Saturday, July 2, 2011

BAB - 14. PERPISAHAN DENGAN RASULULĀH s.a.w.

Di tahun ke-9 Hijrah, Nabi Muhammad s.a.w kehilangan putrinya Sayidah Zainab r.a. yang tidak pernah sembuh lagi dari sakitnya akibat perlakuan buruk yang ia terima ketika sedang melarikan diri dari Mekah. Sayidah Umi Kulṡum r.a. yang dinikahi oleh Sayidina Uṡman r.a. setelah Sayidah Rugayyah r.a. tiada, juga wafat, sehingga tinggal Sayidah Fatimah r.a. sendiri yang masih hidup. Tidak lama setelah kembali dari kota Taif, istri beliau Sayidah Maryam r.a. yang orang Mesir Coptik dan sudah memeluk agama Islam, melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Ibrahim. Beliau amat gembira atas kelahiran putranya, dan menengoknya hampir setiap hari serta menimang-nimang sang bayi di pelukan beliau.
Jatuhnya kota Mekah telah membuka zaman baru bagi Islam. Secara praktis hal itu telah menjadikan Islam memperoleh keunggulan di seluruh Arabia. Di pembukaan tahun ke-9 Hijrah tersebut, ketika pulang dari Lembah Jirana, beliau mulai memungut zakat dari semua suku-suku yang telah menyatakan kepatuhan mereka. Para pemungut zakat ditunjuk untuk mengupulkan di mana-mana dan hasilnya dibawa ke Madinah. Mereka diterima dengan baik karena telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik dan tanpa ada halangan, terkecuali pada 1 – 2 kasus tertentu.
Cabang Bani Temim sedang berkemah di sekitar wilayahnya ketika sang pemungut zakat tiba dan sedang melakukan tugasnya di suku lain yang berdekatan dengan mereka. Ketika hewan-hewan dan ternak-ternak milik tetangga mereka sedang dipungut zakat, sebagian orang Bani Temim merintangi sang pemungut zakat dengan busur-busur panah dan pedang-pedang mereka serta mengusirnya.
Sesudah Nabi Muhammad s.a.w. menerima laporan, dengan segera beliau mengutus Oyeina yang dilengkapi 50 orang pasukan berkuda, dan mereka berhasil menangkap 50 orang laki-laki, perempuan dan anak-anak, lalu dibawa ke Madinah.
Kemudian, sebagian orang Bani Temim yang pernah membantu Nabi Muhammad s.a.w. di perang Hunain dan mendapat hadiah besar di Jirana, dengan segera mengirim utusan terdiri dari 80 – 90 orang untuk memohon agar kerabat mereka dapat dibebaskan.
Ketika mereka diterima beliau, mereka memohon izin untuk melakukan pertandingan tentang kisah kemenangan lewat retorika dan puisi, dengan memakai orator dan penyair dari Madinah. Beliau memberi izin dan pertandingan pun dilaksanakan.
Atas perintah beliau, Hassan bin Ṣabit membacakan puisinya yang sangat memukau dan amat indah. Ketika selesai, orang-orang asing itu menjadi terpana pada keindahan puisinya dan berkata: “Demi Allah, betapa besarnya karunia orang ini! Puisinya, orator-nya, telah mengungguli orang kami dalam kefasihan.”
Lalu Nabi Muhammad s.a.w. membebaskan tawanannya dan melayani tamunya dengan ramah, dan memberi hadiah besar bagi pemimpinnya serta sejumlah persediaan makanan untuk bekal di perjalanan.
Segenap cabang-cabang dari suku itu yang belum melakukan Bai’at, sekarang telah memeluk Islam. Dari sekian banyak ekspedisi militer, salah satunya dikirim ke Bani Ta’i dipimpin oleh Sayidina Ali r.a., yang melakukan tugasnya dengan amat baik dan pulang dengan membawa banyak tawanan. Di antara para tawanan terdapat Hatim yaitu putri almarhum pemimpin Arab Kristen yang terkenal murah hati. Anak laki-lakinya yang bernama Adi telah kabur ke Siria. Dan Hatim yang memberitahukan identitas saudaranya kepada Nabi Muhammad s.a.w. telah dibebaskan dan diberi unta serta sejumlah pakaian untuk mencari saudara laki-lakinya, lalu ia bergabung dengan kafilah Siria yang akan segera berangkat. Melalui bujukannya, Adi menghadap sendiri kepada beliau dan memeluk Islam, lalu dikukuhkan menjadi pemimpin sukunya, selanjutnya ia mengabdikan dirinya untuk memajukan Islam.
Sekarang, Mesjid Nabi Muhammad s.a.w. menyajikan pemandangan banyaknya utusan-utusan dari seluruh wilayah Arabia. Keunggulan beliau telah dikenal dimana-mana, dari jarak yang paling jauh di semenanjung, dari Yaman dan Hadramaut, dari Mahra, Oman dan Bahrain, dari ujung-ujung Siria dan perbatasan Persia, suku-suku dengan terburu-buru menyerahkan diri. Mereka diperlakukan dengan penuh pertimbangan dan keramah-tamahan yang sama. Representasi mereka didengar umum di pelataran mesjid, yang menjadi semacam ruang rapat, dan di sana perkara apa pun yang memerlukan petunjuk beliau dibahas dan dimufakati bersama. Walau pun tampak luarnya sederhana, bentuk dan penggunaannya juga sederhana, namun kekuatan yang muncul di sana, dan peristiwa yang dilaksanakan di pelataran Mesjid Nabi Muhammad s.a.w. tidak kalah pentingnya ketimbang di banyak Istana Kerajaan.
Di musim gugur tahun 631 AD, sebuah isyarat sampai kepada beliau tentang berkumpulnya sebuah pasukan besar di Siria, dan beliau ingin menghadapinya dengan pasukan yang juga besar. Perjalanan jauh ditempuh sambil tafakur, dan sengatan musim panas yang membara telah membuat beliau keluar dari kebiasaannya sendiri, tapi beliau menjelaskan maksudnya sehingga langkah pencapaian tujuannya dapat diperkirakan terlebih dahulu.
Walau pun sebagian suku-suku Badui tidak taat kepada perintah Nabi Muhammad s.a.w. untuk bergabung ke dalam pasukan beliau, dan sebagian orang Madinah mengajukan berbagai macam keberatan,  namun semangat yang luarbiasa telah mampu menyebar ke seluruh lapisan ummat Muslim yang setia dan serius. Penawaran dan sumbangan mengucur dari setiap wilayah, sehingga dari situlah sumber transportasi dan persediaan diambil untuk prajurit yang miskin dan belum mendapat jatah. Jumlah orang-orang yang telah dibentuk menjadi pasukan perang telah diperkirakan dengan berbeda-beda, dan kemungkinan berkisar 30.000 orang, yang dari jumlah itu terdapat 10.000 orang pasukan berkuda.
Setelah menempuh udara panas dan menderita kehausan, tibalah pasukan di Tabuk, dan di sana banyak pohon serta sumur air yang melimpah. Berita tentang adanya invasi tersebut ternyata tidak benar. Ketika itu tidak ada apa pun yang bisa mengancam di daerah perbatasan. Lalu beliau memuaskan diri dengan mengirim sebuah detasemen tangguh ke Duma yang dipimpin Khalid bin Walid r.a., dan mengambil Bai’at dari suku-suku kaum Yahudi dan kaum Kristen di pantai Teluk, terus menuju arah timur dan di sana pasukannya berkemah. Kepada pangeran John, seorang Kristen dari Ayla, Nabi Muhammad s.a.w. mengirim surat dan mengundangnya untuk menyerah.
Sang pangeran tiba dengan membawa banyak hadiah dan diterima dengan kebaikan serta dilayani dengan sangat ramah. Perjanjian berikut telah dibuat bersama:
”Dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Suatu permufakatan kedamaian dari Allah, dan dari Muhammad - Nabi dan Utusan Allah -- diberikan kepada Yuhana, anak Ru’ba, dan untuk rakyat Ayla.
Bagi mereka yang tinggal di rumah, dan bagi mereka yang berjalan di darat dan laut, inilah jaminan Allah dan Muhammad Utusan-Nya, dan bagi semua yang bersama mereka, termasuk Siria atau Yaman atau orang-orang pantai. Adalah melanggar hukum jika laki-laki Ayla dilarang memakai sumur-sumur yang telah biasa mereka lakukan, atau pun pada perjalanan yang mereka inginkan, baik di laut atau pun di darat.
Dituliskan oleh Juheim dan Shurahbil, atas perintah Nabi Allah.”
Sebagai tanda persetujuan, beliau memberi hadiah kepada pangeran Kristen tersebut berupa sebuah Jubah berjalur dengan bahan buatan Yaman, dan mengantarkan pulang dengan penuh kehormatan. Upetinya ditetapkan setiap akhir tahun sebesar sekeping emas bagi setiap keluarga atau 300 keping emas untuk seluruh Ayla.
Pada waktu yang bersamaan, wakil dari perkemahan Yahudi di Maqna, Aḍuh dan Jarba berdatangan sendiri dengan maksud untuk menyerah kepada Nabi Muhammad s.a.w. Setiap suku diberi perintah yang berisi jumlah upeti yang harus dibayar, dan mereka harus menerima pengungsi atau setiap orang Muslim baik pelancong atau pedagang yang perlu bermalam di tempat mereka. Setelah menyelesaikan urusan tersebut dalam waktu 20 hari, beliau berangkat dari Tabuk dan pulang ke Madinah.
Sementara itu, Khalid bin Walid r.a. telah bergerak melewati gurun dari Tabuk ke Duma dengan 420 orang pasukan berkuda, yaitu pasukan komando terpilih. Begitu cepat ia bergerak dan begitu mendadak ia muncul di Duma, sehingga Okeidir pemimpin kaum Kristen yang sedang berburu menjadi terkaget-kaget melihatnya. Okeidir langsung ditangkap dan kota itu aman setelah membayar tebusan sejumlah besar unta-unta, kambing-kambing, baju-baju zirah dan setumpuk senjata. Khalid bin Walid r.a. kembali ke Madinah membawa Okeidir dan saudaranya dan harta rampasan. Pemimpin Kristen yang memakai baju brukat bertatah emas, dipandang dengan amat kagum oleh penduduk Madinah yang sederhana, langsung dihadapkan kepada beliau yang mengundangnya memeluk Islam. Okeidir mematuhinya dan ditetapkan sebagai sekutu yang disukai.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. tiba kembali di Madinah, ditemukan banyak orang yang tidak ikut dan tetap tinggal di kota serta membebaskan diri sendiri tanpa izin dari beliau. Dan di bawah perintah Allah, mereka telah dihukum sesuai dengan derajat kesalahan yang telah mereka perbuat.
Kira-kira dua bulan setelah pasukan Muslim kembali dari Tabuk, Abdullah bin Ubay pemimpin kaum-munafik, mati. Setelah ia tiada, tak satu pun dari golongan kaum-munafik yang memiliki pengaruh atau pun kekuatan. Faksi yang menentang telah mati. Mereka yang sampai saat itu masih bersikap masa-bodoh atau bersikap menentang telah berubah menjadi memeluk Islam dengan sepenuh hati dan jiwanya, kemudian kekuasaan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi lengkap dan akhirnya terkonsolidasi sepenuhnya di Madinah.
Saat itu telah berselang 10 bulan sejak pengepungan kota Taif dilakukan. Penduduknya masih menyembah berhala, dan mempertahankan isolasi yang sangat ketat. Urwah bin Masūd, yang menjadi peserta dalam utusan yang dikirim pihak Quraisy ke kemah pasukan Muslim di Hudaibiyah, tidak hadir ketika kota kelahirannya itu dikepung karena ia pergi ke Yaman untuk mempelajari peralatan perang bagi keperluam pertahanannya. Ketika ia pulang, ia melihat Mekah dan suku-suku yang ada di sekitarnya terkecuali Taif telah menyerah kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan karena ia sendiri sangat terkesan dengan apa yang dilihatnya di Hudaibiyah, Urwah pergi ke Madinah dan memeluk Islam. Dorongan pertamanya yang mulia adalah kembali ke kota Taif dan mengundang kerabatnya untuk sama-sama masuk agama baru.
Nabi Muhammad s.a.w., yang sangat faham betapa fanatik dan bodohnya mereka, telah memperingatkan bahaya yang mungkin dapat dialami oleh Urwah, namun dengan anggapan bahwa ia populer di kota Taif, ia memaksa melaksanakan rancangannya. Setelah tiba di kota Taif di waktu malam hari, ia langsung mengumpulkan orang-orang dan mengumumkan bahwa ia telah memeluk Islam, dan mengajak mereka bergabung. Mereka pulang kembali ke rumah masing-masing dengan alasan untuk melakukan perundingan tentang hal itu.
Sewaktu terbit fajar, ia naik ke atap dan melakukan Ażan, kemudian segerombolan orang mengelilingi rumahnya dan menembakkan anak panah kepadanya. Keluarga dan teman-temannya berdatangan, namun sudah terlambat. Ia menyebut asma Allah dalam sekaratnya dan memohon dapat menjadi syahid yang terhormat, dan kepada orang-orangnya ia minta dikubur di samping ummat Muslim yang gugur di Hunain.
Ketika berita ini sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w, beliau membayangkan almarhum yang telah syahid, dan bersabda: ”Ia sebanding dengan Nabi Yasin a.s., yang mengundang orang-orangnya agar beriman kepada Allah dan mereka membantainya.”
Penganiayaan terhadap Urwah telah menyadarkan penduduk Taif, dan memaksa mereka untuk meneruskan arah penentangan seperti yang telah dilakukan oleh mereka. Namun mereka langsung menderita, karena diserang oleh suku Hawazin yang dipimpin oleh Malik, yang menurut keputusannya tidak akan berhenti memerangi mereka.
”Kita tidak memiliki kekuatan.” Ia berkata kepada orang-orangnya: ”Tapi kita akan terus melawan suku-suku Arab yang mengingkari keimanan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dan kita akan terus berperang di jalan beliau.”
Lalu mereka mengirim utusan ke Madinah yang terdiri dari 6 orang pemimpin ditambah 20 orang pengikut dan tiba di tujuan pada hari ketujuh setelah pasukan Muslim kembali dari Tabuk.
Mugira keponakan Urwah yang syahid, menemui para utusan di luar-kota, lalu buru-buru melapor kepada Nabi Muhammad s.a.w., yang dengan gembiranya menerima mereka dan menyuruh membuat tenda yang cocok bagi mereka di dekat Mesjid. Setiap malam beliau mengunjungi dan mengajar mereka tentang agama. Mereka dengan bebasnya membahas pemahaman mereka dari beliau.
Sesungguhnya mereka sendiri telah siap menghancurkan berhala tertinggi Lata; akan tetapi menurut pertimbangan mereka bahwa orang-orang bodoh di antara mereka khususnya para perempuan yang sangat taat memuja berhala, dan mereka akan berontak jika berhala mereka dihancurkan. Alangkah baiknya jika ditunda untuk tiga tahun, dimana dalam waktu itu mereka dapat diajarkan syari’ah Islam, maka keinginan beliau akan dapat berjalan tanpa kesulitan yang berarti. Namun Nabi Muhammad s.a.w. tidak setuju. Batas-waktu selama dua tahun, satu tahun, dan enam bulan pun telah diminta secara berturut-turut, tapi kesemuanya ditolak.
Masa tenggang satu bulan mungkin bisa diterima, kata mereka, namun Nabi Muhammad s.a.w. tetap berpendirian dengan amat kokoh. Islam dan berhala tidak bisa hidup bersama, sabda beliau. Berhala harus dihancurkan tanpa kelambatan walau satu hari sekali pun. Lalu mereka memohon agar diperbolehkan untuk tidak melakukan Ṣalat farḍu, karena hal itu mungkin dapat menghilangkan kegelisahan orang-orang mereka. 
 “Untuk pelaksanaani penghancuran berhala ada di tangan kalian.” Sabda Nabi Muhammad s.a.w. ”Aku menyetujuinya, namun Ṣalat tidak ada kekecualian. Tanpa Ṣalat, agama Islam tak berarti apa-apa.”
Kemudian mereka menyerah. Mereka mengajukan permohonan bahwa hutan Wajj, kawasan lindung yang terkenal sebagai sumber kebutuhan air di wilayah Taif, harus dinyatakan tidak boleh diganggu, dan beliau menyetujuinya, kemudian setelah mengambil Bai’at mereka, pada akhirnya para utusan tersebut pulang dengan membawa perintah yang juga di dalamnya memuat keinginan mereka.
Abu Sufyan dan Mugira, keduanya sahabat suku itu, diperintah oleh beliau untuk mengawal dan menghancurkan berhala mereka. Mugira, mengambil kapak dan dikelilingi oleh kerabat yang menjaganya, menyerang berhala terbesar, dan di tengah tangisan dan ratapan para perempuan, dengan tangannya sendiri ia menghancurkan berhala. Taif adalah benteng terakhir yang tetap melawan kekuasaan Nabi Muhammad s.a.w. Itu juga satu-satunya tempat dimana berhala masih menarik simpati orang-orang. Dimana-mana berhala-berhala dihancurkan oleh orang-orangnya sendiri tanpa sakit hati.
Bulan haji sudah mendekat dan Nabi Muhammad s.a.w menunjuk Sayidina Abu Bakar r.a. untuk memimpin kafilah jemaah haji dari Madinah, yang dibatasi untuk 300 orang saja. Putra terkecil beliau yang bernama Ibrahim, sekarang sudah berumur 15 – 16 bulan. Ia jatuh sakit di tengah-tengah musim panas, dan akhirnya wafat.
Walau dirawat dengan amat baik, ia wafat di pelukan tangan beliau yang menyatakan kesedihannya dalam kata-kata: ”Dari mataku mengucur air, dan hatiku serasa sesak, namun kami tidak berkata apa pun yang menentang Allah SWT. Wahai Ibrahim, kami amat, amat sedih sekali ditinggal olehmu selamanya. Kita berasal dari Allah dan kita akan kembali kepada-Nya.”
Lalu beliau menghibur istrinya Maryam r.a. dan saudaranya Sairin, dan membujuknya agar berpasrah diri kepada Allah SWT. Upacara, doa jenazah dan penguburan dilakukan langsung oleh beliau, dibantu oleh paman Abbas r.a. dan putranya Fadhl r.a. Beliau terhuyung di kuburan setelah selesai, meminta secangkir air dan menebarnya di atas kuburan itu. Gerhana matahari terjadi di hari yang sama, dan orang-orang berkata bahwa itu adalah tanda bagi wafatnya putra beliau.
Sir William Muir menulis (Life of Mahomet, hal. 430):
“Seorang penipu biadab akan diterima dan memperkuat khayalannya, namun Muhammad menolak gagasan itu. Beliau memberitahu mereka, bahwa matahari dan bulan berada di antara tanda-tanda Allah. Keduanya tidak melakukan gerhana untuk kematian seseorang. Manakala kamu melihat gerhana, maka berdoalah kamu sampai gerhana itu selesai. Kepatuhan Taif dan penghancuran berhala-berhala terkenalnya telah membantu mempercepat kemasyhuran Muhammad sejak dari selatan sampai ke timur semenanjung Arabia. Arus para utusan yang menyerah dari berbagai wilayah sekarang mengalir tak terputus menuju ke Madinah.”
Di antara para utusan itu terdapat seorang Bani Hanifah, pemeluk Kristen di cabang Bani Bakar yang tinggal di Yamamah. Seorang dari kelompok Bani Hanifah itu adalah Musailmah, yang mungkin belajar dari apa yang ia lihat lalu memiliki gagasan bahwa ia juga bisa berhasil jika menda’wa sebagai nabi. Ketika hadiah yang lazim telah dibagi-bagikan di antara mereka, perwakilannya memohonkan bagian untuknya, dengan alasan bahwa ia belum kebagian karena bertugas di belakang.
Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan bahwa ia juga harus diberi bagian sebagaimana lainnya, karena tugasnya tidak membedakannya terhadap yang lainnya. Sebelum berangkat pulang, Bani Hanifah telah memeluk Islam dan melepaskan agama Kristen tanpa rasa menyesal.
Belakangan, suatu perwakilan yang terdiri dari 14 orang pemimpin suku Najran, Arabia tengah, telah tiba di Madinah, dan di antara mereka terdapat pemimpinnya Abdul Masih dari Bani Kinda, dan Abdul Hariṭ yaitu Uskup Bani Hariṭ. Ketika tiba di Madinah, mereka diizinkan oleh beliau masuk ke dalam Mesjid untuk melaksanakan sembahyangnya yang mereka laksanakan dengan menghadap ke arah timur yaitu ke arah Jerussalem. Setelah berunding beberapa lama, sebuah perjanjian dibuat dengan mereka, sbb: ”Janji dari Allah dan Nabi-Nya telah diberikan bahwa tidak ada seorang Uskup pun yang dilepas dari ke-Uskupannya, atau seorang Rahib dari ke-Rahibannya, atau seorang Pendeta dari ke-Pendetaannya; wewenang dan hak-hak mereka tidak akan diganggu atau apa pun yang telah biasa mereka lakukan di antara mereka, sepanjang perilaku mereka berada di dalam kebajikan dan dalam kedamaian. Mereka tidak boleh diganggu, dan juga mereka tidak boleh mengganggu.” Dengan itu mereka pulang kembali ke Najran.
Komentar Sir William Muir pada aspek keagamaan dalam rundingan diantara Nabi Muhammad s.a.w. dengan utusan Kristen dari Najran adalah (Life of Mahomet, hal. 460):
”Tidak ada lainnya kecuali kami melihat betapa seriusnya keimanan Muhammad, dan keyakinan beliau bahwa suatu cahaya rohani telah diturunkan kepada beliau yang membawa ilmu-pengetahuan dan kepastian, sedangkan bagi orang Kristen, yang mereka mengerti hanyalah, spekulasi dan prasangka belaka.”
Setahun kemudian, Khalid bin Walid r.a. diperintah untuk memimpin delegasi menuju sebagian Bani Hariṭ di Najran yang tidak ikut perjanjian, dan menyeru mereka untuk memeluk Islam. Mereka semuanya membalas undangan itu dan mengaku beriman kepada Islam. Ketika laporan diterima, Nabi Muhammad s.a.w. memanggil Khalid bin Walid r.a. untuk kembali bersama perwakilan suku itu, yang kebetulan sedang mengunjungi Madinah dan langsung diterima dengan ramah dan penuh kehormatan.
Keunggulan Islam menjadi dikenal luas di selatan Arabia, dan beliau mengirim sekelompok perwira yang bertugas mengajar orang-orang dan mengumpulkan cukai dari masyarakat umum. Di antara mereka ada Muaz bin Jabal yang pada saat itu sedang melaksanakan tugasnya di Mekah. Beliau memberi nasihat kepada mereka: ”Bersikap lembutlah pada orang-orang dan jangan berbuat kasar, jangan buat mereka takut, tapi gembirakanlah mereka.” Itulah kata-kunci dari perintah-perintah yang selalu beliau berikan kepada para pejabat publik.
Masa naik haji akan tiba kembali. Lima hari sebelum tiba permulaan Bulan Haji, Nabi Muhammad s.a.w. dengan diikuti oleh rombongan raksasa mulai bergerak dalam perjalanan menuju Mekah. Semua istrinya turut mendampingi beliau. Terdapat 100 ekor unta qurban yang ditandai sendiri oleh beliau, dibawa dengan khidmat. Rombongan berhenti di Żul Halifah dan seluruh rombongan mengenakan pakaian haji, atau Ihram. Beliau menunggang Qaswa sambil membaca Talbih: “Ini hamba ya Allah, ini hamba; Ini hamba, Engkau tidak ada sekutu, ini hamba; Segala puji hanya bagi-Mu ya Allah, dan Engkau adalah Rajaku. Engkau tidak ada sekutu.”
Ketika tunggangannya berdiri dan mulai melangkah beliau mengulangi Talbih, dan juga ketika mulai menginjak tanjakan pertama, dan selanjutnya pada setiap pergantian posisi dan gerakan, serta semua anggota rombongan mengikuti contohnya. Itu dimulai sejak zaman itu dan terus berlangsung sampai di akhir masa.
Sebagaimana ditunjukkan pada kata-kata pembukaan di Hari Arafat, Nabi Muhammad s.a.w. sangat faham bahwa saat itu adalah saat naik haji beliau yang terakhir, dan pemahaman ini ditambah dengan semangat beliau yang tidak ingin ada bagian tugasnya yang belum terselesaikan. Sedangkan pemahaman ummat Muslim pada saat itu hanya terbatas bahwa beliau sangat menghormati peristiwa naik hajinya yang terbesar, karena peristiwa itu telah mengingatkan beliau terhadap apa yang telah dilakukannya selama ini, dan katakanlah bahwa peristiwa naik haji kali ini sangat disukai oleh beliau dan sangat berharga.
Di hari ke-10 perjalanan, beliau telah mencapai Saif, suatu tahap lagi akan sampai di Mekah; dan di sana beliau beristirahat satu malam dan pada pagi harinya setelah membersihkan diri beliau menunggang Qaswa dan bergerak menuju ke Mekah. Beliau memasuki daerah pinggiran kota yang tinggi di jalur yang sama yang telah digunakannya pada dua tahun yang lalu, lalu menyusuri jalan utama dan menuju Ka’bah.
Begitu beliau melewati Gerbang Bani Ṣaiba dengan pemandangan sepenuhnya ke Baitullah, beliau menengadahkan kedua tangannya ke langit, dan beliau memohon berkat dari-Nya: ”Ya Allah, tambahkanlah ke dalam Rumah ini kewibawaan dan kemasyhuran, kehormatan dan penghormatan, yang telah Engkau karuniakan. Mereka yang sering naik haji dan Umrah ke Rumah ini, tingkatkanlah kewibawaan dan kehormatan mereka, dalam kesabaran, kebaikan dan kemashuran.”
Lalu seperti biasanya beliau menunggang unta melakukan ṭawaf setelah ritual pendahuluan, dan setelahnya beristirahat di tenda yang dibuat bagi beliau di lembah.  Di hari ketujuh bulan itu, setelah Ṣalat Zuhur, beliau berkotbah kepada orang-orang di tempat terbuka sekitar Ka’bah.
Esok harinya dengan diikuti pengikut yang tidak terhitung jumlahnya, beliau pergi ke Mina untuk berdoa dan tidur di tenda. Di pagi hari kedua, ketika terbit fajar beliau pergi ke Arafat dan tiba di sana sore hari. Di dataran Arafat dimana 100.000 jemaah haji yang bersemangat telah berkumpul, mereka menggumamkan Takbir, Talbih, Tasbih dan Tahmid, dan memohonkan berkat bagi beliau.
Nabi Muhammad s.a.w. menuju ke Jabal Rahmat (Gunung Rahmat) melalui kerumunan orang-orang. beliau adalah seorang manusia Pilihan Allah, yang ditolak pihak Quraisy, difitnah dan dianiaya dengan kejam, dikurung bersama keluarga dan beberapa Sahabat-nya selama 30 bulan di Lembah Ṣi’b milik Abu Talib dan tidak diberi akses untuk memperoleh makanan dan perhubungan, dikejar-kejar di kota Taif, terusir dari Mekah dengan hadiah 100 ekor unta bagi yang bisa menangkapnya hidup atau pun mati.
Beliau diburu oleh pihak Quraisy yang membencinya bahkan sampai ke Madinah, diperangi, dikepung, namun tetap bersatu dalam iman, loyalitas, keteguhan hati, kerendahan hati, dan hamba yang taat kepada Allah;  Utusan Allah yang tiada bandingannya, yang dalam cobaan dan kemenangan tetap bersikap seadanya:
..... ḥasbiyallāhu lā ilāha illā hū wa, ‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul-‘arsyil-‘aẓīm. ”Cukuplah bagiku Allah, tiada tuhan selain Dia. Kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan ’Arasy yang besar.” (at-Taubah: 129)
Sekarang Nabi Muhammad s.a.w. dikelilingi oleh lautan iman, segenap hati mengabdi, semua memuliakan Allah, memanjatkan puji bagi-Nya, mengkokohkan Yang Maha Maha Esa, memohon kepada-Nya ampunan, berkat, belas kasih, dan memohonkan berkat bagi beliau.
Tiba di Gunung, beliau berdiri di punggung Qaswa dan bersabda:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Hamba dan Utusan-Nya.
Wahai rakyatku, aku pikir bahwa kita tidak akan bisa berkumpul di sini lagi. Hartamu, kehormatanmu, dan hidupmu telah dibersihkan dan menjadi suci sebagaimana sucinya hari ini, bulan ini dan di kota ini.
Kamu akan segera menghadap Allah, dan Dia akan memanggilmu untuk menghisab atas segala sesuatu yang kamu perbuat. Perhatikanlah agar kamu tidak hilang menjadi debu, setelah aku pergi, dan kalian mulai membantai satu sama lainnya.
Camkan, aku menginjak-injak segenap adat-kebiasaan yang tidak Islami. Semua permusuhan berdarah telah disapu bersih. Dengan ini aku menyatakan mengampuni segala hutang-darah yang dibuat kepada setiap anggota keluargaku.
Riba (bunga uang) telah dinyatakan tidak sah dan dilarang. Dengan ini aku menyatakan mengampuni segala bunga dari setiap anggota keluargaku, contohnya, seluruh bunga untuk pamanku Abbas bin Abdul Muttalib, diampuni seluruhnya.
Hati-hati pada perintah Allah yang berkaitan dengan istri-istrimu. Kamu telah menikahi mereka dengan jaminan atas nama Allah SWT, dan mereka adalah pakaianmu sesuai dengan firman Allah. Jadi hati-hatilah dengan perjanjianmu. Mereka harus taat padamu, dan salah mereka, kamu perbaiki dengan lembut. Rawatlah mereka dengan baik.
Bagi mereka yang berada di dalam wewenangmu, berilah mereka makanan seperti yang kamu makan, dan berilah mereka pakaian seperti yang kamu pakai. Jika mereka bersalah, dan kamu tidak ingin memaafkan, maka jual-lah mereka, karena mereka adalah hamba-hamba Allah, yang tidak boleh disiksa.
Allah menjadikan kamu saudara antara satu dengan lainnya, jadi jangan kamu berpisah. Orang Arab tidak menyukai orang non-Arab, juga orang non-Arab pada orang Arab; atau si putih menyukai si hitam, atau si hitam pada si putih.
Aku meninggalkan sesuatu bagimu yang melindungimu dari semua kesalahan, jika kamu berpegang padanya. Itulah Kitab Allah. Tidak ada lagi nabi baru setelah aku atau pun syariah yang baru.
 Sembahlah Allahmu, dirikanlah ṣalat, puasalah di bulan Ramaḍan, bayarlah Zakat dengan gembira, naik Hajilah kamu ke Rumah Allah, dan taati mereka yang menjadi pemimpinmu; Allah akan menganugerahkan kamu ke Surga-Nya. Kamu akan ditanya tentang aku, juga pada Hari Pembalasan. Katakan padaku, apa jawabmu?”
Terdengarlah jawaban yang menyenangkan: ”Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan perintah Allah kepada kami.”
Nabi Muhammad s.a.w. mengacungkan jarinya ke langit, lalu menunjuk orang-orang, dan memohon dengan sedikit mendesak: “Dengarkanlah, wahai Allah.”
Orang-orang membalasnya: ”Engkau telah melakukan kewajibanmu sepenuhnya sebagai Nabi dan Utusan.”
Dengan cara yang sama, Nabi Muhammad s.a.w. memohon kembali: “Terimalah kesaksianku, Ya Allah.”
Balasan yang kedua-kalinya datang lagi: ”Engkau telah mengajar kami mana yang benar dan mana yang salah.”
Sekali lagi permohonan disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w.: ”Dengarlah, Ya Allah.”
Lalu beliau memberi perintah agar intisari khotbah tersebut dapat disampaikan kepada mereka yang tidak hadir, karena mungkin, ia yang mendengar untuk kedua kalinya akan lebih hafal ketimbang yang langsung hadir. Begitu beliau selesai bersabda, turunlah wahyu sbb:
..... al-yauma akmaltu lakum dīnakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa raḍītu lakumul-Islāma-dīnā. ”Hari ini telah Ku-sempurnakan agamamu bagimu, dan telah Ku-lengkapkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Ku-sukai bagimu Islam sebagai agama.” (al-Mā’idah: 4)
Nabi Muhammad s.a.w turun dari punggung Qaswa, dan memerintahkan Bilal r.a. untuk Ażan.  Segenap kumpulan orang-orang itu menjadi hening dan Ażan pun berkumandang: ”Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, Mari kita mendirikan ṣalat, mari kita mendirikan ṣalat, Mari kita menuju Kemenangan, Mari kita menuju Kemenangan. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada tuhan melainkan Allah.”
Nabi Muhammad s.a.w. memimpin Ṣalat Zuhur dan Ṣalat Asyar yang di jama. Setelah itu beliau menunggang Qaswa dan kembali ke wilayah Gunung Rahmat, di antara bongkahan batukarang sambil berdiri di punggung Qaswa dan dengan wajah mengarah ke Ka’bah, beliau mengangkat kedua tangannya - tenggelam dalam  doa dan permohonan - dalam perilaku seorang yang merana akibat menderita kesengsaraan dan kesulitan, dengan merendahkan diri memohon belas kasih dari-Nya. Beliau terus berdoa lama sekali dengan bersemangat, dan memohon kepada Allah.
Setelah matahari tenggelam, beliau menuju Muzdalifah yang berjarak tiga atau empat mil saja, dan setelah men-jama Ṣalat Magrib dan Ṣalat Isa, beliau bermalam di sana dan terus berdoa di bawah naungan langit sebagaimana sesama jemaah haji lainnya. Begitu matahari terbit, beliau kembali ke Mina dan mengurbankan unta-unta yang telah dibawa khusus untuk tujuan itu. Setelah tiga hari tinggal di Mina, beliau menuju Mekah dan begitu tiba di sana beliau langsung ṭawaf di Ka’bah dan meminum air Zam-Zam.
Tiga hari dihabiskan oleh beliau di Mekah, dan kemudian beliau kembali menuju Madinah bersama seluruh pengikutnya. Tahun terakhir keberadaan Nabi Muhammad s.a.w. di Madinah telah dijalani dengan penuh kedamaian. Bagian terbesar di semenanjung tersebut, telah mengakui kekuasaan beliau.
Kini hari-hari beliau lebih banyak digunakan untuk menerima para utusan, perintah-perintah telah diberikan ke berbagai delegasi dan disebar ke seluruh wilayah dan daerah konsolidasi  negara Islam. Baḍan, sang gubernur Persia yang telah terlebih dahulu menyerah kepada beliau telah wafat kira-kira pada saat itu.
Putranya Ṣehr telah meneruskan ayahnya, memerintah di San’a dan distrik-distrik di sekitarnya. Tapi provinsi-provinsi lainnya yang pada saat itu bergabung di bawah wewenangnya seperti Ma’rib, Najran dan Hamdan, telah dibagi menjadi beberapa gubernur.
Penyebab baru yang berbahaya dan muncul secara tiba-tiba adalah adanya tiga orang yang menda’wa telah memperoleh status Kenabian di wilayah yang berbeda-beda di sekitar semenanjung Arabia. Tapi, kepura-puraan mereka tidak dapat berkembang sampai mendekati akhir hayat Nabi Muhammad s.a.w., dan berita yang diterima oleh beliau tidak begitu membahayakan dan tidak menimbulkan kekhawatiran serius.
Yang paling kurang penting dari ketiga penipu itu adalah Tulaiha, pemimpin Bani Asad, prajurit terkenal dan berpengaruh di Nejed. Ketika berita itu sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w., lalu beliau melalui bantuan orang-orang yang beriman di antara sukunya, berupaya untuk mengakhiri penipuannya. Namun setelah beliau wafat, ia melakukan pemberontakan terbuka dan dikalahkan dalam pertempuran sengit oleh Khalid bin Walid r.a. ketika ia menyerang Siria. Lalu ia menyerah kepada Sayidina Umar r.a. dan pulang ke sukunya, lalu berperang dengan beraninya di sisi Islam.
Telah diterangkan bahwa Musailmah telah turut serta dalam perwakilan Bani Hanifah yang berkunjung ke Madinah. Ia orang yang bertubuh pendek dan kecil, penampilannya tidak meyakinkan, namun tangkas dan sangat pandai berbicara. Ia menda’wa bahwa ia juga menerima wahyu Ketuhanan dan berpura-pura dapat membuat keajaiban.
Nabi Muhammad s.a.w. yang mendengar desas-desus kepura-puraannya yang kurang-ajar, telah mengundangnya untuk memeluk Islam. Musailmah membalas dengan mengatakan bahwa dia juga Nabi seperti beliau.
”Oleh karenanya, aku menginginkan,” demikian ia berkata: “agar anda membagi tanah denganku; perkara orang Quraisy, mereka hanya orang-orang yang tidak pantas mendapatkan keadilan.”
Sabda Nabi Muhammad s.a.w. adalah: “Tanah itu adalah milik Allah, dan Dia memberikan tanah itu kepada hamba-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki. Keselamatan bersamanya bagi yang mengikuti jalan yang lurus.”
Musailmah melakukan konsolidasi untuk mendukung dirinya, dan di zaman Sayidina Abu Bakar r.a. ia mengancam negara Islam. Ia bertempur di Yamamah dan dibunuh oleh Washi yang dulunya membunuh Hamzah r.a. paman Nabi Muhammad r.a. di perang Uhud, tapi sekarang Washi telah memeluk Islam.
Penda’wa palsu yang ketiga adalah Aswad Ansi dari Yaman, yang mengingkari Islam ketika Nabi Muhammad s.a.w. masih hidup. Ia pangeran yang kaya-raya dan berpengaruh di daerah selatan, ia memakai pakaian tukang sulap, dan mengumumkan bahwa ia telah berkomunikasi dengan yang gaib.
Awalnya ia menda’wakan dirinya secara rahasia, dan berhasil mendekati para kepala-suku di sekitarnya yang tidak puas atas pembagian kekuasaan setelah gubernur Baḍan wafat. Kira-kira mendekati akhir tahun ke-10 Hijrah, ia mulai melakukan pemberontakan secara terbuka dan melawan para perwira bawahan Nabi Muhammad s.a.w. 
Di perjalanan menuju Najran yang menjadi tujuannya, tiba-tiba ia memilih San’a, ia membunuh Ṣehr anak gubernur Baḍan, ia mengalahkan pasukannya, menikahi jandanya dan mengangkat dirinya menjadi pemimpin. Pemberontakan yang disulut kemenangan tiba-tiba telah menyebar dengan cepatnya, dan bagian terbesar negeri-negeri yang terletak di antara Bahrain, Taif dan pantai jatuh ketangannya.
Isyarat tentang pemberontakan tersebut sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w., lalu beliau mengirim surat kepada bawahannya di tempat itu untuk menghubungi pemberontak tentang maksud mereka yang sebenarnya. Aswad, yang bangga sebagai penakluk, telah meremehkan para komandan yang telah berjuang dengan berani untuknya. Para perwira beliau mengadakan negosiasi rahasia dengan mereka atas bantuan istri sang tiran, yang membencinya dan ingin balas dendam kematian mendiang suaminya dengan membunuh si perampas, hal itu terjadi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. wafat.  
Kembali dari Perpisahan Haji, Nabi Muhammad s.a.w. yang menerima isyarat adanya penahanan di antara suku-suku perbatasan Siria, memberi perintah untuk segara menyiapkan pasukan ke garis depan Siria. Keesokan harinya, diumumkan bahwa Usama r.a. -- putra Zaid r.a. yang merupakan sahabat beliau namun gugur di Mutah -- berlawanan dengan umurnya yang masih amat muda (belum 20 tahun) telah diangkat menjadi komandan pasukan.
Timbul banyak kritik pada penunjukkan itu, namun beliau meredakannya dengan bersabda: ‘Sebagian kamu mengkritik penunjukkan Zaid di berbagai kepemimpinannya. Namun dia telah menunjukan kemampuannya dan aku sayang kepadanya. Aku juga sayang kepada anaknya, dan yakin ia akan dapat membuktikannya.’
Hari berikutnya Nabi Muhammad s.a.w. diserang sakit kepala dan demam yang amat keras, namun beliau mengabaikannya. Pada lusanya beliau merasa bahwa badannya cukup sehat untuk membawa panji pasukan, yang lalu diserahkan oleh beliau kepada Usama r.a., dengan bersabda: “Berperanglah kamu membawa panji ini atas nama Allah, dan di jalan-Nya.”
Kemah didirikan di Jurf dan segenap anggota pasukan termasuk Sayidina Abu Bakar r.a. dan Sayidina Umar r.a. bergabung di sana. Kira-kira pada waktu inilah Nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu:
Iżā jā’a naṣrullāhi wal-fatḥ, wa ra’aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā, fa sabbiḥ bi ḥamdi rabbika wastagfirh, innahū kāna tawwābā. “Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia akan masuk agama Allah berbondong-bondong, maka bertasbihlah engkau, dan mohonlah ampunan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat.” (an-Naṣr: 2-4)
Beliau menterjemahkannya dengan arti bahwa tugas yang dibebankan kepadanya oleh Allah SWT telah sempurna dan itulah tanda akhir yang sedang mendekat, dimana isyaratnya telah diturunkan dalam wahyu ketika beliau selesai berkotbah di Gunung Rahmat di hari-hari naik haji.
Ketika wahyu itu diumumkan, maka beliau bersabda: “Hamba Allah telah dianugerahi karunia untuk memilih tinggal sedikit lebih lama di bumi, atau segera kembali kepada-Nya, tapi ia memilih yang terakhir.”
Ketika mendengar ucapan itu, Sayidina Abu Bakar r.a. sahabat terdekatnya, telah dicekam oleh rasa haru dan berkata: “Rela-lah kami menebus engkau dengan pengorbanan ayah-ayah kami, ibu-ibu kami dan kami sendiri.”
Nabi Muhammad s.a.w. langsung membalasnya: “Jika saja diizinkan untuk mengambil ummat manusia sebagai sahabat yang setia, maka aku akan pilih Abu Bakar, namun kecintaan yang seperti itu hanya bagi Allah semata.”
Sayidina Umar r.a. meriwayatkan bahwa manakala Sayidina Abu Bakar r.a. tercekam rasa haru yang amat dalam ketika mendengar wahyu terakhir beliau, dan menyatakan pengabdiannya dalam kata-kata yang dikutip di atas, ia berpikir bahwa hati Sayidina Abu Bakar r.a. telah tersentuh tanpa sebab, karena beliau hanya menerangkan kasus seorang hamba Allah yang berbakti, yang diberi karunia antara hidup sedikit lebih lama di bumi atau segera kembali ke pangkuan-Nya, dan ia menyukai yang terakhir.
”Tapi Abu Bakar,” beliau berkata: ”telah dikaruniai kecerdasan rohani yang lebih luas ketimbang aku, karena ia tahu bahwa Nabi Muhammad s.a.w.  menerangkan kasusnya sendiri dan bukan seorang hamba Allah yang berbakti lainnya.”
Selama satu atau dua hari Nabi Muhammad s.a.w. terus menjadi Imam Ṣalat dan mengunjungi ruangan istri-istrinya secara bergiliran. Pada suatu malam beliau bangun perlahan-lahan, dan dengan diikuti seorang pelayan, berjalan ke pekuburan di luar kota. Di sana beliau beristirahat lama sekali, dan tafakur.
Akhirnya setelah benar-benar sadar, beliau berdoa dengan keras bagi mereka yang dikubur di situ, dengan permohonan: “Sungguh, aku dan kalian telah menerima secara penuh apa-apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada kita. Diberkatilah kalian, karena undian kamu lebih baik dari yang terbelakang. Godaan dan cobaan datang seperti bagian dari suatu malam yang gelap lalu diikuti oleh lainnya, dan selalu lebih gelap dari yang terdahulu. Ya Allah, kasihanilah mereka yang dikubur di sini.”
Selesai bersabda, beliau berbalik dan kembali pulang ke rumah. Sakitnya kambuh lagi dan lebih keras dari yang terdahulu, namun hal itu tidak cukup kuat untuk mengurung beliau di rumah. Beliau masih bisa pergi ke Mesjid dan menjadi Imam Ṣalat, sampai tugas itu menjadi pekerjaan yang amat sulit bagi beliau. Lalu beliau memerintahkan Sayidina Abu Bakar r.a. untuk menjadi Imam pengganti, namun Sayidah Aisyah r.a. beralasan: ”Ya Utusan Allah, Abu Bakar adalah benar-benar memiliki hati yang lembut, dan beliau mudah menangis. Beliau tidak mungkin mampu menggantikan engkau untuk menjadi Imam Ṣalat.”
“Perintahkan ia menjadi Imam Ṣalat.” Sabda Nabi Muhammad s.a.w. mengulangi, tapi Sayidah Aisyah r.a. masih memohon, dan beliau pun bersabda: “Sungguh, kamu serupa perempuan bodoh dalam kisah Yusuf; beritahu ia untuk melaksanakan apa yang aku inginkan.”
Demikianlah, bahwa perintah beliau telah diberikan, dan Sayidina Abu Bakar r.a. menjadi Imam ṣalat selama beliau menderita sakit. Hanya sedikit keraguan bahwa dengan ditunjuknya Sayidina Abu Bakar r.a. dalam tugas itu, menandakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah mendelegasikan wewenang beliau kepadanya. Hal itu dikuatkan dengan perintah beliau bahwa semua pintu yang menuju pelataran Mesjid telah ditutup, kecuali pintu dari ruangan Sayidina Abu Bakar r.a.
Dengan persetujuan istri-istri lainnya, beliau memutuskan untuk beristirahat di ruangan Sayidah Aisyah r.a. selama menderita sakit. Beliau terlalu lemah untuk menghadiri kegiatan publik, namun ekspedisi militer ke Siria tetap memenuhi pikiran beliau dan tetap bersabda kepada mereka yang menemuinya: “Segera berangkatkan pasukan Usama.”
Setiap harinya beliau juga bertanya tentang para utusan yang tiba di Madinah, dan memerintahkan agar memperlakukan mereka dengan keramahan yang sama dan memberi hadiah yang serupa dengan hadiah yang pernah beliau berikan. Sakitnya berlangsung sampai  tujuh hari, ketika pada hari Jum’at malam, mulai terlihat perkembangan yang serius. Demamnya bertambah parah sampai-sampai tangan beliau menggeletar dan tidak bisa ditahan karena serangan panas tinggi.
Melihat penderitaannya, salah satu istrinya berkata: “Engkau pasti sedang menerima anugerah besar.”
“Ya,”  beliau menjawab: “Aku bersumpah atas nama Dia Yang di dalam tangan-Nya terletak nyawaku, bahwa di bumi ini tidak ada orang beriman yang menderita bencana atau wabah kecuali Allah mengampuni dosanya, seperti daun-daun yang berguguran dari pohonnya di musim gugur.”
Di saat lainnya beliau bersabda: “Penderitaan adalah penebusan dosa. Jika seorang beriman menderita walau hanya tertusuk duri, Allah memberinya pahala, dan menghapusnya dari dosa.”
Dan ada lagi: ”Orang beriman akan dicoba sesuai dengan kadar keimanannya. Jika keimanannya kuat, maka begitulah penderitaannya, jika ia lemah, maka penderitaannya sebanding juga.”
Sayidina Umar r.a. mendekati tempat tidur, lalu meletakkan tangannya di dahi beliau, dan tiba-tiba tangannya ditarik karena panas. ”Ya Rasulullah.” Katanya: ”Betapa parahnya demam engkau.”
”Ya, sungguh parah.” Sabda Nabi Muhammad s.a.w.: ”Namun di waktu malam aku mengulang-ulang 70 buah Surah untuk memuja Allah, di antaranya ada 7 buah Surah yang panjang.”
Sayidina Umar r.a. menjawab: ”Mengapa engkau tidak beristirahat dan bersantai sejenak, bukankah Allah akan mengalahkan semua kelemahanmu?”
“Tidak.” jawab Nabi Muhammad s.a.w.: “Bukankah aku harus menjadi seorang hamba yang beriman kepada-Nya?”
Nabi Muhammad s.a.w. berbaring dan berselimut, lalu seorang pengunjung meletakkan tangannya di bawah kain dan terasa panas sekali, sehingga ia berkata seperti Sayidina Umar r.a..
Padanya Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Persis seperti penyakit yang menang terhadapku, biarkanlah karunia bagiku di alam sana juga begitu.”
”Siapakah mereka?” tanya orang yang lainnya.
”Mereka yang diuji paling berat. Nabi dan orang-orang yang muttaqi.” Jawab Nabi Muhammad s.a.w.: ”Namun setiap dari mereka, sangat gembira dengan penderitaannya.”
Di sepanjang hari Minggu, Nabi Muhammad s.a.w. terbaring tak berdaya, dan suka mengigau. Usama r.a., yang menunda keberangkatan pasukannya karena menunggu perintah, datang dari Jurf dan mengunjungi beliau.  Dengan mengangkat selimut ia membungkuk dan mencium wajah tercinta. Nabi Muhammad s.a.w. mengangkat tangannya seperti ingin memberkati, lalu menaruh tangannya di kepala sang komandan muda, dan setelah itu Usama r.a. kembali ke kemahnya.
Suatu hari, Sayidah Umi Salamah r.a. dan Sayidah Umi Habibah r.a., yang keduanya pernah diasingkan di Abesinia, membicarakan betapa cantiknya Katedral Maryam di sana, dengan gambar-gambar yang indah pada dindingnya.
Mendengar itu Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Itu orang-orang yang ketika orang sucinya wafat, membuat kuburannya jadi tempat pemujaan, dan memperindahnya dengan gambar-gambar mereka. Biarkanlah kemarahan Allah menimpa mereka yang mengubah kuburan para Nabinya menjadi obyek pemujaan. Ya Allah, jangan sampai kuburanku menjadi obyek pemujaan.”
Pada hari itu beliau mengingatkan bahwa di rumahnya terdapat sejumlah emas, dan memerintahkan agar emas itu dibagi-bagikan kepada keluarga miskin, dan bersabda: ”Sekarang aku berada dalam damai. Jika emas itu masih berada di tanganku, maka bukan aku yang menghadap Allah.”
Hari Minggu malam, sakitnya bertambah parah, namun paginya agak sedikit mereda. Demam dan penderitaannya menurun, dan kekuatannya terlihat agak pulih. Parahnya demam yang berbahaya di malam sebelumnya telah banyak diketahui, ketika Ṣalat Subuh tiba Mesjid dipenuhi orang-orang yang cemas akan keadaan beliau.
Sayidina Abu Bakar r.a. memimpin Ṣalat; dan selaku Imam ia berdiri di tempat Nabi Muhammad s.a.w. yaitu di depan jamaah, dan punggungnya membelakangi mereka. Beliau telah menyelesaikan raka’at pertama dan jamaah baru berdiri untuk melaksanakan yang kedua, lalu ketika itu gorden pintu ruangan Sayidah Aisyah r.a. perlahan-lahan terbuka dan beliau sendiri terlihat di sana. Begitu mendekati jamaah, beliau berbisik di kuping Fadhl r.a. putra Abbas r.a., yang bersama seorang pelayan menggandeng beliau: “Allah telah memberi karunia kepadaku dengan kegembiraan yang besar.”
Beliau melihat bahwa orang-orang menyungging senyuman ketika mereka melihat sekilas kedatangannya. Setelah berhenti sejenak, beliau perlahan maju ke tempat Sayidina Abu Bakar r.a. berdiri. Orang-orang membuka jalan ketika beliau bergerak.
Sayidina Abu Bakar r.a. mendengar suara agak berisik dan memperkirakan penyebabnya, lalu beliau mundur selangkah ke belakang. Namun Nabi Muhammad s.a.w. mengisyaratkan agar meneruskannya, dan beliau maju menuju mimbar. Di sana di lantainya, beliau duduk di sisi Sayidina Abu Bakar r.a., yang menyelesaikan ṣalat-nya dengan baik.
Sayidina Abu Bakar r.a. berbicara dengan Nabi Muhammad s.a.w. dan menyatakan gembira bertemu beliau, yang kesehatannya telah pulih. Lalu memohon izin untuk mengunjungi rumah istrinya di Sunh, daerah pinggiran kota bagian atas karena istrinya telah pindah ke sana. Setelah diizinkan, lalu beliau pun segera berangkat.
Beliau terus duduk-duduk di pelataran Mesjid dekat pintu ruangan Sayidah Aisyah r.a. dan berbicara kepada orang-orang yang sangat gembira melihat beliau telah kembali di tengah-tengah mereka. Beliau bersabda dengan penuh perasaan, dengan suara yang masih lantang sehingga terdengar sampai ke luar pintu Mesjid. Beliau bertanya, apakah ada seseorang yang akan melakukan da’waan kepadanya. Lalu satu atau dua orang yang melakukan da’waan remeh telah dijawab.
Nabi Muhammad s.a.w. melanjutkan: “Aku tidaklah membuat sah pada apa pun terkecuali Allah yang membuatnya menjadi sah; atau aku tidak melarang sesuatu yang telah dilarang Allah melalui Kitab-Nya.”
Usama r.a. berdiri untuk menyampaikan salam perpisahan, dan beliau bersabda: “Majulah bersama pasukanmu, dan Allah akan memberkatimu.”
Lalu beliau berpaling pada para perempuan yang duduk di dekatnya, dan menasihati: “Wahai anakku Fatimah, dan engkau Ṣafiyah bibiku, beramal-lah kalian untuk mendapatkan pahala dari Allah; sesungguhnya aku tidak mampu menyelamatkan kalian dari-Nya.”
Lalu beliau bangkit dan dibantu untuk kembali ke ruangan Sayidah Aisyah r.a.. Merasa kecapaian, lalu beliau berbaring di kasur jerami yang ada di lantai, dan Sayidah Aisyah r.a. yang melihat betapa lemahnya kondisi beliau, segera mengangkat kepalanya dari bantal dan ikut duduk di lantai bersamanya, serta meletakkan kepala beliau di pangkuannya. Kekuatan beliau menyusut dengan cepat sekali, dan beliau mengulang-ulang ucapan dalam bisikan: ”Berkatilah persahabatan dengan-Mu; ‘Berkatilah persahabatan dengan-Mu.”
Beliau meregang nyawa dengan lembutnya, lalu semuanya terdiam. Nabi Muhammad s.a.w. telah wafat. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.
Berita tentang wafatnya beliau, menyebar cepat sekali di seluruh Madinah, dan juga terdengar oleh Sayidina Abu Bakar r.a. di Sunh. Dengan segera beliau menunggang kudanya dan kembali ke Mesjid. Sementara itu suatu pemandangan yang ganjil telah tejadi di sana.
Segera setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat, Sayidina Umar r.a. memasuki ruangan Sayidah Aisyah r.a. dan mengangkat kain yang menyelimuti tubuh beliau, dan memandang dengan prihatin pada jasad junjungannya yang tercinta. Beliau begitu tenang, begitu alami dan tidak seperti orang wafat.
Sayidina Umar r.a. tidak percaya kebenaran yang wafat, beliau mulai berteriak liar: “Nabi tidak wafat; beliau cuma jatuh pingsan saja.” Mugira r.a. berdiri dan meyakinkan Sayidina Umar r.a. bahwa ia salah, namun sia-sia saja. Lalu Mugira r.a. pun keluar dari ruang jenazah, dan ketika orang-orang memasuki halaman Mesjid, tiba-tiba Sayidina Umar r.a. berteriak-teriak: “Nabi Allah tidak wafat, Nabi Allah tidak wafat.”
Kerumunan orang-orang yang tertarik oleh suara Sayidina Umar r.a. yang keras menjadi mengelilinginya, tapi beliau terus berkhotbah muluk-muluk dengan nada suara yang serupa: “Orang-orang munafik mengatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah wafat. Tidak, beliau sedang menghadap Allah, ingatlah akan Nabi Musa a.s. yang menghilang 40 hari lamanya lalu beliau datang lagi setelah para pengikutnya mengatakan wafat. Jadi, demi Allah, Nabi akan kembali, dan mengejutkan mereka yang mengatakan bahwa beliau telah wafat.”
Sayidina Umar r.a. melihat penonton gembira. Masih sangat terasa bahwa Nabi Muhammad s.a.w. berada di tengah-tengah mereka, datang ketika mereka ṣalat di tempat itu, dan membesarkan hati mereka dengan harapan bahwa beliau akan cepat sembuh. Gema suaranya tidak pernah hilang dari pelataran Mesjid itu. Pemandangan hari itu menimbulkan akibat pada orang-orang yang terbawa semangat Sayidina Umar r.a., mereka ikut membohongi dirinya sendiri bahwa mungkin ucapan itu benar.
Lalu datanglah Sayidina Abu Bakar r.a. Begitu tiba di Mesjid, beliau mendengar sekilas ucapan Sayidina Umar r.a. yang menggila, dan tanpa berhenti beliau berjalan menuju pintu ruangan Sayidah Aisyah r.a.. Dengan perlahan-lahan beliau membuka tirai ke arah sisi dan meminta izin untuk masuk.
”Datanglah.” Sebuah jawaban terdengar dari dalam: ”Pada hari ini permohonan izin masuk, tidak dibutuhkan lagi.”
Lalu beliau masuk ke ruangan itu dan menyingkap kain bergaris yang menutupi tempat tidur, beliau membungkuk dan mencium wajah sahabatnya yang telah pergi, seraya berkata: ”Bahagialah engkau sewaktu hidup, dan bahagialah engkau semasa wafat.”
Untuk sesaat beliau memangku kepala beliau di pelukannya, diangkatnya sedikit, dipandang dalam-dalam, dan berkata: ”Ya, engkau telah wafat! Wahai sahabatku, yang telah kupilih! Lebih dekat dari ayah atau ibu untukku! Engkau mengalami betapa pahitnya kematian; engkau begitu sayang kepada Allah, sehingga Dia harus memberi engkau secangkir kepahitan lagi dan diminum untuk yang kedua kalinya!”
Dengan lembut Sayidina Abu Bakar r.a. menaruh kembali kepala beliau di bantalnya, lalu ditutup dengan kain, dan pergi keluar. Setelah berada di luar ruangan, Sayidina Abu Bakar r.a. pergi ke tempat Sayidina Umar r.a. yang sedang berkhotbah muluk-muluk kepada orang-orang.
Sayidina Abu Bakar berteriak: ”Umar, duduklah, dan tutup mulutmu.”
Namun Sayidina Umar r.a. tidak mempedulikan, dan terus mengoceh. Lalu Sayidina Abu Bakar r.a., meninggalkannya, dan berkata pada kumpulan orang-orang. Mereka pun mendengarkannya dan menyuruh Sayidina Umar r.a. diam serta mendengarkan pidato Sayidina Abu Bakar r.a. Lalu beliau pun mulai menilawahkan Alquran:
Innaka mayyituw, wa innahum mayyitūn. ”Sesungguhnya kamu akan mati, dan sesungguhnya mereka pun akan mati.” (az-Zumar: 31)
Wa mā Muhammadun illā rasūl, qad khalat min qablihir-rusul, a fa’im māta au qutilan qalabtum ‘alā a’qābikum. ”Dan Muhammad tidak lain melainkan seorang rasul. Sesungguhnya telah berlalu rasul-rasul sebelumnya. Jadi jika ia wafat atau terbunuh, akan berpalingkah kamu atas tumitmu?” (āli-’Imrān: 145)
Sayidina Abu Bakar r.a. melanjutkan: ”Bagi siapa pun yang menyembah Nabi Muhammad s.a.w., biarlah mereka mengetahui bahwa beliau benar-benar telah wafat, tapi bagi mereka yang menyembah Allah, biarlah mereka mengetahui bahwa Allah tidak bisa wafat.”
Kata-kata Alquran terdengar seperti gemerencingnya lonceng di kuping Sayidina Umar r.a. dan mereka yang terbuai harapan palsu bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan hidup lagi. Kebenaran telah menyinari mereka, dan mereka mulai meraung keras.
Sayidina Umar r.a. sendiri berkata: ”Demi Allah, begitulah, ketika aku mendengar Abu Bakar menilawahkan ayat-ayat Alquran, aku terpukul, lututku gemetar, aku terkulai dan aku tahu pasti bahwa Nabi telah benar-benar wafat.”
Saat itu hari menjelang sore, ketika seseorang berlari-lari dengan terburu-buru menuju ke Mesjid dan menyampaikan berita bahwa para pemimpin Anṣar yang dipimpin oleh S’ad bin Ubadah r.a., telah berkumpul di salah satu tempat di kota dan mereka telah memilih S’ad sebagai pemimpin mereka.
Mendengar laporan itu, Sayidina Abu Bakar r.a. memberi pesan bahwa keluarga Nabi Muhammad s.a.w. tidak boleh terganggu ketika mereka memandikan jenazah beliau dan menidurkannya kembali, setelah itu dengan terburu-buru ia pergi menuju orang-orang yang berkumpul dengan ditemani oleh Sayidina Umar r.a. dan Abu Obaidah r.a.
Dan benar-benar di sana telah ada keperluan mendesak yang harus mereka selesaikan.
”Biarkan mereka memilih pemimpinnya.” Itulah teriakan Bani Anṣar pada umumnya: ”Tapi bagi kita, tetap harus memiliki pemimpin kita sendiri.”
S’ad r.a. yang terbaring sakit dan berselimut, sedang berbaring di suatu sudut ruangan, dan ia telah diusulkan untuk menjadi pemimpin Bani Anṣar, ketika Sayidina Abu Bakar r.a. yang disertai oleh kelompoknya tiba di sana.
Sayidina Umar r.a. yang galau terlihat akan bicara, namun Sayidina Abu Bakar r.a. yang khawatir akan tindakan tergesa-gesanya lalu menahannya, dan berkata: ”Kalian Anṣar.” katanya: ”Apa yang kalian katakan tentang kehebatan kalian, adalah benar. Tak ada seorang pun manusia di bumi ini yang harus dipuji selain dari kalian. Namun orang Arab tidak mengenal pemimpin lainnya, selain orang Quraisy. Kami adalah Amir, dan kalian adalah Wazir.”
”Tidak begitu.” teriak Bani Anṣar: ”Yang benar adalah harus ada seorang Amir untuk kami, dan ada juga seorang Amir untuk kalian.”
”Hal itu tidak dapat dilaksanakan.” Kata Sayidina Abu Bakar r.a., dan mengulangi rumus yang terdahulu serta dengan suara yang berwibawa, beliau berkata: ”Kamilah yang termulia di antara orang Arab karena keturunan, dan yang paling utama adalah kemuliaan Kota kami. Maka pilihlah oleh kalian salah satu dari kedua orang ini, Sayidina Umar r.a. atau Abu Obaidah r.a., dan Bai’atlah kepadanya.”
”Tidak.” teriak Sayidina Umar r.a. dengan nada tinggi dan amat jelas sehingga mengalahkan suara orang-orang itu: “Tidakkah Nabi Muhammad s.a.w. sendiri telah memerintahkan bahwa engkau, ya Abu Bakar, yang harus menjadi Imam Ṣalat? Engkau junjungan kita, pada engkaulah kami mengambil Bai’at, engkau yang paling dicintai Nabi ketimbang kita.”
Begitu selesai bicara, ia segera merebut tangan Sayidina Abu Bakar r.a., lalu memukul tangan itu, dan ia pun mengambil Bai’at kepadanya. Kata-katanya menyentuh dan menggetarkan setiap hati orang beriman, tidak lama kemudian Sayidina Abu Bakar r.a. pun kini terpilih secara aklamasi menjadi Penerus Nabi Muhammad s.a.w. atau Khalīfah pertama dari antara Khulafā’-ur-Raṣida.
Sementara itu, Sayidina Ali r.a., Usama r.a. dan Fadhl r.a. putra Abbas r.a., dengan ditemani satu atau dua orang pelayan Nabi Muhammad s.a.w. sedang sibuk bekerja di ruangan Sayidah Aisyah r.a. Di tempat beliau menghembuskan nafas, mereka memandikan jenazah. Pakaian yang digunakan sewaktu beliau wafat adalah dua helai kain kafan linen putih yang membalut tubuhnya, dan penutupnya menggunakan bahan Yaman yang berjalur. Jasad beliau tetap terbaring di malam itu, dan menunggu waktu penguburan.
Di waktu pagi keesokan harinya, ketika orang-orang telah berkumpul di Mesjid, Sayidina Abu Bakar r.a. dan Sayidina Umar r.a. menemui mereka. Sayidina Umar r.a. yang pertama berkhotbah: ”Oya kalian, apa yang aku bicarakan kemarin kepada kalian, itu tidak benar. Sungguh, aku tahu bahwa hal itu tidak ada di dalam Kitab yang telah diturunkan Allah, atau oleh perjanjian yang telah kalian buat dengan Nabi Muhammad s.a.w. Bagiku, sesungguhnya aku berharap bahwa Nabi Allah dapat terus bersama kita sesaat lagi, dan bersabda ke kuping kita kalimat yang mungkin bagus untuk beliau tapi membimbing kita juga. Namun Allah telah menentukan takdir Nabi-Nya, yaitu kembali bersama dengan-Nya, yang juga nantinya akan bersamamu. Benar, bahwa Dunia, Dunia yang melahirkan Nabi, masih ada dengan kita. Karenanya, ambil sebagai petunjuk dan jangan kalian menjadi debu. Sekarang, sesungguhnya, jika Allah memberikan urusanmu di tangan Abu Bakar maka itulah yang terbaik untuk kita, Sahabat Muhammad s.a.w., orang kedua dari dua orang yang bersembunyi di dalam gua. Bangkitlah, dan Bai’atlah padanya.”
Lalu, orang-orang yang berkerumun itu, satu per satu, mengambil Bai’at di tangan Sayidina Abu Bakar s.a.w.
Upacara telah selesai, Sayidina Abu Bakar r.a. bangkit dan bersabda: ”Kalian semua, sekarang, sesungguhnya, aku telah dipilih menjadi Khalīfah kalian, walau pun aku bukanlah yang terbaik dari antara kalian. Jika tindakanku baik, dukunglah aku, dan jika aku salah, betulkanlah aku.
Di dalam kebenaran dan ketulusan ada keimanan, dan dusta adalah suatu pengkhianatan. Penentang yang lemah dari antara kalian dalam pandanganku justru kuat sampai aku mengembalikan hak kepadanya jika Allah berkehendak; dan penentang yang kuat akan menjadi lemah sampai aku meruntuhkannya dari apa yang telah ia perbuat. Sekarang dengarkan aku; jika seseorang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, sesungguhnya, Dia akan menebarkan aib baginya.  Ketahuilah, bahwa kelemahan tidak dapat membentuk bangsa apa pun, namun Allah akan mengunjungi bangsa itu dengan bencana. Karenanya, taatilah aku, walau aku juga harus taat kepada Allah dan Nabi-Nya. Jika aku tidak taat kepada mereka, maka ketaatan padaku, tidak mengikat lagi. Dirikanlah ṣalat, dan Allah akan menaruh belas kasih kepadamu.”
Setelah Sayidina Abu Bakar r.a. selesai khotbah persiapan penguburan pun dilaksanakan. Terdapat banyak perbedaan pendapat tentang tempat yang sesuai untuk kubur beliau, namun Sayidina Abu Bakar r.a. bersabda: ”Aku mendengarnya dari bibir Nabi sendiri, bahwa di mana pun tempat seorang Nabi wafat, maka di situlah beliau harus dikuburkan.”
Karenanya, Sayidina Abu Bakar r.a. memerintahkan untuk menggali kuburan di tempat jenazah itu terbaring, di dalam ruangan Sayidah Aisyah r.a.. Jenazah masih dibiarkan terbaring demikian dari hari Senin sore sampai keesokan harinya dengan jam yang sama. Pada hari Selasa, jenazah dikunjungi seluruh penduduk kota Madinah.
Mereka masuk secara berkelompok melalui pintu yang terbuka ke dalam Mesjid; dan setelah memandang jasad Nabi Muhammad s.a.w. serta berdoa bagi ruh beliau, mereka keluar dari pintu di seberangnya. Ruangan itu menjadi penuh sesak, ketika Sayidina Abu Bakar r.a. dan Sayidina Umar r.a. memasukinya secara bersama-sama.
Mereka berdoa sbb: ”Kedamaian selalu bersamamu Ya Nabi Allah, dengan belas kasih Allah dan berkat-Nya. Kami bersaksi bahwa Nabi Allah telah menyampaikan Khabar yang diwahyukan kepada beliau; telah berperang di jalan Allah sampai Allah telah menjadikan agama beliau mencapai kemenangan. Kata-kata beliau, yang mengajarkan bahwa Dia dalam ke-Esaan-Nya yang harus disembah; dan berbuat baik serta tulus terhadap orang-orang yang beriman; telah menyampaikan Keimanan kami tanpa imbalan, dan beliau tidak pernah menjualnya untuk selamanya.’”  
Semua orang membalasnya: ”Amin.”
Ketika rombongan kaum laki-laki keluar, kaum perempuan pun langsung berdatangan secara berkelompok, lalu anak-anak berkerumun dan melihat untuk yang terakhir kalinya wajah Nabi Muhammad s.a.w. Pada sore harinya, ritual terahir dilaksanakan. Jubah berwarna merah yang sering dipakai oleh beliau, digelar sebagai alas lembut di dasar kuburan; lalu jenazahnya diturunkan ke liang lahad oleh tangan-tangan yang sama, yang sangat mencintainya dan telah memandikannya serta membaringkan jenazah beliau. Makamnya dikelilingi dengan bata mentah, dan kuburan pun ditutup dengan tanah.
Sayidah Aisya r.a. terus tinggal di ruangan itu yang dihormati sebagai makam Nabi Muhammad s.a.w. Ia menempati sebuah ruangan yang ada kuburannya, namun dipisahkan oleh sebuah partisi. Ketika ayahnya wafat, beliau juga dikubur di dekat Nabi Muhammad s.a.w. di ruangan yang sama dan berikutnya juga Sayidina Umar s.a.w. Jadi, terpenuhilah mimpi beliau bahwa tiga buah bulan jatuh dari langit secara berturut-turut ke dalam ruangannya.
Perhatian pertama Sayidina Abu Bakar r.a. selaku Khalīfah adalah mengirim pasukan Muslim ke Siria untuk memenuhi keinginan keras dari Nabi Muhammad s.a.w. Namun suasana tidak mendukungnya, dan banyak sanggahan bahwa pasukan tidak usah dikirim karena jaraknya sangat jauh. Bahkan Sayidina Umar r.a. pun bergabung dengan yang menyanggah: ”Jangan dikirim orang-orang yang beriman itu, dan lebih baik pasukan berada di sini, mungkin kita memerlukan mereka untuk dapat mempertahankan kota ini.”
”Tidak.” Jawab Sayidina Abu Bakar r.a.: ”Perintah Nabi Muhammad s.a.w. harus dilaksanakan, bahkan jika hanya tinggal aku sendiri di kota ini, burulah serigala-serigala dan binatang-binatang gurun itu.”
Lalu mereka mengusulkan agar menunjuk prajurit yang jauh lebih berpengalaman sebagai pemimpin pasukan, namun Sayidina Abu Bakar r.a. tidak mau mendengarnya. Beliau tidak menerima alasan dan dengan segera pasukan bergerak ke Jurf.
Sayidina Abu Bakar r.a. memerintahkan agar Usama r.a. berpakaian perang dan menemaninya berjalan ke kemah, beliau memperlakukan Usama r.a. dengan penghormatan sesuai komandan yang ditunjuk oleh Nabi Muhammad s.a.w. sendiri, dan meminta agar Sayidina Umar r.a. tinggal bersamanya di Madinah sebagai wakil, dan permintaan itu segera disetujui.
Lalu, Sayidina Abu Bakar r.a. mengucapkan kata perpisahan kepada Usama r.a., dan menyuruhnya untuk berangkat dan maju berperang atas nama Allah SWT, dan memenuhi tugas yang telah diterima olehnya dari tangan Nabi Muhammad s.a.w. secara langsung. Pasukan Muslim mulai bergerak maju, dan Khalīfah yang ditemani oleh Sayidina Umar r.a. segera kembali ke Madinah.
Setelah memenuhi perintah Nabi Muhammad s.a.w. yang terakhir, kira-kira berselang tiga minggu lamanya, pasukan Muslim telah pulang kembali. Disambut dengan prosesi kemenangan, mereka memasuki kota Madinah; Usama r.a. menunggang kuda ayahnya sambil membawa panji yang berkibar-kibar, yang diberikan langsung dari tangan Nabi Muhammad s.a.w..
Sayidina Abu Bakar r.a.  dan para penduduk pergi menyambut mereka, dan menerima pasukan dengan kegembiraan yang besar. Ditemani oleh Khalīfah sekaligus Imam para Sahabat, Usama r.a. menuju Mesjid dan melakukan ṣalat sebagai tanda rasa syukur terhadap keberhasilan yang dilakukan oleh pasukannya.
Sir William Muir pun mengakhiri tulisannya (Life of Mahomet, hal. 509):
“Saya hanya akan menambahkan bahwa kesederhanaan dan keseriusan Abu Bakar, dan juga Umar, Khalifah ke-1 dan ke-2, adalah bukti kuat keimanan mereka pada ketulusan Muhammad; dan keimanan dari kedua orang ini mengandung bobot yang tidak terbantahkan dalam membentuk perkiraan kami terhadap watak mereka, karena peluang untuk menguji keyakinan keduanya mirip dan berlangsung lama. Cukuplah saya mengakhirinya dengan alasan seperti ini, yang telah menguatkan pandangan terhadap watak Muhammad secara umum, yang untuk itu, saya meminta anda untuk turut mendukungnya.”

----------------- *** -----------------

No comments:

Post a Comment