Saturday, July 2, 2011

BAB - 08. PERANG UHUD - PENGKHIANATAN BANI QAINUQA

Perlu diingat kembali bahwa upacara pernikahan antara Nabi Muhammad s.a.w. dengan Sayidah Siti Aisyah r.a. putri termuda Sayidina Abu Bakar r.a., telah dilaksanakan di Mekah kira-kira pada tiga tahun sebelum peristiwa Hijrah ke Madinah dilaksanakan. Walimah-nya dilaksanakan dua tahun setelah peristiwa Hijrah ketika umur Siti Aisyah r.a. kira-kira mencapai 15 tahun. Sebagian ahli sejarah telah keliru dalam menentukan umurnya waktu beliau menikah. Namun, di dalam penelitian yang seksama telah membuktikan bahwa ketika Siti Aisyah r.a. menikah di Mekah maka pada saat itu Siti Aisyah r.a. berumur antara 9 – 10 tahun, dan walimah yang dilakukan di Madinah antara 4 – 5 tahun kemudian setelah upacara pernikahan itu terjadi. Dengan demikian tidak diragukan lagi, bahwa ketika walimah dilakukan, umur Sayidah Siti Aisyah r.a. sedikitnya telah mencapai umur 15 tahun.
Pikiran dan ingatan Sayidah Siti Aisyah r.a. benar-benar amat luar-biasa. Lalu, di bawah bimbingan, perintah dan latihan beliau, inderanya berkembang dengan cepat, dan ia bisa mengingat ilustrasi sejarah hidup suaminya dengan rinci, dan tidak pernah lupa walau satu kata pun pada apa yang didengarnya, dan ia melaksanakan tugas keimanan tanpa ada bandingannya dalam mengajar perempuan-perempuan Muslim yang meliputi semua aspek ajaran Islam.
Bagian terbesar pengetahuan kita tentang hidup sehari-hari beliau yang diperoleh saat ini, berasal dari berita yang diriwayatkan oleh Sayidah Siti Aisyah r.a. yang dihormati tinggi sekali oleh para Sahabat setelah wafatnya, karena pengetahuannya yang tinggi dan juga pemahaman agamanya yang amat dalam. Manakala mereka menemukan kesulitan intelektual, mereka akan meminta tolong kepada Sayidah Siti Aisyah r.a., yang selalu mampu menjawab permasalahan yang timbul. Sayidah Siti Aisyah r.a. hidup 40 tahun setelah beliau wafat, dan meninggal dunia pada umur 68 tahun.
Perang Badar benar-benar menambahkan beban yang amat besar pada tanggungjawab Nabi Muhammad s.a.w. Kaum-munafik di bawah pimpinan Abdullah bin Ubayy merupakan sumber kekhawatiran besar bagi beliau, persekongkolan mereka harus benar-benar diperhatikan dan harus ditangani dengan bijaksana dan penuh simpati. Suku-suku Yahudi dan sekutunya juga menjadi penyebab kegalauan lainnya.
Agama Islam dan ummat Muslim yang dianggap bid’ah sangat diharapkan oleh mereka dapat disapu bersih atau dilemahkan di perang Badar, sehingga setelahnya tidak ada lagi yang percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan ajarannya. Namun segenap perhitungan mereka telah gagal total dan harapan mereka pun musnah. Mereka dan pihak Quraisy mulai membuat intrik-intrik untuk melawan ummat Muslim. Pihak Quraisy telah siap melaksanakan rencana- rencana yang dibisikkan oleh ummat Yahudi, dan Nabi Muhammad s.a.w. harus benar-benar waspada dibandingkan dengan sebelum perang Badar berlangsung.
Di dalam tulisan berikut di bawah ini, Sir William Muir telah menerangkan situasi yang dihadapi oleh Nabi Muhammad s.a.w. pada waktu itu, (Life of Mahomet, halaman 243-245):
”Abu Sufyan yang menjadi cerdik setelah suku Quraisy kalah di Badar dan terikat sumpahnya, memutuskan membalas dendam untuk menghancurkan lawan di tempatnya. Bergerak dengan 200 tentara bersenjata lengkap, ia mengambil jalan timur menyusuri dataran tinggi Nejed, dan malam harinya tiba di tempat Bani Nażir salah satu suku Yahudi yang tinggal di dekat Madinah. Abu Sufyan menolak penerimaan Huyay pemimpin mereka, dan menemui pemimpin lain suku itu yang telah memberinya berita intelijen tentang Madinah, dan pesta selamat datang baginya dilakukan pada malam hari itu. Sebelum fajar menyingsing, pasukan itu bergerak tak bersuara, dan tiba di ladang jagung dan taman-taman palem kira-kira 2 - 3 mil di timur-laut Madinah. Sebagian ladang dan taman bersama rumah-rumahnya mereka bakar, dan 2 orang penjaganya dibunuh. Lalu, Abu Sufyan kembali ke Mekah, dan merasa janjinya telah ditunaikan.
 Sementara itu, kewaspadaan di Madinah meningkat, Muhammad selaku Pemimpin warga segera mengejar mereka. Guna mempercepat pelariannya, pasukan Quraisy melemparkan kantung-kantung daging (disebut peristiwa kantung-daging) dan kemudian diambil oleh pemburunya. Setelah mengejar selama 5 hari Muhammad kembali ke Madinah dengan tangan kosong. Setelah kejadian itu, beliau memperingati hari raya Idul-Aḍa untuk yang pertamakalinya.
Di musim panas dan musim gugur, 2-3x pendekatan dilakukan terhadap suku-suku yang mendiami dataran di sebelah timur Madinah. Dalam jangka pendek tugas itu tidak berarti, namun akibatnya pada perluasan perjuangannya menjadi besar sekali. Suku Juheina dan suku lainnya yang tinggal di tepi pantai berpihak kepada Muhammad, dan perdagangan Siria di jalur itu menjadi terhalang.
Namun Quraisy segara merubah jalur timur itu ke jalur Babilonia. Jalur itu melewati daerah 2 suku nomad yang perkasa yaitu suku Suleim dan suku Gaṭfan, mereka sekutu Quraisy dan ditunjuk jadi pengangkut barang. Mereka menempati dataran luas Nejed di tengah-tengah Semenanjung. Bani Suleim bermarkas di dataran yang subur, dan menjadi terminal ke-7 jalur kafilah dari arah Mekah yang melewati dataran tinggi menuju ujung Teluk Persia.
Quraisy mengalihkan perhatiannya ke daerah itu, dan mengadakan ikatan yang lebih erat dengan suku-suku di sana. Akibatnya, perilaku Bani Suleim dan Bani Gaṭfan, terutama kaum tuanya, menjadi lebih aktif dalam melakukan penentangan terhadap Muhammad. Terhasut oleh Quraisy dan contoh yang dilakukan Abu Sufyan, mereka memproyeksikan serangan langsung ke Madinah, pekerjaan yang amat sesuai dengan kebiasaan mereka yang buas.
Berita intelijen sampai ke Madinah bahwa mereka berkumpul di Qarqarat al Kudr; dan untuk melawan rancangannya, Muhammad menyiapkan 200 pasukan untuk menyerang mereka di sana. Ketika mencapai tempat itu, ternyata tidak ada pasukan; namun ada 500 ekor unta yang digembala oleh seorang anak laki-laki, lalu unta-unta itu diambil sebagai harta rampasan perang. Anak laki-laki itu ditangkap, namun ia dilepaskan setelah menyatakan beriman kepada Muhammad.
Sebulan berlalu, Bani Gaṭfan kembali diberitakan sedang menyiapkan pasukan di Nejed. Muhammad memimpin 450 orang pasukan, dan sebagiannya menunggang kuda, untuk menghancurkan mereka. Bergerak dalam 3 – 4 barisan, beliau tiba di tujuan, namun setelah melihat pasukannya, musuh melarikan diri ke bukit untuk mengamankan keluarga serta ternak-ternaknya. Salah satunya, yang ditangkap di jalan, digunakan sebagai penunjuk jalan, dan dilepaskan setelah masuk Islam. Gerakan Muhammad itu memerlukan waktu 7 hari agar memberikan dampak.
Di musim gugur, beliau melakukan serangan lagi pada Bani Suleim yang masih melakukan ancaman, dengan memimpin 300 pasukan. Begitu tiba di tempat yang dituju, beliau tidak melihat pasukan musuh. Jadi, setelah menunggu sia-sia selama beberapa waktu sambil menanti kafilah musim gugur Quraisy yang menuju ke utara, beliau pulang tanpa berjumpa dengan musuh-musuhnya. Bulan-bulan berikutnya ditandai dengan peristiwa-perstiwa yang lebih sukses.
Karena mengetahui bahwa daerah tepi pantai diawasi ketat oleh Muhammad, maka Quraisy tidak ingin dagangannya dirampas di jalur itu. Mereka merubahnya ke daerah selat. ”Jika duduk-duduk di rumah, kata mereka, modal akan termakan, terus bagaimana kami hidup kecuali kami tetap berdagang dengan kafilah musim panas dan kafilah musim dingin? Kami dihalangi di daerah pantai, biarlah kami coba jalur timur ke Iraq. Walau air minum sangat langka di jalur itu, namun musim panas sudah lewat dan kami bisa membawa persediaan air yang cukup di punggung unta sampai ketemu sumur di jarak-jarak yang sangat jauh.” Oleh karenanya, mereka membuat persiapan agar kafilahnya bisa berjalan melalui dataran-tinggi di tengah gurun. Kafilah dipimpin Safwan, dan pemimpin Quraisy mengirim banyak barang untuk dibarter, utamanya bejana dan perak batangan.
Penunjuk jalan Arab memimpin mereka ke jalur yang tidak diketahui oleh ummat Muhammad; namun berita tentang kafilah kaya dan jalur yang diambilnya sampai kepada Muhammad melalui orang Arab yang kebetulan mengunjungi ummat Yahudi di Madinah; lalu Zaid segera berangkat untuk memburu mereka dengan 100 pasukan bersenjata. Ia mendatangi kafilah dan menyerang mereka secara mendadak. Pemimpin Quraisy kabur, dan sisanya ditangkap, serta seluruh barang berharga dan perak ditambah 2 tawanan perang diangkut ke Madinah. Harta rampasan bernilai 100.000 keping; sehingga setelah dipotong 1/5 untuk bagian Allah dan Nabi, maka setiap prajurit memperoleh 800 keping. Si penunjuk jalan dibawa ke hadapan Muhammad yang berjanji akan melepaskannya jika ia beriman. Ia memeluk Islam dan dibebaskan. Zaid memperoleh penghargaan besar dan selanjutnya ia menjadi komandan yang amat disenangi.”
Pengusiran Bani Qainuqa
Telah diterangkan di bagian depan bahwa setelah tiba di Madinah, Nabi Muhammad s.a.w. membuat perjanjian dengan 3 suku utama Yahudi yaitu Bani Qainuqa, Bani Nażir dan Bani Quraiżah, yang mengikat kedua belah pihak untuk hidup bersama dengan aman damai, memelihara hukum dan ketertiban, dan bekerja sama dalam mempertahankan Madinah dari serangan pihak luar.
Begitu membaca syarat-syarat perjanjian, kaum Yahudi berpikir paling tidak untuk sementara waktu mereka tidak melihat peluang bentrok dengan ummat Muslim. Namun ketika mereka mengetahui bahwa ummat Muslim terus menerus memperoleh kemajuan kekuatan di Madinah, mereka memutuskan untuk menghentikan kemajuan itu. Guna memenuhi maksudnya mereka merencanakan berbagai bentuk tindakan. Mereka mencoba menciptakan pertikaian di antara ummat Muslim.
Misalnya, pada suatu hari ketika sejumlah besar suku Aus dan Kahzraj sedang berkumpul satu sama lainnya untuk beramah-tamah, beberapa orang Yahudi yang jail berbaur bersama mereka dan mulai berbicara tentang Perang Bu’aṭ, dan akibatnya timbullah kemarahan di antara suku Aus dan Khazraj sehingga mereka mencabut pedangnya dan siap perang. Untungnya, Nabi Muhammad s.a.w. cepat menerima informasi tentang keadaan itu dan segera tiba di tempat kejadian dengan disertai para Muhajirin.
Beliau memarahi keduanya karena telah kembali ke jalan pra-Islam, melupakan berkat Allah yang telah dianugerahkan kepada mereka dengan berselisih antara sesama ummat Muslim. Kedua belah pihak sangat tersentuh oleh ucapan beliau, dan menyesali perilaku mereka yang salah, terus mereka berpelukan dengan berlinang air mata.
”Ummat Yahudi tidak puas hanya dengan mengejek hukum Muhammad, mereka mencari jalan untuk mempermalukan beliau dengan hasutan yang gencar. Salah satu upayanya yang pertama dalam rangka melawan rezim Muhammad adalah dengan cara memprakarsai percekcokan antara Muhajirin dan Anṣar.” (G. M. Draycott, Mahamet Founder of Islam, p. 148).
Pada awalnya, kaum Yahudi sangat kaget ketika mengetahui bahwa suku-suku Quraisy telah dikalahkan oleh orang-orang udik dari Madinah, (Kāb bin Aṣraf menciptakan sebuah lagu sedih tentang hancurnya kaum ningrat, raja-raja Arabia), lalu mereka memutuskan untuk tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat karena kekalahan yang telak dari sebuah pasukan borjuis itu mungkin disebabkan kurangnya pelatihan kemiliteran. Mereka menjadi amat peka terhadap meningkatnya kekuasaan Muhammad, yang gengsinya melambung tinggi akibat keunggulan yang telah dilihat oleh pengikutnya sebagai misi kenabian.  Kaum Yahudi mulai memperlihatkan penentangan secara terbuka terhadap ummat Muslim.” (L. Dermenghem, Life of Mahomet, hal. 201).
Setelah perang Badar, kaum Yahudi merasa amat terhina dan mulai menyatakan perasaannya secara terbuka. Setelah perang Badar, Nabi Muhammad s.a.w. menyeru orang-orang penting Yahudi dan meminta agar mereka melihat kemenangan perang itu sebagai Tanda Allah yang jelas, dan mendorong mereka untuk merenungkan dan menerimanya serta memeluk Islam. Kaum Yahudi menjawabnya dengan pedas dan mengejek: ”Muhammad, kamu cuma bisa menyembelih Quraisy, lalu kamu jadi begitu sombong. Quraisy itu tidak terlatih dalam ilmu perang. Jika kamu memusuhi kami, maka akan kami perlihatkan kepadamu apa arti perang yang sesungguhnya.”
Tidak hanya mengancam dengan tantangan lisan saja, namun mereka juga mulai merencanakan membunuh beliau. Kenyataannya, hal itu menjadi rahasia umum; misalnya, Taha bin Brā seorang Muslim yang taat sedang menderita sakit, dan ketika ia merasa ajalnya sudah dekat, ia berkata bahwa jika ia wafat di waktu malam agar beliau tidak diberi tahu sampai keesokan harinya, kalau tidak, beliau akan datang di malam hari untuk Ṣalat jenazah, dan hal itu akan memancing timbulnya bahaya besar dari pihak Yahudi.
Bani Qainuqa yang paling kuat dan dianggap yang paling berani di antara tiga suku utama Yahudi, menjadi pemimpin dalam melanggar semangat perjanjian yang telah mereka buat dengan Nabi Muhammad s.a.w.
Ibn Hisyam dan Tabari telah menulis: “Bani Qainuqa, adalah yang pertama dari kaum Yahudi yang melanggar perjanjian antara mereka dengan Rasulullah.”
Setelah perang Badar, mereka menyatakan rasa kecewa dan rasa irinya secara terbuka, dan akhirnya telah melakukan pelanggaran terhadap perjanjian. Nabi Muhammad s.a.w. terus menerus menasihati ummat Muslim untuk memelihara jiwanya dalam damai dan dalam kesempatan apa pun tidak melakukan tindakan keras terhadap kaum Yahudi. Beliau sendiri yang paling merasa cemas dan berhati-hati terhdap perasaan dan sentimen mereka, yang harus dihormati. Pada suatu hari, beliau memarahi seorang Muslim yang terpengaruh seorang Yahudi yang mengucapkan bahwa Nabi Musa a.s. merupakan yang termulia di antara para nabi, lalu dengan kasarnya ia menyatakan bahwa beliau adalah yang paling mulia di antara para Utusan Allah. Lalu beliau menjelaskan berbagai keunggulan Nabi Musa a.s. untuk meredakan perasaan kaum Yahudi.
Di luar perilaku beliau, orang-orang Yahudi meningkatkan kekacauan dan akhirnya justru merekalah yang memancing konflik pertama dengan ummat Muslim. Dan terjadilah peristiwa itu:
Seorang perempuan Muslim pergi ke toko Yahudi untuk berbelanja, ketika ia duduk untuk memilih-milih barang yang ia inginkan, beberapa orang Yahudi yang juga hadir di toko mulai menggodanya secara keterlaluan, dan si pemilik toko itu pun turut memanfaatkan kesempatan dengan cara mengaitkan bagian ujung bawah gaun perempuan Muslim itu pada ujung baju atasnya yang ketat. Karena merasa sakit hati dengan perlakuan menghina dari mereka yang ada di toko, perempuan Muslim itu ingin segera pergi keluar dari toko itu dan ia berdiri dengan mendadak, tapi karena perbuatan buruk si pemilik toko yang telah mengaitkan ujung gaunnya, maka gaunnya jadi terangkat dan bagian bawah tubuhnya menjadi terbuka dan terlihat, lalu si pemilik toko dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Perempuan Muslim yang marah dan terhina itu, memekik keras dan meminta tolong. Seorang Muslim yang ada di dekat toko itu segera berlari menolongnya, dan dalam perkelahian yang terjadi kemudian si Yahudi pemilik toko itu terbunuh, lalu orang Muslim itu dikepung dan segera dibunuh juga. Peristiwa itu menarik perhatian ummat Muslim dan kaum Yahudi yang ada di dekat toko itu, dan menimbulkan situasi yang rumit.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui peristiwa itu, beliau pergi untuk menyeru orang-orang penting Bani Qainuqa dan menasihatkan mereka untuk takut kepada Allah dan memperbaiki perilakunya. Mereka menjawabnya dengan pedas dan sombong serta mengulangi tantangannya bahwa kemenangan di Badar tidak ada artinya, dan jika mereka berperang maka mereka akan menunjukkan pada ummat Muslim tentang apa arti perang yang sebenarnya. Beliau merasa bahwa hal itu sudah keterlaluan, lalu ummat Muslim dikumpulkan dan beliau pergi menuju benteng Bani Qainuqa, dan orang-orang Yahudi itu tidak terlihat berusaha meredam kemarahan, namun menunjukkan sikap yang siap berperang. Kemudian beliau mengisolasi benteng itu dan pengepungan pun dilanjutkan selama dua minggu. Akhirnya Bani Qainuqa memahami bahwa mereka tidak akan mampu bertahan, dan bertekuk lutut dengan syarat bahwa, keluarga dan ternak mereka diampuni namun seluruh sisa kekayaan mereka diserahkan kepada ummat Muslim.
Beliau menerima syarat mereka, namun syarat-syarat perjanjiannya ternyata harus diatur sesuai dengan hukum Musa, dan itulah yang telah terjadi:
”Apabila kamu menyerang sebuah kota, terlebih dahulu berilah kesempatan menyerah kepada penduduknya.
Tapi kalau penduduk kota itu tidak mau menyerah dan lebih suka berperang, kamu harus mengepung kota itu.
Lalu, apabila Tuhan Allahmu memungkinkan kamu merebut kota itu, kamu harus membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki.
Tapi kamu boleh mengambil kaum perempuan, anak-anak, ternak dan apa saja yang ada di kota itu.
Segala harta benda musuh-musuhmu itu boleh kamu pakai. Tuhan Allahmu menyerahkan itu kepadamu.” (Taurat, Deuteronomy 20:10-14)
Karena hal itu merupakan kesalahan pertama dari pihak Yahudi, beliau tidak begitu cenderung untuk mengenakan hukuman yang keras pada mereka. Di sisi lainnya, telah menjadi tidak aman lagi jika membiarkan suku penentang dan khianat tetap ada di Madinah dan melakukan rencana jahatnya, khususnya ketika kaum munafik di antara suku Aus dan suku Khazraj telah cenderung melakukan gangguan di dalam kota Madinah, dan ummat Muslim di Madinah setiap saat menjadi terbuka terhadap agresi luar dari suku-suku Arab.
Dalam keadaan seperti itu, pengusiran Bani Qainuqa dari Madinah merupakan hukuman yang paling bisa dilaksanakan. Sungguh sangat baik hati, dan tujuan utama Nabi Muhammad s.a.w. adalah keamanan di Madinah. Pengusiran bukan hukuman keras bagi suku-suku Arab, khususnya jika mereka tidak memiliki tanah atau kebun buah, dan seperti itulah kasus Bani Qainuqa. Mereka membuat persiapan untuk pergi dari Madinah dan bertempat tinggl di Siria. Dan beliau menunjuk Ubadah bin Ṭamat, salah satu sekutunya, untuk mengawasi pengaturan yang berhubungan dengan keberangkatan mereka. Ia menemani mereka dalam beberapa tahap dan kembali ke Madinah ketika mereka sudah berada di tengah perjalanan. Mereka meninggalkan senjata-senjatanya dan peralatan untuk pekerjaan mereka, yaitu pandai emas. Telah diberitakan bahwa setelah setahun mereka diusir, terjadilah serangan wabah kepada mereka, dan seluruh suku mati. Cara-cara pendekatan yang dilakukan terdahulu oleh beliau tidak saja diterima sebagai kebijakan untuk memelihara keamanan ummat muslim dan Madinah, tapi juga untuk kebaikan para penentangnya. Keseluruhannya menjadi lebih dari 5 lusin pendekatan, besar dan kecil, yang dipimpin oleh beliau sendiri atau oleh Zaid r.a. atau oleh beberapa Sahabat lainnya yang berada di bawah perintah beliau. Hanya ada sedikit korban nyawa dan sedikit kerugian yang diderita oleh penentangnya.
Seiring waktu yang berlalu, penentangan kepada beliau dan ummat Muslim menyebar luas dan lebih luas, sehingga pendekatan harus dilakukan di daerah luas dan lebih luas lagi. Total orang tewas yang diderita para penentang Islam dalam naik turunnya perang antar pasukan-pasukan besar dan cara-cara pendekatan yang terdahulu adalah 759 orang, dan di pihak Muslim 259 orang. Ekspedisi militer dari satu jenis ke jenis lainnya yang dilakukan selama 10 tahun, dengan jarak kira-kira 2 tahun setelah Gencatan Senjata Hudaibiyah, jumlah totalnya adalah 1.018 orang tewas.
Namun, sampai waktu ini, para penulis Barat menggambarkan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai seorang fanatik yang haus darah, yang membawa api dan pedang ke daerah yang amat luas dalam upaya menyebar syahadat palsu dengan pedang pada orang-orang yang tak percaya. Na’użubillāhi min żalik.  Tak ada yang lebih baik selain dari kebenaran dan kenyataan. Adalah benar bahwa di dalam cara-cara pendekatan itu, seorang pribadi atau kelompok seringkali memeluk Islam, dan mereka diterima sebagai saudara seiman. Karena penyebab kekejaman antara ummat Muslim dan para penentangnya adalah adanya perbedaan dalam keimanan, maka setiap orang yang menyatakan diri beriman kepada Islam telah dilupakan penentangannya dan tidak lagi menjadi musuhnya dan tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
Kenyataannya bahwa selamanya tidak ada satu pun yang dipaksa untuk percaya. Sebagaimana telah diterangkan, banyak contoh dimana Nabi Muhammad s.a.w. menolak orang yang mengaku percaya kepada Islam jika beliau mempunyai alasan untuk mencurigai bahwa pengakuannya itu dibuat dengan memiliki suatu motif yang tersembunyi.
Menjawab pertanyaan bahwa Islam disebarkan dengan pedang, Thomas Carlyle menulis (The Hero as Prophet, hal. 61):
Benarkah dengan pedang? Tapi dari mana kamu dapat pedang? Setiap opini-baru selalu berawal dari minoritas yang terdiri dari satu orang. Di dalam kepala seorang manusia, di sanalah tempatnya. Satu orang saja dan seluruh dunia mempercayainya, hanya satu orang melawan seluruh manusia. Katanya ia membawa pedang, dan menyebarkannya dengan itu, takkan berguna baginya. Kamu harus memiliki pedangmu terlebih dahulu. Intinya, sesuatu akan menyebar sendiri sebagaimana dia mampu...... Dalam duel agung ini, Alam sendiri yang menjadi wasitnya, tidak pernah salah. Sesuatu yang berurat-berakar di Alam, yang kita sebut sejati, itulah dan bukan yang lainnya, ia akan terus berkembang sampai akhir zaman.”
James Michener berkata (The Misunderstood Religion, Reader’s Digest, Juni 1955, hal. 88):
“Tak ada agama dalam sejarah yang menyebar dengan begitu mudah seperti Islam. Barat telah sangat percaya bahwa gelombang agama ini dibuat menjadi mungkin karena pedang. Namun tak ada sarjana modern yang menerima faham itu, dan Alquran jelas mendukung kebebasan beragama. Sejarah telah menjelaskan, bahwa legenda Muslim fanatik yang menyisir dunia dan memaksa masuk Islam dengan todongan pedang dan menjajah setiap ras manusia, merupakan suatu mitos yang paling tidak masuk akal yang sering diulang-ulang oleh ahli sejarah. “ (De L. O’Leary, Islam at The Crossroads, hal. 8).
Kira-kira pada waktu itulah putri bungsu Nabi Muhammad s.a.w., Sayidah Fatimah r.a, telah dinikahkan dengan keponakannya, Sayidina Ali bin Abi Talib r.a.. Setahun setelah pernikahan, ia melahirkan putra laki-laki yang diberi nama Hassan oleh beliau. Berselang setahun kemudian, ia melahirkan lagi putra laki-laki yang diberi nama Husain. Mereka yang menda’wa keturunan beliau adalah keturunan dari kedua orang cucu itu. Kira-kira pada waktu yang bersamaan beliau menikahkan juga putri ketiga yaitu Sayidah Umi Kulṡum dengan Sayidina Uṡman bin Affan r.a.
Peristiwa Kāb bin Aṣraf
Pengusiran Bani Qainuqa dari Madinah tidak membawa perubahan pada hubungan antara sisa kedua suku utama Yahudi di Madinah dengan ummat Muslim. Sebaliknya kaum Yahudi mulai melakukan kekacauan yang besar dan lebih besar lagi, dan mulai mengganggu lebih luas lagi dalam melawan ummat Muslim. Peristiwa Kāb bin Aṣraf hanya satu jalinan dalam suatu mata rantai yang memanjang. Kāb menjadi Yahudi hanya karena agama dan bukan dari keturunan murni. Ayahnya Aṣraf, adalah orang Arab dari Bani Nażan yang pintar dan cerdik, yang tiba dan menetap di Madinah, serta menjadi sekutu Bani Nażir.
Perlahan-lahan, ia memperoleh kedudukan penting dan berpengaruh sehingga pemimpin Bani Nażir, Abu Rafe bin Abi Haqiq, menikahkan putrinya kepadanya. Ia melahirkan Kāb, yang ketika ia mulai tumbuh telah memperoleh status yang lebih tinggi ketimbang ayahnya, demikianlah sehingga akhirnya kaum Yahudi Arab telah mengangkatnya menjadi pemimpin mereka. Ia memiliki badan yang tegap, berwajah tampan, kaya dan menjadi ahli syair yang berkualitas. Ia murah-hati, dan melalui kemurahannya telah meraih pengaruh besar dalam agama Yahudi dan orang-orang terkemuka lainnya. Secara akhlak ia amat hina, dan ia adalah seorang pemikat.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. tiba di Madinah, Kāb bin Aṣraf turut menjadi pihak yang menanda-tangani perjanjian antara beliau dengan ummat Yahudi dimana telah disetujui bahwa kedua belah pihak akan hidup bersahabat, aman dan damai, serta melakukan kerjasama satu dengan lainnya dalam membela Madinah.
Namun sejak awalnya Kāb menunjukkan perasaan dendam dan permusuhan terhadap beliau dan ummat Muslim, serta mulai menentang mereka. Ia kesal dan kecewa dengan kemenangan ummat Muslim di perang Badar dan mulai aktif merencanakan penghancuran Islam dan ummat Muslim. Ia membayangkan bahwa semangat keagamaan ummat Muslim hanya sementara saja sifatnya, dan secara perlahan-lahan mereka akan meninggalkan Islam dan kembali lagi kepada syahadat leluhurnya.
Namun kemenangan ummat Muslim yang mengagetkan di perang Badar, penjagalan hampir keseluruhan orang-orang penting Quraisy di perang itu, meyakinkannya bahwa Islam bukan penomena yang kebetulan saja. Reaksinya yang begitu cepat ketika menerima berita tentang isu perang tersebut adalah suatu ketidak-percayaan. Namun ketika berita itu telah nyata, ia menjadi penuh dengan kekhawatiran dan kemarahan.
Ia segera berangkat ke Mekah dan menghasut suku Quraisy dengan gaya pidato dan puisinya yang mampu mendidihkan amarah mereka terhadap ummat Muslim. Ia giring pemimpinnya ke Ka’bah dan membuat mereka bersumpah, tangan-tangan saling tergenggam mengelilingi Ka’bah, dan tidak akan berhenti berusaha menghapus Islam dan pendirinya dari muka bumi.
Begitu tujuannya tercapai di Mekah, ia berjalan dari satu suku ke suku lainnya dan menghasut mereka untuk melawan ummat Muslim. Setelah tiba kembali di Madinah, ia mulai membuat puisi yang membangkitkan kasih-sayang dan menghasut para perempuan Muslim, bahkan kepada keluarga Nabi Muhammad s.a.w., ia menerbitkan puisi cabul. Ia berkomplot untuk membunuh beliau dengan meracuni makanan di rumahnya sendiri, lalu ia mengundang beliau bersama dengan beberapa pemuda Yahudi yang disuruh melakukan perbuatan jahat. Namun beliau mengetahui rancangan tersebut sehingga ia kecewa karena gagal.
Dalam konteks ini, haruslah diingat bahwa sehubungan dengan adanya perjanjian antara Nabi Muhammad s.a.w. dengan berbagai suku-suku di Madinah, maka beliau tidak hanya menjadi pemimpin agama bagi ummat Muslim saja, namun juga menjadi kepala pemerintahan dan hakim ketua di Madinah. Akibatnya, semua orang yang terlibat dengan kegiatan Kãb dianggap berkhianat dan harus dihukum mati. Ketika beliau telah merasa yakin atas berbagai gangguan Kāb, beliau memutuskan bahwa Kāb harus dikenakan hukuman tertinggi yang berlipat ganda.
Di tengah suasana yang meliputi Madinah ketika itu, maka tindakan penertiban kepada Kāb akan menyebabkan perang saudara di Madinah; beliau sangat cemas dan mencegah kemungkinan itu sekuatnya. Karenanya, beliau memutuskan bahwa Kāb tidak dihukum secara terbuka, namun dilaksanakan secara rahasia.
Beliau menugaskan Muhammad bin Maslamah r.a., Muslim taat dari suku Aus dan membahas cara-cara yang akan digunakan dengan S’ad bin Mu’az r.a. kepala sukunya. Setelah berunding dengan S’ad r.a., Muhammad bin Maslamah r.a. memilih Abu Nailah saudara angkat Kāb ditambah 2 – 3 orang Muslim, dan mereka pergi ke rumah Kāb dan membuat janji pertemuan di malam harinya untuk sebuah tujuan yang masuk akal, yang akan didiskusikan dengannya. Malamnya, ketika Kāb datang ke tempat pertemuan, mereka tiba dan membunuhnya.
Berkenaan dengan cara-cara eksekusi Kāb, Stanley Lane-Pole, telah menulis, (Studies in a Mosque, hal. 68):
”Masalahnya menjadi terlalu nyata dan tidak perlu dijelaskan. Saat itu tidak ada polisi, atau pengadilan hukum atau pengadilan perang di Madinah; karenanya beberapa pengikut Muhammad harus menjadi pelaksana hukuman mati, dan jauh lebih baik jika dilakukan secara diam-diam karena jika eksekusi orang itu dilakukan terbuka di depan kelompoknya, maka hal itu akan menyebabkan kekacauan, lebih banyak lagi darah tertumpah dan pembalasan dendam, sampai seluruh kota terlibat dalam pertempuran.”
Ketika berita eksekusi Kāb diketahui umum di Madinah, timbullah kegemparan di dalam kota, lalu ummat Yahudi menemui Nabi Muhammad s.a.w. dan melakukan protes bahwa pemimpin mereka Kāb bin Aṣraf, telah dibunuh dengan cara yang sedemikian rupa.  Beliau mendengarkan mereka, dan bertanya kepada mereka apakah mereka tahu tentang penyerangan yang dilakukan olehnya sehingga nyata-nyata Kāb adalah orang yang sangat bersalah. Beliau mengingatkan mereka tentang perbuatan fatal Kāb, dan delegasi Yahudi itu tidak bisa menjawab.
Lalu beliau membujuk mereka bahwa ke depannya mereka harus setuju hidup damai, kerja-sama yang sehat, dan tidak menanam benih-benih permusuhan, persekongkolan atau kekacauan. Kaum Yahudi setuju tunduk pada perjanjian baru, menjaga kedamaian - keamanan bersama, mennjauhkan gangguan dan kekacauan. Perjanjian itu telah dipercayakan kepada Sayidina Ali r.a. Selanjutnya tidak diperoleh keterangan bahwa kaum Yahudi pernah menyerang ummat Muslim berkenaan dengan eksekusi Kāb bin Aṣraf, karena mereka sendiri mengerti dan dalam hatinya merasa bahwa Kāb pantas untuk menerima hukumannya.
Perang Uhud
Di luar serbuan Abu Sufyan terhadap Madinah, dimana anggota kelompoknya telah membuang kantung-kantung yang penuh dengan daging agar tidak tersusul oleh para pemburu Muslim, maka suku Quraisy benar-benar ingin membalas bencana dan menghapus aib kekalahan mereka di perang Badar. Laba dari kafilah pimpinan Abu Sufyan yang telah tiba di Mekah dengan selamat, berjumlah 50.000 dinar, dan sesuai keputusan yang diambil oleh para pemimpin Mekah segera setelah perang, uang itu disimpan di Balai Permusyawaratan  dengan tujuan untuk membentuk pasukan yang akan digunakan melawan ummat Muslim.
Sekarang uang itu diambil dari tempat simpanan, dan persiapan dimulai untuk membentuk pasukan bersenjata yang besar, guna melaksanakan rancangan Quraisy. Keputusan itu diambil secara mendadak dan persiapannya terus dipercepat. Quraisy bermaksud mengalahkan ummat Muslim dengan serangan dadakan.
Namun, mereka tidak mengetahui bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah memerintahkan pamannya Abbas bin Abdul Muṭalib yang sudah bersimpati terhadap Islam, untuk tinggal di Mekah dan mengirim berita tentang rancangan-rancangan dan gerakan-gerakan Quraisy. Kemudian, Abbas mengirim penunggang kuda cepat dari Bani Gaffar untuk membawa suratnya kepada beliau, dan dijanjikan akan diberi hadiah besar jika surat itu sampai dalam waktu tiga hari. Ketika sang kurir tiba di Madinah, beliau sedang berada di Qaba, dan sang kurir menyampaikan surat itu di sana.
Nabi Muhammad s.a.w. segera memanggil penulis khusus Ubayy bin Kāb Ansari r.a., dan memintanya untuk membacakan surat yang dikirim kepadanya, dan dilaksanakan. Surat itu berisi isyarat penting tentang pasukan Quraisy yang kuat, akan segera berangkat dari Mekah menuju Madinah. Beliau menyuruh Ubayy bin Kāb untuk tidak membocorkan berita dalam surat itu; dan beliau kembali ke Madinah, lalu mengirim dua orang Sahabat untuk pergi ke arah Mekah untuk mengumpulkan infomasi intelijen tentang pasukan Quraisy. Beliau juga menyuruh membuat sensus berapa jumlah penduduk Muslim di Madinah. Sensus itu menghasilkan laporan jumlah orang Muslim di Madinah mencapai 1.500 orang.
Abu Sufyan memimpin pasukan Quraisy sejumlah 3.000 orang, dan 700 orang di antaranya memakai baju-zirah. Mereka memiliki 200 ekor kuda dan 3.000 ekor unta yang dilengkapi dengan sempurna. Mereka disertai oleh sejumlah perempuan yang di dalamnya termasuk juga Hindun istri Abu Sufyan, dan istri-istri dari Ikramah bin Abu Jahal, Safwan bin Umayyah, Khalid bin Walid dan Amr bin Aas, dan juga ibu Mus’ab bin Umair r.a.
Menurut adat-istiadat Arab, para perempuan itu harus membawa rebana dan peralatan musik lainnya untuk mengiringi nyanyian mereka, yang dimaksudkan untuk membangkitkan semangat sang prajurit agar mampu melakukan tindakan-tindakan kepahlawanan. Ketika pasukan itu mendekati Madinah, mereka memutar ke arah utara dan berhenti di dekat Gunung Uhud, dekat dengan padang rumput yang luas dimana ternak-ternak Madinah biasa digembalakan, dan di sana ada juga ladang-ladang yang telah dibuka.
Orang-orang Quraisy menangkap ternak-ternak itu dan merusak ladang-ladang. Setelah menerima kabar tibanya pasukan Quraisy, Nabi Muhammad s.a.w. mengirim Habib bin Munḍar r.a. untuk mengumpulkan berita intelijen tentang jumlah dan kekuatan musuh, dan pulangnya harus berkomunikasi hanya dengan beliau secara pribadi.
Kemudian Habib r.a. menyelinap pergi dan dalam waktu singkat telah kembali dengan laporannya. Hari itu hari Kamis petang dan tibanya pasukan Quraisy serta perampokan di padang rumput telah diketahui umum di Madinah, dan walau ummat Muslim belum tahu tentang pasukan Quraisy secara rinci, namun malam itu dilewati dengan khawatir.
Pada hari Jumat pagi, Nabi Muhammad s.a.w. berkonsultasi apakah serangan pihak Quraisy akan dilawan di Madinah atau mereka akan berperang di luar kota. Beliau menjelaskan mimpinya yang terjadi di malam sebelumnya, yang diartikan secara rinci bahwa beliau sendiri akan menderita luka-luka, dan ummat Muslim akan menderita kekalahan, dan akan ada pembantaian di pihak musuh, dan kerabat dekatnya ada yang gugur, namun kota Madinah akan selamat.
Beliau menyampaikan pendapat bahwa ummat Muslim harus tetap berada di kota Madinah, sebab kalau keluar, maka resiko dan bahayanya akan besar sekali. Terhadap pendapat orang bijak dan terkenal itu, Muhajirin dan Anṣar menyatakan setuju. Abdullah bin Ubayy yang juga diundang dalam musyawarah tersebut, mendukung keras pendapat beliau. Ia menambahkan: ”Ya Nabi, kota ini bagaikan perawan suci. Tinggalkanlah ia, dan kita jadi kalah, namun bersamanya, kita telah memukul mundur banyak serangan. Biar pihak Quraisy yang putuskan, jika mereka menyerang, kegelapan ada bersamanya. Pendeknya, hancurkan rancangan mereka, dan mereka pasti mundur.”
Kemudian diputuskanlah bahwa segenap penduduk harus berdiam di dalam tembok kota, jika Quraisy menyerang akan dipukul mundur dengan tembakan anak panah dan hujan batu dari atas tembok dan atap-atap rumah. 
Namun keputusan itu mengecewakan para pemuda dan orang-orang bergaris keras Bani Anṣar. ”Haruskah kita duduk tenang di sini?” mereka menggerutu: “Kita jadi bahan tertawaan seluruh Arab, lihatlah kita diam saja, padahal harta kita dirampok oleh mereka? Aib akan mengikuti kita selamanya, dan musuh kita jadi semakin berani, mereka akan mengulang lagi penghinaan itu. Tidak, kita harus maju, dan memukul mundur musuh, sebagaimana di Badar.’”
Para Muhajirin juga jadi memihak mereka, dan semangat mereka timbul lagi ketika pada akhirnya Nabi Muhammad s.a.w. menyetujuinya, dan mengumumkan kesiapan untuk berperang.
Menaiki mimbar (hari itu Jumat) beliau terus menyemangati orang-orang dengan khotbahnya, agar mereka bertekad baja. “Jika kalian berteguh hati,”  Sabda beliau: ”Allah akan memberimu kemenangan.”
Lalu beliau memerintahkan mereka untuk siap berperang. Bagian terbesar gembira dengan keputusan akhir ini, namun sebagiannya sedih karena keputusan yang pertama diabaikan. Setelah Ṣalat Asyar selesai orang-orang telah berkerumun di pelataran mesjid dan menyiapkan senjata-senjatanya. Nabi Muhammad s.a.w. beristirahat dan Sayidina Abu Bakar r.a. serta Sayidina Umar r.a. bersiap-siap.
Tidak berapa lama kemudian, beliau keluar kamar berbaju-zirah dengan tutup kepala baja, pedangnya tergantung pada ban pinggang kulit dan tameng melintang dekat bahunya. Melihat beliau berpakaian perang, Anṣar menyesali protesnya yang terburu-buru dan berdoa agar saat itu beliau memutuskan yang terbaik untuk dirinya. Namun nasi telah jadi bubur.
”Aku memerintahkan kalian untuk tetap tinggal di sini, tapi kalian tidak setuju.” Sabda beliau: ”Bukanlah seorang nabi, jika ia telah menyatakan ikut berperang lalu ia meletakkan senjatanya kembali, sampai Allah menentukan antara ia atau musuh-musuhnya. Tunggulah! Karenanya, di hadapan Allah, hanya ada mereka yang berteguh hati, dan Dia akan mengirim kemenangan bagimu.”
Nabi Muhammad s.a.w. meminta 3 batang tombak dan memasangkan panji-panji di sana. Satu untuk suku Aus diberikan kepada Usyad bin Huḍair, satu untuk suku Khazraj diberikan kepada Habib bin Munżair dan satu untuk Muhajirin yang diberikan kepada Sayidina Ali r.a. Kemudian Abdullah bin Um Maktum ditunjuk sebagai panglima di kota, dan menjadi Imam Ṣalat untuk penduduk.
Beliau dengan menunggang kuda dikelilingi para pengikutnya, lalu bergerak menuju Uhud. Itulah satu-satunya kuda yang digunakan oleh pasukan Muslim.
Tiba di suatu tempat tinggi, beliau berkeliling dan melihat sesuatu, di tengah-tengah kebun palem yang ada di sebelah kanan, di sana telah berkumpul sekelompok orang yang terlihat kasar dan tidak teratur, lalu beliau diberi tahu bahwa mereka adalah kaum Yahudi sekutu Abdullah bin Ubayy, dan dengan tegas beliau memerintahkan agar mereka kembali pulang ke Madinah.
Kemudian beliau bergerak ke Ṣeikhein, setengah jalan ke Uhud, dan memeriksa pasukannya, remaja yang masih di bawah umur dikirim pulang, dan beliau bermalam di situ.
Abdullah bin Ubayy dengan pengikutnya berkemah di dekat sana, kecewa karena nasihatnya diabaikan, dan juga karena perlakuan tidak bersahabat kepada sahabat Yahudi-nya, ia cemberut dan menyendiri.
Beliau melewatkan malam dengan Bani Najjar, dan dijaga oleh pengikut setia yang selalu ada di dekat beliau. Muhammad bin Aslamah r.a. melakukan patroli di sekeliling kemah dengan 50 orangnya.
Sebelum waktu Ṣalat Subuh pasukan Muslim sudah berangkat. Dalam temaramnya cahaya mendekati fajar mereka berbaris, melalui ladang-ladang dan kebun-kebun, lalu muncul di dataran berpasir di belakang puncak Uhud. Pemandangan segar menghampar sampai ke terusan air yang menampung aliran air di desa itu antara arah utara dan timur.
Bukit Uhud yang berjarak tiga mil dari Madinah amat berbatu-batu dan hampir terpisah dari cabang pegunungan lain, dan dalam arah yang menghadap ke timur berjarak kira-kira 3 – 4 mil terdapat sebuah dataran. Arus deras kadang-kadang meluap sehingga menggenangi jejak-jejak yang berdampingan, lalu menghanyutkannya ke dataran di arah selatan dan barat, dan mengalirkan banjir ke lembah sungai yang ada di sekelilingnya.
Tapi saat itu sedang kemarau, jalurnya hanya ditandai oleh pasir tebal dan batu-batu yang tergores. Di tepi yang agak jauh, pada sedikit dataran yang tersedia, gersang dan berbatu-batu, Nabi Muhammad s.a.w. dan pasukannya beristirahat. Ketika fajar sedikit lagi menyingsing, walau panji-panji musuh samar-samar terpandang, namun Ażan Subuh dari mulut Bilal r.a. tetap berkumandang, seluruh pasukan bersujud dalam doa yang dipimpin beliau.
Ketika itulah Abdullah bin Ubayy tiba-tiba mundur, desersi dari pasukan Muslim bersama 300 pengikutnya, menyusuri jalan untuk kembali ke kota. Kepada mereka yang mencegahnya ia menjawab, bahwa jika ia harus berperang langsung maka ia tidak akan mundur, namun ummat Muslim ingin mengancurkan dirinya sendiri, dan ia bukan bagian dari itu.
Akhirnya Nabi Muhammad s.a.w. hanya memiliki 700 pasukan dan hanya 100 orang yang memakai baju-zirah, namun demikian, mereka adalah laki-laki sejati yang berperang di jalan Allah, dan berani melawan musuh yang jumlahnya 4x lipat lebih dari jumlah pasukannya sendiri.
Sambil bergerak maju, mereka menempati tanah berbukit yang ada di depannya, bagian belakangnya dilindungi oleh kerutan tingginya gunung Uhud, kecuali di bagian kiri, dimana batukarang agak melengkung dan jalan berbahaya terbuka bagi musuh, cukup ruang untuk dilewati kuda-kuda mereka.
 Kemudian beliau menempatkan kelompok pemanah terbaik secara berlapis-lapis di sana, dipimpin oleh Abdullah bin Jubair, dengan perintah tegas bahwa mereka dilarang meninggalkan tempat dan tetap memantau upaya-upaya pasukan Quraisy yang mungkin akan memanfaatkan sisi bukit itu.
”Jagalah bagian belakang kita.” Beliau bersabda: ”Jangan meninggalkan tempat itu. Kalau kamu melihat kami sedang memburu musuh dan mengambil harta rampasan, kalian dilarang bergabung. Jika kami yang diburu musuh dan mungkin lebih buruk lagi, kalian jangan berani membantu kami.”
Setelah mengamankan bagian belakangnya, beliau menyusun pasukan dalam formasi tempur dan menunjuk komadannya. Pada tahap ini beliau diberitahukan bahwa formasi tempur pasukan Quraisy dibuat oleh Talha, yang menurut riwayatnya telah dibuat oleh Quṣai bin Kilab bin Murrah, yang telah menjadi tradisi keluarga yang ditunjuk sebagai pemegang panji Quraisy di dalam perang. Mendengar itu, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: ”Justru kita yang ditunjuk untuk melaksanakan tradisi keluarga.” 
Dan beliau mengambil panji Muhajirin dari Sayidina Ali r.a. lalu diberikan kepada Mus’ab bin Umair r.a. yang berasal dari keluarga yang sama dengan Talha. Beliau melarang pasukannya menyerang musuh sampai diperintahkan, karena  disadari bahwa kekuatan pasukannya dapat dihancurkan jika salah pada awalnya. Setelah mengatur pasukannya, dengan tenang beliau menunggu tibanya musuh. Pasukan Muslim mengambil tempat yang mengarah ke Madinah.
Sementara itu, Abu Sufyan selaku pemimpin berdasarkan keturunan, memimpin pasukan Mekah, dan mengarah ke Uhud, berbaris menghadapi barisan Muslim. Sayap kanan dipimpin oleh Khalid, saya kiri oleh Ikramah anak Abu Jahal. Amr bin Aas memimpin pasukan kuda, dan Abdullah bin Rabiyya pasukan panah. Pertama-tama para perempuan maju ke depan dan menabuh rebananya diiringi lagu mars perang, dan mundur setelah pasukan maju.
Perang dimulai oleh majunya Abu Aamir yang berbadan kurus dan tidak terkenal, yang mengajak para penduduk Madinah bersahabat dengannya dan sia-sia belaka. Ia dijawab dengan hujan batu dan dipaksa mundur oleh kelompok pasukannya sendiri, dan Talha dengan marahnya berteriak: ”Hai budak, kau mundurlah! Jaga kemah, itulah pekerjan yang cocok buat kamu!”
Lalu sambil mengibarkan panji Quraisy, Talha maju sendirian dan menantang ummat Muslim untuk berduel, dan berteriak: ”Pembawa bendera punya hak, melumuri tiangnya dengan darah, sampai dia patah di tangannya.”
Sayidina Ali r.a. melangkah ke depan terus memburu Talha, hanya dengan satu sabetan pedang, musuhnya rubuh ke tanah. Saudara Talha, Usman yang memimpin barisan perempuan, lari ke depan dan merampas panji yang tergeletak di sisi mayat. Para perempuan memukul rebananya dengan keras dan mereka bernyanyi: ”Kami putri-putri yang berani. Melangkah perlahan di atas permadani. Majulah, dan kami memelukmu! Kalau kembali, kami menjauhimu, menjauhimu dan menghina dirimu.’
Hamzah r.a. menjawab tantangan Usman, dan setelah berduel singkat, Usman juga roboh ke tanah. Sambil melangkah gagah, ia mundur ke barisan Muslim dan berteriak: ”Aku adalah anak dia yang memberi minum peziarah haji.” Kalimat itu berarti bahwa beliau adalah putra Abdul Muṭalib yang bertugas di Ka’bah.
Satu demi satu keluarga Talha, dua saudara dan tiga anaknya, mengambil bendera, dan satu per satu mereka gugur dalam berduel.
Di awal perang besar-besaran itu Nabi Muhammad s.a.w. mengangkat pedang beliau dan bersabda: ”Siapa yang ingin pedang ini, dan tunaikanlah tugasnya?”
Beberapa orang Sahabat termasuk Sayidina Umar r.a., Zubair r.a. dan Sayidina Ali r.a., berebutan maju ke depan, tapi beliau tidak menyerahkan pedang itu pada salah satu dari mereka, namun ketika Abu Dujana Ansari r.a. menawarkan agar ia mengambilnya, lalu beliau menyerahkannya.
Hasil dari duel satu lawan satu sampai saat itu memberikan hasil berimbang di kedua belah pihak. Sebegitu jauh duel berjalan, pihak Quraisy tidak mampu meraih keuntungan dari jumlah pasukannya yang jauh lebih banyak, dan kehilangan yang cepat pada pembawa panji mereka, telah menyebabkan rasa takut pada pasukannya.
Lalu pertempuran besar terjadi, dan tertekan oleh semangat yang amat dahsyat dari ummat Muslim, pasukan Mekah mulai melemah. Kuda-kuda mereka berkali-kali mencari celah untuk menerobos sayap kiri ummat Muslim, namun di sana mereka selalu dipukul mundur oleh kelompok kecil pasukan panah yang sengaja ditempatkan Nabi Muhammad s.a.w.
Keberanian menentang bahaya diperagakan kembali sebagaimana terjadi di Badar. Pasukan Mekah mungkin gemetar oleh Abu Dujana r.a. yang dikenal dengan selendang merah di sekitar tutup kepala, ia mencincang pasukan musuh, dan menebar kematian dengan pedang yang diberikan beliau. Dan Hamzah r.a. pun terlihat begitu jelas dengan bulu burung unta, dan Sayidina Ali r.a. dikenal dengan jambul panjang berwarna putih, dan Zubair r.a. dengan sorban kuning menyala, dimana saja mereka berada selalu membuat musuh kebingungan.
Namun ummat Muslim membuat keberhasilan terlalu cepat. Sebagian menerobos pasukan musuh hanya untuk mengambil harta rampasan, formasi tempur mereka rusak, dan menjadi kacau. Kelompok panah yang sampai saat itu mampu menahan pasukan kuda Mekah, dari ketinggiannya melihat suatu peluang yang menggoda, lalu dengan mengabaikan perintah tegas Nabi Muhammad s.a.w. dan sungguh-sungguh melanggar perintah pemimpinnya, mereka memburu harta rampasan.
Mata tajam Khalid bin Walid melihat peluang, dan ia segera memanfaatkannya. Melarikan pasukan kudanya memutari sayap kiri pasukan Muslim dan menyusuri tanah berbukit karena pemanah Muslim tinggal beberapa orang, ia mendadak muncul di belakang ummat Muslim dan menyerbu pasukan itu. Pendadakan itu berakibat fatal dan strategi pertahanan rusak total.
Mungkin pasukan Muslim masih bisa pulih, kalau pahlawan Quraisy, Abdullah bin Qami’a tidak menyerang pemegang bendera Muslim yaitu Mus’ab bin Umair r.a., dan lengan kanan Mus’ab r.a. luka berat terkena pedangnya. Mus’ab r.a. memegang bendera dengan lengan kirinya dan maju menuju Ibn Qami’a yang juga menebas lengan kirinya, setelah itu Mus’ab r.a. melipat kedua lengannya memeluk bendera yang ditekan ke dadanya. Ibn Qami’a menyerang Mus’ab r.a. untuk ketiga kalinya dan ia roboh ke tanah.
Sementara itu, Washi, budak Negro yang dibeli Jubair bin Mut’am ikut berperang bersamanya karena dijanjikan untuk dibebaskan jika ia bisa membunuh Hamzah r.a. yang telah membunuh pamannya Ta’imah bin Adi di perang Badar, ketika Hamzah r.a. lewat di dekatnya ia melempar lembingnya ke tujuannya dengan tepat dan Hamzah r.a. tewas serta roboh ke tanah.
Itu adalah saat yang penuh bahaya besar bagi Nabi Muhammad s.a.w. beserta ummat Muslim, dan sebagian dari mereka yang kebingungan malahan saling menyerang antara satu dan lainnya, serta menimbulkan luka parah pada kawannya sendiri. Yaman r.a., ayah Huḍaifah terbunuh di saat berbahaya itu oleh Muslim yang kebingungan dan tidak mempedulikan teriakan Huḍaifah r.a. bahwa mereka menyerang ayahnya.
Beliau berdiri di tanah berbukit dan melihat sukses pertamanya ketika lolos dari serangan pasukan kuda Khalid yang menyerang sayap kiri pasukannya. Dengan bantuan pasukan di sekelilingnya, beliau turut melepas anak panah ke arah musuh sampai busurnya patah, kemudian beliau mengambil pelempar batu. Satu orang Quraisy dengan menggila bergerak maju untuk membunuh beliau, dan tombaknya terkena di dadanya. Beliau menderita luka ringan tapi orang Quraisy itu mati.
Musuh segera mengerahkan kekuatannya dan memburu beliau, jika saja kelompok pengikutnya yang setia tidak melindunginya (7 orang Anṣar dan 7 orang Muhajirin) mungkin beliau sudah tiada. Kelompok ini memperagakan kepahlawanan tanpa bandingan karena terdorong oleh kesetiaan yang mutlak kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Begitu juga Sayidina Ali r.a. dan Zubair r.a., dengan serangan-serangan jitu berulang-kali memukul mundur pasukan musuh yang menyerang kelompok beliau. Abu Talha Ansari r.a. mematahkan 3 buah busur untuk melepas anak panah ke arah musuh, dan ia melindungi beliau dari serangan anak panah dengan tubuhnya.
Beliau menyerahkan anak panahnya kepada S’ad bin Abi Waqqas r.a. dan menaikkan semangatnya dengan sabda: ”Panah terus musuhmu, semoga ayah dan ibuku menyaksikan pengurbananmu.” Abu Dujana r.a. juga melindungi beliau dengan tubuhnya, menerima tusukan anak panah dan lemparan batu yang ditujukan pada beliau.
Tubuhnya telah dipenuhi luka-luka berat, namun ia tidak bergerak walau satu inchi pun dari tempatnya, karena jika ia bergerak maka akan ada bagian tubuh beliau yang terbuka untuk dipanah oleh musuh. Tubuh Abu Talha Ansari r.a. juga telah dipenuhi anak panah musuh dalam upayanya melindungi Nabi Muhammad s.a.w., dan satu lengannya telah menjadi lumpuh untuk selamanya.
Walau demikian ketika serangan bertambah kencang, maka kelompok itu kadang-kadang tertekan ke sisi, dan beliau menjadi terbuka bagi serangan pembunuhnya.
Pada suatu saat sebuah batu yang dilempar Urbah bin Abi Waqqas saudara S’ad r.a., terkena wajah beliau, mematahkan satu gigi dan merobek bibir. Di saat yang lain, batu yang dilempar Abdullah bin Ṣahab melukai dahi, dan yang ketiga batu yang dilempar oleh Ibn Qami’a terkena leher dan menekan dua cincin penutup kepala sehingga menusuk daging.
Akhirnya Ibn Qami’a menyerang kelompok Muslim dan tiba di dekat Nabi Muhammad s.a.w., serta menebas beliau dengan sisi pedangnya. Tapi Nabi Muhammad s.a.w. selamat karena beliau memakai dua rangkap baju-zirah, namun karena kaget beliau jatuh ke tanah, dan Ibn Qami’a berteriak-teriak bahwa ia berhasil membunuh beliau. Namun Sayidina Ali r.a. dan Abu Talha Ansari r.a. membantu membangkitkan beliau, dan ummat Muslim amat gembira karena beliau selamat.
Derajat kebingungan yang dialami ummat Muslim saat itu, mungkin berangkat dari kenyataan banyaknya Sahabat yang membayangkan bahwa beliau telah menjadi syahid, dan mereka mundur dari medan perang serta membuang senjatanya. Sayidina Umar r.a. adalah salah satunya. Kelompok mereka duduk-duduk di tepi ketika Anas bin Naḍar Ansari r.a. mendatangi mereka dan menanyakan apa yang sedang mereka kerjakan.
Mereka menjawab: ”Nabi Muhammad s.a.w. telah syahid, lantas apa lagi tujuan kita untuk meneruskan peperangan ini?”
Anas menjawab: ”Ini waktu untuk berperang jadi kita juga harus bisa menerimanya, lagi, hidup tak berarti setelah beliau pergi.”
Lalu ia memandang pada S’ad bin Mu’az r.a. dan berkata kepadanya: ”S’ad, aku mencium harumnya surga yang keluar dari bukit sana.”
Setelah berkata begitu, ia segera menuju pasukan musuh dan terbunuh dalam perang. Setelah perang selesai, di tubuhnya terdapat 80 tanda luka dan ia tidak bisa dikenal lagi sampai saudara perempuannya mengenal kakaknya dari salah satu jarinya.
Perlahan-lahan perang berhenti, karena pihak Quraisy membayangkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah tewas, dan karena merasa bahwa tujuan mereka telah tercapai lalu mereka sibuk mencari jenazah temannya serta memutilasi mayat-mayat orang Muslim.
Mereka yang masih berada di medan perang berkumpul mengelilingi beliau, didukung oleh Abu Talha Ansari r.a dan satu atau dua orang lainnya, mereka mendaki puncak Uhud yang ada di belakangnya,  serta bergabung dengan pasukan Muslim yang menemukan tempat persembunyian aman di sana. Kegembiraan pasukan Muslim meledak setelah melihat beliau selamat.
 Kāb Bin Malik r.a. yang bertemu beliau di tengah perjalanan, meneriakkan berita baik itu, namun beliau menyuruhnya diam. Ketika kelompok itu menemukan tempat sembunyi di sebuah gua, tindakan pertama para Sahabat adalah membuka penutup kepala Nabi Muhammad s.a.w. Ada dua buah cincin besi tertanam dalam sekali di leher beliau, Abu Obaida r.a. kehilangan dua buah giginya ketika mencabut cincin itu.
Darah mengalir banyak sekali dari lukanya. Sayidina Ali r.a. berlari-lari menuju lubang-lubang batukarang dan mengambil air dari sana. Nabi Muhammad s.a.w. belum bisa minum air itu, dan hanya membasuh mulut.
Setelah darah dibersihkan dari wajahnya, beliau bersabda: ”Mengapa rakyatku bisa memperlakukan Nabi mereka yang menyerunya pada Allah?”
Setelah beberapa saat, beliau berdoa: ”Ya Allah, maafkanlah rakyatku, karena mereka tidak tahu apa-apa.”
Pada waktu itu, putri beliau, Sayidah Fatimah r.a., tiba dari Madinah dan mengobati luka-luka di pelipis ayahnya, menyumbat aliran darah dengan arang jerami yang dibakar. Luka itu baru bisa sembuh total setelah satu bulan. Sayidah Ṣafiyah r.a., bibi beliau, sangat menyayangi adiknya yaitu Hamzah r.a., dan beliau yang khawatir akan timbul akibat lain jika ia melihat sisa jenazahnya, telah meminta putranya Zubair r.a. untuk menjaganya sampai jenazahnya dikuburkan, namun ia memaksa tidak mau pulang kembali.
”Saya tidak mau pulang.” Ia menangis: ”Sampai saya bisa melihatnya.”
Lalu beliau membawanya ke tempat jenazah dan bersabda: ”Biarkan ia berkabung sendirian.”
Ia duduk berdempetan dengan Sayidah Fatimah r.a., dan keduanya menangis sedih. Guna menghibur Sayidah Ṣafiyah r.a., beliau bersabda bahwa nama saudaranya telah masuk daftar di Surga sebagai Singa Allah dan Utusan-Nya. Beliau juga bersabda menghibur para perempuan Madinah yang meratapi mayat-mayat.
Kuburan digali, dan jenazah-jenazah diturunkan sesuai urutannya, beliau memerintahkan bahwa mereka harus dikuburkan 2 – 3 orang dalam satu liang lahad. Sebelum itu, para pemimpin Quraisy sibuk di medan perang. Mereka mencari-cari jenazah Nabi Muhammad s.a.w. dan tidak ditemukan, sehingga keraguan mulai muncul tentang wafatnya.
Banyak sekali perbuatan biadab yang dilakukan yaitu memutilasi jenazah. Hindun menyeringai pada jenazah Hamzah r.a. Ia merobek hati Hamzah r.a. lalu dimakannya untuk memenuhi sumpahnya yang biadab, ia mencabuti kuku-kukunya dan mengulitinya serta memotong tangan dan kakinya.
Ketika pasukan Quraisy menghabiskan waktunya beberapa lama dan telah mengubur jenazah orang-orangnya, Abu Sufyan pergi mendekat ke bukit dan berteriak memanggil-manggil nama Nabi Muhammad s.a.w., Sayidina Abu Bakar r.a. dan Sayidina Umar r.a.
Karena tidak ada jawaban (Nabi Muhammad s.a.w. juga berdiam diri) ia berteriak lagi: ”Jadi kalian semua telah terbunuh, kami menghabisi kalian.”
Sayidina Umar r.a. tak mampu menahan diri: ”Engkau berdusta.” Ia berkata lagi: ”Mereka semua masih hidup, kalian musuh Allah, dan akan dibalas.”
Abu Sufyan mengenali suara Sayidina Umar r.a., dan bertanya: ”Katakan padaku sejujurnya Umar, apakah Muhammad masih hidup?”
Jawab Sayidina Umar r.a.: ”Ya, beliau masih hidup, dan mendengarmu.”
Abu Sufyan menjawabnya kembali: ”Aku percaya kepadamu dengan saksi Ibn Qami’a. Hari ini adalah balasan dari Badar. Nasib terbalik, sebagaimana keranjang.”
Kemudian ia berteriak mengagungkan berhalanya, namanya disebut satu per satu. Tiba-tiba Nabi Muhammad s.a.w. menyuruh Sayidina Umar r.a. menjawab: ”Kemenangan ada pada Allah. Dia adalah Penjaga kami dan kamu tak ada yang menjagamu.”
Abu Sufyan berkata: ”Kita akan bertemu lagi di Badar setahun kemudian.”
Sayidina Umar r.a. menjawab: ”Jadilah.”
Setelah berkata demikian Abu Sufyan langsung bergerak dan pasukan Mekah mulai berbaris pulang ke tempatnya.
Korban di pihak Muslim 70 orang, 4 orang Muhajirin, dan 66 orang Anṣar, telah mempersembahkan nyawanya di medan perang. Itu adalah bukti bahwa sebagian pasukan Muslim tidak hancur karena dicegah oleh nubuatan Nabi Muhammad s.a.w. yang menyediakan tempat persembunyian yang aman di bagian belakang. Di pihak musuh, korbannya hanya 23 orang.
Adalah mengherankan bahwa walau pun Quraisy telah mengalahkan pasukan Muslim di Uhud, dan jika mereka mau maka mereka bisa menang lebih besar lagi dengan terus menyerang Madinah, namun mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah.
Dalam rangka berjaga-jaga Nabi Muhammad s.a.w. mengirim S’ad bin Abi Waqqas r.a. untuk melihat gerakan mereka apakah Quraisy berniat menyerang Madinah. Beliau bersabda kepadanya: ”Jika kamu melihat unta-unta mereka mendahului kuda-kuda, maka mereka akan pulang ke Mekah dan tidak berniat menyerang Madinah, namun jika kamu melihat mereka menaiki kudanya dengan senjata lengkap, mungkin mereka memiliki rancangan yang lain.” S’ad r.a. dengan cepat kembali dan memberitahu Nabi Muhammad s.a.w. bahwa pasukan Quraisy telah mengarah ke Mekah.
Beliau merasa sangat tertekan dengan perbuatan biadab Quraisy yang memutilasi jenazah-jenazah ummat Muslim. Kasus Hamzah r.a. telah diterangkan di depan. Jenazah Abdullah bin Jahsy r.a. kemenakan beliau telah diperlakukan oleh mereka dengan cara yang sama. Untuk sesaat beliau berpikir bahwa orang-orang Quraisy harus dibayar dengan cara yang sama, namun beliau membuang perasaan seperti itu dan untuk selamanya pahlawan Muslim dilarang memutilasi jenazah musuh.
Ketika beliau memeriksa jenazah-jenazah Muslim, Ubayy bin Kāb Ansari r.a. disuruh mencari tahu apakah S’ad bin Rabi’ r.a., orang penting Anṣar telah terbunuh atau masih terselamatkan. Setelah dicari dengan teliti Ubayy bin Kāb Ansari menemukan S’ad bin Rabi’ r.a. sedang sekarat dalam pelukan mayat Muslim lain.
Namun ia masih bisa menyampaikan rasa hormat pada Nabi Muhammad s.a.w. dengan suara perlahan sebelum wafatnya, dengan pesan: ”Semoga Allah SWT memberi engkau derajat yang tertinggi, anugerah yang Dia berikan melalui Nabi-Nya sebagai balasan kesetiaan dan pengorbanan para pengikutnya, dan semoga Dia memberi rasa aman di dalam hatimu.”
Ia juga memberi tahu Ubayy r.a. untuk menyampaikan salam kepada saudara seiman dan menyampaikan bahwa jika beliau menjadi syahid sedangkan mereka yang menjaga beliau masih hidup, maka mereka akan dihisab atas kesalahannya oleh Allah dan tidak ada ampun atas mereka. Setelah itu ia wafat.
Salah satu yang syahid di Uhud adalah Mus’ab bin Umair r.a. yang telah ditunjuk oleh Nabi Muhammad s.a.w. sebagai penyebar Islam pertama di Madinah. Sebelum menjadi Muslim, ia selalu terlihat memakai pakaian-pakaian bagus dan menjadi laki-laki muda tertampan di Mekah, yang dibesarkan dalam keadaan hidup mewah. Setelah menjadi Muslim ia menjalankan cara hidup yang teramat sederhana.
Pada suatu kesempatan ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat bahwa baju yang dipakai Mus’ab r.a. terdapat beberapa tambalan, mata beliau membasah ketika mengingat cara hidupnya di waktu-waktu yang lalu. Ketika jenazah Mus’ab r.a. ditemukan, ia hanya memakai sehelai kain dan tidak cukup membungkus seluruh badannya, dan beliau memerintahkan bahwa kepalanya dikafani dengan kain tersebut serta kakinya dibungkus dengan rumput liar yang ada.
Nabi Muhammad s.a.w. mulai bergerak menuju Madinah pada sore harinya. Pada saat itu, ummat Muslim di Madinah, baik laki-laki mau pun perempuan sedang meratap dengan menghadap ke arah Uhud, segenap kekhawatiran telah lenyap ketika melihat beliau selamat. Istri Ansari r.a., merasa teramat sedih dan kebingungan, mencari-cari kelompoknya di antara rombongan beliau yang sedang menuju Madinah.
Ia bertanya pada salah satu anggota kelompoknya tentang Nabi Muhammad s.a.w., dan dijawab bahwa ayahnya, saudaranya dan suaminya semuanya telah syahid di medan perang. Ia mengulangi lagi pertanyaannya tentang beliau dan dijawab bahwa beliau selamat dan sedang memperhatikannya.
Sambil memandangnya, ia berkata: “Semua bencana mudah dilalui, sepanjang engkau selamat.”
Ketika memasuki kota beliau mendengar ratapan sedih dari rumah-rumah. Beliau sangat tersentuh hati, dan menghibur yang meratap dengan sabda: ”Pamanku Hamzah juga syahid, dan tak seorang pun meratapinya.”
Pemimpin Anṣar salah mengerti dan menganggap beliau menyatakan kesedihannya karena tak ada seorang pun yang meratapi Hamzah r.a.. Kemudian, mereka menyuruh perempuan mereka untuk berhenti meratapi keluarganya yang tewas dan pergi ke rumah beliau untuk meratapi wafatnya Hamzah r.a.
Mereka berangkat, dan ketika beliau mendengar ratapan mereka beliau bertanya apa sebabnya, dan dijawab bahwa perempuan Bani Anṣar meratapi jenazah Hamzah r.a.. Lalu beliau menyampaikan rasa terima kasihnya atas kesetiaan dan kasih-sayang mereka, serta berdoa kepada Allah untuk memberkati mereka, namun disabdakan bahwa Islam tidak mengizinkan ratapan dan tangisan yang seperti itu, dan beliau melarang ummat Muslim melakukannya.
Seorang remaja Muslim bernama Jabir, ayahnya seorang yang telah syahid, telah menemui Nabi Muhammad s.a.w. dan beliau mengerti akan kesedihannya pada mendiang ayahnya, dan bersabda: ”Jabir, boleh saya mengucapkan sesuatu  yang akan menyenangkan hatimu?” Jabir menjawab: ”Silahkan, Ya Rasulullah.”
Lalu beliau bersabda padanya: ”Ketika ayahmu telah syahid dan menghadap Allah SWT, Dia berfirman kepadanya dengan berhadapan wajah, serta bertanya: Apa keinginanmu yang terbesar?”
Lalu ayahmu menjawab: ”Ya Allah, saya telah menerima penghormatan yang begitu besar, dan yang saya inginkan adalah agar saya dapat kembali hidup di dunia sehingga saya bisa membaktikan seluruh hidupku di jalan-Mu sekali lagi.”
Allah berfirman kepadanya: “Aku benar-benar akan memenuhi keinginanmu, andaikan Aku tidak menetapkan bahwa tak seorang pun yang telah mati dapat kembali lagi ke dunia.”
Ayahmu menjawab: ”Mohon disampaikan kepada kerabatku bahwa semangat untuk bertempur di jalan Allah, senantiasa harus terus dinyalakan.”
Peristiwa itulah yang menyebabkan diturunkannya ayat sbb:
Wa lā tahsabanal lażina qutilu fi sabilillāhi amwāta, bal ahyā’un ‘inda rabbihim yurzaqun. Farihīna bimā ātāhumullāhu min faḍlihī. ”Dan janganlah kamu mengira tentang orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka, mereka diberi rizki. Mereka gembira dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya.” (āli-Imrān: 170-171)
S’ad bin Mu’az r.a. pemimpin suku Aus, membawa ibunya yang sudah tua kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang turut berduka-cita atas putranya Amr bin Mu’az r.a. yang telah syahid. Ia berkata: ”Ya Rasulullah, sepanjang engkau selamat, kami tidak bersedih atas apa pun.”
R. V. C. Bodley telah menulis (ṭe Messenger, hal. 179):
”Muhammad tidak menerima kekalahan. Beliau tidak membiarkan pasukannya diganggu istri-istrinya dengan versi-versi perang, karena beliau juga turut berperang. Beliau menderita luka-luka, mengalami kejang, merasa lelah, walau dalam usia 56 tahun namun tetap naik kuda dan mengejar musuh yang ketakutan dan mengalahkannya. Strateginya luar-biasa dilengkapi dengan psikologi yang indah, dan di atas segalanya beliau adalah seorang panglima yang mengerti benar dalam memulihkan semangat manusia yang telah sebegitu hancur-lebur. Beliau tak pernah santai atau menikmati waktu istirahat ketika tiba ke Madinah. Sebaliknya, beliau tetap memperlihatkan perilaku seorang pemimpin, yang selalu menegur bawahannya.”
G. M. Draycott telah menulis (Mahamet, Founder of Islam, hal. 201):
”Sebaliknya dari memamerkan sifat seorang pahlawan, Muhammad tidak pernah begitu terbuka ketimbang pada hari sedih pertama setelah perang Uhud, manakala dengan begitu teguhnya beliau memperbaiki segalanya yang dianggap telah hilang, menolak menerima tuduhan bahwa ia telah menjadi lemah, ia tidak mudah dipengaruhi oleh orang-orang yang selalu membisikkan kegagalannya, ia unggul dalam asset agungnya pada keimanan yang tak pernah tergoyahkan.”

---------------- *** -----------------

No comments:

Post a Comment