Saturday, July 2, 2011

BAB - 09. PENGKHIANATAN BANI NAŻIR

Malam hari setelah Perang Uhud telah menjadi satu-satunya kecemasan dan saat-saat yang tidak mudah dijalani oleh ummat Muslim di Madinah. Rasa tidak aman masih sangat menguasai, karena pihak Quraisy mungkin tiba-tiba menyerang, sehingga para ketua kelompok tetap menjaga pintu rumah Nabi Muhammad s.a.w.
Sebelum Ṣalat Subuh, beliau menerima isyarat bahwa pasukan Quraisy telah berkemah beberapa mil dari Madinah, dan para pemimpinnya sedang melakukan rapat tentang hasrat besar mereka untuk segera menyerang Madinah. Sebagiannya marah-marah kepada sebagian lainnya bahwa mereka tidak hanya tidak bisa membunuh Nabi Muhammad s.a.w. atau pun bisa memperbudak perempuan-perempuan Muslim, atau pun merampok rumah-rumahnya namun mereka juga telah kehilangan peluang besar yang sudah berada di dalam genggamannya.
Mereka membujuk agar kembali, menyerang Madinah dan menghancurkan ummat Muslim. Sisanya beralasan bahwa superioritas telah berhasil diraih lewat kemenangan, dan mereka harus menghormatinya dan harus kembali ke Mekah, kalau tidak, serangan lanjutan akan merusak kemenangan yang sudah ada, karena jika mereka menyerang Madinah, ummat Muslim akan melawan dengan dahsyat sebab didukung oleh kekuatan mereka yang tidak ikut pergi berperang ke Uhud. PrefaceAkhirnya, mereka yang ingin menyerang Madinah berhasil membujuk yang lainnya, dan pihak Quraisy mulai bersiap-siap untuk menyerang Madinah.
Ketika beliau mengetahui tentang hal itu, dengan segera beliau memerintahkan agar ummat Muslim bersiap-siap untuk melawan pihak Quraisy, dengan syarat bahwa yang turut pergi hanya mereka yang telah ikut berperang di Uhud. Banyak orang yang menderita luka-luka tapi begitu mendengar komando beliau mereka turut bergabung dengan gembira dengan luka-lukanya yang masih dibalut, sehingga pada umumnya yang terlihat adalah pasukan unggul yang segera memburu musuh untuk ditaklukkan.
Lalu beliau mengutus dua orang pengintai untuk mengumpulkan berita intelijen tentang gerakan pihak Quraisy, namun jenazah mereka telah ditemukan di Hamral Asad, suatu tempat yang berjarak 8 mil dari Madinah. Ada kemungkinan mereka telah dibantai oleh orang-orang Quraisy.
Nabi Muhammad s.a.w. mengubur jenazah mereka dan memutuskan untuk berkemah di sana. Lalu beliau memerintahkan menyalakan api di sekeliling tempat itu, dan dalam beberapa menit kemudian ada 500 nyala api di ketinggian, dan memberi kesan bahwa beliau memiliki pasukan besar. Di saat itu pemimpin Khuzā yang bernama Ma’bad, mengunjungi beliau dan menyatakan rasa simpatinya terhadap pembantaian di perang Uhud.
Di pagi harinya ketika tiba di Rauha, ia melihat pasukan Quraisy sedang bersiap-siap menyerang Madinah. Lalu ia pergi menemui Abu Sufyan dan berkata bahwa ia baru saja tiba dari Hamral Asad, di sana ia melihat pasukan tangguh sedang berkemah dan sangat penasaran akan kekalahannya di Uhud, sekarang mereka sangat berniat untuk mengalahkan musuh. Abu Sufyan menjadi amat terkesan dengan apa yang diceritakan oleh Ma’bad dan membatalkan rencananya untuk menyerang Madinah, lalu pasukannya kembali ke Mekah.
Ketika beliau mengetahui pasukan Quraisy mengarah kembali ke Mekah, beliau langsung mengetahui bahwa Allah SWT telah melindungi mereka. Beliau tetap berkemah di Hamral Asad selama 2 – 3 hari lagi, dan kembali ke Madinah setelah berkelana selama 5 hari. Di Hamral Asad, ummat Muslim menangkap 1 orang tawanan perang yaitu si penyair Abu Uzza, yang ketinggalan di belakang lainnya.
Ia pernah ditangkap di Badar, lalu dilepaskan karena memiliki 5 orang putri yang hidupnya masih tergantung kepadanya, dan ia berjanji bahwa ia tidak akan mengangkat senjata kepada beliau. Saat itu pun ia memohon belas-kasihan, namun beliau menolak dan bersabda: “Orang-orang yang beriman tidak akan jatuh 2 kali kedalam lobang yang sama.” Ia dieksekusi karena kesalahannya telah melakukan pengkhianatan.
Seorang Quraisy lainnya, Mu’awiyah bin Mugirah ditangkap di wilayah Madinah, pada malam hari setelah perang Uhud. Ia memohon kepada Sayidina Uṡman bin Affan r.a. agar melakukan campurtangan baginya, Sayidina Uṡman r.a. memberi waktu bebas tiga hari agar ia keluar dari Madinah. Akan tetapi Mu’awiyah tetap berada di wilayah Madinah dalam waktu bebas itu, dan ketika ditangkap lagi, ia dieksekusi karena melanggar syarat-syarat waktu bebas.
Walau pun kemenangan pihak Quraisy di perang Uhud tidak menyebabkan kehilangan besar yang permanen bagi ummat Muslim, namun tetap saja menimbulkan gangguan. Mereka kehilangan 70 orang yang di antaranya 3 – 4 orang penting dan sejumlah besar pasukan menderita luka-luka; kaum Yahudi dan kaum-munafik yang dalam derajat tertentu telah menjadi ketakutan karena kemenangan Muslim di perang Badar, sekarang timbul lagi semangatnya dan demikianlah, sehingga Abdullah bin Ubayy dan kelompoknya berani mengejek ummat Muslim secara terbuka dan mentertawakan mereka. Pihak Quraisy pun telah menjadi begitu berani dan merasa bahwa mereka tidak saja bisa membalas dendam atas kekalahannya di Badar, tapi juga jika ada kesempatan lain, mereka merasa mampu mengalahkan ummat Muslim, dan suku-suku Arab lainnya menjadi lebih berani dalam menentang ummat Muslim.
Kesemua itu, ternyata memiliki hikmah yang tersendiri. Ummat Muslim menyadari bahwa mereka tidak akan bisa mencapai sukses jika perbuatan-perbuatan mereka bertentangan dengan harapan dan perintah Nabi Muhammad s.a.w. Beliau telah menasihati mereka agar melawan musuh dari dalam kota Madinah namun sebagian orang memaksa perang, kemudian beliau telah memberi perintah yang sangat tegas pada kelompok pemanah agar mereka tetap berada di barisan belakang dan tidak meninggalkan tempat sampai ada perintah selanjutnya, namun mereka tidak mentaati perintah beliau di waktu yang amat kritis itu, akibatnya kesalahan mereka telah menimbulkan bencana yang hebat.
Ummat Muslim belajar menghormati ajaran tentang ketaatan kepada beliau pada setiap saat sampai derajatnya yang paling rinci. Melalui berkat Allah, prasangka yang diderita ummat Muslim sebagai akibat dari kekalahan mereka di Uhud terbukti bersifat sementara, dan dengan bimbingan beliau yang bijak, semangat dan inspirasi mereka muncul untuk maju lebih cepat lagi menuju tujuan.
S’ad bin Rab’i Ansari r.a. yang peristiwa wafatnya di perang Uhud telah dituliskan di depan, adalah orang penting dan memiliki posisi yang menonjol di lingkungan keluarganya. Ia tidak mewariskan turunan laki-laki, hanya ada jandanya dan kedua putrinya.  Sesuai adat-istiadat Arab, janda dan anak perempuan tidak menerima bagian apa pun dari warisan seorang kepala keluarga yang wafat, dan sepanjang tidak ada ahli-waris laki-laki, harta warisan diberikan kepada saudara laki-laki, jika tidak punya saudara laki-laki, warisan itu diberikan kepada saudara sepupu yang laki-laki.
Saat itu belum ada hukum waris yang dapat diberlakukan pada ummat Muslim berdasarkan perintah Allah SWT. Oleh karena itu saudaranya telah  mengambil seluruh harta milik warisan almarhum dan dijadikan miliknya sendiri, sedangkan janda serta putri-putri almarhum dibiarkan miskin. Janda S’ad bin Rab’i Ansari r.a. sambil membawa kedua putrinya, pergi menemui Nabi Muhammad s.a.w. dan menjelaskan situasi yang ia alami. Beliau sangat tersentuh sekali, namun sejauh itu beliau belum menerima firman Allah mengenai harta warisan, dan beliau bersabda padanya agar menunggu turunnya perintah Allah.
Tidak lama berselang, Surah an-Nisā’ ayat 12-13 telah diwahyukan Allah untuk mengatur harta warisan, dimana pada situasi seperti yang telah dijelaskan di atas tadi maka sang janda mendapat 1/8 waris, putri-putrinya 2/3 waris, dan saudara laki-lakinya mendapat sedikit dari sisa yang ada:
Yūṣīkumullāhu fī aulādikum liż-żakari miṡlu haẓẓil-unṡayaīn, fa in kunna nisā’an fauqaṡnataini fa lahunna ṡuluṡā mā tarak, wa in kānat wāhidatan fa lahan-niṣf, wa li abawaihi li kulli wā ḥidim minhumas-sudusu mimmā taraka in kāna lahū walad, fa il lam yakul lahū waladuw wa wariṡahū abawāhu fa li ummihiṡ-ṡuluṡ, fa in kāna lahū ikhwatun fa li ummihis-sudusu mim ba’di waṣiyyatiy yūṣi bihā au daīn, ābā’ukum wa abnā‘ukum, lā tadrūna ayyuhum aqrabu lakum, ................................. Wa lakum niṣfu mā taraka azwājukum il lam yakul lahunna walad, fa in kāna lahunna waladun fa lakumur-rubu’u mimmā tarakna mim ba’di waṣiyyatiy yūṣīna bihā au daīn, wa lahunnar-rubu’u mimmā taraktum il lam yakul lakum walad, fa in kāna lakum waladun fa lahunnaṡ-ṡumunu mimmā taraktum mim ba’di waṣiyyatin tūṣūna bihā au daīn, wa in kāna rajuluy yūraṡu kalālatan awimra’atuw wa lahū akhun au ukhtun fa li kulli wāḥidim minhumas-sudus, fa in kānū akṡara min żālika fahum syurakā’ū fiṡ-ṡuluṡi mim b’adi waṣiyyatiy yūsā bihā au dainin gaira muḍārr. ”Allah memerintahkan kepadamu mengenai anak-anakmu; untuk seorang anak laki-laki seperti bagian dua orang anak perempuan; tetapi, jika mereka hanya perempuan saja, lebih dari dua orang, maka untuk mereka dua pertiga dari apa yang ditinggalkan; dan jika ia hanya seorang perempuan saja, maka bagiannya seperdua. Dan untuk kedua orang tuanya masing-masing seperenam dari harta peninggalan itu jika ia mempunyai anak; tetapi, jika ia tidak mempunyai anak dan hanya kedua orang tuanya menjadi ahli warisnya, maka untuk ibunya sepertiga, tetapi, jika ia mempunyai saudara-saudara, maka untuk ibunya seperenam, sesudah melunasi wasiatnya yang telah diwasiatkannya atau melunasi hutang-hutangnya. Bapak-bapakmu dan anak-anakmu, tidaklah kamu ketahui siapa di antara mereka yang lebih dekat kepadamu dalam manfaat....................... Dan, untukmu seperdua dari yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak; tetapi jika mereka mempunyai anak, maka untukmu seperempat dari apa yang ditinggalkan mereka, sesudah melunasi wasiat yang diwasiatkan mereka atau melunasi hutang-hutang. Dan, untuk mereka itu seperempat dari yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak; namun, jika kamu mempunyai anak, maka untuk mereka seperdelapan dari yang kamu tingalkan sesudah melunasi wasiat yang kamu wasiatkan atau melunasi hutang-hutangmu. Dan jika ada seorang laki-laki atau perempuan yang sudah tidak mempunyai bapak dan anak, harta warisnya akan dibagikan, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan, maka tiap-tiap dari mereka akan mendapat seperenam. Namun, jika mereka lebih banyak dari itu, maka mereka mendapat bersama-sama sepertiga sesudah melunasi wasiat yang diwasiatkannya atau melunasi hutang-hutangnya.” (an-Nisā’: 12-13)   
Setelah itu, Nabi Muhammad s.a.w. menemui saudara S’ad bin Rab’i Ansari dan menyuruh menyerahkan bagian mereka masing-masing kepada janda saudaranya dan putri-putrinya, dan yang ditahan hanya bagian untuknya saja. Ia mentaati sepenuhnya perintah itu.
Hukum waris Muslim, yang bagian terbesarnya dijelaskan pada ayat-ayat yang telah dikutip di atas, membawa perubahan besar terhadap adat-istiadat Arab tentang warisan, khususnya jika terkait perempuan. Pendeknya, di zaman Arabia pra-Islam, adat-istiadat Arab sangat keras terhadap perempuan, dan Islam membawa revolusi yang bermanfaat untuk keuntungan perempuan, dan perinciannya tidak perlu diterangkan di sini.
Reformasi sosial lainnya tentang impor yang mengagumkan, terjadi di zaman itu. Minuman keras dan judi dilakukan oleh orang Arab dalam skala luas, dan mereka menderita karena perbuatan-perbuatan jahat yang disebabkan oleh akibat dari minuman keras  dan judi.
Beliau sendiri tidak pernah melibatkan diri dalam kejahatan tersebut, dan beberapa Sahabat-nya juga tidak melakukan perbuatan seperti itu lagi. Namun karena selama hidupnya tidak pernah ada larangan tentang hal itu, banyak orang Muslim yang minum minuman-keras, dan kadang-kadang menyeretnya kepada situasi yang sangat kaku.
Nasihat pertama yang diwahyukan berkenaan dengan kedua jenis kejahatan itu adalah:
Yas’alūnaka ’anil-khamri wal-maisir, qul fīhimā iṡmun kabīruw wa manāfi’u lin-nāsi wa iṡmuhumā akbaru min naf’ihimã, wa yas’alūnaka māża yunfiqūn, qulil-’afw, każālika yubayyinullāhu lakumul-āyāti la’allakum tatafakkarūn. ”Mereka bertanya kepadamu tentang arak dan judi. Katakanlah, ”Di dalam keduanya ada dosa dan kerugian besar dan juga manfaat bagi manusia, dan dosanya serta kerugiannya lebih besar dari manfaatnya.” (al-Baqarah: 220)
Wahyu itu segera diikuti oleh wahyu:
Yā ayyuhal-lażīna āmanū la taqrabūṣ-ṣalāta wa antum sukārā ḥattā tā’lamũ mā taqūlūn. ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati Ṣalat bila kamu tidak berada dalam keadaan sadar sepenuhnya, sampai kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan.” (an-Nisā: 44)
Akhirnya, segera setelah perang Uhud, perintah-Nya turun kembali:
Yā ayyuhal lażīna āmanū innamal-khamru wal-maisiru wal-anṣābu wal-azlāmu rijsum min ’amalisy-syaiṭāni fajtanibūhu la’allakum tufliḥūn. ”Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya arak dan judi dan berhala-berhala dan panah-panah undi adalah suatu kekejian dari perbuatan syaitan. Maka, jauhilah semua itu supaya kamu berhasil.” (al-Mā’idah: 91)
Oleh karenanya Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan salah satu Sahabat untuk mengumumkan larangan itu di seluruh Madinah. Lalu Anas r.a. telah meriwayatkan:
Ketika itu saya sedang membawakan minuman untuk Abu Talha Ansari r.a. dan beberapa orang Muslim lainnya. Lalu kami mendengar suara pengumuman, dan Abu Talha r.a. meminta saya mencari tahu apa yang diumumkan. Saya pergi ke luar dan ia sedang mengumumkan bahwa minuman-keras telah dilarang. Ketika saya kembali ke kelompok itu, saya beritahu tentang pengumuman tadi dan Abu Talha r.a. menyuruh saya menumpahkan minuman keras yang ada di dalam botol, dan saya lakukan. Pada hari itu, minuman keras mengalir di sisi jalan-jalan Madinah. Nabi Muhammad s.a.w. menterjemahkan perintah Allah itu dengan arti bahwa jumlah sedikit atau jumlah banyak dari minuman keras itu tetap saja membuat mabuk dan  sama-sama dilarang.”
Kekalahan ummat Muslim di perang Uhud telah membuat suku-suku penyembah-berhala di Arab lebih berani menyerang ummat Muslim ketimbang sebelumnya. Hanya berselang sebentar setelah perang berakhir, dan mereka yang terluka belum sembuh sepenuhnya dari luka-lukanya, ketika tiba-tiba Nabi Muhammad s.a.w. menerima berita intelijen bahwa Tulaiha bin Khuwailid pemimpin Bani Asad dan saudaranya Salamah bin Khuwailid, telah sibuk membujuk orang-orangnya untuk menyerang Madinah.
Dengan segera beliau memerintahkan 150 orang pasukan gerak-cepat Muslim yang dipimpin Abu Salamah bin Abdul Asad r.a. untuk langsung berangkat menuju Bani Asad sebelum mereka siap menyerang ummat Muslim. Abu Salamah r.a. maju dengan diam-diam tapi bergerak cepat dengan pasukan komandonya dan berhadapan dengan Bani Asad di Qutan, Arabia tengah. Begitu Bani Asad melihat pasukan Muslim mereka langsung kabur dan menyebar ke semua arah sehingga tidak terjadi pertempuran.
Lalu Abu Salamah r.a. kembali ke Madinah dengan semua pasukannya. Ia memang sudah terluka di medan perang Uhud, dan lukanya sepertinya telah mulai sembuh, namun karena tekanan berat dari perjalanan pasukan-cepat itu maka lukanya menjadi kambuh kembali, walau pun telah diobati namun luka itu mulai bernanah dan pada akhirnya Abu Salamah r.a. yang merupakan seorang Muslim yang setia dan saudara angkat beliau, wafat.
Tulaiha, pemimpin suku Bani Asad di kemudian hari memeluk Islam, namun murtad dan berdusta karena mengaku sebagai nabi. Ia membangun pasukan pendukung, dan kemudian dikalahkan dan kabur dari Arabia. Beberapa waktu kemudian ia kembali, menyesali diri dan memeluk Islam untuk kedua kalinya, lalu bertempur di berbagai perang Islam dan wafat sebagai Muslim.
Bersamaan dengan persiapan Bani Asad akan segera menyerang Madinah, Nabi Muhammad s.a.w. juga menerima berita intelijen bahwa pasukan besar Bani Lihyan telah siap di Ornah, beberapa mil di luar Mekah, dan siap menyerang Madinah yang dipimpin oleh Sufyan bin Khalid. Beliau yang faham benar akan keadaan dan kekuatan berbagai jenis suku-suku Arab, menyadari bahwa Sufyan bin Khalid adalah pangkal permasalahan yang utama, dan jika beliau bisa menghabisinya maka Bani Lihyan tidak akan berani menyerang Madinah. Dan, beliau juga faham bahwa tidak ada orang lain lagi di antara suku-suku itu yang dapat menggantikannya dan memimpin Bani Lihyan untuk melakukan penyerangan militer.
Namun beliau juga merasa khawatir, bahwa jika suatu pasukan bersenjata dikirim untuk menyerang Bani Lihyan maka pertempuran sangat mungkin terjadi, dan dalam keadaan demikian banjir darah di kedua belah pihak tidak bisa dielakkan. Oleh karenanya beliau memutuskan untuk mengirim seseorang yang mungkin secara diam-diam dapat menghabisi Sufyan bin Khalid, yang menjadi sumber dari segala kekacauan. Beliau memilih Abdullah bin Anis Ansari r.a. untuk tujuan itu, dan mengingatkannya agar waspada terhadap tipu-muslihat Sufyan, yang menjadi sumber pembuat kekacauan. Ketika Abdullah r.a. tiba di perkemahan Bani Lihyan, ia melihat bahwa persiapan mereka untuk menyerang Madinah berjalan dengan cepat sekali, dan ia memperoleh kesempatan serta dapat menghabisi Sufyan di waktu malam.
Ketika peristiwa itu diketahui, Bani Lihyan memburu Abdullah r.a. namun ia berhasil melarikan diri ke Madinah, lalu melaporkan keberhasilan tugasnya kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang kemudian segera memberi cindera-mata kepada pembantunya itu sebagai anugerah terhadap tugas agung yang telah berhasil dilaksanakan dengan baik. Abdullah r.a. menyayangi cindera-mata yang berkat itu di sepanjang hidupnya, dan ketika ia sedang sekarat, ia meminta agar cindera-mata itu dikubur bersamanya.
Beliau masih menerima berita intelijen yang mengkhawatirkan, namun beliau lebih cemas lagi akan bahaya terbesar dari pihak Quraisy, yang amat bersemangat karena keunggulan mereka di perang Uhud dan kelihatannya ingin melakukan berbagai serangan telak terhadap ummat Muslim. Menimbang bahwa bahaya dapat timbul dari ancaman Mekah, beliau mengirim satu kelompok yang terdiri dari 10 orang Sahabat untuk segera berangkat secara diam-diam ke Mekah, dan kelompok itu dipimpin oleh Aasim bin Ṡabit r.a. yang bertugas mengumpulkan berita intelijen yang berhubungan dengan rancangan dan gerakan pasukan Quraisy.
Kelompok ini belum sempat berangkat untuk melakukan tugasnya ketika beberapa orang yang mewakili suku Ażal dan suku Qarah menemui beliau, lalu mereka menyampaikan berita bahwa ada banyak orang di dalam suku-sukunya yang cenderung memeluk Islam, oleh karenanya diharapkan agar beliau sudi mengirim beberapa orangnya pergi bersama mereka untuk mengajar agama Islam.
Nabi Muhammad s.a.w. merasa gembira atas berita itu, dan segera memerintahkan kelompok yang sudah siap untuk memburu berita intelijen tentang Quraisy, guna menemani orang-orang itu. Setelahnya tersingkaplah kebenaran, bahwa mereka hanya berpura-pura menjadi utusan karena telah dijanjikan sejumlah besar unta oleh Bani Lihyan, yang mengatur strategi perang dengan maksud membalas dendam eksekusi pemimpinnya Sufyan bin Khalid, jika mereka bisa menipu sejumlah orang Muslim untuk keluar dari Madinah bersama mereka, kemudian Bani Lihyan akan membantainya.
Ketika utusan pengkhianat dari suku Ażal dan suku Qarah bersama kelompok Muslim tiba di antara Asfan dan Mekah, mereka mengirim isyarat kepada Bani Lihyan bahwa mereka sedang menuju ke arah Mekah dengan 10 orang Muslim yang dengan mudah bisa dihabisi oleh Bani Lihyan. Begitu menerima isyarat intelijen, Bani Lihyan segera mengirim 200 orang pasukan, yang setengahnya adalah pemanah unggul, lalu mencegat kelompok itu di Raji’. Begitu melihat mereka, kelompok Muslim lari dan mendaki bukit pasir, lalu mengatur posisi bertahan. Pasukan Bani Lihyan memanggil mereka agar segera turun dari ketinggian, dan menjamin bahwa mereka tidak akan dibunuh. Aasim menjawab bahwa ia tidak percaya pada janji mereka dan tidak mau turun. Lalu ia menghadapkan wajahnya ke langit dan memohon: ”Ya Allah, Engkau telah melihat keadaan kami saat ini. Apakah Engkau telah memberi tahukan Rasulullah?”
Mereka ditangkap oleh Bani Lihyan dan tujuh orang tewas dalam pertempuan. Maksud Bani Lihyan adalah menangkap mereka hidup-hidup dan lagi-lagi mereka memberitahukan kepada yang tiga orang lagi, bahwa mereka tidak akan diganggu jika mereka turun dari ketinggian. Ketiga orang itu adalah Khobaib bin Adi r.a., Zaid bin Daṭnah r.a. dan Abdullah bin Tariq r.a. Lalu mereka menerima tawaran Bani Lihyan, namun ketika mereka menuruni lereng dari ketinggian, mereka disergap dan diikat kencang dengan tali busur musuhnya, kemudian Abdullah bin Tariq r.a. protes bahwa hal itu adalah pengkhianatan, dan ia tidak percaya lagi kepada janji mereka dan tidak mau pergi dengan mereka.
Abdullah r.a. dipukuli dan diseret dalam jarak yang tidak terlalu jauh, lalu dibantai. Jenazahnya dibuang begitu saja, dan Khobaib bin Adi r.a. serta Zaid bin Daṭnah r.a. dibawa ke Mekah dan dijual kepada pihak Quraisy. Kemudian Khobaib r.a. dibeli oleh anak Hariṭ bin Aamar bin Naufal karena ia membunuh ayahnya di perang Badar, dan Zaid r.a. dibeli oleh Safwan bin Umayyah yang ayahnya juga terbunuh di perang Badar.
Ketika Khobaib r.a. dan Zaid r.a. masih berada dalam tahanan Quraisy, pada suatu hari Khobaib r.a. meminjam pisau-silet dari putri Hariṭ, dan pada saat yang sama, anak laki-lakinya yang masih kecil datang dan dipangku dengan penuh kasih-sayang oleh Khobaib r.a. Ketika ibunya melihat Khobaib r.a. memegang silet di tangannya ia langsung ketakutan, tapi Khobaib r.a. meyakinkannya bahwa ia tidak bermaksud mengganggu anak laki-laki yang masih kecil itu. Ia begitu terkesannya oleh perilaku Khobaib r.a. yang amat baik, sehingga setelahnya ia berkata bahwa ia belum pernah bertemu dengan tawanan perang yang berperilaku baik seperti Khobaib r.a.
Ia juga menambahkan bahwa pada suatu hari ia melihat Khobaib r.a. membawa seikat buah anggur di dalam tangannya, lalu ia memetik buah itu dan memakannya, padahal saat itu di Mekah tidak ada buah anggur yang bisa dibeli serta Khobaib r.a. sedang dirantai. Ia membayangkan bahwa anggur itu hadiah dari Allah SWT yang dikaruniakan kepada Khobaib r.a. Beberapa hari kemudian Khobaib r.a dibawa keluar untuk dieksekusi. Ia meminta izin untuk melakukan Ṣalat dua raka’at dan permintaannya itu diizinkan, lalu ia melaksanakan Ṣalat dengan penuh konsentrasi dan ketaatan, dan setelah selesai ia berkata: ”Saya bersemangat untuk meneruskan beberapa saat lagi, namun saya mengerti bahwa kalian akan berpikir bahwa saya mencoba mengulur waktu Ṣalat agar saat kematian saya tertunda.”
Lalu ia maju dan membacakan sebuah puisi: ”Karena aku Muslim, aku disembelih. Ke arah mana pun tubuhku jatuh, aku tidak perduli. Jika Dia mengatakan  jadi, maka jadilah, di jalan Allah semua ini terjadi. Dia dengan senangnya memberkati tubuhku yang telah dimutilasi.” Ia baru saja menyelesaikan puisinya ketika Uqba bin Hariṭ tiba dan langsung membantainya.
Safwan bin Umayyah membawa tawanan perang Zaid bin Daṭnah r.a. ke luar batas tempat ibadah bersama sejumlah orang penting Quraisy, ia menyuruh budaknya Nastas, untuk mengeksekusi Zaid r.a. Lalu Nastas maju menuju Zaid r.a. dengan pedang terhunus, namun saat itu Abu Sufyan yang berada di antara penonton, menghampiri Zaid r.a. dan bertanya kepadanya: ”Katakan sejujurnya kepadaku, apakah kamu tidak mengharapkan bahwa pada tempatmu sekarang justru Muhammad yang ditawan dan kami mengeksekusi dia, sehingga kamu selamat dan hidup bahagia bersama keluargamu?”
 Zaid r.a. berang dan menjawab marah: ”Apa katamu, Abu Sufyan? Aku bersaksi kepada Allah SWT bahwa aku tidak pernah mengharap selamat, jika saja aku melukai kaki Rasulullah s.a.w hanya dengan tusukan duri.” Abu Sufyan menjawab tidak sengaja: ”Demi Allah, aku belum pernah melihat siapa pun yang dicintai dengan begitu dalamnya, seperti Muhammad dicintai oleh para pengikutnya.” Lalu Nastas menebas mati Zaid bin Daṭnah r.a.
Diriwayatkan bahwa ketika pihak Quraisy mengetahui bahwa Aasim bin Ṡabit r.a. berada dalam kelompok yang dibunuh Bani Lihyan di Raji’, dan mengingat bahwa Aasim telah membunuh orang penting Quraisy di perang Badar, mereka mengirim utusan terpilihnya ke Raji’ dan meminta agar mereka bisa membawa kepala atau anggota badan Aasim r.a., agar hasrat membalas dendam mereka bisa terlampiaskan. Juga diceritakan bahwa ibu dari seseorang yang dibunuh oleh Aasim r.a., telah bersumpah bahwa ia akan meminum arak yang ditaruh dalam tengkorak pembunuh anaknya. Ketika utusan-utusan Quraisy tiba di Raji’, mereka melihat jenazah Aasim r.a. sudah penuh ditutupi oleh lalat-rawa dan lebah-lebah yang tidak mau terbang walau diupayakan dengan cara apa pun.
Akhirnya mereka pulang ke Mekah, kecewa. Segera setelahnya timbul angin topan yang disertai hujan deras, dan jenazah Aasim r.a. tersapu oleh banjir-bandang. Telah dituliskan bahwa ketika Aasim r.a. memeluk Islam, ia telah memutuskan bahwa ia akan menjauhi segala yang berhubungan dengan penyembahan-berhala, bahkan ia tidak mau menyentuh penyembah-berhala. Ketika Sayidina Umar r.a. mendengar caranya Aasim r.a. menjadi syahid dan jenazahnya dijaga oleh lebah-lebah dan lalat-rawa, beliau berkata: “Allah SWT menghargai, bahkan untuk perasaan hamba-Nya yang mutaqi.” Pada kasus jenazah Aasim r.a., Allah menjagamya dari sentuhan para penyembah-berhala.
Di waktu yang hampir bersamaan, peristiwa tragis lain terjadi dalam skala lebih besar. Telah diterangkan bahwa Bani Suleim dan Bani Gaṭfan tinggal di Nejed dataran tinggi di Arabia tengah, dan telah bersekutu dengan suku Quraisy untuk melawan ummat Muslim. Melalui kekacauan dan hasutan merekalah, seluruh dataran tinggi Nejed telah diracuni dengan kebencian terhadap Islam. Kira-kira bersamaan dengan terjadinya tragedi Raji’, Abu Brā Aamiri yang menjadi pemimpin Bani Aamir dari Arabia tengah datang menemui Nabi Muhammad s.a.w., yang diperlakukan dengan hormat dan baik serta dijelaskan tentang ajaran Islam.
Ia memperhatikan dengan semangat, walau tidak masuk Islam namun ia memohon agar beliau dapat mengirim orang Muslim bersama dengannya yang akan mengajar Islam pada orang Nejed. Ia menyatakan harapannya bahwa suku-suku Nejed tidak akan menolak berita darinya. Nabi Muhammad s.a.w. menyatakan ketidak percayaan beliau terhadap orang-orang Nejed. Abu Brā meyakinkan bahwa kekhawatiran seperti itu tidak beralasan karena ia akan menjamin keamanan semua utusan-utusan Muslim.
Akhirnya beliau mempercayai kata-katanya dan mengirim sebuah kelompok Sahabat yang terdiri dari 70 orang dan pergi ke Nejed untuk mengajarkan Islam kepada suku-suku Nejed. Ketika Abu Brā mengunjungi beliau, beberapa orang yang berasal dari suku Ra’i dan Zakwan yang merupakan keluarga Bani Suleim, juga terlihat hadir di hadapan beliau dan turut menguatkan permohonan Abu Brā.
Kelompok yang dipilih beliau untuk misi tersebut kebanyakan dari Anṣar yang telah menguasai Alquran. Mereka orang-orang miskin yang mendapatkan nafkahnya dengan cara mengumpulkan kayu di hutan selama siang hari dan menjualnya di Madinah. Mereka menghabiskan waktu malamnya dengan berzikir.
Ketika kelompok itu tiba di sumur-air yang disebut Bi’r Ma’una, salah satunya yaitu Haram bin Milhan r.a. paman Anas bin Malik r.a. dari pihak ibu, memperkenalkan diri selaku utusan beliau untuk mengajar Islam kepada Aamir bin Tufail keponakan Abu Brā pemimpin suku Aamir. Ia diterima dengan baik oleh Aamir bin Tufail dan sahabatnya, namun ketika mereka duduk dan mulai mengajar Islam pada orang-orang yang hadir di sana, tiba-tiba seseorang mendatanginya dari belakang dan menikam dengan tombak. Menerima serangan yang tiba-tiba itu, Haram bin Milhan r.a. berteriak: ”Allahu Akbar. Demi Allah yang memiliki Ka’bah, aku telah mencapai tujuanku.”
Aamir bin Tufail telah membujuk Bani Aamir untuk menyerang ummat Islam dan membunuh mereka. Namun mereka menolak melakukan tindakan yang berlawanan dengan jaminan Abu Brā. Lalu ia berkelompok dengan Bani Ra’i dan Bani Zakwan untuk menyerang ummat Muslim, yang setelah melihatnya, mengatakan bahwa Muslim tidak berselisih dengan mereka. Ummat Muslim hanya datang di sana untuk melaksanakan perintah Nabi Muhammad s.a.w., dan tidak datang untuk berperang. Namun musuh tidak mendengarkan apa yang mereka katakan dan membantainya.
Kāb bin Zaid r.a. yang turut hadir di tempat itu, merupakan satu-satunya orang Muslim yang selamat, walau ia ikut diserang dan disangka telah mati lalu ditinggalkan begitu saja. Dua orang Muslim yaitu Amr bin Umayyah Ḍamiri r.a. dan Munḍar bin Muhammad r.a., sedang pergi ke padang rumput dengan unta mereka dan lolos dari pembunuhan. Ketika mereka pulang, mereka melihat dari jauh kejadian tersebut, lalu mereka berunding antara satu dan lainnya tentang tindakan apa yang harus diambil. Amr r.a. mengusulkan untuk segera kabur dan kembali ke Madinah untuk melapor kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang peristiwa itu, namun Munḍar bin Muhammad r.a. tidak setuju dengan usulnya dan berkata bahwa ia tidak akan lari dari tempat itu, karena pemimpin mereka Munḍar bin Amr r.a. telah syahid.
Lalu Munḍar bin Muhammad r.a. pergi menuju tempat itu dan ia dibunuh dalam perkelahian. Amr r.a. ditawan dan akan dieksekusi, namun ketika Aamir bin Tufail mengetahui bahwa ia berasal dari suku Ḍamiri, lalu ia dilepaskan, karena ibunya telah bersumpah untuk membebaskan seorang budak yang berasal dari sukunya dan ia harus melepaskan dia untuk memenuhi sumpah ibunya. Jadi, dari ke-70 orang syuhada Muslim, hanya ada dua orang yang selamat yaitu Amr bin Umayyah Ḍamiri r.a. dan Kāb bin Zaid r.a. Di antara ummat Muslim yang dibantai di Bi’r Mau’na terdapat orang yang dibebaskan oleh Sayidina Abu Bakar r.a. yaitu Aamir bin Fuhairah r.a. yang dibunuh oleh Jabbar bin Salmah, yang akhirnya memeluk Islam juga. Ia terbiasa menjelaskan bahwa ia tertarik masuk Islam karena ucapan terakhir Aamir bin Fuhairah r.a., yang berkata: ”Demi Allah, aku telah sampai di tujuan.”
Ketika Jabbar mengingat peristiwa itu ia bingung mengapa Aamir bin Fuhairah r.a. dalam keadaan sekarat telah menggumamkan kata-kata itu, lalu ia tahu bahwa bagi seorang Muslim mati di jalan Allah adalah suatu pencapaian yang teragung. Ia sangat terpengaruh oleh kejadian itu, dan pada akhirnya ia memeluk Islam karena amat menghargai semangat berkorbannya. Mabi Muhammad s.a.w. mengetahui tragedi Raji’ dan tragedi Bi’r Ma’una hampir pada waktu yang bersamaan, dan merasa sedih sekali. Tragedi dadakan itu telah menghilangkan nyawa kurang-lebih 80 orang Sahabat yang berbakti, dan banyak dari mereka yang telah hafal Alquran, serta mereka adalah orang-orang miskin, rendah-hati, dan mutaqi, sungguh hal itu merupakan suatu peristiwa yang amat menekan hati. Namun, apa yang disabdakan beliau adalah: “Kita berasal dari Allah, dan kepada-Nya lah kita akan kembali.”
Lalu beliau menambahkan: “Kesemuanya ini terjadi sebagai akibat dari usulan Abu Brā yang tidak meyakinkanku, sebagaimana aku meragukan orang-orang dari Nejed.” Selama satu bulan, di setiap Ṣalat Subuh, beliau memohon ampunan Allah dalam kesedihan yang mendalam, dan memohon agar Dia menahan dapat Bani Ra’i, Bani Zakwan, Bani ‘Asabiyah dan Bani Lihyan supaya tidak menumpahkan darah orang-orang Muslim yang tidak bersalah, tanpa belas-kasih dan kejam.
Ketika Amr bin Umayyah Ḍamiri r.a. kembali ke Madinah, ia bertemu dua orang Bani Aamir yang kembali dari Madinah setelah mengambil Bai’at di tangan beliau. Karena Amr bin Umayyah Ḍamiri r.a. tidak faham persoalan yang sebenarnya, lalu ia membunuh kedua orang itu sebagai balas dendam atas tragedi Bi’r Ma’una, yang di dalam pandangannya bahwa Aamir bin Tufail sang pemimpin Bani Aamir adalah orang yang bertanggung-jawab, padahal Bani Aamir tidak turut serta dalam tragedi itu.
Ketika Amr bin Umayyah r.a. tiba di Madinah, ia menceritakan tragedi Bi’r Ma’una secara rinci kepada Nabi Muhammad s.a.w.dan juga melaporkan eksekusi kedua orang Bani Aamir yang dilakukan olehnya sendiri. Beliau marah sekali atas apa yang telah ia lakukan kepada dua orang Bani Aamir dan segera menyiapkan uang ganti darah bagi keluarga mereka. Karena Bani Aamir adalah sekutu kaum Yahudi Bani Nażir, dan Bani Nażir adalah sekutu ummat Muslim, maka Bani Nażir menjadi turut bertanggung-jawab pada sebagian uang ganti darah yang dibayar oleh beliau. Karenanya, beliau dengan beberapa Sahabat pergi menuju perkemahan Bani Nażir, lalu menjelaskan masalahnya pada mereka, dan mengharapkan agar mereka membayar sebagian uang darah.
Bani Nażir menerima beliau dan meminta beliau menunggu mereka memenuhi jumlahnya dan membayarnya. Namun sebenarnya, mereka merancang untuk memanfaatkan kesempatan yang amat jarang itu, dan Nabi Muhammad s.a.w. akan dibunuh oleh seseorang yang bersembunyi di atap rumah di atas sudut tempat duduknya, lalu melemparkan batu yang amat berat kepada beliau. Seorang Yahudi, Salam bin Maṣkim menentang rencana itu dan menyatakan bahwa hal itu adalah pengkhianatan dan melanggar perjanjian dengan Nabi Muhammad s.a.w. Tapi mereka tidak mendengarkannya, lalu akhirnya Amr bin Hajjaṣ mengangkat batu yang berat ke atap rumah dengan maksud menjatuhkannya kepada beliau.
Ketika ia akan melaksanakan rencana jahatnya, tiba-tiba beliau berdiri dan bergerak, sepertinya beliau teringat sesuatu yang amat penting yang harus dilaksanakan dengan segera. Ketika kedua belah pihak menunggu, beliau justru langsung pulang ke Madinah, dan setelah beberapa lama para Sahabat yang ditinggalkan merasa curiga akan keberangkatan beliau yang amat mendadak itu, dan mulai keluar untuk mencarinya, lalu akhirnya mereka tiba kembali di Madinah.
Nabi Muhammad s.a.w. memberitahu para Sahabat tentang rancangan berbahaya yang direncanakan oleh Bani Nażir terhadap keselamatannya, lalu mengutus Muhammad bin Aslamah r.a. dari suku Aus dan memerintahkannya untuk pergi kepada Bani Nażir dan berbicara pada mereka tentang perkara tersebut, dan karena kekacauan dan pengkhianatan mereka telah melebihi batas, maka akan menjadi tidak aman jika terus membiarkan mereka tinggal di Madinah, karenanya lebih baik mereka keluar dari Madinah dan tinggal di mana saja.
Beliau memberikan waktu-bebas selama 10 hari kepada mereka untuk meninggalkan Madinah. Ketika Muhammad bin Maslamah r.a. pergi dan berbicara dengan para pemimpin Bani Nażir, mereka berkata dengan sombongnya bahwa “Sampaikan sama tuanmu bahwa kami tidak mau meninggalkan Madinah dan merekeka bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan”. Ketika jawaban mereka disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w., maka beliau langsung bersabda: “Allahu Akbar, kelihatannya ummat Yahudi sudah cenderung untuk berperang.” Dengan segera beliau memerintahkan ummat Muslim untuk bersiap-siap, dan dengan diikuti oleh pengikutnya beliau berbaris menuju Bani Nażir.
Sebuah versi lainnya yang diceritakan oleh beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa beberapa waktu setelah perang Badar, walau tidak dinyatakan secara khusus berapa lama setelah perang itu, para pemimpin Quraisy mengirim surat kepada Bani Nażir yang meminta mereka mengusir Nabi Muhammad s.a.w. dan para pengikutnya dari Madinah, dan boleh menggunakan kekuatan senjata jika diperlukan, dan apabila tidak dilaksanakan maka Quraisy akan menyerang Bani Nażir.
Begitu menerima surat, Bani Nażir mengadakan rapat dan memutuskan bahwa cara terbaik untuk menyelesaikan masalah itu adalah membunuh Nabi Muhammad s.a.w. melalui rencana dimana beliau harus diundang ke tempat mereka, kemudian memanfaatkan kesempatan itu untuk membunuhnya. Guna melaksanakan rencana itu, mereka segera mengirim undangan kepada beliau bahwa mereka ingin bertukar pikiran antara beliau dengan orang-suci mereka, dan apabila terdapat kesamaan pandangan maka mereka akan mempercayainya. Lalu mereka mengusulkan bahwa beliau diharapkan tiba dengan 30 orang pengikut, dan mereka menyiapkan 30 orang-suci untuk betukar pikiran.
Sementara itu mereka merencanakan bahwa beliau akan diterima oleh seorang suci yang palsu dan telah membawa pisau-belati yang disembunyikan dibalik bajunya, untuk mencari kesempatan membunuhnya. Namun seorang perempuan dari Bani Nażir membocorkan rencana ini kepada seorang Anṣar yang juga menjadi kerabatnya, dan setelah diberitahu tentang rancangan tersebut, beliau segera membatalkan kunjungan semula dan berbaris bersama pasukannya menuju Bani Nażir, lalu mengepung perkemahan mereka.
Beliau mengirim berita kepada pemimpin mereka, bahwa sesuai perkembangan yang terjadi, beliau tidak bisa lagi mengizinkan mereka tinggal di Madinah terkecuali mereka membuat perjanjian baru yang meyakinkan beliau, bahwa untuk ke depannya mereka tidak akan melakukan rancangan apa pun untuk berkhianat. Namun mereka menolak tawaran beliau dan menantang perang. Bani Nażir kembali ke bentengnya dengan sikap sombong, dan pengepungan pun dimulai.
Hari berikutnya Nabi Muhammad s.a.w. menerima isyarat bahwa Bani Quraiżah juga cenderung mengacau, sehingga beliau bersama beberapa Sahabat-nya berangkat ke perkemahan Bani Quraiżah dan mulai melakukan pengepungan. Bani Quraiżah yang faham bahwa rancangan mereka sudah bocor menjadi ketakutan, dan menawarkan untuk memperbaiki perjanjian antara mereka dengan beliau. Dan beliau pun setuju serta menarik kepungannya, lalu memusatkan perhatian kepada Bani Nażir yang tetap melakukan kekerasan, sehingga situasinya menjadi memanas.
Pada tahapan ini, Abdullah bin Ubayy bin Salul mengirim berita kepada Bani Nażir bahwa mereka dilarang menyerah kepada ummat Muslim, lalu ia dan pasukannya akan mendukung dan berperang untuk mereka. Namun ketika pertempuran pecah, ternyata Abdullah bin Ubayy dan pasukannya tidak mendukung Bani Nażir. Bani Quraiżah yang bersimpati pada Bani Nażir pun tidak berani mendukung mereka secara terbuka.
Bani Nażir percaya betul akan kekuatan benteng mereka dan merasa pasti bahwa ummat Muslim tidak akan mampu melukai mereka, dan pada akhirnya mereka akan letih dan membubarkan pengepungan. Kepercayaan diri Bani Nażir benar-benar terbukti, karena walau pengepungan telah berlangsung beberapa hari, ternyata tidak ada pengaruhnya pada perilaku mereka. Akhirnya Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan agar pohon-pohon kurma milik Bani Nażir yang ada di luar benteng mulai ditebang.
Pohon-pohon kurma itu dari jenis yang kurang baik, dan buahnya dijadikan makanan ternak dan tidak dimakan oleh manusia. Maksud perintah beliau adalah bahwa ketika Bani Nażir menganggap pohon-pohon kurma mereka dirusak, mereka akan cenderung menyerah, sehingga sejumlah besar nyawa manusia dapat diselamatkan, kedamaian dan ketertiban dipulihkan, dengan pengorbanan  pohon kurma.
Rencana itu berjalan baik, dan hanya membutuhkan 6 batang pohon kurma saja, ketika Bani Nażir khawatir penebangan itu meluas, mereka mau membuka gerbang utama dengan syarat mereka diizinkan pergi dengan membawa harta pribadi mereka. Itulah yang ditawarkan pertama oleh beliau, dan karena tujuan satu-satunya adalah mengembalikan keamanan dan kedamaian, maka tawaran itu diterima, namun Bani Nażir tidak diizinkan membawa senjata-senjatanya.
Ternyata Bani Nażir menyetujuinya, dan beliau menunjuk Muhammad bin Maslamah r.a. mengawasi keberangkatan Bani Nażir dari Madinah. Karenanya mereka berangkat dengan megah dan memamerkan permainan musik, serta unta-unta mereka penuh harta-benda. Mereka membongkar rumah-rumahnya dan membawa pintu-pintu dan daun jendela yang terbuat dari kayu.
Senjata-senjata, harta tidak bergerak, tanah dan kebun-kebun jatuh ke tangan pihak Muslim, namun karena tidak ada perang maka barang-barang itu bukan harta-rampasan dan jumlah terbesarnya dibagikan kepada para Muhajirin miskin, yang sampai saat itu masih ditunjang oleh saudara Anṣar, dan secara tidak langsung Anṣar juga menerima sebagian dari harta tersebut.
Ketika Bani Nażir akan meninggalkan Madinah, beberapa orang Anṣar mencari anak-anak mereka yang ditahan kaum Yahudi itu (sekarang sudah dewasa), yang karena memenuhi sumpah orang tuanya, telah dijadikan pengawal Bani Nażir dan dididik sesuai ajaran agama Yahudi. Bani Nażir akan membawa anak-anak muda itu bersama mereka karena anak-anak itu sendiri yang menginginkannya.
Nabi Muhammad s.a.w.menolak keinginan orang Anṣar tersebut karena akan bertentangan dengan perintah Allah SWT:
Lā ikrāha fid dīn. ”Tidak ada paksaan dalam agama.” (al-Baqarah: 257)
Namun, ada dua orang Bani Nażir yang telah memeluk Islam dengan sukarela dan tetap tinggal di Madinah.
Telah diketahui bahwa Bani Nażir akan meninggalkan kota Mekah dan akan tinggal di suatu tempat di utara, di luar wilayah Arabia. Namun sebagian pemimpin mereka seperti Salam bin Abi Huqaiq, Kananah bin Rabi’, Huyay bin Akhtab dan lainnya ditambah sebagian pengikutnya memilih tinggal di Khaibar yang terkenal sebagai kota Yahudi di utara Hejaz, dan mereka diterima dengan hangat, mulai berkonspirasi untuk melawan ummat Muslim dengan akibat mengerikan, sebagaimana akan diterangkan di depan.
Telah diterangkan bahwa ketika berangkat dari Uhud, Abu Sufyan telah menantang ummat Muslim untuk berperang satu tahun kemudian di Badar, dan Nabi Muhammad s.a.w. telah mengumumkan menerima tantangannya. Ketika waktunya tiba, sambil melakukan persiapan menuju Badar, ia mengirim utusan bernama Naim yang berasal dari suku netral ke Madinah, dan memerintahkannya untuk dengan segala cara yang mungkin, untuk membujuk Muslim agar tidak pergi ke Badar. Lalu ia pergi ke Madinah dan mulai menyebar cerita berlebihan tentang kekuatan dan persiapan pihak Quraisy, serta semangat mereka untuk berperang melawan ummat Muslim. Propagandanya menimbulkan kepanikan dalam derajat tertentu pada bagian terlemah ummat Muslim, yang mulai mengkhawatirkan prospek ke depannya.
Nabi Muhammd s.a.w. mengumumkan bahwa beliau telah menerima tantangan pihak Quraisy dan akan berperang di Badar, dan akan memenuhi janji walau harus berangkat sendirian dan melawan musuh tanpa ada yang mendukungnya sekali pun. Hal itu menciptakan pergolakan besar pada ummat Muslim dan sebagian besar dari mereka ingin segera pergi ke Badar untuk memenuhi tantangan Abu Sufyan. Kemudian beliau berangkat dari Madinah dengan memimpin 1.500 orang pasukan. Di pihak lainnya, Abu Sufyan berangkat dari Mekah dengan 2.000 pasukan. Pasukan Muslim tiba di Badar pada tanggal yang telah disepakati, namun Abu Sufyan yang faham bahwa utusannya Naim telah gagal dalam tugasnya, maka ia membatalkan maksudnya karena anggota pasukannya banyak yang mengalami kelaparan dan keadaannya tidak baik untuk berperang, mereka lebih baik pulang ke Mekah, dan menyiapkan diri untuk menyerang Madinah pada kesempatan yang lebih sesuai.
Kebetulan ada bazar tahunan di Badar pada waktu itu, dan pasukan Muslim berhenti di sana selama 8 hari, sehingga banyak dari mereka yang beruntung karena menjual barang-barang mereka dengan harga baik. Setelah bazar selesai dan tidak ada tanda-tanda dari pihak Quraisy, Nabi Muhammad s.a.w. kembali ke Madinah.
Korespondesi beliau menjadi semakin berkembang, sehingga beliau memerlukan juru-tulis yang mahir bahasa Ibrani, sehingga diharapkan dapat melakukan korespondensi yang lancar dengan kaum Yahudi dan mampu menulis ungkapan-ungkapan, permufakatan dan himbauan di dalam bentuk-bentuk perjanjian dengan lebih sempurna. Lalu beliau memerintahkan juru tulisnya yang masih muda yaitu Zaid bin Ṡabit Ansari r.a. untuk belajar bahasa Ibrani, karena ia memiliki keahlian bahasa Arab setelah belajar dari tawanan perang Badar.
Zaid r.a. memiliki kecerdasan yang amat baik dan dengan upayanya yang sungguh-sungguh, ia mampu menguasai bahasa Ibrani dalam waktu dua minggu saja. Belakangan, di zaman Khalīfah Abu Bakar r.a., Zaid bin Ṡabit r.a. mengkompilasi Alquran dalam bentuk kitab atas perintah beliau.
Sesuai kesepakatan antara berbagai bagian berbeda dari penduduk Madinah setelah kedatangan beliau di Madinah, maka pada kenyataannya (de fakto) beliau menjadi kepala pemerintahan dan otoritas judisial di Madinah. Beliau memutus perkara yang ada berdasarkan  hukum atau adat-istiadat yang mengatur peristiwa itu yang berlaku pada masing-masing bagian tersebut.
Misalnya, telah diriwayatkan bahwa pada akhir tahun ke-4 Hijrah, sebuah kasus disampaikan kepada beliau dimana seorang perempuan Yahudi dan seorang laki-laki Yahudi dituduh telah melakukan perzinahan. Ketika Nabi Muhammad s.a.w. akan menentukan hukumannya, beliau bertanya pada seorang suci Yahudi hukuman apa yang harus dikenakan berdasarkan hukum Musa. Mengharap dapat menipu dan membuat malu beliau, ia memberi keterangan palsu bahwa hukuman perzinahan berdasarkan hukum Musa ialah, wajah orang yang bersalah dicoreng warna hitam dan mereka diarak di atas kuda sepanjang jalan-jalan di kota dengan menghadap ke belakang.
Kebetulan pada saat itu Abdullah bin Salam seorang suci Yahudi yang telah masuk Islam hadir di sana, dan ia menerangkan bahwa beliau telah dibohongi dengan nasihat palsu, dan bahwa hukuman bagi perzinahan yang sesuai dengan hukum Musa adalah dilempari batu sampai mati atau yang biasa disebut dengan istilah dirajam. Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. meminta kitab Taurat walau si orang suci Yahudi tetap bertahan pada penipuannya, namun dengan jelasnya Abdullah bin Salam menerangkan dari kitab Taurat bahwa hukuman bagi yang berzinah adalah sebagaimana yang ia sampaikan kepada beliau, dan hal itu langsung dilaksanakan.
Kira-kira bersamaan waktunya, ibunda Sayidina Ali r.a. yang sudah lanjut usia yaitu Fatimah binti Asad r.a., meninggal dunia di Madinah. Ibu yang sedang diceritakan ini, telah dianggap ibu kandung Nabi Muhammad s.a.w., karena beliau-lah yang mengurus dan merawat beliau sampai dewasa dan menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri. Beliau sangat menyayangi Nabi Muhammad s.a.w. dan beliau pun sangat berduka cita atas wafatnya. Beliau memberikan bajunya sebagai kain kafan, dan beliau sendiri mengatur seluruh pemakaman jenazahnya. Beliau berdiri di kuburnya dan menurunkan jenazahnya sambil berdoa: “Semoga Allah SWT menganugerahkan rahmat dan berkat-Nya kepadamu, karena engkau telah menjadi ibu yang merawatku dengan sedemikian baiknya.” Dari Abu Ṭalib, ia telah melahirkan 4 orang anak laki-laki, yaitu Ṭalib, Aqil, Ja’far r.a dan Sayidina Ali r.a.
Sejauh ini, seluruh ekspedisi militer yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w., baik yang langsung atau pun tidak langsung, seluruhnya memiliki watak bertahan. Ekspedisi militer yang dilakukan untuk mendirikan hubungan baik dengan berbagai suku-suku Arab juga memiliki katagori yang sama. Demikian juga, ekspedisi militer itu dibatasi sampai Hejaz dan Nejed, atau terbatas pada Arabia Tengah. Pada tahun ke-5 Hijrah, lingkup ekspedisi militer tersebut telah mulai diperbesar.
Beliau menerima isyarat intelijen bahwa sebuah kelompok besar pasukan, telah dipusatkan di Dumatul Jandal, mereka merampok dan merampas harta para pengembara dan kafilah-kafilah, dan ada kemungkinan mereka akan memperlebar lingkup kegiatan kejahatan perampokannya dan menjadi sumber perhatian ummat Muslim. Walau pada saat itu tidak ada bahaya yang serius dari markas tersebut, namun salah satu tujuan kebijakan beliau adalah mendirikan keamanan dan kedamaian, karenanya beliau membujuk para Sahabat-nya agar peristiwa-peristiwa kejahatan yang terjadi di Dumatul Jandal harus diakhiri, dimana hukum dan ketertiban harus dikembalikan di bagian negara itu.
Lalu beliau berangkat dengan memimpin 1.000 orang pasukan yang terdiri dari para Sahabat, mereka tiba di dekat Dumatul Jandal setelah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan yang ditempuh dalam waktu 14 hari, namun ketika mereka mengetahui kedatangan pasukan Muslim maka unsur-unsur jahat itu telah menyebarkan diri, sehingga walau diburu dengan begitu banyak kelompok kecil namun jejak mereka tidak ditemukan. Salah satu penggembalanya ditangkap dan kemudian ia memeluk Islam. Setelah tinggal beberapa lama, Nabi Muhammad s.a.w. dan para Sahabat  pulang ke Madinah. Ekspedisi militer itu telah mengakhiri kegiatan perampokan pada penduduk setempat di wilayah itu, dan para pengelana serta kafilah-kafilah yang menuju daerah itu telah terbebas dari keadaan bahaya yang sampai saat itu, beritanya masih tersebar luas.
Islam, yang tadinya hanya dikenal namanya saja di bagian bumi itu, telah difahami oleh penduduk lokal, karena telah mengetahui berbagai pemikiran tentang cara-cara dan kebiasaan ummat Muslim. Memang ada perkemahan Kristen yang menjadi tetangga Dumatul Jandal, namun tak ada petunjuk apa pun bahwa ekspedisi militer itu ditujukan kepada mereka.
Selama Nabi Muhammad s.a.w. tidak berada di Madinah, ibunda S’ad bin Ubadah r.a. sang pemimpin suku Khazraj, telah wafat. Setelah tiba kembali, beliau berdoa baginya di kuburnya. S’ad r.a. menyampaikan bahwa sebelum wafat, ibunya bermaksud memberikan derma namun ia tidak mampu melaksanakan rancangannya sampai ia wafat, dan S’ad r.a. bertanya apakah ia boleh melaksanakannya atas nama ibunya. Beliau menunjukkan sikap bahwa hal itu diizinkan, dan pada permohonan S’ad r.a. yang akan melakukan derma, beliau memberi wejangan agar ia menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi umum, misalnya sumur air atau kebun buah-buahan. S’ad r.a. langsung memenuhi anjuran beliau.
Pada tahun itu juga gerhana bulan telah terjadi di Madinah, lalu Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan segenap ummat Muslim untuk mendirikan Ṣalat gerhana bulan dan beliau menjadi Imam Ṣalat, yang terus didirikan sampai gerhana itu selesai. Tapi ketika ummat Muslim sedang mendirikan Ṣalat gerhana bulan, kaum Yahudi menimbulkan kebisingan dengan memukul-mukul bejana, alat-alat dapur, tong dll., dimana mereka memeluk faham yang salah karena menganggap bahwa bulan sedang disihir oleh seseorang dan kebisingan itu dibuat oleh mereka agar si penyihir itu kabur. 
Sudah menjadi watak Islam bahwa bukan saja harus menghapuskan segala macam takhayul tapi juga untuk setiap perbuatan takhayul, yaitu telah diperintahkan untuk mendirikan Ṣalat dan memanjatkan doa yang mengarahkan perhatian ummat Muslim secara langsung kepada Allah SWT yang menjadi Sumber segala kekuatan dan fakta-fakta sehingga dapat menghapuskan segenap faham yang menyembah berhala. Ṣalat gerhana dimaksudkan untuk memberi kesan kebenaran di dalam pikiran ummat Muslim bahwa sumber sejati dari segala cahaya -- apa pun sarana yang digunakannya -- adalah Allah SWT, dan ketika terjadi rintangan terhadap jalan untuk cahaya itu, walau pun rintangan itu terjadi di arah yang wajar dan sesuai dengan cara kerja hukum Ilahi, mereka tetap harus memalingkan perhatian mereka terhadap Allah dan merenungkan akan lambang-lambang-Nya. Dengan cara ini maka Islam telah melembagakan perhatian terhadap Allah di setiap saatnya di dalam kehidupan seorang Muslim, sehingga kapan saja ia tidak mengabaikan Sang Pencipta.
Diriwayatkan bahwa peristiwa kelaparan telah menyerang penduduk Mekah ketika Abu Sufyan bergerak dari Mekah dalam perburuannya untuk melawan ummat Muslim di Badar dengan membawa senjata-senjata lengkap. Peristiwa kelaparan ini telah menyebabkan penderitaan yang amat berat khususnya bagi mereka yang miskin dari antara penduduk Mekah. Ketika Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui tentang bahaya yang dialami oleh pihak Quraisy akibat dari peristiwa kelaparan ini, lalu beliau mengirimkan sejumlah perak ke sana, yang dapat dipakai untuk menolong kaum miskin di Mekah.
Pada waktu lainnya, nampak bahwa Abu Sufyan telah menemui Nabi Muhammad s.a.w. dan memohon kepada beliau berdasarkan hubungan kekeluargaan, agar beliau dapat memanjatkan doa supaya penduduk Mekah dapat diselamatkan dari bahaya kelaparan.
Peristiwa-peristiwa ini memperlihatkan bahwa perilaku orang-orang Quraisy terhadap Nabi Muhammad s.a.w. telah bercampur-baur. Di satu pihak mereka sadar akan kebaikan-kebaikan yang dibawa beliau sejak lahir, kesalehan dan kesucian beliau, tapi di pihak lainnya mereka bertindak selaku musuh besar  terhadap ajaran-ajaran beliau, yang dengan itu mereka telah membuka sendiri keimanan penyembah berhalanya yang telah menjadi jalan hidup mereka.
----------------- *** ----------------

1 comment:

  1. What is betting in betting: make money at online sportsbooks
    There are many sports betting sites out there which งานออนไลน์ are great to bet on when you need to. · Betway — The biggest betting platform for sports bettors. · 888Sport — If

    ReplyDelete