mengelakkan. Maka apakah kamu heran atas pemberitaan ini? Dan kamu tertawa dan tidak menangis? Dan sedangkan kamu keheran-heranan? Maka bersujudlah kepada Allah dan beribadahlah kepada-Nya.” (an-Najm: 58-63)
Nabi Muhammad s.a.w. dan ummat Muslim segera bersujud dan Quraisy juga yang sebegitu terkesannya dengan kejadian itu, ditambah dengan suasana yang mendukung, telah juga ikut bersujud. Hal ini tidak perlu diherankan karena sebenarnya suku Quraisy itu tidak atheis dan mengakui bahwa Allah itu berwujud. Jadi, ketika pembacaan dari kalimat-kalimat yang agung dan mulia itu dibacakan, lalu beliau dan ummat Muslim semuanya bersujud, maka suku Quraisy juga begitu terpengaruh dan mereka ikut bersujud. Namun hal itu hanya merupakan kejadian yang sesaat saja. Setelah bersujud, suku Quraisy pun tetap menyembah berhala sebagaimana sebelumnya.
Yang kedua, suku Quraisy yang cemas atas selamatnya para muhajirin di Abesinia mungkin mengambil manfaat dari ketidak sengajaan perbuatan mereka, dan mulai menyebarkan desas-desus bahwa seluruh Quraisy telah memeluk Islam sehingga Mekah menjadi tempat yang aman dan damai bagi ummat Muslim. Juga dimungkinkan bahwa ketika desas-desus itu sampai kepada ummat Muslim di Abesinia, mereka menjadi teramat senang, dan sebagian dari mereka segera kembali ke Mekah, tapi ketika tiba di batas kota Mekah, mereka sadar atas kesalahannya dan menjadi kebingungan. Bahkan jika pun sebagian dari mereka telah berangkat dari Abesinia, maka bagian terbesarnya akan segera kembali lagi.
Karena penyiksaan terhadap orang Muslim oleh suku Quraisy terjadi setiap hari, maka orang-orang Muslim yang lainnya di bawah perintah beliau diam-diam menyiapkan diri dan mengikuti mereka satu demi satu. Dengan demikian jumlah muhajirin yang hijrah ke Abesinia telah mencapai 100 orang, dan 18 orang di antaranya perempuan. Orang-orang Muslim yang masih tinggal bersama beliau di Mekah tinggal sedikit. Hijrah berikutnya ke Abesinia kadang-kadang disebut juga dengan peristiwa hijrah yang kedua.
Di dalam lingkup ini, penting untuk ditelaah tentang cerita lisan yang tidak pernah terbukti dan terkait dengan desas-desus tersebut, yang dikatakan telah mengakibatkan kembalinya sebagian muhajirin Abesinia yang pertama.
Sebagian orang menaruh prasangka bahwa Nabi Muhammad s.a.w. menjadi sebegitu bergembiranya karena beliau mungkin dapat memberikan beberapa wahyu yang terbukti efektif dalam menarik suku Quraisy ke dalam Islam dan menghapus penentangan mereka, ketika, pembacaan Surah an-Najm sampai ke ayat:
A fa ra’aitumul-Lāta wal-‘Uzzā. Wa Manātaṡ-ṡāliṡatal-ukhrā. ”Apakah patut kamu menganggap al-Lata dan al-‘Uzza, Dan al-Manat, ketiga yang paling kemudian.” (an-Najm: 20-21)
Diceritakan bahwa setan mengambil kesempatan ketika beliau bergembira dan meletakkan pada mulut beliau kata-kata: ”Ini adalah dewa-dewi yang mulia dan syafaat mereka amat didambakan.”
Diceritakan juga bahwa suku Quraisy sangat senang ketika mendengar pujian Nabi Muhammad s.a.w. bagi dewa-dewi mereka, sehingga ketika beliau dan orang Muslim bersujud di akhir bacaan Surah, mereka juga turut bersujud, dan dengan demikian persetujuan telah didirikan oleh kedua belah pihak. Namun segera setelah itu beliau menjadi sadar akan kekeliruan dan ayat-ayat yang menyakitkan itu telah dibatalkan, dan suku Quraisy menjadi tidak puas. Karena berita tentang persetujuan itu telah tersebar luas, maka berita itu sampai juga ke Abesinia, dan begitu mendengarnya, sebagian muhajirin kembali ke Mekah.
Cerita yang tidak masuk akal ini hanya dongeng lisan saja, tanpa dasar. Menurut penelitian ahli sejarah, hijrah pertama ke Abesinia berlangsung di bulan Rajjab pada tahun ke-5 kenabian, dan peristiwa mengenai bersujud itu berlangsung di bulan Ramaḍan di tahun itu, dan kembalinya sebagian muhajirin berlangsung di bulan Syawal pada tahun yang sama. Jadi, hanya terdapat selang waktu dua atau tiga bulan antara dimulainya hijrah dan kembalinya sebagian dari muhajirin itu, dan selang waktu antara peristiwa bersujud dengan kembalinya sebagian muhajirin terjadi hanya dalam waktu satu bulan saja.
Dalam keadaan yang lazim terjadi di zaman itu, menjadi sangat tidak mungkin bahwa tiga buah perjalanan yang mencakup: 1. Muhajirin pergi dari Mekah ke Axum, 2. Seseorang membawa berita peristiwa bersujud dari Mekah ke Axum dan, 3. Muhajirin di Axum mendengar ada persetujuan antara pihak Quraisy dengan ummat Muslim, dan mereka kembali ke Mekah, dapat terlaksana di dalam waktu yang singkat yang terjadi antara dimulainya hijrah dan kembalinya sebagian muhajirin.   
Selanjutnya, enam orang perawi Hadis-hadis sahih yaitu, Bukhari, Muslim, Ibn Majah, Tirmiḍi, Nasai dan Abu Daud, walau mereka menerangkan terdapat pembacaan Surah an-Najm dan bersujudnya suku Quraisy, namun mereka tidak menerangkan tentang ayat-ayat yang menyakitkan, atau mereka membuat referensi hal itu pada lingkup lainnya.
Imam-imam agung Hadis-hadis seperti Allamah Aini, Qazi Ayaḍ dan Allamah Novi, menolak kisah itu setelah membahasnya secara rinci.
Allamah Aini menyimpulkan: ”Pada kenyataannya kisah itu tidak berdasar atau tidak beralasan.”
Qazi Ayaḍ mengatakan: ”Kisah itu tidak didukung laporan penulis yang penuh kehati-hatian dan pandai serta dapat dikritik dari segi mana pun. Tak seorang pun dari penulisnya yang melakukan pengechekan kepada Nabi Muhammad s.a.w., atau pun kepada para Sahabat.”
Allamah Novi menulis: ”Tak ada sepatah kata pun yang benar dan berdasarkan fakta atau pun alasan.”
Ahli tafsir terkenal seperti Imam Razi menerangkan bahwa kisah itu dusta dan tidak masuk akal.
Sufi yang berpandangan luas, Mahyuddin ibn Arabi, mengatakan: ”Kisah itu tak berdasar sama sekali.”
Tabari, penulis biografi Nabi Muhammad s.a.w. yang paling dipercaya, tidak menerangkan apa pun tentang ayat-ayat yang menyakitkan itu.
Penelitian pada Surah an-Najm sendiri sudah membuktikan bahwa kisah itu tidak benar. Ayat-ayat yang disebut menyakitkan itu tidak sesuai dengan keseluruhan ayat-ayat yang lainnya. Ringkasnya, kisah itu tidak sesuai dengan keseluruhan konsep Kenabian, dan terutama terhadap Nabi Muhammad s.a.w. yang mutaqi yang diterangkan bahwa beliau dapat dipengaruhi oleh hasutan setan pada saat itu. Logika pun menentang anggapan tersebut, karena orang yang selama hidupnya dahulu tidak pernah menyembah berhala, dan tegas-tegas diperintah Allah SWT untuk menghukum penyembah berhala tanpa pilih-bulu, serta memanggil ummat manusia agar menyembah Tuhan Yang Maha Esa Sejati, yaitu batu fondasi bagi orang yang beriman kepada Tauhid, dan yang pada prakteknya selalu ditentang oleh orang-orang Quraisy, haruskah beliau cenderung pada penyembah-berhala hanya untuk menyenangkan pihak Quraisy?
Apakah penelitian rinci riwayat hidupnya dapat membuktikan beliau pernah cenderung untuk berkompromi dalam ajarannya terhadap orang-orang kafir?
Beliau nyata-nyata telah diperintahkan :
Inna rabbaka huwa a’lamu bi man ḍalla ‘an sabīlih, wa huwa a’lamu bil-muhtadīn. Fa lā tuṭi’il-mukażżibīn. Waddū lau tud hinu fa yud hinūn. ”Sesungguhnya Tuhan-mu Dia-lah Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah Paling Mengetahui mereka yang mendapat petunjuk. Maka janganlah kamu ikuti mereka yang mendustakan. Mereka menghendaki kamu bersikap lunak, supaya mereka pun bersikap lunak.” (al-Qalam: 8 – 10)
Alquran menyatakan dengan tegas bahwa semua gagasan setan tidak dapat mempengaruhi orang mutaqi, apalagi kepada seorang nabi atau seorang utusan. Contohnya, disebutkan bahwa setan telah menyombongkan dirinya:
Qāla rabbi bimā agwaitanī la’uzayyinanna lahum fil-arḍi wa la’ugwiyannahum ajma’īn, illā ‘ibādaka min humul-mukhlaṣīn. Qāla hāżā ṣirāṭum ‘alayya mustaqīm. Inna ‘ibādī laisa laka ‘alaihim sulṭānun illã manittaba’aka minal gāwīn. Wa inna Jahannama lamau‘iduhum ajma’īn. ”Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan aku sesat, tentulah aku akan jadikan kesesatan ditampakkan indah bagi mereka di bumi, dan niscaya akan kusesatkan mereka itu semua. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis dari antara mereka. Allah berfirman: “Inilah jalan kepada-Ku yang lurus. Sesungguhnya, hamba-hamba-Ku, tidak ada bagimu atas mereka kekuasaan, kecuali yang mengikuti kamu di antara orang-orang sesat.” Dan sesungguhnya Jahannam adalah tempat yang telah dijanjikan bagi mereka semua.” (al-Hijr: 40 – 44)
Juga, telah disebutkan:
Hal unabbi’ukum ‘alā man tanazzalusy-syayāṭīn, tanazzalu ‘alā kulli affākin aṡīm. ”Maukah Aku beritahukan kamu kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta yang berdosa.” (asy-Syu’ārā’: 222 - 223)
Dari semua sudut pandang itu, apakah ada kemungkinan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. dalam keadaan apa pun, dapat dipengaruhi oleh setan?
Sesungguhnya, jika hasutan kepada seorang nabi dapat berjalan, maka segenap kenabian dan wahyu menjadi meragukan dan tidak ada kepercayaan apa pun yang dapat diberikan kepada mereka, dan alat yang amat pasti untuk membimbing ummat manusia yang diberikan oleh Tuhan, melalui berkat dan kemurahannya, akan menjadi sia-sia belaka.
Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana kisah tersebut dimulai?
Allamah Qastalani dan Allamah Zarqani telah menawarkan suatu penjelasan dan didukung oleh banyak sarjana-sarjana peneliti. Mereka tertarik terhadap fakta bahwa orang-orang kafir suku Quraisy memiliki kegemaran membuat kegaduhan ketika Nabi Muhammad s.a.w. membaca Alquran dan menciptakan kekacauan pada bacaan beliau, dengan harapan agar ummat Muslim menjadi frustrasi dan bingung, sebagaimana telah disebutkan:
Wa qālal-lażīna kafarū lā tasma’ū li hāżāl-Qur’āni wal-gau fīhi la’allakum taglibūn. ”Dan berkata orang-orang yang ingkar, ’Janganlah kamu mendengarkan Alquran ini, melainkan berbuat gaduhlah pada waktu pembacaan-nya supaya kamu menang’.” (Ha Mim as-Sajdah - Fuṣṣilat: 27)
Pada kesempatan ini mereka melakukan upaya yang serupa, dan ketika Nabi Muhammad s.a.w. menerangkan nama-nama dari dewa-dewi mereka, seseorang berteriak: ”Mereka adalah dewa-dewi yang mulia,” dimana melalui perantaraan teriakan orang-orang itu, maka sebagian orang akan menjadi bimbang apakah beliau sendiri yang mengucapkan kata-kata itu. Penjelasan ini didukung dengan fakta bahwa ketika orang Quraisy ṭawaf di Ka’bah selalu meneriakkan kalimat patokan yaitu: ”Mereka adalah dewa-dewi yang mulia.” Penjelasan ini didukung oleh Mahyuddin ibn Arabi, Qazi Ayaḍ, Ibn Jarir, Imam Razi, dan Hafiż ibn Hajar.
Ketika suku Quraisy mengetahui ummat Muslim memperoleh suaka yang aman di Abesinia, mereka merasa gelisah dan memikirkan cara-cara untuk mengusir mereka dari sana. Akhirnya mereka memilih dua orangnya yang terkenal yaitu Amr bin Aas dan Abdullah bin Rabiyyah sebagai delegasi mereka ke Abesinia dengan tujuan agar usaha mereka bisa berhasil. Mereka membawa cindera-mata yang amat berharga bagi Najaṣi dan bagi seluruh pejabat tingginya, yang utamanya terdiri dari barang-barang yang dibuat dari kulit-binatang yang telah membuat Arabia jadi terkenal, lalu menitipkan barang-barang tersebut kepada delegasi mereka.
Setelah tiba di Axum, Amr dan Abdullah menghubungi para pejabat tinggi bawahan Najaṣi dan menyerahkan cindera-mata, sehingga mereka memiliki akses kepada Najaṣi, dan setelah memberikan cindera-matanya kepada raja, mereka berkata: ”Wahai Raja yang Kuasa, orang-orang bodoh kami telah durhaka kepada agama leluhur kami dan telah memeluk agama baru yang juga menentang agama anda. Orang-orang ini membuat kekacauan besar di negara kami, dan sebagian dari mereka telah kabur serta sekarang mengungsi di negara ini. Kami memohon agar sudilah kiranya Tuanku memerintahkan agar mereka segera dikembalikan kepada kami.”
Sebagian pejabat tinggi Abesinia mendukung delegasi Quraisy, namun Najaṣi sang-penguasa yang bijak, menolak bertindak sepihak dan bersabda: ”Orang-orang ini mencari perlindungan kepadaku. Aku tidak akan memutuskan sebelum mendengar keterangan mereka.”
Lalu orang-orang Muslim yang hijrah itu dipanggil dan Najaṣi  bertanya, apa yang akan mereka katakan dan agama apa yang telah mereka peluk. Jafar bin Abi Ṭalib r.a. atas nama orang-orang Muslim yang hijrah menjawab: ”Wahai Raja yang Ramah, kami hanya orang-orang bodoh, korban dari para penyembah berhala, pemakan bangkai dan semua hal-hal yang buruk. Kami tidak punya hubungan keluarga, kami diperlakukan buruk oleh tetangga, dan yang terkuat di antara kami selalu menekan pihak yang lemah. Dalam keadaan itu, Allah menurunkan Utusan-Nya di antara kami, dengan keturunan yang mulia, kebenaran dan integritasnya telah kami kenal baik. Beliau menyeru kami menyembah Tuhan Yang Esa Sejati, dilarang menyembah berhala, menanam kebenaran, kejujuran dan berbuat baik kepada sesama. Beliau mengajak kami bersikap baik kepada tetangga, melarang kejahatan, dusta, menumpahkan darah, atau memakan hak anak-anak yatim. Kami percaya kepada beliau dan menjadi pengikutnya, akibatnya mereka berubah menjadi menentang, menyusahkan dan menyiksa kami dengan berbagai cara. Mereka memaksa dengan kekuatannya untuk memisahkan kami dari keimanan kami. Jadi kami dipaksa mereka untuk meninggalkan rumah kami dan mencari suaka di negeri ini. Kami memohon bahwa di bawah duli tuanku, kami akan selamat dari tirani.”
Najaṣi amat terkesan dengan apa yang telah diucapkan oleh Jafar dan memintanya agar dapat membacakan sebagian wahyu yang mereka percayai. Lalu, Jafar membaca ayat-ayat pembuka dalam Surah Maryam, dan mendengar ayat itu Najaṣi amat terharu, serta dengan air mata berlinang, beliau bersabda: ”Aku dapat merasakan bahwa kata-kata itu dan kata-kata Yesus telah keluar dari Sumber Cahaya yang sama.”
Beliau memerintahkan delegasi Quraisy untuk segera pulang, dan beliau tidak mau menyerahkan ummat Muslim kepada mereka. Beliau juga mengembalikan cindera-mata. Kegagalan ini tidak mematahkan semangat delegasi Quraisy, dan mereka meminta menghadap Najaṣi kembali, dan setelah mendapat persetujuan, mereka melaporkan bahwa ummat Muslim telah meremehkan Yesus sehingga mereka bersalah atas penghujatan kepada Tuhan. Kemudian Najaṣi  bertanya kepada ummat Muslim, apa yang mereka percayai tentang Yesus. Jafar menjawab bahwa mereka percaya Nabi Yesus a.s. itu hamba Allah dan bukan Tuhan, namun hanya seorang utusan Tuhan yang dilahirkan atas Firman Tuhan yang telah Dia turunkan melalui Maryam.
Mendengar ucapan itu, Najaṣi memungut jerami dari lantai dan bersabda: “Saya tidak menganggap Yesus lebih besar dari apa yang kamu ucapkan kepadaku, bahkan tidak seberat jerami ini.” Keterangan raja telah mengecewakan para pendeta Kristen yang hadir, namun Najaṣi tidak perduli dan delegasi Quraisy pulang kembali dengan membawa kekecewaan.
Ketika para muhajirin masih tinggal di Abesinia, Najaṣi berperang dengan pihak musuh. Para muhajirin mengirim Zubair bin Awwam menyeberang sungai Nil dimana perang itu berlangsung untuk melihat dan melaporkan keadaan di sana, barangkali bantuan mereka diperlukan, namun sementara itu, mereka telah mengirimkan doa bagi kemenangan Najaṣi. Kemudian Zubair kembali dalam beberapa hari dan mengabarkan bahwa Najaṣi  unggul. Para muhajirin bisa hidup tenang di Abesinia untuk sementara waktu. Mayoritas dari mereka kembali ke Mekah kira-kira bersamaan dengan waktu Hijrah ke Madinah, dan sisanya kembali ke Madinah ketika Nabi Muhammad s.a.w. pulang dari ekspedisi militer di Khaibar.
Ketika ummat Muslim hijrah ke Abesinia, Sayidina Abu Bakar r.a. juga berangkat dari Mekah untuk hijrah menuju selatan. Ketika tiba di Barkal Gamad beliau bertemu Ibn Dagna kepala suku Qarah, yang bertanya kenapa beliau mengambil arah yang lain. Sayidina Abu Bakar r.a. menjawab bahwa orang-orang Quraisy telah mengusirnya dari Mekah dan beliau bermaksud tinggal di suatu tempat agar bisa menyembah Allah dengan bebas. Ibn Dagna berkata kepadanya: “Orang seperti kamu tidak boleh diusir atau hijrah dengan keinginan sendiri. Kembalilah ke Mekah denganku dan sembahlah Allah dengan bebas. Aku perpanjang perlindungan untukmu.”
Jadi Sayidina Abu Bakar r.a. telah dapat dibujuk untuk kembali ke Mekah. Lalu Ibn Dagna menegur para pemimpin Quraisy karena menyebabkan orang seperti Abu Bakar menjadi sulit hidup bebas di Mekah. Kemudian, Sayidina Abu Bakar r.a. membangun muṣollah di halaman rumahnya dan melakukan ibadahnya dan menilawahkan Alquran di sana. Tilawahnya dilakukan dengan nada yang amat mengesankan dan pengabdian Sayidina Abu Bakar r.a. mulai menarik minat para perempuan, anak-anak dan orang-orang yang sederhana.
Pihak Quraisy menggugat Ibn Dagna bahwa Sayidina Abu Bakar r.a. membaca Alquran terlalu keras, sehingga para perempuan dan anak-anak mereka serta orang-orang yang lemah menjadi tertarik pada agamanya. Oleh karenanya, ia harus memberitahu Abu Bakar agar ia dilarang membaca dengan suara keras.
Ibn Daghna menerangkan hal itu kepada Sayidina Abu Bakar r.a., yang menjawab bahwa hal itu tidak akan dirubah, dan jika Ibn Dagna menjadi susah maka ia tidak perlu melindunginya lebih lanjut. Allah SWT telah cukup baginya sebagai Pelindung. Selanjutnya Sayidina Abu Bakar r.a. disiksa dengan beragam cara, namun beliau tetap berteguh-hati bagaikan batu karang. Di waktu yang bersamaan Islam dan ummat Muslim di Mekah telah diperkuat dan didukung oleh dua orang kuat yaitu Hamzah bin Abdul Muṭalib r.a. dan Umar bin Khattab r.a. yang telah memeluk Islam.
Kami akan menerangkan terlebih dahulu perubahan yang disebut pertama. Hamzah adalah paman Nabi Muhammad s.a.w. yang amat sayang sekali pada beliau. Kesenangannya adalah berburu dan sering melakukannya sampai sehari penuh. Pada sore harinya ia kembali lagi ke Mekah untuk melakukan ṭawaf di Ka’bah serta bertemu orang-orang Quraisy yang biasanya berkumpul di pelataran Ka’bah pada sekitar jam itu, dan setelahnya ia pulang ke rumah. Pada suatu hari, ketika pulang dari berburu, salah satu pelayannya melapor: ”Abul Hikam (Abu Jahal atau Umar bin Hisyam) baru saja mencaci-maki Nabi Muhammad s.a.w. keponakan engkau, tapi beliau diam saja.”
Begitu mendengarnya Hamzah merasa tersinggung dan setelah melakukan ṭawaf di Ka’bah, ia menuju sekumpulan orang dimana Abu Jahal duduk di sana, dan ia mengetok kepalanya dengan busur panahnya serta berkata: ”Aku dengar kamu mencaci-maki keponakanku Muhammad. Sekarang dengarkan. Aku juga ikut agama Muhammad, dan mengucapkan apa yang ia katakan. Kalau kamu berani, sekaranglah waktunya untuk kamu katakan secara terang-terangan.”
Para sahabat Abu Jahal berdiri dan mendukungnya serta suatu peristiwa besar mungkin saja terjadi, namun Abu Jahal terpengaruh oleh keberanian Hamzah dan menahan para sahabatnya, dan berkata: ”Hamzah punya alasan tepat untuk menjadi marah, karena aku benar-benar telah melakukan kesalahan.” Permasalahannya berhenti sampai di situ. Tapi, ketika sedang marah, Hamzah telah mengucapkan kata-kata “Aku juga ikut agama Muhammad,” namun ketika ia tiba dirumahnya dan marahnya sudah mereda, ia mulai memikirkan keadaan yang dihadapinya. Akhirnya ia memutuskan untuk melepas penyembahan berhala, lalu menghadap beliau dan secara resmi memeluk Islam. Pada hari yang sama Sayidina Abu Bakar r.a. mengumumkan Tauhid di pelataran Ka’bah secara terbuka. Dan Hamzah serta beberapa orang Muslim turut hadir di dalam kesempatan itu.
Setelah itu Quraisy benar-benar gelisah oleh keberanian Sayidina Abu Bakar r.a., lalu mereka menyerang dengan sangat kasar dan menganiayanya tanpa belas-kasihan sehingga ketika anggota sukunya menolong dan menggotongnya ke rumah, Sayidina Abu Bakar r.a. pingsan dan wajah beliau ter-robek. Ketika mulai sadar dari pingsannya, kata-kata pertama yang keluar adalah perintah untuk mencari tahu apakah Nabi Muhammad s.a.w. telah dianiaya juga.
Ketika masuknya Sayidina Umar r.a. diketahui oleh umum, pihak Quraisy menjadi amat tersinggung dan mengepung rumahnya. Ketika Sayidina Umar r.a. keluar, ia telah dikepung oleh segerombolan orang-orang, sebagian dari mereka hendak menyerangnya namun tepat pada waktunya datanglah Aas bin Wail salah satu kepala suku terbesar di Mekah, dan menanyakan apa yang terjadi. Ia diberitahu bahwa Sayidina Umar r.a. telah menjadi Muslim, dan ia menjawab: “Biarpun begitu, kalian tidak perlu membuat huru-hara. Perlindungan kepada Umar telah aku perpanjang.”
Kerumunan itu langsung bubar. Karena ada perlindungan dari Aas bin Wail maka Sayidina Umar r.a. menjadi aman, namun yang bersangkutan tidak gembira dengan hal itu. Selang beberapa hari Sayidina Umar r.a. pergi menemui Aas bin Wail dan berkata bahwa perlindungannya tidak diperlukan lagi. Selanjutnya beliau sering dipukuli dan dianiaya. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Abdullah r.a. putra Sayidina Umar r.a., telah masuk Islam juga, dan ia tumbuh menjadi orang saleh.
Pihak Quraisy sangat khawatir dengan masuk Islam-nya Hamzah r.a. dan Sayidina Umar r.a. Mereka berunding lalu mengirim Uṭba bin Rabia untuk berbicara dengan Nabi Muhammad s.a.w, serta membujuknya untuk menghentikan penyebaran Islam. Uṭba bin Rabia kembali dari tugasnya dan melaporkan kegagalannya, dan pemimpin suku Quraisy merasa bahwa jangankan membujuk beliau, malahan ia sendiri yang telah terpengaruh oleh beliau.
Mereka kembali rapat di halaman Ka’bah dan memutuskan bahwa sebagian kepala-suku harus berbicara dengan beliau. Kemudian Walid bin Mugirah, Aas bin Wail, Abu Jahal, Umayyah bin Khalif, Uṭba, Syaiba, Abu Sufyan, Aswad bin Muttalib, Naḍar bin Hariṭ, Abul Bakhtari dan beberapa orang lainnya berkumpul di pelataran Ka’bah dan mengirim berita kepada Nabi Muhammad s.a.w. bahwa mereka ingin berbicara dan mengundang beliau datang serta mendengarkan isi hati mereka.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. datang, yang mereka katakan adalah: ”Muhammad, engkau adalah penyebab perbedaan yang amat besar dan terjadi di berbagai bagian orang-orang. Engkau telah menghukum agama leluhur mereka, telah mencela pemimpinnya,  telah menyebut mereka sebagai kehilangan akal, dan telah mencaci-maki dewa-dewi mereka yang terhormat. Jadi, engkau telah menyakiti dan menghina orang-orang sebegitu rupa. Kami kebingungan untuk menentukan tindakan kepada engkau. Kami tidak mengetahui apa yang engkau cari dari semua propaganda ini. Jika maksud engkau adalah mencari kekayaan, maka kami akan berikan bagimu harta yang banyak sekali, sehingga engkau akan menjadi orang terkaya dari antara kami. Jika engkau bermaksud mencari kehormatan dan pangkat, kami siap mengangkat engkau jadi pemimpin kami. Jika engkau teramat mendambakan kekuasaan, bahkan kami telah siap untuk mengakui engkau sebagai raja. Jika kemarahan engkau muncul akibat dari penyakit atau ketidak wajaran, kami telah siap mengobati engkau dan seluruh biayanya kami yang bayar. Jika engkau dapat bahagia dengan mengawini gadis muda, kami siapkan perawan tercantik di seluruh Arabia.”
Nabi Muhammad s.a.w. mendengarkan ceramah mereka dengan sabar, dan setelah mereka selesai bicara, beliau bersabda: ”Wahai para Pemimpin Quraisy, aku tidak ingin apa pun dan aku tidak menderita penyakit atau pun tidak waras. Aku adalah Utusan Allah dan membawa khabar-suka dari-Nya untuk kalian. Hatiku penuh kasih sayang bagi kalian. Andai saja kalian mendengar padaku dan mengikuti apa yang aku katakan, maka semuanya hanyalah bagi manfaat kalian semata, baik untuk di dunia mau pun di akhirat nanti. Jika kalian tolak khabar-suka dariku, maka aku akan menunggu pengadilan Allah dengan sabar dan tetap berteguh hati.”
Para pemimpin Quraisy mencoba taktik baru dan berkata: ”Jika kami dipaksa menerima engkau sebagai Utusan Tuhan, maka biarlah kita saling mengerti terlebih dahulu. Engkau tahu negara ini hanya gurun dan sejauh mata memandang akan terlihat batu karang diselingi bukit-bukit pasir. Jika engkau benar-benar Utusan Allah, mohonkan kepada-Nya agar ada sungai mengalir di sini sebagaimana di Siria dan Iraq, dan ratakanlah gunung-batu dan bukit-pasir itu supaya menjadi tanah subur yang mudah ditanami. Jika engkau bisa melakukannya, kami akui bahwa engkau adalah Utusan Allah.”
Nabi Muhammad s.a.w. menjawab permintaan itu: ”Aku adalah Utusan Allah dan tugasku hanya menunjukkan jalan yang lurus dan yang salah pada kalian, dan menjelaskan apa-apa yang menjadi manfaat dan apa-apa yang muḍarat bagi kalian. Namun aku pastikan, jika kalian mentaati seruan Allah, maka ketika itu juga Dia akan menganugerahi kalian baik di dunia ini mau pun di akhirat nanti.”
Pihak Quraisy menjawab dengan pedasnya: ”Karena engkau tidak mampu melakukan apa-apa yang telah kami mintakan, maka kami tetap akan percaya jikalau kami melihat bahwa ada malaikat yang turun kepada engkau, atau engkau tinggal di istana yang megah dan memiliki tumpukan emas dan perak. Nyatanya engkau tidak punya apa-apa, dan barang-barang itu tidak ada. Kami perhatikan engkau juga melangkah di jalan seperti kami dan mencari makan dengan cara yang sama seperti kami. Lalu apa yang harus kami percaya agar kami dapat mengakui engkau sebagai Utusan Allah?”
Nabi Muhammad s.a.w. menjelaskan sekali lagi: ”Aku tidak menda’wa apa pun seperti jalan pikiran kalian. Aku hanya dapat mengulangi bahwa jika kalian percaya padaku, maka, sesuai dengan jalan Allah yang abadi, kalian akan mendapat bagian dalam anugerah di kehidupan dunia ini dan juga nanti di akhirat.”
Pihak Quraisy mulai kehilangan kesabarannya dan menantang beliau: ”Jika sama sekali tak mampu melakukan hal-hal itu, turunkanlah kepada kami hukuman yang selalu kamu ancamkan. Jatuhkanlah benda langit pada kami, atau hadapkan malaikat yang membawa lambang Allah pada kami. Kelihatannya, kami tidak bisa hidup dalam waktu yang sama dengan kamu dan pengikutmu; salah satu pihak saja yang hidup, kami atau kamu.”
Lalu beliau pulang dengan membawa kesedihan di hatinya. Begitu beliau pergi, Abu Jahal mengumumkan dengan bernafsu: ”Wahai Para Pemimpin Quraisy, kalian telah mendengarkan sendiri penghinaan Muhammad yang telah menolak segenap saran-saran kita, dan ia telah memutuskan sendiri untuk terus menjadi penyebab dari kekacauan ini. Karenanya aku bersumpah, bahwa aku tidak akan berhenti berupaya sampai aku pecahkan kepala Muhammad, dan biarkan Bani Abdul Manaf melawanku sesuka hati mereka.”
Mereka menjawab tantangan Abu Jahal: ”Kami setuju. Perlakukanlah Muhammad sebagaimana yang engkau sukai.” Tapi, satu-satunya orang yang berasal dari Bani Abdul Manaf dan hadir di pertemuan itu bukan dari Bani Hasyim atau Bani Muṭalib.
Keesokan harinya Abu Jahal bersiap dengan sejumlah batu-batu besar di samping pelataran Ka’bah, ia menunggu Nabi Muhammad s.a.w., namun ketika beliau tiba lalu ia menjadi begitu takut dan tidak berani berbuat apa-apa. Sebagian orang Quraisy mengemukakan bahwa mereka tidak terlalu gelisah dengan huru-hara yang ditimbulkan beliau karena bukan masalah hidup mati, dan setelah beliau wafat maka gerakannya secara otomatis akan mati sendiri. Ketika itu, Nabi Muhammad s.a.w.  menerima wahyu sbb:
Innā a’ṭainākal-kauṡar. Fa ṣalli li rabbika wanhar. Inna syāni’aka huwal abtar.  ”Sesungguhnya, Kami telah menganugerahkan kepadamu berlimpah-limpah kebaikan. Maka ṣalatlah bagi Tuhanmu, dan berkorbanlah. Sesungguhnya, musuhmu, ia-lah yang abtar, tanpa keturunan.” (al-Kautsar: 2-4)
Lembaran sejarah menghadirkan saksi-saksi yang fasih tentang pencapaian mulia dari nubuatan yang terkait dengan Nabi Muhammad s.a.w., dan hukuman amat berat yang dikenakan kepada musuh-musuh beliau. Keturunan mereka yang meramalkan bahwa gerakan Islam akan mati sendiri, ternyata malah semuanya jadi pengikut beliau, sehingga mereka menjadi stempel kebenaran bahwa hanya ada satu dari kalangan suku Quraisy dan seluruh suku-suku yang ada di Arabia, yang para keturunannya menjadi selamat dan terus berkembang sepanjang zaman, yaitu Nabi Muhammad s.a.w.
Pihak Quraisy menjadi mangsa nafsu amarahnya dan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dalam keadaan yang penuh dengan ketidak-pastian, Walid bin Mugirah, Aas bin Wail and Umayyah bin Khalif, telah membuat suatu rencana, dan menemui Nabi Muhammad s.a.w. serta berkata: ”Perbedaan antara kita semakin melebar dan ketegangan semakin memuncak. Apakah tidak ada jalan lain agar kita bisa mencapai persetujuan?
Beliau menjawab: ”Rencana apa yang kalian pikirkan?
Mereka menjawab dengan: ”Mari kita menggunakan cara-cara ibadah yang umum. Engkau menyembah berhala-berhala kami dan Allah, kami juga menyembah Allah dan berhala-berhala kami. Manfaat yang timbul dari persetujuan ini adalah kebenaran dan kesalehan dari satu pihak akan mempengaruhi pihak yang lainnya.”
Nabi Muhammad s.a.w. tersenyum dan menjawab: ”Rencana itu sama sekali tidak diterima. Aku percaya kepada Tauhid, lalu bagaimana aku bisa menyembah berhala; dan bagaimana kalian bisa menyembah berhala sambil juga menyembah Tuhan Sejati Yang Maha Esa? Perbuatan yang tidak konsisten itu tidak bisa dilakukan bersamaan.”
Beberapa hari kemudian beliau menerima wahyu:
Qul yā ayyuhal-kāfirūn, lā a’budu mā ta‘budūn, wa lā antum ‘ābidũna mā a’bud. Wa lā ana ‘ābidum mā ’abattum, wa lā antum ‘ābidūna mā a’bud. Lakum dīnukum wa liya dīn. “Katakanlah, “Hai orang-orang kafir! Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku bukanlah penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Bagi kamu agamamu, dan bagiku agamaku.” (al-Kāfirūn: 2-7).
Dengan tidak mendapat apa-apa kecuali rasa frustrasi Quraisy merasa amat marah, dan akhirnya memutuskan untuk memboikot beliau, segenap ummat Muslim, Bani Hasyim dan Bani Muṭalib, kecuali jika mereka membatalkan jaminan perlindungan bagi beliau.
Kemudian, pada bulan Muharam tahun ke-7 kenabian, diadakan perjanjian yang melarang keras hubungan perkawinan antara Bani Hasyim dan Bani Muṭalib di satu pihak dengan semua suku-suku Quraisy di pihak lainnya, melarang keras seluruh transaksi perdagangan di antara mereka dan melarang keras mengirim bahan makanan bagi mereka, sampai mereka bersedia melepas dan menyerahkan beliau kepada mereka. Bani Kananah juga turut serta dalam perjanjian yang telah dibuat tertulis itu dimana mereka dan para pemimpin Quraisy telah menandatanganinya atau mencapnya dan telah digantungkan di salah satu tembok Ka’bah sebagai pakta nasional yang amat besar.
Akibat pakta tersebut maka Nabi Muhammad s.a.w. dan segenap Bani Hasyim dan Bani Muṭalib ditambah orang-orang Muslim lainnya terkecuali Abu Lahab, dipaksa mundur ke tanah milik Abu Ṭalib yang terletak di sebuah lembah yang sempit yaitu Lembah Ṣi’b. Larangan itu dilaksanakan dengan amat keras.
Bani Hasyim segera menyadari bahwa pengiriman bahan makanan berupa jagung dan kebutuhan lainnya telah dihentikan. Pihak Quraisy tidak menjual apa pun, dan mereka sendiri tidak mampu mengirim kafilah secara langsung, jika ada pedagang asing tiba maka suku Quraisy mengancamnya agar tidak menjual komoditi kepada orang-orang yang sedang dikucilkan, dan memastikan kelangkaan bahan makanan tetap berlangsung di sana sehingga timbul penderitaan, khususnya bagi perempuan, anak-anak dan orang-orang yang lanjut usia.
Tak seorang pun berani keluar dari Lembah Ṣi’b terkecuali pada musim ziarah haji, karena pada saat itu semua permusuhan dihentikan dan orang-orang yang dikucilkan dapat dengan bebas bergabung di dalam upacara. Persediaan bahan pokok Bani Hasyim hanya terisi kadang-kadang saja dan secara sembunyi-sembunyi, yang menyebabkan mereka amat sedih dan menderita. Tangisan anak-anak yang kelaparan di dalam Lembah Ṣi’b terdengar keras sampai keluar. Banyak hati yang teriris-iris ketika melihat kesulitan itu, dan mengeluh atas kekejaman yang ditimbulkan pihak Quraisy.
Di antara para kerabat yang terkena larangan pengucilan, ada yang memiliki keberanian dan dengan tidak menghiraukan ancaman, mereka mencuri sedikit bahan makanan yang dilakukan di malam hari. Hakim r.a. cucu Khuwailid r.a. suka mengirim bahan pokok untuk bibinya Sayidah Khadijah r.a. yang terkadang membahayakan dirinya sendiri. Penderitaan orang-orang yang dikucilkan telah menimbulkan simpati orang banyak, namun masalah Islam membuat mereka tidak banyak berbuat selama pengasingan yang melelahkan itu, karena hal itu dibuat untuk memutus kota dari pengaruh pribadi beliau dan sesamanya yang Muslim. Upaya-upaya beliau perlu dibatasi hanya untuk anggota keluarganya saja, yang walau pun belum percaya pada tugasnya namun telah memutuskan untuk mempertahankannya, dan menguatkan keimanan mereka.
Contoh yang diberikan Nabi Muhammad s.a.w. dan para Sahabat di dalam masa percobaan itu, dan semangat kekeluargaan yang tertenun pada semua orang yang turut diasingkan bersama beliau, telah menjadikan Bani Hasyim menjadi begitu tinggi derajatnya, dan dapat menambah sedikit pengikut lain yang berasal dari keluarga yang berbeda.
Tahun-tahun pengasingan yang melelahkan itu berjalan tanpa hasil yang penting. Saat-saat ziarah haji memberikan beliau  suatu medan yang lebar. Selang waktu untuk pengampunan umum telah tiba sebagaimana terjadi sebelumnya, dan waktu untuk mengunjungi dan mengajak berbagai suku yang berkumpul di Mekah dengan berbagai bazarnya telah datang.
Lalu Nabi Muhammad s.a.w. mengunjungi keramaian di Okaz dan tempat-tempat lainnya, beserta kemah-kemah peziarah haji yang dibangun di Mekah dan Mina. Dalam kesempatan itu beliau mengingatkan orang-orang untuk tidak menyembah berhala, mengundang mereka untuk menyembah Tuhan Sejati Yang Maha Esa, dan memberikan janji tentang kemakmuran dan anugerah Allah di dunia dan juga di akhirat jika mereka mau beriman. Tak seorangpun menjawab seruan beliau. Abu Lahab membuntutinya dan berteriak: ”Jangan percaya, ia pengkhianat yang pendusta.”
Ketika waktu pengasingan di Lembah Ṣi’b diperpanjang lagi sampai seluruhnya mencapai waktu hampir tiga tahun, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda kepada Abu Ṭalib bahwa Allah SWT memberitahukan kepada beliau bahwa pakta perjanjian antara pihak Quraisy dengan mereka telah rusak parah karena dimakan rayap, sehingga tulisan yang masih jelas terbaca hanya menyisakan nama Allah belaka.
Lalu Abu Ṭalib pergi ke Ka’bah dimana beberapa orang Quraisy sedang mengadakan rapat rahasia, dan ia berkata: ”Berapa lama lagi kalian akan memutuskan untuk meneruskan perjanjian yang kejam itu?  Keponakanku memberitahu bahwa Allah telah menghapuskan perjanjian itu kecuali nama-Nya sendiri. Marilah kita periksa pakta perjanjian itu agar kita mengetahui apakah perkataan keponakanku itu benar.
Sebagian dari yang hadir mendukung apa yang ia katakan lalu asli pakta perjanjian diambil, dan ketika diteliti ternyata tulisannya telah rusak dan tidak bisa dibaca lagi, kecuali nama Allah yang ditulis pertama masih jelas terbaca. Akibat dari penemuan yang luar-biasa ini sebagian pemimpin Quraisy yaitu Hiṣam bin Amr, Zahir bin Abu Umayyah, Mut’am bin Adi, Abul Bakhtari and Zamā bin Aswad; merasa bahwa pakta perjanjian yang kejam dan tidak wajar itu harus dihentikan.
Mereka menemui pemimpin-pemimpin Quraisy lainnya dan berkata kepada mereka: ”Wahai Pemimpin Quraisy, apakah layak jika kalian hidup nyaman sedangkan saudara-saudara kalian menderita dalam kesedihan dan kesusahan? Pakta perjanjian kalian adalah tirani dan harus dihentikan sekarang juga.” Semua orang mendukung, namun Abu Jahal memprotes: ”Pakta perjanjian ini harus diteruskan, tak seorang pun boleh menjamahnya. 
Seseorang berkata: ”Tidak, pakta itu tidak boleh diteruskan. Walau pun sudah ditulis, kami tidak setuju pada hal itu.” Ketika mereka sedang ribut-ribut sendiri, Mut’am bin Adi menyita dokumen dan merobeknya. Selanjutnya ia dan sahabatnya mencabut pedangnya lalu menuju Lembah Ṣi’b milik Abu Ṭalib untuk dan membebaskan orang-orang yang dikucilkan.
Ketika berada dalam masa pengucilan sekelompok orang kafir datang ke Mekah, dan hal itu terjadi ketika orang-orang yang dikucilkan sedang bebas bergerak karena waktu ziarah tiba, dan mereka pun segera mengelilingi Nabi Muhammad s.a.w. serta memaksa minta tanda-tanda dari Allah. Hari sudah malam dan bulan lagi purnama. Beliau menunjuk bulan purnama dengan jari, dan orang-orang kafir yang hadir melihat bahwa bulan purnama menjadi terbelah dua, setengahnya kelihatan di sisi kiri gunung dan setengah lainnya ada di sisi kanan gunung itu. Peristiwa ini diterangkan dalam Alquran sbb:
Iqtarabatis-sā’atu wansyaqqal-qamar. Wa iy yarau āyatay yu’riḍũ wa yaqūlū siḥrum mustamirr. Wa każżabū wattaba’ū ahwā’ahum wa kullu amrim mustaqirr. ”Telah dekat saat kehancuran Arab dan bulan terbelah. Dan jika mereka melihat suatu tanda, mereka berpaling dan berkata, ”Sihir terus berulang.” Dan mereka mendustakan kebenaran dan mengikuti hawa nafsu mereka dan setiap perkara ada ketetapan waktu.” (al-Qamar: 2-4)
Itu adalah tanda agung yang mirip dengan tanda yang diperlihatkan oleh Nabi Musa a.s., namun lebih mengesankan. Tanda dari Nabi Musa a.s. diterangkan dalam Alquran:
Wa auḥainā ilā Mūsā an alqi ’aṣāk, fa iżā hiya talqafu mā ya’fikūn. ”Dan Kami mewahyukan kepada Musa, ”Lemparkanlah tongkat engkau!” Maka tiba-tiba tongkat itu menelan apa-apa yang disihir mereka.” (al-A’rāf: 118)
Bukhari dan Muslim keduanya menerangkan peristiwa ini sbb: ”Orang-orang Mekah itu menginginkan Nabi Muhammad s.a.w. menunjukkan kepada mereka suatu tanda. Beliau memperlihatkan bulan terbelah menjadi dua bagian, dan di antara keduanya tampaklah Gunung Hira.” Tanda ini meramalkan bahwa hilangnya kekuatan suku Arab telah mendekat. Orang-orang Arab amat mengerti bahwa jika seseorang bermimpi melihat bulan maka hal itu menandakan kekuasaan Arab, hukum Arab atau seorang penguasa Arab.
Contohnya, telah dikisahkan dalam Hadis yang termasyhur bahwa Sayidah Siti Aisyah r.a. bermimpi melihat tiga buah bulan yang berturut-turut jatuh di pangkuannya. Mimpi itu terbukti ketika Nabi Muhammad s.a.w., dan Sayidina Abu Bakar r.a., dan Sayidina Umar r.a. pada gilirannya masing-masing, telah wafat di pangkuannya. Arti lain peristiwa itu adalah, ketika tanda samawi itu terlihat maka keberuntungan Islam sebagaimana diperkirakan oleh cara duniawi, berada dalam keadaan terburuk.
Nabi Muhammad s.a.w. dan pengikutnya yang masih sedikit itu dikucilkan di suatu lembah yang sempit dan tidak boleh keluar, sehingga menderita kekurangan dan kesedihan. Kecuali musim ziarah haji, mereka tidak berdaya, dan tidak boleh berhubungan dengan penduduk Mekah atau siapa pun. Dalam keadaan seperti itu, Allah SWT menjamin mereka bahwa saat-saat hancurnya kekuatan musuh telah mendekat, dan Islam akan segera menjadi unggul.
Tidak lama setelah mereka dibebaskan dari Lembah Ṣi’b, Nabi Muhammad s.a.w. mengalami dua kesedihan besar akibat wafatnya istri beliau Sayidah Khadijah r.a. dan paman beliau Abu Ṭalib. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini terjadi dan dipercepat oleh penderitaan mereka selama perpanjangan pengucilan di Lembah Ṣi’b. Abu Ṭalib menjadi pengganti ayah bagi beliau dan sangat menyayanginya, sebaliknya beliau juga sayang kepada beliau.
Pada sakitnya yang terakhir, beliau mengunjunginya secara teratur dan ketika akhir hidup pamannya telah mendekat, beliau membujuknya untuk masuk Islam. Abu Jahal dan lainnya yang hadir memohon Abu Ṭalib agar tidak melepas agama ayahnya, Abdul Muṭalib. Kata-kata terakhirnya adalah: ”Aku mati dalam agama Abdul Muṭalib.” Umur Abu Ṭalib telah lebih dari 80 tahun ketika ia wafat.
Pengorbanan yang diperlihatkan olehnya dan keluarganya untuk melindungi keponakan sambil tetap tidak percaya akan tugas yang diemban beliau, telah mencap wataknya menjadi seorang mulia dan tidak egois. Pada saat yang sama, hal itu menjadi bukti kuat atas kebenaran dan ketulusan Nabi Muhammad s.a.w.. Tapi Abu Ṭalib tidak melakukan hal itu sebagai seorang penipu ulung, karena ia memiliki banyak cara untuk mengamati dengan teliti. Ketika ia merasa bahwa hidupnya akan segera berakhir, ia memanggil kerabatnya yaitu anak-anak Abdul Muṭalib untuk berkumpul di sekeliling tempat tidurnya, dan menitipkan agar mereka menjaga keponakan mereka. Ia puas dan wafat dengan tenangnya.
Selama 40 tahun ia menjadi sahabat erat Nabi Muhammad s.a.w., dukungan semasa kecil, penjagaan semasa remaja, dan sesudahnya, telah menjadikannya benteng pertahanan. Ketidak percayaannya malahan membuat pengaruhnya menjadi lebih kuat. Sepanjang ia hidup, keponakannya tidak perlu takut akan kekerasan atau serangan. Sekarang tidak ada lagi tangan kuat yang melindungi dari musuh-musuhnya.
Wafatnya Sayidah Khadijah r.a. seorang istri yang amat jujur dan mengabdi itu telah menambah kehilangan besar bagi beliau. Selama 25 tahun Sayidah Khadijah r.a. menjadi penasihat dan pendukung, dan sekarang hati dan rumahnya menjadi merana. Keluarganya tidak lagi memerlukan perawatan seorang ibu. Tiga orang putrinya telah mengikuti suami masing-masing dan yang bungsu Fatimah r.a., hampir mencapai kematangan seorang perempuan.
Namun bagi beliau sendiri wafatnya Sayidah Khadijah r.a. terasa berat sekali. Di sisa hidupnya, beliau menghibur diri dengan kenangan manis kepadanya dan loyalitas serta pengabdiannya. Ketika wafat, Sayidah Khadijah r.a. telah berumur 65 tahun dan dikubur di Hajan. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri sering datang ke kuburnya dan membersihkan tempat peristirahatan jasad istrinya. Tidak dilakukan doa untuk pemakaman jenazah karena pada saat itu belum didirikan oleh Islam.
Setelah wafatnya dua orang Sahabat yang amat mengabdi itu, maka Nabi Muhammad s.a.w. menjadi terbuka bagi penganiayaan yang dilakukan oleh suku Quraisy. Beliau sering dihina dan dicela. Pada suatu waktu, seseorang mengguyurkan sejumlah kotoran di kepala beliau, ketika sedang melewatinya. Ketika tiba di rumah, salah satu putrinya melihat keadaan itu dan cepat-cepat mengambil air serta membersihkan kepala beliau sambil menangis tersedu-sedu. Beliau menghiburnya: ”Jangan menangis putriku. Allah akan melindungi ayahmu dan semua kesulitan ini akan berakhir.”
Pada waktu itulah, Uqbah bin Abu Muit yang dihasut Abu Jahal telah menumpukkan sejumlah isi perut seekor onta yang baru saja dipotong ke atas pundak beliau ketika sedang bersujud menyembah Allah SWT di pelataran Ka’bah. Beliau sampai tidak bisa bangun sehingga putrinya Fatimah r.a. yang begitu melihat peristiwa tersebut langsung berlari mendekatinya dan membuang kotoran itu dari pundak beliau.
----------------- *** -----------------

No comments:

Post a Comment