Saturday, July 2, 2011

BAB - 07. PERANG BADAR

Di awal bulan Ramaḍan, telah lazim diketahui oleh orang-orang Madinah bahwa biasanya serombongan besar kafilah Quraisy kembali ke Mekah dari Siria dan dipimpin oleh Abu Sufyan. Rombongan kafilah itu dikawal oleh kurang lebih 50 pengawal bersenjata. Sungguh rombongan kafilah yang kaya-raya, penuh dengan barang milik setiap orang Quraisy yang menginvestasikan uangnya.
Di bagian depan telah dijelaskan bahwa kafilah-kafilah itu merupakan ancaman besar bagi keamanan Madinah, oleh karenanya ketika diterima suatu isyarat bahwa kafilah itu sedang mendekati Madinah, maka beliau mengutus dua orang Muhajirin yaitu Talha bin Ubaidullah r.a. dan Said bin Zaid r.a., untuk mengumpulkan informasi intelijen tentang kafilah tersebut dan melaporkannya kepada beliau. Pada waktu yang sama, beliau juga memerintahkan para Sahabat agar bersiap sedia untuk berangkat dengan tujuan memblokir jalur kafilah di arah selatan.
Di pihak lainnya, Abu Sufyan yang mengerti bahwa jalur kafilahnya mungkin akan diblokir oleh ummat Muslim, dengan segera mengirim seorang penunggang kuda cepat ke Mekah untuk menjelaskan keadaan lapangan kepada suku Quraisy agar mereka mengirim pasukan besar untuk mengawal kafilah itu. Ia juga mengambil jalur yang memutar ke arah barat dan kafilahnya mulai berjalan lebih cepat di jalur yang dekat ke laut itu.
Ketika sang utusan tiba di Mekah, maka sesuai kebiasaan orang Arab ia mulai bertingkah kasar dan segera berteriak-teriak: ”Hai orang-orang Mekah, Muhammad dan para Sahabatnya telah berangkat dari Madinah untuk menyerang kafilah. Cepat kumpulkan pasukan yang tangguh untuk mengawal kafilah kalian.”
Mendengar teriakan itu, orang-orang yang cemas mulai berkumpul di sekeliling Ka’bah dan para pemimpin Quraisy berpidato muluk-muluk serta meminta agar pasukan segera berangkat dan menghancurkan Muslim. Telah ditetapkan bahwa sepasukan tentara yang kuat harus segera bisa dikirimkan dan semua orang yang mampu mempersenjatai dirinya harus turut berangkat. Jika ada orang yang tidak bisa berangkat karena berbagai halangan, maka ia harus memberikan penggantinya.
Para pemimpin Quraisy menyatakan siap untuk berangkat, terkecuali Abu Lahab dan Umayya bin Khalf. Abu Lahab merasa takut, karena saudara perempuannya pada tiga hari yang lalu telah bermimpi bahwa Quraisy akan kalah, tapi ia mengirimkan penggantinya juga. Umayya bin Khalf takut karena teringat nubuatan Nabi Muhammad s.a.w. bahwa ia akan disembelih, sebagaimana telah dijelaskan oleh S’ad bin Mu’az r.a. kepadanya dulu, namun pada akhirnya ia terbujuk untuk ikut berangkat dan pasukan itu pergi ke arah utara. Dalam waktu tiga hari, sebuah pasukan dengan jumlah lebih dari 1.000 orang yang bersenjata canggih dan peralatannya lengkap telah siap bergerak dari Mekah.
Sebagian pemimpin Quraisy kecuali Bani Bakar menjadi khawatir bahwa keluarga Bani Kananah yang tidak bersahabat dengan mereka, pasti akan mengambil kesempatan menyerang Mekah ketika mereka berangkat. Namun secara kebetulan, kepala suku Bani Kananah yaitu Suraqa bin Malik bin Ja’ṭam ada di Mekah, dan ia menjamin serta meyakinkan mereka bahwa tak seorang pun dari rakyatnya yang akan mengancam keamanan Mekah dengan cara apa pun. Ia sendiri bergabung dengan pasukan Quraisy dan menemaninya sampai ke Badar, namun setibanya di sana ketika ia melihat pasukan Muslim, ia meninggalkan orang Quraisy dan mundur sebelum perang terjadi. Perilakunya tersebut merujuk pada Alquran, ayat sbb:
Wa iż zayyana lahumusy-syaiṭānu a’mālahum wa qāla lā gāliba lakumul-yauma minan-nāsi wa innī jārul lakum, fa lammā tarā’atil-fi’atāni nakaṣa ‘alā ‘aqibaihi wa qāla innī barī’um minkum innī arā mā lā tarauna innī akhāfullāh, wallāhu syadidul ‘iqāb. ”Dan ingatlah ketika syaitan menampakkan indah kepada mereka amal-amal mereka dan berkata, “Tak seorang pun di antara manusia yang dapat mengalahkanmu pada hari ini, dan sesungguhnya aku pelindungmu.” Tetapi, ketika kedua pasukan itu berhadapan kepada satu sama lain, berbaliklah ia atas tumitnya sambil berkata,  “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu; sesungguhnya, aku melihat apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya, aku takut kepada Allah; dan sangat keras siksaan Allah.” (al-Anfāl: 49)
Sebelum berangkat dari Mekah, orang-orang Quraisy berkumpul di sekeliling Ka’bah dan berdoa: ”Wahai Allah, dari kedua pihak ini, kami mohon kepada-Mu bahwa salah satu pihak yang Engkau anggap benar dan mulia agar dimenangkan, dan Engkau hinakan dan hancurkan yang lainnya.”
Setelah itu, orang Quraisy berangkat dari Mekah dengan amat megah dan bersenjata lengkap. Mereka diiringi nyanyian para perempuan yang sambil memukul genderang menyanyikan lagu mars perang, menyemangati pasukan agar mampu bertempur dengan berani. Para pemimpin Quraisy menyediakan makanan yang dibutuhkan dalam perjalanan. Terdapat 9 atau 10 ekor unta disembelih setiap harinya guna mendapatkan dagingnya.
Ketika pasukan itu tiba di Jahfah yaitu sedikit lebih jauh dari setengah jalan ke Badar, seorang utusan Abu Sufyan membawa berita bahwa kafilahnya telah melewati daerah bahaya dengan aman, sehingga pasukan Quraisy tidak perlu maju lebih jauh lagi. Mendengar berita itu, sebagiannya memberi usulan agar pasukan dipulangkan, namun Abu Jahal dan kelompoknya menolak dengan kasar dan bersumpah bahwa mereka akan terus maju sampai ke Badar, di sana akan diadakan festival selama tiga  hari agar gengsi mereka naik di seluruh negara dan orang-orang menjadi terpesona. Sekali pun demikian sejumlah kecil orang ada yang pulang, namun pasukan utama tetap maju dan tiba di Badar pada hari ke-9 setelah mereka berangkat dari Mekah. Mereka adalah sebuah pasukan yang amat kuat dengan 1.000 orang bersenjata lengkap, 700 ekor unta dan 100 ekor kuda dibawanya. Kebanyakannya menggunakan baju-zirah dan memiliki senjata lengkap.
Di Madinah, sebelum Talha bin Ubaidullah r.a. dan Said bin Zaid r.a. pulang, Nabi Muhammad s.a.w. telah menerima isyarat rahasia yang mungkin dikirim oleh pamannya Abbas, bahwa sepasukan tentara Quraisy yang kuat telah berangkat dari Mekah, namun beliau tidak membocorkan berita ini kecuali kepada para Sahabat yang amat dekat, dan mereka juga dilarang membocorkan kepada lainnya. Sahabat-sahabatnya meneruskan persiapan untuk menyerang kafilah. Hingga saat itu Anṣar, sesuai syarat-syarat Bai’at Aqabah Kedua, telah mengawal beliau untuk berjaga-jaga jika serangan Quraisy sampai ke Madinah, dan mereka tidak pernah ikut dalam kelompok pengintai, namun di saat itu sebagian dari mereka menunjukkan kesiapannya untuk berangkat.
Beliau yang masih berada di Madinah, mengadakan rapat dewan dan meminta nasihat dari para Sahabat. Kemudian Sayidina Abu Bakar r.a. dan Sayidina Umar r.a. meyakinkan beliau atas kesetiaan mereka, namun tidak ada reaksi apa pun dari yang lainnya, lalu para pemimpin Anṣar dikumpulkan dan beliau menunggu mereka menyatakan akan berpihak ke pada siapa. Kemudian S’ad bin Ubadah r.a. kepala suku Khazraj mengucapkan pernyataan yang menaikkan semangat bahwa mereka siap mengorbankan apa pun di jalan Allah. Selanjutnya, beliau  menyeru para sukarelawan dan segera sejumlah Muhajirin dan Anṣar menawarkan dirinya.
Namun karena kesan yang umum hanyalah melakukan ekspedisi militer pada kafilah, maka sebagian Sahabat berpikir bahwa tidak perlu dikirim pasukan dengan jumlah yang besar untuk tujuan itu. Para Sahabat terpilih, yang diberitahu beliau tentang pasukan besar bersenjata Quraisy yang bergerak dari Mekah, merasa gelisah karena khawatir jika terjadi perang dengan lawan yang bersenjata lengkap, mereka tidak mampu melindungi beliau dari segala mara bahaya. Mereka berpikir bahwa mereka akan menghadapi kesulitan dan kerumitan, namun melihat gejala bahwa beliau ingin maju berperang melawan musuh, mereka ber-reaksi dengan penuh semangat dan lebih bersemangat dibanding lainnya.
Nabi Muhammad s.a.w. berangkat dari Madinah dengan jumlah pasukan 300 orang lebih yang terdiri dari Muhajirin dan Anṣar pada hari ke-12 bulan Ramadhan. Di antara Sahabat utama yang tidak bisa turut bersama beliau adalah Uṡman bin Affan r.a. suami Rugayyah r.a. putri Nabi Muhammad s.a.w., yang sedang sakit keras dan diperintahkan untuk tetap di Madinah menjaganya,  lalu S’ad bin Ubadah r.a. kepala suku Khazraj yang menderita sakit dan tidak kuat melakukan perjalanan, Usyad bin Huḍair r.a. kepala suku Aus yang juga berhalangan karena berbagai kesulitan yang tidak bisa dihindarkan, dan Talha bin Ubaidullah r.a. dengan Said bin Zaid r.a. yang belum pulang juga dari pengembaraannya.
Setelah keluar dari Madinah, beliau berkemah beberapa mil jauhnya, dan mulai mengadakan pemeriksaan. Beberapa orang anak yang masih di bawah umur yang karena semangatnya bergabung dalam ekspedisi militer, langsung dipulangkan. Umair bin Abi Waqqas r.a. saudara S’ad r.a. yang juga masih remaja dan di bawah umur, bersembunyi ketika mendengar perintah beliau namun ditemukan dan disuruh pulang, ia menolak sambil menangis. Setelah melihat semangatnya yang luar biasa, beliau mengizinkannya ikut.
Pasukan Muslim berjumlah sedikit di atas 310 orang, yang 60 orang adalah Muhajirin dan sisanya Anṣar. Mereka hampir tidak memiliki apa pun. Mereka hanya membawa 70 ekor unta dan 2 ekor kuda, dan mereka bergantian naik unta dan berjalan kaki. Beliau juga ikut bergiliran, dan ketika para Sahabat-nya memaksa agar beliau terus menunggang untanya, beliau hanya tersenyum dan bersabda: ”Aku masih sekuat kamu dalam berjalan kaki dan tidaklah lebih rendah semangatku dibanding kamu dalam memperoleh pahala kerohanian. Lalu mengapa aku tidak jalan kaki ketika giliranku tiba?” Hanya ada 7 orang yang memakai baju-zirah dan senjata-senjata yang dibawa juga sudah usang dan tidak terurus.
Setelah Rauha dilewati dan pasukan Muslim tiba di Zafran yang sudah mendekat ke Badar, suatu isyarat diterima bahwa pasukan Quraisy yang bersenjata lengkap dan amat kuat telah tiba dari Mekah. Beliau bersabda kepada para Sahabat dan memberitahu tentang isyarat yang baru diterima itu, serta memerintahkan mereka tentang apa-apa yang harus dilakukan. Sebagian Sahabat yang merasa cemas akan lemahnya keadaan mereka di segala segi, mengusulkan bahwa lebih baik mereka menyerang kafilah saja, namun beliau tidak setuju pada usulan itu. Lalu para Sahabat-utama menyatakan kesetiaannya kepada beliau dan mereka memberikan janji dengan sepenuh hati untuk tetap berada di jalan Allah. Misalnya Miqdad bin Amir r.a. menyampaikan: ”Ya Rasulullah, kami bukanlah seperti sikap para sahabat Nabi Musa a.s. yang berkata, ”Kamu dan Tuhanmu  berperanglah, kami duduk menunggu di sini.” Tapi kami berkata, ”Majulah kemana engkau suka, kami bersamamu dan berperang di sisi kananmu dan di sisi kirimu dan di depanmu dan di belakangmu.”
Nabi Muhammad s.a.w. amat gembira dengan jaminan itu namun menunggu pernyataan serta pandangan kaum Anṣar. Melihat itu, S’ad bin Mu’az r.a., kepala suku Aus menyampaikan: ”Ya Rasulullah, mungkin engkau menunggu pernyataan kami. Kami percaya kepadamu selaku Nabi Allah yang sejati dan kami menyerahkan tangan kami di tanganmu, sebagai tanda janji kami yang mutlak. Majulah kemana saja engkau berikan perintah, kami akan tetap bersamamu. Kami bersaksi atas nama-Nya Yang mengirim engkau dalam Kebenaran, jika engkau perintahkan kami terjun ke laut maka kami akan terjun ke laut dan tak seorang pun dari kami yang mundur. Ini kehendak Allah, engkau akan melihat kami tetap berteguh hati dalam perang. Engkau akan melihat bahwa dari kamilah engkau memperoleh kegembiraan.”
Beliau merasa amat senang dengan semua itu dan bersabda: ”Majulah kalian atas nama Allah dan bergembiralah karena Allah telah berjanji padaku bahwa kita sungguh-sungguh akan mengungguli salah satu dari dua milik Quraisy itu (pasukan atau kafilah). Aku bersaksi atas nama Allah bahwa aku melihat titik-titik nyata dari pemimpin musuh yang akan dipenggal.”
Para Sahabat sungguh bersemangat atas kata-kata itu dan sebagiannya bergumam: ”Ya Rasulullah, engkau sudah tahu kekuatan pasukan Quraisy, mengapa engkau tidak menjelaskan pada kami sewaktu masih di Madinah, sehingga kami bisa menyiapkan senjata?”
Bahkan saat itu pun ummat Muslim belum jelas mengetahui apakah mereka akan menyerang kafilah atau menyerang pasukan Quraisy. Nabi Muhammad s.a.w. segera bergerak cepat menuju Badar, dan ketika tiba di dekatnya beliau meminta kepada Sayidina Abu Bakar r.a. agar berada di belakangnya dan keduanya maju di depan pasukan Muslim. Lalu mereka bertemu seorang Badui yang sudah tua dan darinya diperoleh keterangan bahwa pasukan Quraisy hampir tiba di Badar. Mendengar hal itu, beliau bergabung kembali dengan para Sahabat dan mengirim Sayidina Ali r.a., Zubair bin Awam r.a. dan S’ad bin Abi Waqqas r.a. untuk mengintai.
Ketika mereka tiba di Lembah Badar, mereka melihat beberapa orang Mekah sedang menampung air dari mata-airnya. Mereka menyergap tiba-tiba dan menangkap seorang budak Negro yang terus dibawa pulang untuk diinterogasi. Pada saat itu beliau sedang Ṣalat namun mereka mulai menginterogasi budak yang ditangkap itu. Mereka menanyakan dimana kafilah kira-kira berada saat itu. Ia mengaku tidak tahu-menahu tentang kafilah yang ditanyakan, namun mengatakan bahwa Abul Hikam, Uṭba, Syaiba, Umayyah dan lainnya telah berkemah di sisi lain lembah itu. Mereka yang menginterogasinya berpikir bahwa budak itu berpura-pura tidak tahu tentang kafilah yang dimaksud, lalu memukulinya dan mengancamnya dengan kekerasan agar ia berkata jujur, tapi ia tetap saja berbicara seperti sebelumnya.
Nabi Muhammad s.a.w. tiba dan melarang para Sahabat menyiksa si budak Negro, lalu beliau bertanya kepadanya dengan suara yang berwibawa tentang dimana pasukan Quraisy berkemah. Ia menjawab bahwa pasukan tersebut berkemah di belakang bukit pasir yang ada di sisi lain dari lembah itu. Ketika ditanya berapa kira-kira jumlahnya, ia menjawab tidak tahu pastinya namun pasukan itu sangat besar. Lalu ia ditanya berapa ekor unta yang disembelih setiap hari untuk diambil dagingnya. Ia mengatakan 10 ekor.
Dan beliau berpaling kepada para Sahabat dan bersabda: ”Kekuatan pasukan itu kira-kira 1.000 orang.”
Kemudian beliau bertanya pada budak itu: ”Siapakah pemimpin Quraisy yang turut dalam pasukan itu?”
Ia menjawab: ”Uṭba, Syaiba, Abul Hikam, Abul Bakhtari, Uqbah bin Abi Muit, Hakim bin Hizam, Naḍar bin Hariṭ, Umayyah bin Khalf, Suhail bin Amir, Naufal bin Khuwailid, Ta’imah bin Adi, Zamā bin Aswad semuanya ada di sana.” Beliau berpaling kepada para Sahabat dan bersabda: ”Camkanlah, Mekah telah melemparkan seluruh hatinya ke depanmu.”
Kalimat di atas adalah suatu pengamatan yang amat bijaksana dan merubah segenap konsep Muslim dari berhadapan dengan pasukan bersenjata canggih dengan konsep Allah yang telah membuat para pemimpin Quraisy keluar dari kota Mekah untuk dihancurkan oleh tangan ummat Muslim. Habib bin Munżar melapor kepada beliau bahwa tempat yang telah dipilih untuk pasukan Muslim berkemah, ternyata tidak begitu baik. Lalu Beliau bertanya kepadanya apakah ia memiliki usulan lain. Ia merekomendasikan bahwa pasukan Muslim harus terus maju dan mengambil tempat di mata-air yang dekat dengan pasukan Quraisy, ia menyatakan bahwa mata air itu banyak airnya dan rasanya enak. Beliau menyetujui usulan itu dan pasukan Muslim segara bergerak maju.
Ternyata air dari mata-air itu tidak sebanyak yang mereka perlukan, dan juga tempat baru untuk mendirikan kemah itu berpasir dan jika diinjak, kaki jadi bergoyang-goyang. Berdasarkan perintah S’ad bin Mu’az r.a. sebuah kemah didirikan untuk beliau beristirahat bersama Sayidina Abu Bakar r.a. Orang-orang Muslim ternyata dapat tidur nyenyak di malam hari, namun beliau terus berdoa sepanjang malam. Berkat Allah SWT ternyata hujan turun dengan derasnya di malam itu, sehingga ummat Muslim dapat mengumpulkan air, dan air hujan itu pun telah menghanyutkan pasir sehingga tanah yang keras menjadi timbul, sedangkan tanah di kemah Quraisy menjadi berlumpur dan air mereka menjadi kotor. Lalu terbitlah sang fajar.
Hari itu, hari Jum’at tgl. 17 bulan Ramaḍan, atau tgl. 14 Maret 623 AD.
Setelah Ṣalat Subuh, Nabi Muhammad s.a.w. memberikan khotbah singkat tentang Jihad. Ketika hari mulai terang, beliau mengatur ummat Muslim dalam formasi tempur.
Sawad r.a., berdiri di luar barisan dan beliau menudingnya dengan anak panah agar segera masuk barisan, kebetulan anak panah itu menusuk dadanya, kemudian Sawad r.a. melakukan protes dengan berani: ”Ya Rasulullah, engkau diangkat oleh Allah dengan kebenaran dan keadilan. Tapi engkau telah menusuk aku dengan anak panah tanpa sebab. Aku menuntut pembalasan.”
Para Sahabat terkaget-kaget, namun beliau bersabda pada Sawad r.a. dengan sabar: ”Ya Sawad, kamu boleh menusuk aku dengan anak panahmu.” Dan beliau membusungkan dadanya di depan Sawad, yang lalu maju selangkah ke depan dan mencium dada beliau. Kemudian beliau bertanya: ”Sawad, mengapa kamu melakukannya?” Ia menjawab, dengan suara gemetar terharu: ”Ya Rasulullah, kita sedang menghadapi musuh, dan saya tidak tahu apakah saya akan selamat. Karenanya, saya mengharap sebelum disiksa musuh, saya bisa menyentuh tubuh engkau yang diberkati.”
Kira-kira pada saat itu, Hużaifah bin Yaman  dan Abu Jabal  tiba dan melaporkan bahwa mereka baru tiba dari Mekah, dan ketika mereka akan berangkat dari sana ternyata suku Quraisy memblokir jalan keluar, dan mereka hanya diizinkan pergi dengan syarat bahwa mereka tidak boleh turut melawan Quraisy. Beliau bersabda kepada mereka: ”Kalian harus menepati janji. Kita memohon bantuan pada Allah dan sepenuhnya berserah diri kepada-Nya.”
Ketika beliau masih sibuk mengatur pasukannya, pasukan Quraisy telah mulai bergerak maju. Pada tahap itu, pasukan Muslim terlihat oleh mereka lebih kecil dari jumlah sebenarnya. Mereka maju dengan penuh percaya diri. Ketika mereka terlihat dikejauhan, beliau memanjatkan doa: ”Ya Allah, orang-orang itu terus maju dengan amat sombongnya dan ingin menyapu agama yang didirikan oleh-Mu. Berikanlah berkat-Mu, aku memohon kepada-Mu, bantulah agama-Mu.”
Pada waktu itu beberapa orang Quraisy berlari dan maju menuju mata-air yang dijaga oleh ummat Muslim dan telah bersiap-siap untuk menahan mereka, namun beliau memerintahkan untuk mengizinkan musuh minum dari mata-air itu, dan hal itu dilakukan oleh mereka dan mundur kembali kepada kelompoknya.
Sekarang kedua pasukan itu telah saling berhadapan dan di mata orang-orang Quraisy ternyata pasukan Muslim menjadi tampak lebih besar 2x lipat dari kekuatan asalnya, dan hal itu amat menggoyahkan hati mereka, sedangkan pasukan Quraisy tampak dalam pandangan pasukan Muslim hanya setengah dari kekuatannya.
Pemimpin Quraisy memerintahkan Umair bin Wahab mendekati pasukan Muslim untuk membuat perkiraan kekuatan mereka, dan juga mencari apakah ada pasukan cadangan yang bersembunyi di belakang mereka. Umair segera kembali dari upayanya dan melapor tentang perkiraan jumlah pasukan Muslim serta di belakangnya tidak ada pasukan cadangan, namun ia berkata: ”Kaum Quraisy, bencana mendekatimu, penuh dengan kehancuran. Jumlah mereka sedikit tapi malaikat maut menunggangi unta-unta Yaṭrib. Pelindungnya hanyalah pedang. Tak seorang pun dari mereka akan gugur sebelum menyembelih kita, dan jika penjagalan terjadi maka jumlah mereka akan menjadi sama dengan kita, jadi bagaimana kita hidup setelah itu?” Prajurit Quraisy menjadi gelisah akibat perkataan Umair, kemudian Suraqa bin Malik terpengaruh sehingga ia pulang meninggalkan mereka. Ketika seseorang menahannya, ia berkata: ”Aku melihatnya dan kamu tidak.”
Ketika Hakim bin Hizam mendengar keterangan Umair tentang pasukan Muslim, ia pergi pada Uṭba bin Rabi’a dan berkata: ”Uṭba, kamu akan membalas dendam pada Muhammad  karena ia membunuh sekutumu Amr bin Hażrami. Apakah tidak lebih baik jika kamu bayar uang pengganti darah kepada ahliwarisnya dan bawalah Quraisy pulang ke Mekah? Itu akan memberi manfaat besar bagimu.”
Uṭba menyatakan kesediaannya untuk mengikuti nasihatnya dan berkata: ”Hakim, bagaimana pun ummat Muslim dan kami adalah kerabat dekat. Apakah sudah benar jika ada saudara yang mengangkat senjata pada saudaranya dan si ayah melawan anak? Pergilah kepada Abul Hikam dan sampaikan rencanamu padanya.”
Uṭba menunggang unta-merahnya dan membujuk orang-orangnya bahwa pertempuran dengan kerabat dekat bukan yang dituju, mereka harus segera pulang ke Mekah dan membiarkan pihak Muhammad menyelesaikan perkaranya dengan suku-suku Arab lainnya. Ia menambahkan: ”Kita akan melihat apa yang akan terjadi. Di samping itu, pertempuran di depan mata kita ini, bukan perkara mudah. Aku bukan pengecut tapi orang-orang itu tampak olehku amat siap mati.” Beliau memandangnya dari kejauhan dan bersabda: ”Andai saja ada cetusan kemuliaan di pihak lawan kita, maka hal itu ada pada si penunggang unta-merah. Jika orang-orang ini mengikuti nasihatnya, maka hal itu hanya untuk kebaikan mereka.”
Ketika Hakim bin Hizam mendekati Abu Jahal dan menerangkan rencananya, ia menjawab dengan sangat kasar: ”Wah, wah, sekarang si Uṭba melihatnya sebagai hal yang melawan kerabatnya!” Kemudian ia memanggil Aamir bin Hażrami saudara Amr, dan berkata kepadanya. Kemarahan Aamir timbul dengan tiba-tiba lalu ia merobek-robek pakaiannya sesuai adat kebiasaan orang Arab, serta berteriak: ”Malanglah Amr, malanglah Amr, dendamnya belum dibalas.”
Kegaduhan di antara pasukan Quraisy timbul akibat hal itu, dan semua ingin berperang. Ejekan Abu Jahal telah amat menghasut Uṭba dan ia maju ke depan dengan saudaranya Syaiba dan putranya Walid serta menantang Muslim untuk berduel. Beberapa orang Anṣar akan meladeninya, namun Nabi Muhammad s.a.w. melarang dan bersabda kepada Hamzah bin Abdul Muṭalib r.a., Sayidina Ali bin Abi Ṭalib r.a. dan Ubaidah bin Muṭalib r.a. yang juga kerabat dekatnya, untuk maju ke depan.
Sesuai dengan adat istiadat Arab, setiap pihak mengenalkan dirinya, lalu Ubaidah r.a. melawan Walid, Hamzah r.a. melawan Uṭba dan Sayidina Ali r.a. melawan Syaiba. Hamzah r.a. dan Sayidina Ali r.a langsung memancung lawan-lawannya, namun Ubaidah r.a. dan Walid masih saling serang beberapa kali dan akhirnya keduanya jatuh dengan luka berat. Melihat itu, Hamzah r.a. dan Sayidina Ali r.a. segera menghabisi Walid dan membawa Ubaidah r.a. kembali ke kemahnya, tapi ia wafat akibat luka-lukanya selama dalam perjalanan kembali ke Madinah.
Setelah duel satu lawan satu, beliau kembali ke tendanya dan memberi perintah kepada ummat Muslim: ”Jangan memulai serangan besar-besaran sampai aku perintahkan, tapi jika pihak lawan menyerang terlebih dahulu, lepaskan anak panahmu pada mereka dan gunakan pedangmu untuk berduel satu lawan satu. Di antara yang memusuhi kita ada orang-orang yang bergabung dengan mereka karena dipaksa, tapi mereka tidak memusuhi kita seperti Abbas bin Abdul Muṭalib. Ada juga orang lainnya dimana kita pernah berhutang budi pada mereka ketika kita masih dianiaya di Mekah, misalnya Abu Bakhtari. Jika seorang Muslim bertemu dengan mereka dan ada dalam genggamanmu, maka lepaskanlah mereka.”
Di dalam tendanya, beliau terus berdoa kepada Allah SWT.  Sayidina Abu Bakar r.a. ada bersama beliau di dalam tenda dan ditemani oleh Anṣar di bawah pimpinan S’ad bin Mu’az r.a. yang terus berjaga-jaga di depan tenda. Tiba-tiba, terdengar suara teriakan yang menandakan bahwa pasukan Quraisy mulai menyerang dengan seluruh kekuatannya. Beliau meneruskan doanya dan terdengar memohon: ”Ya Allah, hamba ingatkan Engkau akan janji-Mu dan mohon dikabulkan. Ya Allah, jika Engkau biarkan pasukan Muslim kalah pada esok hari, maka pemujaan atas Engkau akan lenyap ke dalam bumi.”
Beliau terus berdoa dalam kesedihan, berdiri dan terus bersujud lagi, memanggil-manggil Tuhannya yang Maha Hidup dan Pemberi Anugerah Kehidupan. Sayidina Abu Bakar r.a. amat terpengaruh melihat betapa sedihnya beliau dan mencoba menghiburnya, tapi beliau terus berdoa dalam kesedihannya. Di medan perang, ketika kedua pasukan itu berhadap-hadapan dan peperangan besar akan terjadi, Abu Jahal juga berdoa: ”Ya Allah, apakah hari ini di medan perang ini Engkau akan menghancurkan lawan yang memutus persaudaraan dan memulai membuat agama baru.” Ia juga diberitakan telah berdoa: “Ya Allah, jika keimanan yang diajarkan Muhammad itu benar, maka kirimkanlah hujan batu kepada kami atau hancurkan kami dengan berbagai hukuman keras.”
Itu adalah perang yang tidak berimbang. Ummat Muslim melawan pasukan bersenjata canggih, peralatannya lengkap, jumlahnya 3x lipat, berniat menyapu Islam sekaligus, memiliki perlengkapan dan perbekalan yang amat baik, sedangkan pasukan Muslim setengah kelaparan, jika diukur dengan sumberdaya yang tersedia, mereka takkan mampu bertahan walau beberapa menit saja. Namun mereka mabuk akan kemuliaan iman mereka pada Yang Maha Esa dan kebenaran Nabi Muhammad s.a.w.
Keimanan mereka hidup dan memenuhi dada setiap orang dengan kekuatan yang luar biasa dan mereka memperagakan keberanian – keahlian - kekuatan yang tak ada bandingannya dalam sejarah manusia. Setiap orang bersemangat untuk melakukan yang terbaik dari lainnya, dan menjual nyawanya di jalan Allah dengan sukarela. Hamzah r.a., Sayidina Ali r.a. dan Zubair r.a. menciptakan kerusakan besar di berbagai lapisan musuh.
Abdul Rahman bin Auf r.a. telah berkata bahwa ketika pihak Quraisy maju dalam formasi tempur, ia melihat ke kiri dan kanannya untuk meyakinkan apakah ia didukung pasukan lain, dan ia sangat gelisah karena di kedua sisinya hanya ada pemuda-pemuda Anṣar. Ketika ia masih menilai-nilai situasi yang ada, sang pemuda di sisi kanannya bertanya dengan cara berbisik: ”Paman, mana si Abu Jahal yang telah menyiksa Nabi Muhammad s.a.w. di Mekah?”
Sebelum Abdul Rahman r.a. bisa menjawab, satu pemuda di sisi kirinya juga menanyakan hal yang sama kepadanya dengan berbisik. Abdul Rahman r.a. kebingungan, namun ia tunjukkan arah Abu Jahal kepada mereka, saat itu juga kedua anak itu berlari kencang bak anak panah, dan dalam beberapa detik kemudian mereka menebas Abu Jahal yang lengah, dan tidak seorang pun dari teman-temannya yang mampu bertindak, ia jatuh ke tanah dengan luka-luka yang parah. Anaknya Ikramah ada di samping ayahnya, namun ia pun tak mampu bergerak untuk melindunginya, tak lama kemudian ia menebas Muaz r.a. penyerang yang mendekati ayahnya, dan tangannya hampir putus. Karena anggota badan yang terpotong masih tergantung akibat kulitnya belum lepas, Muaz r.a. berdiri dan menarik putus lengannya, lalu ia melanjutkan pertempurannya.
Di balik kisah kepahlawanan seperti itu, jumlah musuh, senjata dan peralatan mereka terlihat seperti benteng yang sulit direbut, dan kadang-kadang peperangan itu berjalan seperti dalam keraguan. Nabi Muhammad s.a.w.  masih tenggelam dalam doanya dan dalam kesedihan yang memuncak. Setelah lama berselang, beliau berdiri dari sujudnya dan keluar dari tendanya, membacakan janji Allah yang telah diturunkan kepada beliau sebelumnya selagi masih di Mekah, yaitu golongan itu akan segera dikalahkan dan akan melarikan diri, peristiwa itu adalah:
Am yaqūlūna nahnu jamī’um muntaṣir. Sayuhzamul-jam’u wa yuwwallūnad dubur. Balis-sā’atu mau’iduhum was-sā’atu ad’hā wa amarr. ”Apakah mereka berkata, “Kami golongan yang bersatu, yang menang?” Golongan itu akan segera dikalahkan dan akan membalikkan punggung mereka, melarikan diri. Bahkan Saat itu telah dijanjikan kepada mereka; dan Saat itu paling mengerikan dan paling pahit.” (al-Qamar: 45-47)
Beliau memperhatikan yang ada di depan dan terlihatlah suatu perang yang dahsyat. Beliau memungut segenggam kerikil dan melemparkannya ke arah musuhnya, sambil berseru, ”Rusaklah wajah kalian,” dan beliau memberi komando pada ummat Muslim untuk segera menyerang balik.
Pasukan Muslim merapatkan diri dan ucapan TakbirAllahu Akbar” serempak berkumandang. Bersamaan dengan itu, muncullah tiupan angin kencang yang amat menakutkan, pasir dan kerikil halus memenuhi mata, mulut dan hidung pasukan musuh, sehingga mereka tidak mampu melihat jelas dan sulit bergerak. Mereka juga menghadap ke arah sinar matahari yang menganggu penglihatannya. Sinarnya ada di punggung pasukan Muslim dan menguntungkannya karena pasukan musuh merasa silau dan tercerai berai.
Dengan segera, pasukan Quraisy dikalahkan dan berada dalam posisi yang tidak berdaya. Kira-kira 70 orang musuh terbunuh dan jumlah yang sama ditangkap. Ketika jenazah diperiksa, maka pemenuhan rancangan mengerikan atas kehendak Allah SWT dalam menghabisi orang-orang kafir sampai ke akarnya, telah terbukti.
Wa iż ya’idukumullāhu iḥdaṭ-ṭā’ifataini annahā lakum wa tawaddūna anna gaira żātisy-syaukati takūnu lakum wa yurīdullāhu ay yuhiqqal-ḥaqqa bi kalimātihī wa yaqṭa’a dābiral kāfirīn. ”Dan, ingatlah ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari kedua golongan itu untukmu dan kamu menginginkan supaya golongan yang tidak bersenjata itu untuk kamu, sedang Allah menghendaki untuk menegakkan yang hak dengan firman-firman-Nya dan melumpuhkan orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya.” (al-Anfāl: 8) 
Hampir semua pemimpin Quraisy terbaring mati di tanah dan hanya sedikit yang selamat dari kematian namun mereka menjadi tawanan perang. Awalnya, apa yang terjadi pada Abu Jahal belum diketahui, dan Abdullah bin Masūd r.a. telah diperintahkan untuk mencari apakah ia termasuk dalam orang-orang yang terbunuh.
Abdullah r.a. menemukan dia sedang sekarat, dan bertanya kepadanya: ”Kamukah yang bernama Abu Jahal?” Abu Jahal menjawab: ”Apakah hari ini kamu membunuh orang lain yang lebih besar pangkatnya dariku?” Kemudian ia bergumam: ”Aku mengharapkan tidak terbunuh oleh orang-udik.” (artinya Bani Anṣar, yang tidak dihormati sebagai pejuang oleh Quraisy) Lalu ia bertanya: ”Siapakah yang unggul?” Abdullah menjawabnya: ”Allah SWT dan Utusan-Nya.” Lalu nafas Abu Jahal berhenti dan ruh-nya yang jahat terbang melayang. Abdullah r.a. kembali menuju Nabi Muhammad s.a.w. dan melaporkan tentang matinya Abu Jahal.
Di medan tempur Abul Bakhtari ditemani seorang sahabatnya yang menunggang unta di belakang. Lalu seorang pejuang Muslim mendatanginya dan berkata pada Abul Bakhtari tentang pesan-pesan beliau yang diberikan padanya. Ia bertanya apakah sahabatnya juga harus dilindungi karena pesan beliau tidak termasuk sahabatnya, dan Abul Bakhtari menjawab bahwa ia tidak ingin dilindungi jika harus mengkhianati sahabatnya dalam kehidupan ini. Lalu keduanya dibunuh.
Umayyah bin Khalf dan putranya tidak mampu melarikan diri, ia memohon kepada Abdul Rahman bin Auf r.a. untuk mengingat persahabatan mereka dulu dan memohon agar perlindungannya diperpanjang. Abdul Rahman r.a. cenderung mengabulkan, namun Bilal r.a. yang jadi korban penyiksaan kejam Umayyah selama di Mekah, berteriak kepada ummat Muslim bahwa Umayyah dan anaknya jangan diampuni.
Mendengar teriakan Bilal r.a., lalu para pejuang Muslim mengerumuni mereka dan Abdul Rahman r.a. merasa bahwa penolakan yang timbul dari mereka tak mungkin dilawan. Pembelaannya menjadi tidak berarti sama sekali, dan keduanya langsung dibunuh.
Setelah Nabi Muhammad s.a.w. menyelesaikan urusan yang membutuhkan perhatian dengan segera, lalu beliau memerintahkan bahwa jenazah-jenazah musuh harus dikubur secara bersama-sama dalam 1 liang lahad. Kemudian, 24 jenazah orang-orang terkenal dikubur bersamaan dalam suatu liang lahad besar yang telah digali khusus untuk itu, dan sisa jenazah lainnya dikubur di tempat mereka tewas.
Ketika proses penguburan telah selesai, beliau berdiri di depan liang lahad dan menyeru nama-nama orang-orang yang jenazahnya telah diturunkan ke liang lahad serta bersabda: ”Sudahkah kalian buktikan bahwa apa yang dijanjikan Allah padamu itu benar? Apa yang dijanjikan Allah kepadaku, telah sungguh-sungguh terjadi. Malanglah orang-orang ini! Kalian telah menolak aku, Nabi-mu! Kalian memusuhi aku, padahal yang lain melindungiku, kalian memerangi aku dan yang lainnya membantuku.”
Mendengar ini, Sayidina Umar r.a. bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah engkau berbicara dengan yang telah mati?”
”Ya, benar.” Beliau menjawab. ”Sekarang mereka mengetahui dengan baik bahwa janji Allah telah ditunaikan.”
Ketika jenazah Uṭba sedang diturunkan ke liang lahad, sepintas terlihat wajah sedih telah membayang pada putranya, Abu Hużaifah r.a. Dengan lembut Nabi Muhammad s.a.w. menghampiri dan bersabda kepadanya: ”Mungkin engkau merasa sedih atas takdir mendiang ayahmu”?
”Tidak terlalu.” Jawab Abu Hużaifah r.a. ”Ya Rasulullah, saya tidak meragukan keadilan atas takdir ayah saya, namun saya tahu benar akan kebijakan dan hatinya yang baik, dan saya mengharap Allah menuntunnya pada Keimanan. Namun sekarang saya lihat ia terbunuh, dan harapan saya hilang, itulah yang menyedihkan saya.” Lalu Nabi Muhammad s.a.w.  menghibur Abu Hużaifah r.a. dan memberkatinya.
Di pihak Muslim, 14 orang telah syahid yang terdiri dari 6 orang Muhajirin dan 8 orang Anṣar, di antara mereka terdapat remaja yang setia, Umair bin Abi Waqqas r.a. yang memperoleh izin menjadi pejuang dari Nabi Muhammad s.a.w.  setelah menangis. Ada banyak sekali orang terluka namun bukan suatu kehilangan yang besar. Kemudian, beliau bersama pasukan Muslim beristirahat di lembah Badar selama 3 hari setelah memenangkan perang. Hari-hari itu disibukkan dengan pemakaman para syuhada Muslim dan merawat orang-orang yang terluka, serta mengumpulkan dan memilih-milih harta rampasan perang.
Tawanan perang yang ditangkap berjumlah 70 orang, telah diamankan dan diamanatkan pada perlindungan pribadi-pribadi Muslim. Beliau memerintahkan agar para tawanan perang diperlakukan dengan lembut dan keperluan mereka diperhatikan. Salah satunya bernama Abu Aziz bin Umar, menyatakan secara berturut-turut bahwa Anṣar yang telah berjanji melindunginya, telah memberinya roti, padahal mereka sendiri hanya memakan kurma. Pada suatu hari ketika hanya ada sedikit roti, mereka memberikan roti padanya, karena merasa tidak enak ia mengembalikan roti itu, namun mereka memaksanya makan roti itu. Para tawanan perang yang tidak memiliki pakaian telah dipenuhi kebutuhannya dengan cukup.
Dalam kasus ini. Sir William Muir telah menulis (Life of Mahomet, halaman 233-234)
”Mentaati perintah Muhammad dan sesuai ayat-ayat Alquran yang telah dikutip, para Pengungsi diterima para Penduduk seperti di rumahnya sendiri, mereka juga menerima tawanan perang dengan baik dan penuh perhatian. Berkatilah orang-orang Madinah, kata salah satu orang di belakang hari, mereka minta kami menunggang unta padahal mereka berjalan kaki, mereka berikan kami roti padahal hanya punya sedikit, dan mengisi perut dengan kurma. Tidak mengherankan jika sebagian orang yang ditangkap menjadi terpengaruh dan menyatakan dirinya masuk Islam, dan karenanya mereka langsung dibebaskan. Sisanya disekap untuk ditebus. Namun hal itu berlangsung lama sebelum pihak Quraisy sedia merendah dan datang ke Madinah. Perlakuan yang baik itu diperpanjang dan meninggalkan kesan yang amat baik dalam pikiran mereka yang tidak serta-merta menjadi Islam.’
Ketika para tawanan perang telah dihadapkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., maka beliau bersabda: ”Andai Mut’am bin Adi masih hidup dan termasuk tawanan perang ini, maka aku akan membebaskannya.”
Tidak diragukan lagi bahwa beliau selalu mengingat kebaikan Mut’am yang diberikan kepada beliau dan ummat Muslim ketika mereka disiksa dengan sebegitu kejamnya di Mekah. Mut’am bin Adi amat berperan dalam penghentian perpanjangan boikot pada ummat Muslim dan seluruh Bani Hasyim, dan ketika beliau kembali dari Taif yang memperpanjang perlindungannya kepada beliau.
Di antara para tawanan perang itu terdapat beberapa orang terkenal Quraisy seperti Naḍar bin Hariṭ dan Suhail bin Amr. Sebagian tawanan perang adalah saudara dekat beliau, misalnya pamannya Abbas bin Abdul Muṭalib, keponakannya Aqil bin Abi Talib saudara kandung Sayidina Ali r.a., dan Abul Aas, menantu beliau yaitu suami dari putrinya Zainab r.a. Dari para tawanan perang itu, Naḍar bin Hariṭ yang turut ambil bagian dalam pembunuhan di Mekah terhadap ummat Muslim yang tidak bersalah dan Hariṭ bin Abi Hallah saudara angkat Nabi Muhammad s.a.w., telah dihukum mati karena kesalahannya. Kemudian, ketika beliau mendengar syair sedih yang dibuat adik perempuannya dalam memohon ampunan bagi kakaknya, beliau menyatakan bahwa andai saja syair itu sampai terlebih dahulu, maka beliau akan memaafkan Naḍar.
Sebelum berangkat dari medan Badar, beliau mengirim Zaid bin Hariṭa r.a. ke Madinah untuk memberitahukan kabar kemenangan mereka di Perang Badar kepada ummat Muslim, dan kabar itu sangat mengembirakan mereka, walau ada juga yang menyatakan penyesalannya tidak bisa turut berperang di sana. Beberapa hari sebelum Zaid r.a. tiba di Madinah, Ruqayyah putri Nabi Muhammad s.a.w. dan istri Sayidina Usman r.a. yang menderita sakit, telah wafat.
Setibanya di Madinah, Nabi Muhammad s.a.w. langsung mengadakan rapat dewan untuk menentukan nasib para tawanan perang. Menurut adat-istiadat Arab, para tawanan perang harus dibunuh atau dihukum menjadi budak selama-lamanya. Namun beliau merasa segan untuk melakukan tindakan kejam itu. Di dalam rundingan tersebut, Sayidina Abu Bakar r.a. menyampaikan usul bahwa para tawanan perang boleh dilepaskan dengan tebusan, karena mereka adalah kerabat dekat ummat Muslim, dan ada kecenderungan bahwa mereka akan memeluk Islam.
Sayidina Umar r.a. yang sifatnya keras dan lugas, mengusulkan bahwa dalam keimanan maka persaudaraan tidak boleh menjadi dasar pertimbangan. Para tawanan perang harus dihukum mati sebagai balasan atas kesalahannya, dan semuanya harus dieksekusi. Ia juga mengusulkan agar setiap tawanan dibunuh oleh saudara dekatnya yang sudah memeluk Islam.
Nabi Muhammad s.a.w. menyetujui pandangan Sayidina Abu Bakar r.a. dan memutuskan untuk melepaskan tawanan dengan tebusan. Pandangan tersebut kemudian telah disetujui oleh wahyu Allah yang menyatakan:
Fa iżã laqītumul-lażīna kafarū fa ḍar-bar-riqāb, ḥattā iżã aṡkhantumūhum fa syuddul waṡāq, fa immā mannam ba’du wa immā fidā’an hattā taḍa’al harbu auzāraha. ”Dan apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir maka pukul-lah leher-leher mereka, hingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka perkuatlah belenggu mereka, kemudian sesudah itu melepaskan mereka sebagai suatu kemurahan hati atau dengan menerima tebusan hingga perang meletakan senjatanya.” (Muhammad: 5)
Tebusan bagi setiap tawanan perang ditentukan berdasarkan nilainya, paling sedikit 1.000 dirham dan paling banyak 4.000 dirham, lalu berangsur-angsur para tawanan perang itu dibebaskan. Tentang Abbas bin Abdul Muṭalib, pihak Anṣar menyatakan bahwa karena beliau adalah keponakannya, mereka bersedia melepaskannya tanpa uang tebusan. Namun beliau memutuskan bahwa Abbas hanya bisa dilepas jika uang tebusannya telah dibayar.
Ia diikat di Mesjid dan beliau tidak bisa tidur karena suara rintihannya yang disebabkan oleh terlalu kencangnya tali yang mengikatnya. Ketika hal itu diketahui oleh penjaganya, maka tali pengikatnya dikendorkan. Ketika beliau mengetahuinya, beliau memerintahkan agar tidak ada diskriminasi untuk keuntungan Abbas dan jika ikatannya dikendorkan, maka semua ikatan para tawanan harus dikendorkan.
Tawanan perang lainnya adalah Abul Aas, menantu beliau sendiri. Istrinya Zainab r.a. yang masih berada di Mekah, mengirim barang-barang sebagai tebusan baginya. Di situ ada kalung yang diberikan oleh ibunya Sayidah Khadijah r.a. sebagai bagian mas-kawinnya. Ketika melihat kalung itu, beliau sangat tersentuh dan mengusulkan agar perhiasan yang dikirim oleh Zainab lebih baik dikembalikan, dan para Sahabat segera menyetujuinya.
Beliau menetapkan tebusan Abul Aas dengan pesan jika ia tiba di Madinah ia harus segera mengirim Zainab ke Madinah, dan hal itu dilaksanakan olehnya. Sesudah itu Abul Aas sendiri memeluk Islam dan hijrah ke Madinah, sehingga pasutri itu menjadi bersatu kembali.
Ketika Zainab r.a. akan berangkat dari Mekah, beberapa orang Quraisy menahannya. Karena ia memaksa berangkat, tiba-tiba Harbar bin Aswad menyerangnya dengan tombak dan ia kaget serta keguguran. Ia menjadi sedemikian sedihnya sehingga ia tidak pernah sembuh total dari kagetnya, dan akhirnya ia meninggal dunia.
Bagi tawanan perang yang miskin dan tidak bisa membayar tebusan, mereka dilepaskan sebagai tanda kemurahan hati. Bagi mereka yang pandai baca-tulis dilepaskan dengan syarat harus mengajar baca-tulis kepada 10 orang Muslim. Zaid bin Ṣabit r.a. yang terus menjadi juru-tulis beliau adalah salah seorang yang mengajarkan baca-tulis kepada beliau di bawah syarat-syarat tersebut.
Salah satu tawanan perang Suhail bin Amr yaitu orang terpandang Quraisy adalah seorang orator terkenal, dan sering berbicara yang mengganggu Nabi Muhammad s.a.w. Sayidina Umar r.a. mengusulkan agar gigi depan Suhail dicopot sehingga ia tidak bisa lagi mengganggu beliau. Namun beliau amat tidak setuju pada usulan itu dan bersabda: ”Umar, bagaimana engkau tahu bahwa Allah tidak akan menempatkannya pada posisi yang berharga di belakang hari?”
Suhail memeluk Islam setelah kota Mekah ditaklukkan ummat Muslim dan setelah beliau wafat, lalu ia mengucapkan pidato yang sangat efektif yang membuat banyak orang menjadi masuk Islam, sehingga melalui upaya Suhail mereka telah diselamatkan dari kekafiran.
Pada suatu hari di zaman Kalīfah Sayidina Umar r.a., Abu Sufyan dan beberapa pemimpin Quraisy yang telah memeluk Islam setelah jatuhnya kota Mekah telah datang untuk mengunjungi Sayidina Umar r.a. bersama Suhail, dan kebetulan pada saat itu juga datanglah Bilal r.a., Ammar r.a. dan Suhaib r.a. yaitu orang-orang yang dibebaskan dan sangat miskin namun memeluk Islam di masa-masa awal.
Ketika Kalīfah Sayidina Umar r.a. diberitahukan tentang orang-orang yang akan menemuinya, beliau mengundang Bilal r.a. dan para sahabatnya untuk segera masuk menemuinya. Ketika mendengar itu, Abu Sufyan merasa sangat kecewa dan berkata: ”Saya merasa telah mengalami suatu penghinaan karena bekas budak telah diizinkan menemui Kalīfah terlebih dahulu, ketimbang saya.”
Suhail menjawab perkataan itu: ”Lalu, salah siapa? Beliau menyeru kita kepada Allah. Orang-orang itu memenuhi seruan dengan segera, dan kita menunggu. Jadi mengapa mereka tidak mendapat prioritas ketimbang kita?”
Salah satu tawanan perang adalah Walid bin Walid anak Walid bin Mugirah kepala-suku Quraisy, dan juga saudara kandung Khalid bin Walid. Uang tebusannya ditetapkan 4.000 dirham, dan dibayar oleh saudara-saudaranya, dan Walid dilepas serta kembali ke Mekah. Ketika tiba di Mekah, Walid menyatakan bahwa ia Muslim, saudara-saudaranya merasa kecewa dan mencaci-makinya: ”Jika kamu telah memutuskan untuk memeluk Islam, mengapa engkau bayar tebusannya?”
Walid menjawab: ”Aku memperlambat pernyataan masuk Islam sampai uang tebusanku dibayar, jadi hal itu tidak akan menjadi sangkaan bahwa aku masuk Islam karena tidak perlu membayar tebusan.” Karenanya Walid ditahan dan mulai disiksa dengan penuh kekejaman. Namun ia tetap berteguh hati dan mencari kesempatan untuk melarikan diri dari Mekah dan hijrah ke Madinah.
Sementara itu di Mekah, berita tentang kekalahan perangnya telah diterima dengan penuh kegemparan. Terbakar oleh rasa malu dan ingin membalas keluarlah sumpah serapah yang merana: ”Jangan tangisi pembunuhan itu.” kata Abu Sufyan: ”Jangan berkabung bagi mereka, dan jangan biarkan penyair itu meratap. Jika kamu tenggelam dalam kesedihan, dendam akan terkikis dan kebencian pada Muhammad dan pengikutnya hilang. Jika mereka dengar, dan mereka ketawa, tidakkah mereka akan menjadi lebih menghina kita? Mudah-mudahan waktunya akan tiba, dan kalian bisa membalas dendam. Bagiku, takkan kucelup minyak, juga tak kusentuh istriku, sampai aku berduel dengan Muhammad.”
Itu adalah kebanggaan biadab, karena hal itulah mereka tertahan dan tidak pergi ke Madinah untuk menebus tawanan perang. Sebulan sudah berlalu, dan keluarga tidak bisa bertahan lebih lama. Tangisan yang muncul dari kesedihan panjang, bergaung liar di seluruh kota. Hampir dari setiap rumah, tangis dan ratapan terdengar bagi tawanan dan jenazah. Hal itu berlangsung sebulan lamanya.
Hanya ada satu rumah yang sunyi. ”Mengapa engkau tidak menangis?” Kata mereka pada Hindun istri Abu Sufyan. ”Mengapa engkau tidak menangis untuk ayahmu Uṭba, pamanmu, dan kakakmu?” Hindun menjawab: ”Tidak. Aku tidak akan menangis sampai kalian berperang lagi dengan Muhammad. Jika air-mata bisa menghapus kesedihan dari hatiku, aku juga akan menangis, tapi itu bukan untuk Hindun.” Guna menandakan kesedihan yang dalam, ia bersumpah tidak mengharumkan rambut dengan minyak, atau tidur dengan suaminya, sampai berperang lagi dengan Madinah.
Aswad yang buta, telah kehilangan dua orang anaknya dan satu orang cucunya dalam perang. Seperti sebagian besar Quraisy, ia menekan kesedihannya, namun ketika hari demi hari bergulir ia ingin melepaskan perasaannya. Suatu malam, ia dengar ratapan liar seorang perempuan, dan berkata pada pelayannya: ”Pergilah dan lihat, mungkin Quraisy sudah mulai meratapi yang wafat, begitu juga aku, ratapan untuk anakku, atas kesedihan yang aku alami.” Sang pelayan kembali dan berkata bahwa itu adalah suara seorang perempuan yang meratapi untanya yang tersesat. Mendengar hal itu sang orang tua meledak, maka jadilah puisi indah yang berapi-api: ”Dia yang menangisi untanya yang hilang, Kantuk di mata turut juga menghilang, Tidak, jika engkau menangis tak sadar, Biarkanlah aku menangis demi Badar,  Tangisilah Aqil dan Hariṭ sebab mereka Singa liar di atas segala Singa yang liar. Terdapat banyak hal dalam perang Badar, dimana Muhammad  menjadi wakil dan penghubung khusus Allah. Bukan hanya kemenangan yang pasti atas musuh yang jumlahnya 3x lipat lebih besar dari pasukannya, tapi korban yang jatuh di pihak musuhnya termasuk juga sejumlah banyak orang-orang yang memiliki pengaruh besar di lingkungan para penentangnya. Sebagai tambahan pada para pemimpin yang terbunuh atau tertawan, maka Abu Lahab yang tidak ikut berperang, telah wafat beberapa hari setelah pasukan yang melarikan diri itu tiba di Mekah, dimana hal itu seolah menjadi suatu dekrit yang menandakan bahwa musuh-musuh Nabi tidak akan bisa menghindarkan diri.” (Sir William Muir, Life of Mahomet, halaman 236)
Perang itu menimbulkan akibat-akibat yang berat dan berlangsung lama bagi kedua pihak, penyembah-berhala dan ummat Muslim. Hal itu tidak hanya menentukan dan begitu penting bagi sejarah Islam, tapi juga membuktikan suatu lambang luar-biasa dalam sejarah manusia. Itu sebabnya Alquran menerangkannya sebagai Hari Pembedaan antara yang hak dengan yang batil:
Wa’lamū annamā ganimtum min syai’in fa anna lillāhi khumusahū wa lir-rasūli wa li żil-qurbā wal-yatāma wal-masākini wabnis-sabīli in kuntum āmantum billāhi wa mā anzalnā ‘alā ‘abdinā yaumal-Furqāni yaumal-taqal-jam’ān, wallāhu ‘alā kulli syai’in qadīr. ”Dan, ketahuilah bahwa apa pun yang kamu peroleh sebagai harta rampasan dalam perang, maka sesungguhnya bagi Allah seperlimanya dan bagi Rasul-Nya dan bagi kaum kerabat dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan orang musafir, jika memang kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada Hari Pembedaan di antara hak dan batil, hari ketika dua pasukan bertemu dan Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Anfāl: 42)
Adalah benar bahwa setelah perang Badar terdapat berbagai perang antara pihak Quraisy dan pihak Muslim yang melibatkan jumlah pasukan yang lebih besar dari kedua belah pihak, dan kadang-kadang ummat Muslim menghadapi kekacauan yang besar, namun tulang-belakang Quraisy telah patah di Badar dan tidak ada operasi bedah yang mampu menyembuhkannya.
Jumlah prajurit yang tewas di pihak Quraisy tidaklah mengagumkan, tapi yang menjadi kekaguman justru kualitas orang-orang pentingnya yang terbunuh banyak sekali. Itulah maksud Alquran yang menerangkannya sebagai memutus kaum kafir sampai ke akar-akarnya, (al-Anfāl: 8) sebagaimana telah dikutip di atas.
Pemimpin Quraisy hanya ada satu yang selamat, itu pun karena dia tidak hadir di perang Badar yaitu Abu Sufyan, yang pada akhirnya menjadi Muslim setelah kota Mekah jatuh ke tangan Islam. Di pihak lainnya posisi ummat Muslim menjadi terlihat lebih kuat sebagai akibat dari perang Badar, yang benar-benar menentukan dan amat tidak disangka-sangka. Peristiwa itu mengagetkan seluruh suku-suku Arab dan benar-benar menaikkan semangat ummat Muslim, serta keimanannya menjadi jauh lebih kuat, dan mulai merasa percaya diri dan penuh keyakinan. Akibat lainnya adalah bahwa kaum-munafik di Madinah menjadi tertahan dan bisa dikendalikan.
Ummat Muslim di zamannya selalu menganggap hal itu sebagai suatu peristiwa nasional yang besar. Mereka yang turut ambil bagian dalam perang Badar selalu dilihat sebagai orang yang memiliki perbedaan besar. Pada suatu hari salah satunya telah melakukan kesalahan besar, dan Sayidina Umar r.a. memaksa bahwa ia harus dihukum sebagai pengkhianat, namun Nabi Muhammad s.a.w. mengingatkannya bahwa orang itu telah turut perang di Badar dan oleh karenanya kesalahannya telah dimaafkan. Di zaman Khalīfah Sayidina Umar r.a. ketika para Sahabat telah diberi gaji, maka mereka yang turut perang Badar menerima gaji lebih besar. Mereka sendiri merasa amat bangga dengan keikut-sertaan mereka di perang itu.
Sir William Muir telah menuliskan tentang hal itu (Life of Mahomet, hal 234)
“Hebatnya Perang Badar telah ditandai dengan tingginya pangkat yang diberikan kepada 300 orang terkenal. Nama-nama mereka didaftar pada tingkat pertama Daftar Sayidina Umar, yang diperuntukkan bagi yang tertinggi dari amal-amal terbaik yang pernah ada. Faktanya merekalah bangsawan Islam. ”Bawalah kemari baju yang kupakai ke Badar, karena aku telah menyimpannya dan akan mengenakannya hari ini”. Itu adalah perkataan S’ad, seorang pemuda luar biasa ketika ia telah mendekati ajalnya dalam usia 80 tahun. Raja yang dikenal sebagai penakluk Persia, pendiri Kufa dan Raja-muda Iraq, kehormatannya menyebar dalam bayang bayang  kemenangan besar sebagai salah satu pahlawan Badar. Di matanya baju Badar adalah kemuliaan yang terbesar, dan kemuliaan dibajunya, akan terus dibawanya sampai ke kubur.”
Nubuatan yang dijelaskan dalam Alquran telah memenuhi surah yng telah ditulis di atas:
”Kaum Quraisy akan segera dikalahkan dan akan membalikkan punggung mereka. Saat itu telah dijanjikan kepada mereka; dan Saat itu paling mengerikan dan paling pahit.” (al-Qamar: 45-47)
Demikian juga telah dipenuhi nubuatan Yesaya (Bible, Perjanjian Lama, 21:13-17):
”Inilah pesan tentang Arabia. Wahai, orang Dedan, kafilah-kafilah-mu berkemah di semak belukar tanah Arab. Wahai penduduk tanah Tema, berilah minum kepada orang-orang kehausan yang datang kepadamu, dan berilah makan kepada para pengungsi. Sebab mereka telah melarikan diri dari pedang yang terhunus, dari busur yang dilenturkan, dan dari perang yang sedang berkecamuk. Lalu Tuhan berkata kepadaku, “Tepat satu tahun lagi kejayaan suku-suku Kedar akan berakhir; Pemanah-pemanah Kedar adalah orang yang paling perkasa, tapi hanya sedikit dari mereka akan selamat. Aku, Tuhan Allah Israel telah bicara’.”
Namun, di seluruh peristiwa yang menyenangkan bagi ummat Muslim, mereka juga menghadapi bahaya yang amat besar, wajar saja, karena akibat dari perasaan tersentak seperti dalam irama musik klasik Bach, maka penentangan suku Quraisy terhadap ummat Muslim alan menjadi semakin sengit dan semakin mendendam. Suku-suku lainnya juga, walau mereka sangat terkesan, tapi mereka khawatir bahwa jika Islam dan ummat Muslim tidak segera dihancurkan maka mereka akan menjadi sangat kuat dan menjadi tidak mungkin untuk mengalahkan mereka. Rancangan penentangan mereka lebih praktis dan mengandung aspek yang lebih berbahaya.
Kaum Yahudi di Madinah, yang telah mengharap-harap bahwa perang Badar akan menghancurkan ummat Muslim, merasa frustrasi dan mulai membuat rancangan guna penentangannya dalam melawan Muslim.
Di pihak lain, suku Quraisy yang melakukan pemeriksaan dengan begitu ketat, mulai berpikir untuk membalas kekalahan mereka dengan cara membuat persekutuan rahasia dalam melawan Nabi Muhammad s.a.w.
Peristiwa berikut dikutip sebagai sebuah ilustrasi.
Beberapa hari setelah perang Badar, Umair bin Wahab dan Safwan bin Umayyah bin Khalf sedang berkabung di pelataran Ka’bah tentang pembunuhan di Badar, dan tiba-tiba Safwan menengok pada Umair dan berkata: ‘Hidup tidak lagi berharga.”
Umair mengerti sindirannya, dan menjawab: ”Aku siap menyabung nyawa, tapi pikiran tentang anak-anakku dan hutangku yang belum dibayar sehingga menahan kepergianku. Jika bukan itu, aku pergi ke Madinah diam-diam, dan membunuh Muhammad. Aku punya alasan pergi ke Madinah, karena anakku ditawan di sana.”
Safwan berjanji padanya: ”Aku bertanggung-jawab atas hutangmu dan juga anak-anak-mu. Kamu berangkat saja, dan jalankanlah rancangan ini dengan cara apa pun.”
Setelah setuju, Umair meninggalkan Safwan dan pulang, ia merebus pedang dalam ramuan racun, terus pergi meninggalkan Mekah. Ketika tiba di Madinah, Sayidina Umar r.a. melihatnya dan menjadi khawatir. Sayidina Umar r.a. menemui Nabi Muhammad s.a.w. dan melaporkan bahwa Umair telah tiba, tapi Sayidina Umar r.a. menunjukan sikap bahwa ia khawatir tentangnya.
Beliau memerintahkan untuk menghadapkan Umair. Lalu Sayidina Umar r.a. menjemput Umair, dan di perjalanan ia berkata kepada para Sahabat bahwa ia akan menjemput Umair untuk menemui Nabi Muhammad s.a.w., tapi ia khawatir dan mereka diminta pergi dan duduk dekat beliau serta selalu bersikap waspada.
Ketika Sayidina Umar r.a. telah tiba bersama Umair, maka beliau pun menyilahkan duduk di dekatnya dan bertanya tentang maksudnya. Umair berkata: ”Anak saya telah ditawan di sini, dan saya datang untuk melepaskannya.”
Beliau bertanya kepada Umair: ”Terus untuk apa pedang itu?”
Lalu Umair menjawabnya: ”Pedang ini bukan untuk apa-apa. Karena, apalah yang bisa dilakukan oleh pedang ini bagi kami, ketika ada di Badar?”
Beliau mendesaknya: ”Katakan maksudmu yang sebenarnya.”
Umair mengulangi jawabannya yang terdahulu, dan beliau pun bersabda: ”Baiklah, tapi apakah kamu tidak melakukan persekutuan rahasia dengan Safwan ketika bertemu di Ka’bah?”
Umair tercengang, namun pantang mundur dan ia menjawab: ”Saya tidak melakukan persekutuan rahasia apa pun.”
Beliau bertanya dengan tegas: ”Kamu tidak melakukan persekutuan rahasia? Ingat, Allah SWT akan membuat rancanganmu berantakan.”
Umair jadi terdiam, dan setelah merenung dalam-dalam, ia berkata: “Engkau benar. Kami melakukan persekutuan rahasia seperti yang telah engkau katakan. Namun kelihatannya Dewa bersama dengan engkau, karena tidak ada orang ketiga yang hadir ketika Safwan dan saya berbicara, namun tetap saja engkau mengetahui rancangan kami dengan amat  jelasnya. Mungkin, Dewa melakukan hal ini kepada saya, agar saya benar-benar percaya kepada engkau. Saya percaya atas ketulusan engkau.”
Beliau amat senang dan bersabda pada para Sahabat yang hadir di sana: “Umair telah menjadi saudaramu. Ajak dia untuk mempelajari ajaran Islam dan lepaskan anaknya.”
Umair tinggal beberapa lama di Madinah sampai benar-benar mengerti ajaran agama Islam, ia menjadi sedemikian setianya dan memohon berkat beliau untuk pergi ke Mekah dan menyebarkan Islam di antara penduduk Mekah. Ia telah diberkati dan setibanya di Mekah ia mendekati beberapa orang Quraisy secara diam-diam untuk memeluk Islam.
Setelah perang Badar, sisa-sisa penyembah-berhala dari suku Aus dan suku Khazraj cepat-cepat masuk Islam dan hidup berbaur dengan ummat Muslim. Namun tetap saja sebahagian dari mereka yang diam-diam masih menyimpan rasa cemburu dan dendam terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dan para Muhajirin, telah bergabung dengan kaum-munafik dan selalu mencari-cari peluang untuk merusak ajaran Islam dan melemahkan ummat Muslim. Pemimpin mereka bernama Abdullah bin Ubayy bin Salul, yang seolah-olah menjadi Muslim setelah perang Badar namun terus menerus mengembangkan kemarahannya kepada beliau, dan menjadi pusat ketidak-puasan terhadap Islam dan ummat Muslim.
Tidak lama sesudah selesai Perang Badar, khabar suka diterima oleh pihak Muslim bahwa Bizantin yang dalam beberapa tahun ini selalu menerima tekanan berat dari Persia dan terus-terusan dipukul mundur, telah mampu memberi kekalahan besar terhadap Persia dan mulai memperoleh kembali wilayah-wilayah yang sempat direbut pihak musuh. Khabar suka ini menjadi sumber kepuasan bagi ummat Muslim karena mereka bersimpati terhadap Bizantin, sedangkan pihak Quraisy bersimpati kepada Persia, disamping itu kemenangan Bizantin adalah penyempurnaan dari nubuatan yang dinyatakan di dalam Alquran, Surah ar-Rūm: 3-7 sebagaimana yang telah ditulis di Bab yang terdahulu.
----------------- *** -----------------

No comments:

Post a Comment